Kaira melangkah pelan keluar dari kamar, tangannya menenteng tas kecil berisi dokumen medis dan botol air minum. Senyum tipis terulas di wajahnya, namun tidak menyembunyikan sedikit rasa gugup yang membayang. Davian, suaminya, sudah menunggu di depan pintu dengan kunci mobil di tangan.Hari ini mereka berdua libur. Sengaja meliburkan diri lebih tepatnya. Lagipula, siapa yang akan melarang pasangan tersebut untuk off sehari saja dari kantor? Davian teringat percakapannya dengan sang mama tempo hari. Sesuatu yang membuatnya semakin protektif terhadap sang istri."Meskipun Kaira itu sangat mandiri, kamu sebagai suami nggak boleh membiarkan dia melakukan semuanya sendiri. Apalagi kalau sering ditinggal-tinggal. Fisiknya boleh terlihat baik-baik saja, tapi yang namanya ditemani suami semasa hamil, rasanya berbeda," ujar sang mama memberi wejangan. Meminta putranya untuk lebih atentif dan menjaga menantu serta calon cucunya itu.Pagi ini mereka ada appointment dengan dokter kandungan. Peme
Di dalam mobil, suasana terasa sunyi. Hanya suara mesin dan hembusan lembut AC yang mengisi ruang kecil itu. Kaira duduk di kursi penumpang, sesekali melirik Davian yang fokus mengemudi. Namun, tatapan suaminya terasa jauh, seperti pikirannya sedang berada di tempat lain.Sorot mata terluka, lengkap dengan dengusan lambat yang berpadu dengan upaya untuk mengalihkan diri. Kaira yakin belum pernah melihat dan merasakan ini dari Davian sebelumnya. Begitu lengannya ditarik Davian, Kaira hanya sempat melirik senyum terpaksa milik dokter Raina. Wanita itu melengkungkan senyum di bibirnya dan melambai pelan pada Kaira. Tapi matanya, jelas masih ada kekagetan disana. Detik itu juga, Kaira sadar ada sesuatu yang berbeda.Dia berada disamping kemudi sekarang. Bersama dengan Davian yang sama sekali belum membuka mulut sejak awal memboyongnya masuk secara buru-buru ke dalam mobil. Pandangan Davian seolah kosong, sama sekali tidak melirik Kaira lagi namun juga dia yakin itu bukan karena semata f
Kaira sedang sibuk berkutat dengan peralatan di dapur ketika suara bel di rumahnya terdengar. Wanita itu tinggal menunggu makanan matang sempurna, mengaduk singkat sayuran yang berada dalam teflon miliknya. Dia menutup masakannya itu dengan tutup kaca sebelum akhirnya mengeringkan tangannya di apron dan berjalan menuju pintu dengan perlahan untuk mengintip siapa tamu yang hinggap ke rumahnya malam-malam begini. Bibirnya mengulas senyum tipis saat melihat ibu mertuanya yang ternyata datang. Dia segera membuka pintu dan menyambut wanita tersebut. Memeluknya sekilas sebelum akhirnya mengamit lengan sang mertua untuk turut masuk ke dalam rumah.Memang belakangan ini mama mertuanya itu jadi lebih sering berkunjung. Selain karena kediaman mereka dekat, juga karena Mama Tania sedang berusaha mengalihkan kesepiannya setelah putra bungsunya lebih memilih untuk pergi keluar negeri dengan turut memboyong istrinya. Memang sih sudah Tania izinkan, tapi tetap saja dia jadi merasa kesepian sekarang
