"Oke, aku pasrahkan dulu saja. Ikuti alurnya dulu sampai mana." gumam Antony sambil menunduk. Dering ponselnya ia hiraukan. Lalu, menatap ke arah jalanan kota Jakarta yang masih ramai. Pada saat yang sama namun berbeda tempat, Ervin sedang di perjalanan. Ia pulang ke rumah ibu mertuanya. Padahal, bisa saja dirinya pulang ke apartemen. Tapi, ia berusaha menjaga jarak demi menghilangkan fitnah. Dalam benaknya, kalau ia pergi kesana pasti Bu Firah dan Antony membual kebohongan tentang kedekatan Ervin dan Aurora. "Cari aman aja, yang penting sudah lapor ke pihak yang berwajib." Tanpa terasa, ia pun sudah sampai di depan rumah. Neira tampak setia menunggu di ruang tamu. Ia membukakan pintu dan menyambut suaminya dengan peluk. Sungguh membuat dirinya terkejut, Neira berubah. Ia benar-benar tidak alergi bau badan Ervin lagi. Pura-pura tak tahu, Ervin mengusap rambut Neira dan memeberinya kecupan di kening. "Jadi gini ya rasanya disambut istri dengan hangat? Kenapa gue gak dar
"Siapa, bu?""Kurang tahu, coba kamu buka pintunya." Aurora mendekat ke arah pintu. Lalu, ia mengintip terlebih dahulu dari sela-sela jendela. Terlihat sosok perempuan dengan gaun merah sambil mengusap perut. Tak tinggal diam, ia langsung membuka pintu. Mereka berdua saling berpapasan dengan ekspresi berbeda. Aurora kaget dan sedikit menunduk. Sedangkan dia melotot tanpa rasa takut."Katanya Antony ditahan? Kamu yang laporin kan, mbak?""Siapa kamu? Berani masuk tanpa izin? Kamu punya akses kartu dari siapa?""Jangan tanya itu. Sekarang jelaskan, kenapa kamu menjebloskan Antony ke penjara?!" Tanpa basa-basi, Bu Firah datang menghampiri. Beliau memberi kesempatan wanita itu untuk duduk terlebih dahulu. Bu Firah ternyata masih mengingat sosok wanita yang merupakan sekretaris pribadi Antony. Lalu, pembahasan terus berlanjut. Wanita itu tak henti-hentinya berucap tanpa jeda. Aurora diam sambil duduk santai. Ia juga mengabadikan momen itu dalam bentuk video yang direkam pons
"Vin, sekretaris Antony nyusul kesini. Kok dia berani ya?""Aku bingung, vin. Dia juga minta cabut laporan. Sebaliknya, dia malah mengancam untuk lapor balik atas pencemaran nama baik." Pesan itu terbaca. Saat yang lainnya sibuk bekerja, ia izin untuk ke toilet sebentar. Dirinya menyempatkan diri untuk menelpon Aurora. Besar harapan dia bisa menolong Aurora semampunya. Dalam percakapan itu, Aurora meminta Ervin untuk memantaunya dari jauh. Sayang, saat ia menelpon di dalam toilet, kabar penangkapan Antony sudah tersebar. Bahkan, ada diantara rekan kerja di sana yang menuturkan bukti lebih autentik. Bukti itu adalah kesalahan fatal Antony dalam mengelola uang perusahaan. Ervin segera menutup telepon dan mendengar obrolan mereka. "Maklum, OKB kayanya.""Apa itu OKB?""Orang Kaya Baru. Baru memimpin aja udah belagu selingkuh. Padahal, kabarnya dia itu kerja awalnya demi istri.""Hmm.. kok bisa ya?""Belum lagi saldo minus perusahaan yang diolah oleh sekretarisnya.""Mereka berd
"Siapa ini?"Aurora membalas pesan itu secara langsung. Namun, tak ada tanda pesan itu terbaca. Yang ada hanya ceklis satu dengan foto profil kosong. Masih dalam kondisi memperhatikan seminar online, Aurora membuka tab baru untuk membuka salah satu web penyelidikan nomor telepon. Di sana, nomor itu terlihat baru. Tak ada tanda tautan nama mencurigakan. Bisa dibilang, tagar nama pemilik nomor itu tak ada. Namun, ada salah satu yang bisa ia tangkap. Yaitu, nomor misterius itu tinggal di sekitaran kota Jakarta. "Emang ada ya orang Kota kerjaannya iseng gini? Neror orang dengan berganti nomor." ketus Aurora. Dalam benaknya, kalau memang penipuan pasti takkan memberi kata sapaan cantik. Selain itu, sipengirim pesan juga seperti tahu apa yang sedang ia lakukan dan ia hadapi. Berusaha tenang, Aurora kembali fokus pada kelas online. Ia langsung disuruh untuk praktik kecil. Aurora diminta mencari partner yan cocok untuk ia ajak berbisnis. Dengan bermodalkan keberanian, ia mengh
"Minta bantuan apa, lagi?""Kamu ma-mau jadi saksi aku lagi? Masa aku dituduh pencemaran nama baik?" Ervin berfikir panjang lagi. Permasalahan mantan pacarnya itu masih belum usai. Pada saat itu juga, Ervin melontarkan kalimat yang cukup menyudutkan riuh rumah tangga. Ia memberikan pilihan lain, yaitu menjadikan mertua sebagai saksi. Tapi, tentu saja hal itu ia tolak. Ibu Mertuanya itu justru berpihak pada Antony."Sebentar, Vin. Kita via chat aja gak enak.""Lah, beliau pasti ada di pihak Antony. Kamu mau aku celaka?" lanjutnya. "Bukan begitu juga, tapi kalau orang yang tahu semuanya pasti orang terdekat. Bukan aku, kan?""Yaudah, maaf sudah merepotkan. Kupikir kamu bersedia membantu. Salam buat Neira, ya!""Iya, gapapa. Tapi, percayalah kamu bakalan menang. Mengingat bukti pencemaran nama baik itu nihil. Sedangkan suamimu sudah jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan." Aurora tertunduk dan menatap isi ruangan yang sudah dipantau polisi. Ia sesekali menoleh ke belakang
