Hujan mengguyur kota Jakarta sejak semalam, Leona tampak sedang menatap layar monitor yang denyut iramanya tak beraturan. Menurut dokter Richard, terlambat lima menit saja maka nyawa Nenek melinda tak tertolong. Gadis ini memencet pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut sakit. Dia menunggu hasil laboratorium, kemarin dokter mengatakan jika jantung nenek melinda baik-baik saja. Lalu kenapa bisa pingsan ? dan kenapa sudah seharian ini nenek Melinda tak kunjung siuman ? Leona terus melirik arlojinya, dan sesekali matanya melihat keluar, mestinya sekarang Abhygael sudah tiba dari Singapura. Ponsel disakunya bergetar. "Halo, dimana ?" "Nih sudah masuk parkiran, masih diruang ICU ?" "Sudah pindah ke ruangan yang dulu." "Oke!" Tanpa tanya Abhygael sudah tahu tempat yang dimaksud Leona, tempat bersejarah saat dia mengucapkan ijab kabul. Baru juga dia berencana menggelar resepsi setelah kembali dari Singapura malah diperhadapkan dengan masuknya nenek ke Rumah Sakit. Tapi hari ini situsi te
Abhygael dan Leona tiba di rumah neneknya, rumah yang pernah ditinggali Abhygael ketika bayi sampai dia berusia 7 tahun, di rumah inipula dia diracuni dan dicelakai. Sampai saat ini tak ada yang tahu siapa pelakunya. Dan kini neneknyapun di racuni di rumah ini, Abhygael menahan geram. Atas usul Leona, Abhygael meminta maid yang mengurus makanan dan yang membersihkan kamar nenek Melinda untuk menemui mereka di ruang perpustakaan. Sepuluh orang maid yang terdiri dari 2 orang koki laki-laki dan sisanya perempuan. Mereka berdiri dengan perasaan takut, mereka jarang bertemu dengan Abhygael, mereka hanya pernah melihatnya ketika wajahnya masih memakai topeng. Tapi kini dengan wajah tampannya bukan merasa nyaman tapi malah membuat mereka ketakutan. Wajah tanpa ekspresi ini berdiri menatap mereka satu persatu, matanya tajam menyelidik. "Aku ingin kalian menjawabku dengan jujur," kalimat pertama yang keluar dari mulut Abhygael membuat ke sepuluh maid ini mendongak. Leona berdiri disamping Ab
Yang sangat disesali Abhygael, dia tidak bisa melindungi keluarganya dan malah keluarganyalah yang berusaha melindunginya. Dan yang lebih membuatnya geram keluarga dekatnya malah menjadi musuh dalam kehidupannya. Walau belum ada bukti yang mengarah kepada paman dan bibinya tapi dia sangat yakin jika ini adalah ulah mereka. Siang itu dia dan Leona segera ke Rumah Sakit, dalam perjalanan dokter Richard menghubunginya untuk segera ke ruang Paviliun sekarang juga. Walau suara dokter Richard terdengar datar tapi Abhygael merasa ada yang tidak beres. Abhygael dan Leona telah sampai di koridor yang menuju ke arah Paviliun, pandangan keduanya tertuju pada beberapa perawat yang berjalan tergesa-gesa dari arah Paviliun. Abhygael mempercepat langkahnya disusul Leona yang setengah berlari mengejar langkah panjang Abhyagel. Tepat ketika kaki mereka berpijak dipintu masuk paviliun terlihatlah dokter spesialis jantung sedang menekan alat kejut jantung ke dada nenek Melinda. Langkah Abhyagel yang b
