***
Ceklek!
Pintu rumah terbuka. Putri yang memang menunggu langsung berdiri dari sofa dan berjalan ingin masuk. Sayangnya, Dina menghadang. Wanita itu menatapnya dengan senyuman miring.
"Gimana tidurnya? Nyenyak?" tanya Dina. Semalam.dia mendengar, hanya sengaja tidak membuka pintu, mengunci pun sengaja.
"Lumayan, Kak. Cuma banyak nyamuk. Permisi, Kak. Putri harus bersiap untuk kerja." Izin gadis itu lembut.
"Kerja?"
"Iya, Kak. Hari ini aku harus kerja karena sudah dua hari bolos."
"Kerja di mana?" tanya Dina.
"Di konter, Kak." Putri menjelaskan dengan sangat jelas. Berharap Dina segera memberinya jalan. Dia akan bersiap dengan cepat supaya tidak terlambat.
"Kamu bukannya kerja di rumah ini?"
"Iya, Kak. Aku selalu melakukan pekerjaan rumah tangga. Kerja di konter itu sebagai pengalaman."
***Dina dan Dira sarapan berdua. Makan sangat lahap dengan senyuman lebar. Puas sekali hati mereka setelah menindas Putri."Gue suka ide elo buat bakar surat-surat penting itu, Kak. Keren," Dira mengacungkan jempol."Yups, dengan begitu, dia ngga akan kerja di manapun. Dia itu babu kita. Hanya boleh kerja sama kita." Dina berucap dengan raut kemenangan."Bener. Belagu sih jadi benalu. Jadi, elo mau langsung ke butik apa gimana?" tanya Dira."Ke rumah sakit dulu. Gantian sama mas Radit. Dia pulang, berangkat ke kantor, nah, giliran kakak berangkat ke butik. Nanti, Putri yang gantian jaga Diana. Kakak sibuk banget ngecek barang masuk hari ini.""Kak, gue kok kadang bingung sama elo. Diana anak elo, tapi elo kadang ngga bersikap seperti mamanya. Seriusan Diana anak elo?"Dina terdiam sesaat. Kemudian menghela napas. "Diana anak kakak. Dia lahir dari rahim ka
***Radit telah berangkat kerja, menyisahkan Putri saja di rumah. Gadis itu berjalan ke kamar, menghampiri kopernya. Menarik tempat barang-barangnya itu. Kemudian berjalan pelan ke teras. Niat ingin pergi dari rumah masih ada, walaupun tidak sekuat tadi. Menurutnya pergi dari sini akan membuatnya hidup nyaman.Langkahnya berhenti karena ponsel dalam saku belakang celananya bergetar. Tumben ibunya menelepon pagi-pagi. Segera Putri terima tanpa berpikir panjang."Hallo, Bu. Assalamualaikum," ucapnya lirih. Putri memutuskan duduk di sofa teras."Waalaikumsalam. Kamu lagi ngapain?" tanya Amalia."Duduk, Bu. Di rumah.""Ngga kerja?""Udah engga, Bu.""Apa karena istri bos kamu marah-marah?"Alis mata Putri bertaut. Istri bos marah-marah? Maksud ibunya itu apa?"Tadi ibu
*** Ranti mengelus surai hitam milik Diana. Cucunya itu baru saja terlelap. Wajah damai anak Radit dan Dina itu menyentuh hatinya. Miris. Anak sekecil itu sakit dan tidak ada satupun orang dewasa yang menjaga. Ranti menghela napas. Satu jam yang lalu dia datang. Setelah mendapat kabar dari Radit tentang kondisi Diana, dia langsung memutuskan untuk membesuk. Saat masuk, dia mendapati Diana yang tengah berbaring dengan pandangan ke arah pintu. Melihatnya, cucunya langsung duduk, tersenyum dan memanggil. "Nenek!" Sembari merentangkan tangan. Meminta dipeluk. "Kamu sendirian, Sayang?" tanyanya sembari melepas pelukan. Menatap manis pada cucunya yang wajahnya masih terlihat pucat. Anggukan Diana membuat Ranti menautkan alis mata. "Papa pulang tadi pagi, Nek. Pamit mau berangkat ke kantor, karena ada meeting. Nanti, habis meeting pulang. Mama tadi pagi datang, gan
***Dina melirik tajam pada Ranti yang duduk di sisi Diana. Gara-gara mertuanya itu dia dapat marah dari suaminya. Wanita itu juga marah pada Putri yang tidak menuruti suruhannya untuk datang