"Eh, mbak Aurora ya?""Iya. Kamu ngapain di sini?""Sudah, masuk dulu mbak. Kita ngobrol di dalam" Wanita itu dengan penuh percaya diri mengajak Aurora masuk. Lalu, mempersilahkan dirinya duduk di sofa yang sebetulnya sudah biasa bagi Aurora. Sebelum dirinya memutuskan untuk duduk, mata Aurora tertuju pada perut pacar Antony. Ia menatap secara tajam untuk memastikan apa dia memang benar-benar hamil? Atau hanya sekadar rekaan."Kenapa kok belum duduk? Ada yang aneh ya?""Oh, gak. Aku cuman penasaran sama buntelan perutmu."Wanita itu langsung mengelus perutnya sendiri. Kini mereka duduk berdua dengan arah bersebrangan. Bukan sekadar duduk, Aurora dan wanita pilihan Antony itu ngobrol empat mata. Kedengarannya cukup serius. Apalagi saat membahas Aurorora yang baru saja bebas dari tuntutan pencemaran nama baik. Wanita itu bertepuk tangan sambil memasang wajah senyum sinis. "Hebat juga, ya?!""Harus, dong!""Tapi ya, meskipun kamu bebas saya pastikan Mas Antony juga akan be
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k
"Eh, mbak Aurora ya?""Iya. Kamu ngapain di sini?""Sudah, masuk dulu mbak. Kita ngobrol di dalam" Wanita itu dengan penuh percaya diri mengajak Aurora masuk. Lalu, mempersilahkan dirinya duduk di sofa yang sebetulnya sudah biasa bagi Aurora. Sebelum dirinya memutuskan untuk duduk, mata Aurora tertuju pada perut pacar Antony. Ia menatap secara tajam untuk memastikan apa dia memang benar-benar hamil? Atau hanya sekadar rekaan."Kenapa kok belum duduk? Ada yang aneh ya?""Oh, gak. Aku cuman penasaran sama buntelan perutmu."Wanita itu langsung mengelus perutnya sendiri. Kini mereka duduk berdua dengan arah bersebrangan. Bukan sekadar duduk, Aurora dan wanita pilihan Antony itu ngobrol empat mata. Kedengarannya cukup serius. Apalagi saat membahas Aurorora yang baru saja bebas dari tuntutan pencemaran nama baik. Wanita itu bertepuk tangan sambil memasang wajah senyum sinis. "Hebat juga, ya?!""Harus, dong!""Tapi ya, meskipun kamu bebas saya pastikan Mas Antony juga akan be
"Minta bantuan apa, lagi?""Kamu ma-mau jadi saksi aku lagi? Masa aku dituduh pencemaran nama baik?" Ervin berfikir panjang lagi. Permasalahan mantan pacarnya itu masih belum usai. Pada saat itu juga, Ervin melontarkan kalimat yang cukup menyudutkan riuh rumah tangga. Ia memberikan pilihan lain, yaitu menjadikan mertua sebagai saksi. Tapi, tentu saja hal itu ia tolak. Ibu Mertuanya itu justru berpihak pada Antony."Sebentar, Vin. Kita via chat aja gak enak.""Lah, beliau pasti ada di pihak Antony. Kamu mau aku celaka?" lanjutnya. "Bukan begitu juga, tapi kalau orang yang tahu semuanya pasti orang terdekat. Bukan aku, kan?""Yaudah, maaf sudah merepotkan. Kupikir kamu bersedia membantu. Salam buat Neira, ya!""Iya, gapapa. Tapi, percayalah kamu bakalan menang. Mengingat bukti pencemaran nama baik itu nihil. Sedangkan suamimu sudah jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan." Aurora tertunduk dan menatap isi ruangan yang sudah dipantau polisi. Ia sesekali menoleh ke belakang
"Siapa ini?"Aurora membalas pesan itu secara langsung. Namun, tak ada tanda pesan itu terbaca. Yang ada hanya ceklis satu dengan foto profil kosong. Masih dalam kondisi memperhatikan seminar online, Aurora membuka tab baru untuk membuka salah satu web penyelidikan nomor telepon. Di sana, nomor itu terlihat baru. Tak ada tanda tautan nama mencurigakan. Bisa dibilang, tagar nama pemilik nomor itu tak ada. Namun, ada salah satu yang bisa ia tangkap. Yaitu, nomor misterius itu tinggal di sekitaran kota Jakarta. "Emang ada ya orang Kota kerjaannya iseng gini? Neror orang dengan berganti nomor." ketus Aurora. Dalam benaknya, kalau memang penipuan pasti takkan memberi kata sapaan cantik. Selain itu, sipengirim pesan juga seperti tahu apa yang sedang ia lakukan dan ia hadapi. Berusaha tenang, Aurora kembali fokus pada kelas online. Ia langsung disuruh untuk praktik kecil. Aurora diminta mencari partner yan cocok untuk ia ajak berbisnis. Dengan bermodalkan keberanian, ia mengh