Dokter Richard menatap Dokter Spesialis jantung yang menganggukan kepala kepadanya. Semua orang tahu jika dokter Richard adalah dokter di keluarga Pratama jadi dia yang wajib menyampaikan ucapan belasungkawa. Nanti juga pernyataan resmi akan disampaikan oleh pihak Rumah Sakit. Dokter Richard degan sedih berjalan keluar menghampiri keluarga Pratama yang sedang berkumpul di teras Paviliun. Abhygael dan Leona segera berdiri menyambutnya. Melihat kelesuan di wajah dokter Richard, Leona sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Dia menggenggam tangan Abhygael dengan erat."Dengan sangat menyesal kami harus menyampaikan berita ini, Nyonya Melinda baru saja menghembuskan nafas terakhirnya beberapa menit yang lalu." Abhygael melepaskan genggaman Leona dan berlari ke dalam ruangan, tak perduli jika bahunya sempat menyenggol bahu Dokter Richard yang berdiri di pintu. Leona masuk ke dalam disusul keluarga yang lain. Tangis tertahan Abhygael tatkala memeluk tubuh yang terbujur kaku, nenek yang
Sebagian pelayat sudah meninggalkan area pemakaman yang cukup luas itu, Area pemakaman adalah area khusus milik keluarga Pratama. Kini di Area yang cukup luas itu terdapat empat makam. Namun para wartawan enggan meninggalkan area pemakaman karena terdapat pasangan yang menarik perhatian mereka, siapa lagi jika bukan Abhygael dan Leona. Ditengah kerumunan pelayat yang mulai meninggalkan tempat pemakaman itu berdiri pula pasangan yang tak lain adalah Aditia dan Selena. Sejak proses pemakaman sampai selesai mereka memperhatikan semua yang terjadi, Selena yang ingin mengucapkan belasungkawa kepada Abhygael dicegah Aditia. "Nanti saja," bisiknya. Di Seberang wartawan nampak keluarga Hendrinata berjalan perlahan menghampiri Abhyagel dan Leona. Leona yang melihat ayah dan ibunya segera memeluk mereka dengan erat. Sebagai seorang anak Abhygael mencium tangan kedua mertuanya, bukan pencitraan tapi memang itu adalah hal yang harus dilakukannya untuk menghormati mertua. "Kak Adel dimana bu ?
Aditia sangat penasaran dengan saudara iparnya itu, pesona apa yang dilakukan Leona sehingga Abhygel tak bisa lepas darinya, bahkan model cantik seperti Selena tak bisa mengalahkannya. Aditia masih tetap berdiri diparkiran sampai ayahnya menghampirinya. "Apa yang kau pikirkan ? Jangan terpedaya dengan sikap Abhyagel yang seperti itu. Dia memperalat isterinya" "Tapi untuk apa ? Aku melihat dia sangat perduli pada Leona ayah," Aditia menggelengkan kepalanya dengan kuat. Semua tidak masuk dalam benaknya, ada yang mereka berdua sembunyikan, pikirnya. "Abhygael itu seperti ayahnya, diam-diam menghanyutkan. Lihat ini !" Julit menunjukkan photo Abhygael yang sedang duduk berdua dengan seorang gadis cantik di sebuah cafe. Lalu gambar berikutnya terlihat Abhygael menggandeng dengan mesra gadis itu. Aditia terpana, wanita yang sangat cantik, tapi siapa. "Dimana ayah mendapatkan photo itu ?" "Photo ini dikirimkan seseorang saat Abhygael berada di Singapura." "Kirimkan photo itu padaku ayah
Pagi-pagi sekali Leona bangun, dan bergegas ke kamar mandi. Dia harus segera menyiapkan sarapan lebih awal, mengingat mereka melewatkan makan malam karena terlalu larut dalam pergulatan panas yang memabukkan. Menggosok gigi dan membasuh wajah sebentar kemudian melihat ke cermin. Ups..masih wajah asli, Leona keluar dari kamar mandi dan mengambil makeupnya, memoles wajah perlahan mengambil pensil alis dan kini semuanya sempurna. Wajah coklat macan tutul terpantul di cermin, dengan senyum manisnya Leona mengambil lotion coklat dan mulai membalurnya secara merata ke seluruh permukaan kulit. Leona tak sadar jika Abhygael sudah bangun dan terus memperhatikan semua gerakannya, laki-laki itu tersenyum tatkala melihat penampilan isterinya yang kembali seperti semula. Dia menarik nafas lega, karena Leona menerima semua persyaratan yang dia ajukan. Walau di dalam rumah tetap harus menyamarkan wajah, karena yang tahu wajah aslinya hanya dirinya dan bibi Surti. Ceklek...! Pintu terbuka lalu Leon