ke rumah sakit menjaga Diana. Ingin rasanya dia segera pulang dan memberi pelajaran ke adik tirinya itu.Dina menatap Radit yang duduk di depan. Suaminya itu masih menatapnya nyalang. Ini kali kedua Radit marah besar padanya."Mas, aku minta maaf. Janji ngga ulangin lagi," ucap Dina memelas.Tadi, setelah mendapat telepon dari Radit, dia langsung ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Satu kalimat dari suaminya itu mampu membuktikan kalau pria itu sedang marah.Di perjalanan, Dina berpikir apa Diana keadaannya kritis? Atau, Putri mengatakan kebenaran kalau dia disuruh menjaga Diana, bahkan adik tirinya itu menceritakan semua hal buruk yang sering dilakukan padanya, makanya Radit murka. Nyatanya p
***Putri selesai memasak mie. Kali ini campurannya hanya telur. Makan dengan tidak berselera, pasalnya sambil memikirkan Diana. Bagaimana kabar keponakannya itu? Apa dia mencarinya? Biasanya, jika dia sedang makan, pasti gadis kecil yang imut itu meminta disuap."Apa jalan yang aku ambil ini tepat?" tanyanya pada diri sendiri. Meragukan kepergiannya dari rumah tepat atau tidak. Apa kakaknya akan murka mendapati dia tidak ada? Atau malah senang karena harapan mereka terkabul? Tetapi, bagaimana dengan perasaan Amalia tentang dia yang sudah mulai membangkang? Apa akan dianggap anak tiri durhaka?Uhuk!Putri tersedak. Dia langsung berdiri dan mengambil air minum di dispenser. Meneguk cepat. Kemudian menghela napas. Siapa yang sedang membicarakannya? Apa Diana? Dua kakaknya atau ibu?Putri melihat ponselnya di atas kasur, samping bantal. Gadis itu menghampiri benda pipih yang dinonaktifkan itu
***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b
***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih
***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda
***"Ibu besok mau pulang ya Nak Radit," ucap Amalia saat mereka semua, Dina, Dira, Diana, dirinya dan Radit tengah makan malam bersama."Kok cepat, Bu? Baru juga seminggu," ucap Radit menatap mertuanya."Udah kelamaan ibu di sini. Diana udah sehat, ibu punya tanggung jawab di kampung. Jadinya harus pulang." Amalia menatap Diana yang sedang makan dalam diam."Kalau gitu besok Radit antar ke terminal," ucap Pria itu setelah minum air mineral. Dia sudah selesai makan."Iya. Makasih, Nak." Amalia tersenyum manis. Kembali melahap makanannya.Dina dan Dira, dua wanita itu tidak ada respon apapun tentang momen izin pamit ibunya. Terlalu fokus menikmati makanan lezat yang terhidang di atas meja."Diana, mau nambah, Sayang?" tawar Radit.Diana tidak menjawab. Namun, gadis kecil itu menggeleng.Radit menghela napas. Semenjak pulang
***"Pa, aunty Putri belum datang?" tanya Diana. Rasa rindu dua hari tidak bertemu sudah tidak bisa dibendung lagi."Belum, Sayang. Sebentar lagi. Mungkin masih di jalan. Sabar, ya." Radit mengusap puncak kepala anaknya. "Papa cari makan dulu, ya? Diana mau makan apa?" tanyanya."Terserah Papa aja.""Ya sudah. Papa keluar dulu. Kamu sama Mama."Diana mengangguk. Gadis yang duduk bersandar di bantal itu tersenyum manis pada Papanya.Radit membalas senyuman anaknya itu. Pria itupun berdiri dan berjalan ke pintu. Namun, menghentikan langkah dan menoleh ke arah sofa. Melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya."Di, titip anakku," ucap Radit yang sukses mengambil perhatian Dina wanita itu menatap ke arah suaminya yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Alis matanya bertaut. Titip anakku? Bukannya Diana juga anaknya? Aneh sekali suaminya.