Seberapa keras pun Kaira berusaha untuk tidur, dia tetap saja sulit terlelap. Wanita itu membuka mata yang tadi dipaksanya untuk terpejam. Kali ini kembali dipaksa menghadapi kamar yang temaram dan sunyi. Disampingnya sang mama mertua sudah terlelap lebih dulu. Wanita itu memang menginap sesuai dengan permintaan Davian katanya yang ingin supaya Kaira ada yang menjaga di rumah.Mengingat lagi tentang Davian, Kaira hanya bisa menghela nafasnya dengan kasar. Sejak panggilannya yang canggung tadi bersama sang suami, dia jadi banyak pikiran. Meskipun begitu, ia tentu tidak bisa menumpahkan seluruh kekhawatirannya itu pada sang mertua. Kaira takut dianggap posesif dan berlebihan hanya karena mendengar ada suara wanita lain di dekat Davian. Tapi serius, Davian katanya kan sedang berada di site dan langsung mengikuti acara formal, wajar saja kalau dia jadi banyak bersosialisasi dan bercengkrama dengan lawan jenis. Itu bukan hal baru dan sebelumnya pun Kaira tidak pernah sampai mempermasalahk
"Lho, nggak bisa gitu dong, Pak? Semua itu kan hasil kerja keras saya!"Kaira tidak bisa lagi membendung emosinya ketika mengetahui bahwa proposal yang dia garap berminggu-minggu dengan susah payah nyatanya diklaim oleh orang lain. Apalagi karyanya tersebut berhasil membawa perusahaan mereka mendapatkan tender ratusan juta rupiah. Ironisnya, proposal itu sebelumnya sudah ditolak mentah-mentah oleh sang kepala divisi. Saat itu, Kaira tak bisa melakukan apapun sebab berpikir bahwa karyanya itu mungkin memang tak lolos seleksi. Tapi dia tentu menjadi emosi setelah mengetahui bahwa proposal yang ditolak itu justru lanjut diajukan atas nama orang lain. Dadanya naik turun begitu mendengar laporan dari salah satu rekan kerjanya. Kaira berjalan dengan wajah super tidak santai memasuki ruangan kepala divisinya dan meledak disana. Pria tambun usia empat puluhan dengan kepala hampir botak itu justru menanggapi santai kemarahan Kaira. Seolah tidak ada rasa bersalah, dia bahkan hampir tidak men
Baru saja meletakkan tas besarnya di lantai, Kaira harus kembali menahan pekikan di telinganya. Dia bahkan belum mendapat kesempatan untuk duduk atau sekedar meneguk segelas air. "Apa sih yang ada di pikiranmu, nduk? Kenapa kamu malah berhenti kerja dan balik ke kampung tanpa apa-apa? Kamu nggak ingat bagaimana perjuangan bapakmu supaya kamu bisa bayar kuliah?"Sudah dia duga. Selama empat jam perjalanan dari ibukota kembali ke kampungnya, Kaira sudah berusaha untuk menyiapkan diri dan menebalkan telinga mendengar ocehan dari bibinya. Setelah menyerahkan surat pengunduran diri bulan lalu, Kaira menyelesaikan sisa masa kerjanya dengan lebih banyak work from home. Selama itu juga dia berupaya untuk mencari pekerjaan baru. Sialnya, entah mengapa sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok meskipun pengalamannya sebagai staf pemasaran sudah menyentuh empat tahun. Beberapa interviewer menyayangkan bahwa dengan kualifikasinya, pencapaian Kaira bisa dianggap justru tidak sebanding
"Kamu nggak sepantasnya ngomong begitu sama bude kamu sendiri!"Usai makan malam, Kaira harus kembali mendengarkan ocehan dari ayahnya. Kali ini sebab bibinya itu mengadu bahwa Kaira menghinanya.Setelah bertahun-tahun tidak pulang dan bahkan baru mendengar cerita Kaira via telepon, bukannya menanyakan bagaimana perjalanan Kaira, dia justru harus kembali disalahkan sebab aduan sang bibi yang dilebih-lebihkan. Selama makan malam, sang bibi terus merusak suasana dengan menyudutkannya melalui sepotong kalimat yang memang kelepasan dia ucapkan tadi. Tapi dari sudut pandang Kaira, bukankah kalimat sang bude jauh lebih nyelekit daripada kalimatnya?Tapi mau seperti apapun pembelaan Kaira, sang ayah tidak akan membenarkan tindakannya. Pria itu akan tetap keras pada putrinya sendiri agar tidak bermasalah dengan adiknya itu."Kamu tuh kok nggak pernah rukun sama Bude Mita? Ada aja yang kalian ributkan," keluh sang ayah lagi.Kaira hanya bisa menanggapi dalam hati. Sebab semakin disanggah, sang