Tujuh hari semenjak kepergian Nenek Melinda suasana di rumah yang sangat megah itu terlihat sangat sunyi. Sunyi bukan karena tak ada penghuninya, melainkan para maid setelah memasak dan membersihkan rumah memilih kembali ke pondok mereka yang disiapkan tak jauh dari mansion yang besar itu, sehingga rumah ini nampak lengang, dan hanya beberapa satpam berdiri di pintu gerbang. Rumah besar itu kini telah dikuasai Julit, sehari setelah pemakaman mereka bertiga pindah ke rumah itu. Tentunya Abhygael tak bisa protes, karena paman Julit adalah anak kakeknya juga. Rumah ini salah satu peninggalan kakek. Jika berbicara hak waris maka rumah ini dengan sendirinya jatuh ke tangan ayah Abhygael sebagai putra dari mendiang Budiawan dan Melinda. Tapi Putra sudah dinyatakan meninggal sehingga secara tidak langsung Julitlah ahli warisnya. Kecuali ada surat wasiat yang ditinggalkan nenek. Abhygael tak perduli dengan apa yang dilakukan pamannya, toh saat ini perusahaan dibawah kendalinya, lagian kunci
Kehadiran Leona yang kembali sebagai direktur perusahaan disambut dengan gembira oleh para karyawan. Direktur cantik dan mempesona serta cerdas ini sangat di rindukan. Semua karyawan berdiri berjejer di sepanjang jalan, satpam dan cleaning service tak ketinggalan."Kau di sambut bagaikan seorang ratu, aku jadi cemburu," bisik Abhygael."Jangan terlalu berlebihan," Leona mencubit pinggang suaminya."Selamat pagi ibu direktur, selamat pagi presdir," sapa para karyawan."Selamat pagi," jawab Leona sambil tersenyum dengan hangat.Tak terlukiskan kebahagiaan para karyawan saat menyambut direktur kesayangan mereka. Direktur yang dikenal ramah dan suka membantu itu kini hadir seakan memberi semangat baru bagi para karyawan.Leona naik lift menuju ruangannya di susul Abhygael."Kali ini aku tak akan membiarkanmu di dekati para pria," ucap Abhygael serius."Apa maksudmu? Bukankah seharusnya kau yang perlu di khawatirkan di dekati para gadis?" protes Leona, dia tak terima dengan perkataan suamin
Diandra tak menyangka jika Leona kini sudah kembali ke rumah Abhygael. Dengan penuh percaya diri dia membawakan mainan dan makanan untuk Abil.Bibi Sultia tak tahu harus berkata apa saat Diandra menekan bel di sudut pintu rumah. Abhygael dan Leona sedang mandi di kolam renang bersama kedua anaknya."Maaf non, tuan dan nyonya sedang berada di kolam renang," ucap bibi Sultia saat membukakan pintu rumah."Nyonya?" tanya Diandra dengan kening berkerut."Iya non, kemarin tuan Abhygael menjemput isterinya untuk kembali ke rumah ini," jawab bibi Sultia dengan sopan.Diandra tak tahu harus bilang apa, namun dia ingin memastikan apakah Abhygael mencintai isterinya atau tidak."Biar saya menunggu di teras saja bi," kata Diandra.Tanpa di persilahkan, Diandra duduk di teras rumah. Bibi Sultia segera masuk ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Dia tak memberi tahu majikannya tentang kehadiran Diandra. Saat kedua majikannya masuk ke dalam rumah barulah dia mengatakan jika Diandra sedang duduk di tera