***Putri mengajak Tama ke rumah sakit lagi. Kali ini dia ingin melihat sendiri alias mengintip, memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja."Kita ngga bawa buah tangan?" tanya Tama. Mereka baru saja sampai di parkiran."Ngga usah, Mas. Cuma pengen liat aja. Habis itu pulang." Setelah berbicara, Putri keluar dari mobil, begitu juga Tama."Elo sayang banget sama dia, ya."Putri mengangguk setuju. "Diana itu adalah teman pertamaku di kota ini, Mas.""Kalau gue yang keberapa?" tanya Tama iseng.Putri menoleh. Kemudian tersenyum lebar. "Mas yang ke tiga. Pertama, Diana. Kedua itu mas Radit."Tama mengangguk. "Oke. Ya udah, ayo kita masuk," ajaknya."Ayo, Mas." Putri mengangguk dan mereka berdua pun beriringan berjalan masuk ke bangunan rumah sakit."Kalau elo ketahuan?" tanya Tama.Putri
***Tama menjemput Putri setelah menelepon. Sesuai janji semalam, mereka menuju ke toko pakaian bayi. Masuk beriringan dan kini berhadapan dengan berbagai pakaian bayi yang terlihat imut tersusun rapi di rak."Kalau adik Mas Tama beneran perempuan, pakaiannya yang ini aja, imut." Putri menunjuk setelan baju tidur bergambar panda."Boleh." Tama mengambil dua lembar. "Yang mana lagi yang bagus?" tanyanya."Ini juga bagus." Putri kembali menunjuk. Namun, kali ini jaket bulu warna pink. "Ini, ini dan ini." Gadis itu sekarang bukan hanya menunjuk, tetapi sudah mengambil topi, sepatu, kaos kaki yang menurutnya imut dan itu mengundang senyum Tama."Aku ambil troli dulu," ucap Tama dan Putri mengangguk. Gadis yang ditinggal itu kembali mengambil satu jaket lagi dan beberapa topi dan kaos kaki."Put," panggil Tama. Pria itu sungguh cepat. Kini sudah berada di belakang Putri bersama
***Radit mengecup kening Dina yang cemberut, setelahnya pria itu keluar dari ruangan anaknya, pulang ke rumah untuk bersiap berangkat kerja. Ada meeting penting yang harus dihadiri dan berjanji setelah selesai, akan langsung menemui Diana lagi."Ma, mau pipis." Diana berkata pada Dina yang berada di depan pintu. Walaupun kesal, wanita itu tetap mengantar kepergian suaminya dan mengiyakan saat pria tercinta mengatakan untuk baik-baik menjaga anak mereka."Mama mau cari makan. Kamu pipis sendiri saja." Dina masuk kembali ke ruangan hanya untuk mengambil ponsel dan tas selempang, setelahnya berjalan keluar. Kekesalan tadi malam masih berefek sampai pagi ini dan melihat Diana, membuatnya teringat Bagas, ayah biologisnya yang seenaknya meninggalkannya saat sedang mengandung dan sekarang datang disaat dia sudah move on juga bahagia. Menurutnya, sifat anak dan bapak itu sama aja. Sama-sama menyebalkan.***
***"Kak Dina belum masuk ruangan?" tanya Putri saat dia kembali dari toilet."Belum? Emang dia ngga ada di dalam?" tanya Mita yang heran dengan pertanyaan Putri."Tadi hampir ketemu di toilet. Untung cepat sembunyi," ucap Putri."Kenapa harus sembunyi?" tanya Tama. "Hadapi aja. Kalau perlu bantuan, gue bantu."Putri tersenyum. Entah dengan cara apa berterima kasih dengan pria tampan ini. "Bukan sekarang. Keadaan masih panas. Sekarang Mas Tama masuk dan serahin boneka serta makanan itu. Aku sama Mita tunggu di mobil.""Ya udah." Tama mengangguk. Kemudian segera berjalan ke ruangan Diana. Sedangkan Putri menarik tangan Mita menuju parkiran.**Tama mengetuk. Kemudian membuka pintu perlahan. Matanya langsung beradu dengan mata Radit, setelahnya Diana."Selamat malam, Mas, Diana," ucap Tama ramah."Om baik,"
***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda
***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih
***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b