Kaira menganga mendengar pernyataan tak masuk akal yang baru saja merayap dalam rungu. Wanita itu mengejapkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa pemandangan dan kalimat yang baru saja dia dengar mungkin hanya halusinasi. Tapi, tidak. Dia dengan jelas dan secara real time dapat memastikan bahwa manusia-manusia yang duduk di sofa ruang tamunya itu nyata. Begitu juga dengan kekagetan yang turut dirasakan oleh ibu dan bapaknya yang masih berdiri disampingnya. Di antara rombongan itu, tampak sosok yang tak pernah ia bayangkan akan kembali dengan niat seperti ini—Alvero Rajendra, mantan kekasihnya. Wajahnya terlihat serius, namun ada sorot mata yang sulit diartikan oleh Kaira. Mereka sama sekali tidak pernah lagi bertukar sapa—bahkan via media sosial. Lalu secara tiba-tiba, Alvero muncul lagi dihadapannya. Membawa sebuah pernyataan yang sama sekali tidak masuk akal baginya. Melamar? Hubungan mereka bahkan sudah kandas bertahun-tahun lalu. Tidak ada satupun keluarga Kaira yan
Seberapa keras pun Kaira berusaha untuk tidur, dia tetap saja sulit terlelap. Wanita itu membuka mata yang tadi dipaksanya untuk terpejam. Kali ini kembali dipaksa menghadapi kamar yang temaram dan sunyi. Disampingnya sang mama mertua sudah terlelap lebih dulu. Wanita itu memang menginap sesuai dengan permintaan Davian katanya yang ingin supaya Kaira ada yang menjaga di rumah.Mengingat lagi tentang Davian, Kaira hanya bisa menghela nafasnya dengan kasar. Sejak panggilannya yang canggung tadi bersama sang suami, dia jadi banyak pikiran. Meskipun begitu, ia tentu tidak bisa menumpahkan seluruh kekhawatirannya itu pada sang mertua. Kaira takut dianggap posesif dan berlebihan hanya karena mendengar ada suara wanita lain di dekat Davian. Tapi serius, Davian katanya kan sedang berada di site dan langsung mengikuti acara formal, wajar saja kalau dia jadi banyak bersosialisasi dan bercengkrama dengan lawan jenis. Itu bukan hal baru dan sebelumnya pun Kaira tidak pernah sampai mempermasalahk
Kaira sedang sibuk berkutat dengan peralatan di dapur ketika suara bel di rumahnya terdengar. Wanita itu tinggal menunggu makanan matang sempurna, mengaduk singkat sayuran yang berada dalam teflon miliknya. Dia menutup masakannya itu dengan tutup kaca sebelum akhirnya mengeringkan tangannya di apron dan berjalan menuju pintu dengan perlahan untuk mengintip siapa tamu yang hinggap ke rumahnya malam-malam begini. Bibirnya mengulas senyum tipis saat melihat ibu mertuanya yang ternyata datang. Dia segera membuka pintu dan menyambut wanita tersebut. Memeluknya sekilas sebelum akhirnya mengamit lengan sang mertua untuk turut masuk ke dalam rumah.Memang belakangan ini mama mertuanya itu jadi lebih sering berkunjung. Selain karena kediaman mereka dekat, juga karena Mama Tania sedang berusaha mengalihkan kesepiannya setelah putra bungsunya lebih memilih untuk pergi keluar negeri dengan turut memboyong istrinya. Memang sih sudah Tania izinkan, tapi tetap saja dia jadi merasa kesepian sekarang