Banyak mobil yang terparkir di halaman rumah tuan Hendrinata. Namun tuan Putera tetap berusaha mencari parkiran yang kosong di halaman."Sepertinya banyak tamu yang datang pagi-pagi," kata Mutia saat melihat kondisi pagi ini.Mutia melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi. Setelah Putera memarkir mobilnya di sudut halaman yang masih kosong, mereka lalu turun dan mengucapkan salam saat sudah tiba di pintu."Kakak Abil, sini sayang lihat adiknya," Priska berdiri menyongsong Abil. Semua ikut berdiri, rupanya Aditia beserta keluarga ikut berkunjung pagi ini, seakan sudah ada yang memberi tahu mereka jika Abhygael akan datang menjemput Leona.Mungkin karena melihat orang banyak, Abil bersembunyi di belakang ayahnya. Tangannya yang mungil mendekap erat kaki Abhygael sehingga dia tak bisa melangkah dan hanya berdiri saja sambil sebelah tangannya mendekap Abil dari belakang.Leona keluar dari kamar sambil menggendong bayi Arisha. Dia tertegun melihat Abhygael namun tatkala di
Leona membiarkan bayi Arisha dalam gendongan Abhygael, dia sibuk melayani tamu yag sudah mulai berpamitan pulang. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Abhygael yang ternyata memandangnya juga.Diandra menghampiri Abhygael yang menggendong Arisha."Jika diperhatikan ternyata wajahnya mirip sekali denganmu," ucap Diandra."Bagaimana gak mirip, dia adalah ayahnya," sebuah suara membuat Diandra terdiam.Tau-tau Dian sudah berdiri di samping Abhygael dan mengambil Arisha."Maaf bayinya mengantuk," kata Dian sambil meraih Arisha dari gendongan Abhygael.Abhygael enggan melepaskan anaknya, namun melihat tatapan tajam Leona dari pelaminan akhirnya dia menyerahkannya juga."Cium ayah sayang," Dian mendekatkan wajah Arisha dan Abhygael pun menciumnya dengan haru."Benarkah itu anakmu?" tanya Diandra saat Dian sudah melangkah jauh dari meja VIP.Abhygael mengangguk, dia lalu berdiri dan menghampiri Leona. Dia harus mengakhiri kesalah pahaman ini. Dia bahkan tak menghiraukan Diandra yang memanggil
Oemar mengabari Abhygael jika dia akan datang ke Indonesia karena adiknya akan menikah. Kabar ini bukannya membuat Abhygael bahagia, dia semakin sedih karena Leona akan kembali dari kota T. Sudah bisa di pastikan jika Wildan akan menikah dengan Leona. Tapi dia tak akan membiarkan hal itu terjadi, Leona merupakan istri sahnya. Terpikir oleh Abhygael untuk mendiskusikan hal itu dengan kedua orang tuanya namun dia tak ingin melukai perasaan kedua orang yang di sayanginya.Regan menerima undangan pernikahan Wildan, dia tersenyum. Kini dia bisa lega karena Abhygael akan bertemu Leona. Namun dia tidak tahu jika Abhygael melemparkan undangan itu ke tong sampah tanpa melihatnya sama sekali. Dengan bersenandung ria, Regan datang ke rumah Abhygael. Dia berencana ingin menceritakan kebenaran pada sahabatnya itu."Abhy, aku ingin menceritakan sesuatu padamu," kata Regan dengan penuh percaya diri."Sudahlah, aku sudah tau semuanya," kata Abhygael tanpa menoleh sedikitpun."Benarkah? Jika begitu ki
Diandra tak hilang harapan untuk terus berusaha mendekati Abhygael, berbagai cara dia lakukan. Dari sekedar bertamu sampai membawakan makanan untuk Abil.Abil yang sangat merindukan ibunya merasa gembira melihat Diandra. Balita mungil yang tak mengerti apa-apa sangat gembira ketika Diandra membawakannya mainan lalu bermain bersamanya.Semula Abhygael sangat marah melihat Diandra dengan tidak tahu malunya mendekatinya melalui Abil. Namun sekeras-kerasnya hatinya akhirnya luluh juga melihat ketulusan Diandra yang memperlakukan Abil bagaikan puteranya sendiri. "Wanita ini benar-benar tidak tahu malu!" gerutu Abhygael di dalam hati.Akhirnya entah berawal dari mana mereka kini mulai dekat. Kemana-mana mereka sering bersama, namun Abhygael tak pernah mengatakan apapun pada Diandra. Obrolan mereka hanya seputar persoalan bisnis dan tumbuh kembangnya Abil.Saat itu mereka berdua sedang duduk di sebuah cafe. Tak jauh dari mereka duduk pula pasangan Rafael dan Adelia. Saat ini Adelia sedang ha