Di dalam mobil, suasana terasa sunyi. Hanya suara mesin dan hembusan lembut AC yang mengisi ruang kecil itu. Kaira duduk di kursi penumpang, sesekali melirik Davian yang fokus mengemudi. Namun, tatapan suaminya terasa jauh, seperti pikirannya sedang berada di tempat lain.Sorot mata terluka, lengkap dengan dengusan lambat yang berpadu dengan upaya untuk mengalihkan diri. Kaira yakin belum pernah melihat dan merasakan ini dari Davian sebelumnya. Begitu lengannya ditarik Davian, Kaira hanya sempat melirik senyum terpaksa milik dokter Raina. Wanita itu melengkungkan senyum di bibirnya dan melambai pelan pada Kaira. Tapi matanya, jelas masih ada kekagetan disana. Detik itu juga, Kaira sadar ada sesuatu yang berbeda.Dia berada disamping kemudi sekarang. Bersama dengan Davian yang sama sekali belum membuka mulut sejak awal memboyongnya masuk secara buru-buru ke dalam mobil. Pandangan Davian seolah kosong, sama sekali tidak melirik Kaira lagi namun juga dia yakin itu bukan karena semata f
Kaira melangkah pelan keluar dari kamar, tangannya menenteng tas kecil berisi dokumen medis dan botol air minum. Senyum tipis terulas di wajahnya, namun tidak menyembunyikan sedikit rasa gugup yang membayang. Davian, suaminya, sudah menunggu di depan pintu dengan kunci mobil di tangan.Hari ini mereka berdua libur. Sengaja meliburkan diri lebih tepatnya. Lagipula, siapa yang akan melarang pasangan tersebut untuk off sehari saja dari kantor? Davian teringat percakapannya dengan sang mama tempo hari. Sesuatu yang membuatnya semakin protektif terhadap sang istri."Meskipun Kaira itu sangat mandiri, kamu sebagai suami nggak boleh membiarkan dia melakukan semuanya sendiri. Apalagi kalau sering ditinggal-tinggal. Fisiknya boleh terlihat baik-baik saja, tapi yang namanya ditemani suami semasa hamil, rasanya berbeda," ujar sang mama memberi wejangan. Meminta putranya untuk lebih atentif dan menjaga menantu serta calon cucunya itu.Pagi ini mereka ada appointment dengan dokter kandungan. Peme
Sore itu Kaira berada di toko buku dalam pusat perbelanjaan bersama dengan Kenny. Davian saat ini sedang mengikuti rapat penting di salah satu site ditemani oleh Aldo. Awalnya seharusnya Kaira yang berangkat, tapi tentu saja Davian 'posesif' Rajendra melarangnya untuk ikut sebab lokasi tersebut menurutnya cukup berbahaya untuk Kaira. Bukan hanya karena Kaira tengah mengandung, bahkan kalaupun Kaira tidak hamil, Davian tidak akan membawa Kaira berangkat ke tempat rapat yang hanya diisi oleh kaum laki-laki saja. Sebenarnya bisa saja Kaira pulang ke rumah bersama dengan supir, hanya saja ia menolak dan memilih untuk ikut bersama dengan Kenny untuk jalan-jalan sebentar di mall. Sekalian girls time, kan? Lagipula memang kebetulan ada beberapa hal yang juga hendak Kaira beli. Kedua wanita itu memasuki toko buku dengan tujuan menemukan novel incaran Kenny yang katanya baru dipublikasikan. Sementara Kenny sibuk mencari, Kaira lebih memilih untuk secara santai melihat-lihat. Dia sebenarnya b
Kalau sebelumnya Davian harus makan brownies tiga kali sekali secara langsung dihadapan Kaira, kali ini lelaki itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya. Kaira dibantu Kenny dan Tika tengah membagikan macaroon buatan Kaira semalam. Wanita itu semakin produktif saja dengan karyanya. Entah apakah calon bayinya itu nanti akan jadi baker atau semacamnya mengingat ngidamnya Kaira yang tidak jauh-jauh dari memasak, terutama kue.Davian sudah khatam sekali dengan aroma manis dari gula dan almond yang memenuhi udara rumahnya. Bahkan hingga kini wangi itu seolah melekat di indra penciumannya hingga tiap melihat Kaira membawa kotak sudah membuatnya bisa mencium wanginya dari jarak jauh begini. Lelaki itu mengawasi dari atas, melihat bagaimana wajah ceria istrinya itu saat membagikan kue warna-warni buatannya dan sesekali bercengkrama dengan para staf yang sepertinya memberikan review positif terhadap hasil karyanya.Davian, yang berdiri di ambang pintu dengan lengan bersilang
Pagi ini Kaira bangun lebih awal. Jika biasanya Davian akan merecoki tidur Kaira dengan membuat wanita itu terbangun melalui decap ciuman dan bahkan kegiatan-kegiatan panas pagi hari, belakangan ini sepertinya tidak lagi. Atau untuk sementara tidak dulu. Kondisi kehamilan Kaira yang masih sangat awal dan juga kesehatan Davian yang malah turut angin-anginan membuat mereka lebih sering saling merawat sekarang. Ada bagusnya, bukan? Kalau tidak, Kaira sudah pasti gempor sebab harus melayani nafsu Davian yang terkadang tidak terkendali itu.Wanita itu membelai perut ratanya, mengirimkan kasih sayang pada sang buah hati yang tengah bertumbuh di dalam sana. Ia melirik wajah damai suaminya yang masih tertidur pulas. Setelah kemarin periksa ke dokter dan mendapatkan cukup banyak obat, Davian langsung tepar. Kaira sama sekali tak ada niatan merecoki tidur suaminya hari ini. Ini akhir pekan dan memang sudah sepantasnya Davian menikmati istirahatnya tersebut.Ada banyak hal yang harus Kaira kerj
Davian duduk di kursi kerjanya dengan ekspresi gelisah. Pagi itu, ia merasa mual sejak baru bangun tidur. Pikirnya karena terlambat makan dan mungkin masuk angin sebab semalam pulang meeting di lokasi yang cukup berangin. Merasa kondisinya tak begitu buruk, dia putuskan untuk tetap ke kantor seperti biasa. Namun alih-lih membaik, rasa aneh dalam tubuhnya justru makin menjadi-jadi. Ia menekan pelipisnya, mencoba mendoktrin tubuhnya sekaligus untuk menenangkan perutnya yang terus bergejolak. Wajahnya pucat, dan ia bahkan enggan menyentuh secangkir kopi yang biasanya menjadi penyemangat paginya.Tumben sekali ia merasakan gejala yang seperti ini. Davian menunduk di meja kerjanya, perlahan mulai merebahkan kepalanya diatas meja tersebut. Kaira yang baru saja masuk ke dalam ruangan menjadi sangat khawatir. Dia berjalan dengan cepat lantas meraup wajah sang suami. Tidak ada demam, namun tidak biasanya wajah sang suami pucat begini."Mas, kamu kenapa?" tanya Kaira dengan nada khawatir. Seb
Siang itu, suasana rumah terasa hangat meski di luar hujan rintik-rintik. Davian membantu Kaira melepas jaketnya begitu mereka masuk ke dalam rumah sepulang dari hotel dan rumah sakit. Wajahnya tampak serius dengan gesture tubuh yang hampir setiap waktu selalu memegangi punggung dan perut Kaira padahal masih rata. Davian nampak penuh kekhawatiran yang membuat Kaira tak tahan untuk tersenyum kecil melihatnya.“Kaira, mulai sekarang kamu harus banyak istirahat, ya,” kata Davian sambil membimbing istrinya duduk di sofa. “Enggak usah capek-capek lagi, aku yang akan urus semuanya.”Kaira tertawa menyaksikan bagaimana suaminya itu bahkan menjadi sangat-sangat menempel padanya hingga membuat Kaira jadi terbatas ruang gerak. Bahkan hanya sekedar bergerak mengambil remote AC di meja saja Kaira harus ditempeli Davian hingga sebegitunya.“Mas, aku baik-baik saja kok. Enggak usah khawatir berlebihan begitu,” jawab Kaira lembut, senyum manis menghiasi wajahnya.Davian memandangnya dengan raut tega