Awalnya Abhygael enggan menghadiri acara selamatan yang diadakan sahabat ibunya di hotel berbintang lima itu. Namun kedatangan ibunya tadi pagi memintanya untuk ikut menghadirinya sebagai bentuk penghargaan terhadap sahabat. "Ibu Anita itu sahabat mama, tolong pikirkan kembali, mama tak ingin menyinggung perasaan mereka," begitu kata ibunya.Akhirnya malam ini Abhygael ke acara selamatan itu di temani Regan, dia datang tidak memakai pakaian formal seperti biasanya. Dia dan Regan memakai kemeja kotak-kotak yang senada dengan celana yang mereka kenakan."Lihatlah gadis itu, sepertinya dia terus menatapmu," bisik Regan."Dia gadis yang punya hajatan ini, tidak usah perduli kan. Toh kita sudah menghadiri acaranya," jawab Abhygael acuh tak acuh.Putera datang bersama Mutia, mereka menyalami pasangan pejabat itu dan anaknya.'Kenalkan ini Diandra, dia baru pulang dari Amerika," Ibu Anita memperkenalkan anaknya."Oh, anakmu cantik sekali," puji Mutia.Diandra tersipu malu mendengar pujian sa
Sudah seminggu Abhygael uring-uringan, ada-ada saja hal yang membuatnya marah. Laporan yang disodorkan tanpa titik dan koma saja dia berang. Regan bahkan sempat jengkel dengan tingkah Abhygael akhir-akhir ini."Aku tak ingin ada kesalahan lagi," kata Abhygael dengan tegas."Siap bos!" jawab Regan dengan rahang mengeras menahan marah, sudah beberapa kali dia harus memperbaiki dokumen."Satu lagi, jangan izinkan siapapun masuk ke ruangan ini tanpa seizinku," ucap Abhygael tanpa menoleh sedikitpun pada Regan. Dia benar-benar memposisikan diri sebagai atasan.Regan benar-benar heran dengan bosnya, keningnya berkerut, lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya."Bukankah selama ini memang seperti itu bos," sanggah Regan.Abhygael mengabaikan sanggahan Regan, memang benar apa yang dikatakannya namun Abhygael merasa akan ada seseorang yang datang namun dia tak tahu siapa. Mungkin ini hanya perasaannya saja.Selama ini dia selalu bermimpi di datangi seorang gadis cantik, dia sangat ketakutan. Dia
Cuaca pagi ini sangat cerah, pesawat Garuda mendarat dengan sempurna sesuai jadwal. Dian sudah menunggu ibu Renata sekitar setengah jam yang lalu.Tak berapa lama, ibu Renata muncul di pintu kedatangan sambil menenteng sebuah kopor."Selamat datang di kota T bu," sapa Dian lalu meraih koper dari tangan ibu Renata."Apa kau sendiri saja? Siapa yang menemani Leona?" tanya ibu Renata sambil melihat ke kiri dan kanan."Aku dan sopir grab bu, Leona di temani Wildan dan Arini," jawab Dian lalu menuju ke parkiran di susul ibu Renata.Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk tiba lebih cepat di Rumah Sakit. Jalan di kota ini tak semacet kota Jakarta. Di kiri kanan jalan terdapat rumah-rumah penduduk dan beberapa sekolah dan rumah ibadah, juga pantai yang indah. Sopir grab mengemudikan mobilnya dengan perlahan sehingga ibu Renata masih bisa melihat pemandangan laut yang begitu tenang Begitu tiba di Rumah Sakit, Dian segera menuntun ibu Renata menuju ke ruangan VIP. Leona sedang duduk di atas ka