Setelah insiden jatuh dari tangga, mungkin karena masih ada rasa takut yang tersisa, Adele jadi sangat manja dan terus saja berada di pelukanku selama satu harian penuh. Aku jadi harus berada di dekat Adele setiap saat, dan itu membuatku merasa sedikit cemas. Harry pun tingkahnya tak jauh beda dengan seekor rubah yang licik. Dia tidak memberikan ruang bagiku sedikit pun untuk mencari petunjuk. Dia selalu berangkat dan pulang kerja tepat waktu, tidak ada satu pun kejanggalan yang bisa kutemukan pada dirinya. Semua barang yang dia bawa pulang pun tidak memberikan petunjuk apa-apa. Terkadang, aku jadi heran apa mungkin aku sendiri saja yang berhalusinasi.Siang hari itu dengan susah payah aku berhasil membuat Adele tertidur pulas. Aku menyadari di rumah ternyata sudah tidak ada buah apa pun yang tersisa. Melihat Adele tidur begitu pulas, aku memutuskan untuk pergi ke pasar sebentar.Lokasi pasar dengan rumahku sangat dekat. Aku buru-buru mengganti baju dan keluar, dan pulang secepat mungk
Saat aku mendengar si resepsionis menyapa “Ibu”, aku langsung berbalik untuk melihat bagaimana Fanny akan menghadapiku. Berani-beraninya dia menyamar sebagai diriku selama ini. Namun ketika mataku melintas sekilas, orang yang awalnya kukira Fanny ternyata adalah Jasmine.Dia berpakaian dengan sangat fashionable, dengan warna baju yang terang dan rambut panjang berwarna kecokelatan dibuat agak ikal sebahu. Wajahnya yang kecil juga dirias dengan sangat cantik, membuat tampang aslinya yang tidak seberapa jadi terlihat sangat menggoda. Dengan anggun dia berjalan mendekat dengan senyum angkuh di wajah. Saat dia baru ingin berbicara, dia melihat aku yang saat itu sedang berbalik. Seketika menatapku, bola matanya langsung menciut dan tubuhnya terdiam di tempat seperti dipaku. Dia jelas tidak menyangka aku akan muncul di tempat ini.Aku tersenyum geli melihat situasi ini. Harus kuakui dari penampilan kami berdua saat ini, memang Jasmine-lah yang lebih cocok disebut sebagai istrinya Harry, dan
Kami berdua tidak berbicara selama berada di dalam lift. Jasmine terus menunduk selama lift membawa kami ke atas, dan aku pun malas untuk meladeninya. Dia sudah terlalu dimanja oleh Harry, tapi aku tidak akan melakukan hal yang sama.Setibanya di ruang kantor Harry, rupanya dia memang benar-benar sedang rapat. Seorang bawahan memanggilnya, dan dia terlihat kebingungan melihat aku datang berduaan dengan Jasmine. Bola matanya menatap ke arah kami berdua, lalu berhenti padaku, “Kamu kenapa ….”“Aku bikin kamu malu, ya? Apa aku perlu pakai baju bagus-bagus cuma untuk pergi ke pasar?” selaku. “Cepat kasih kunci rumah, Adele masih tidur.”Harry langsung kembali ke mejanya dan memberikan kuncinya padaku, “Bukannya aku sudah bilang minta Jasmine antar kuncinya ke kamu?”Aku mengambil kuncinya dari Harry dan menatap Jasmine,”Dia mana punya waktu untuk ngantar kuncinya. Dia lagi sibuk perjalanan kemari berlagak jadi aku. M kamu jelasin, tuh, sama ‘istri’ kamu. Kamu ini jadi kakak benar-benar lem
“Kamu kenapa?” tanya Harry “Kecapekan? Gimana kalau kamu tiduran saja sebentar. Aku nggak balik ke kantor lagi, deh. Biar aku yang jagain Adele main.”“Iya, mungkin aku terlalu cape. Kalau begitu titip Adele, ya. Aku mau tidur sebentar. Jangan lupa kasih makan juga, di dapur sudah nggak ada apa-apa!”“Oh, oke! Kamu tidur saja sana, kamu bangun nanti aku ajak kalian berdua pergi makan di luar!”Lantas, aku pun masuk ke kamar tidur dan berbaring di atas kasur, dengan napas yang tidak beraturan dan air mata berlinang. Tampaknya memang ada sesuatu dengan dua kunci itu, makanya Harry buru-buru pulang untuk mengambil kuncinya kembali. Dia pulang sama sekali bukan karena mengkhawatirkan Adele.Yang namanya pria kalau sudah selingkuh, hati nuraninya pasti sudah menghilang entah ke mana. Bisa saja kunci itu adalah kunci untuk mengakses rumah selingkuhannya. Spontan aku langsung terpikir tentang Fanny. Pekerjaannya sedang sangat maju selama dua tahun ini dan dia tidak lagi tinggal bersama denga
James adalah supervisor di bagian marketing perusahaanku. Begitu melihat kedatangan kami, dengan antusiasnya dia bermain dengan Adele sambil memesankan makanan untuk kami. Bergabungnya James di perusahaan bisa dibilang menggantikan posisiku dulu.Awalnya akulah yang merekrut James, dan dia terus bekerja di bawahku selama satu tahun lebih. Divisi marketing saat itu hanya diisi oleh lima orang. James yang baru saja lulus kuliah memiliki beberapa ide segar dan memang berbakat di bidang ini. Dia punya kemampuan berbicara yang bahkan mampu membuat orang mati hidup kembali.Setelah aku mulai mengandung, James-lah yang menggantikan posisiku sebagai kepala divisi, dan dia juga mendapat didikan langsung dari Harry. Sekarang, bisa dikatakan dia adalah tangan kanannya Harry.Sepertinya James sudah langganan di restoran ini. Ketika melihat kami datang, dia langsung mencari manajer restoran ini dan memesankan ruangan khusus.Jasmine juga tampaknya cukup akrab dengan James. Saat sedang memesan makan
Suaranya terdengar aneh seperti diseret-seret, dan terdengar mirip dengan ….Saat aku membuka pintu bilik untuk keluar, aku mendengar suara seorang pria yang berkata, “Akhirnya dapat juga kamu, aku kangen banget!”Aku sontak tercengang karena itu adalah suaranya James. Aku pun menarik kembali tanganku dan tidak jadi keluar. Tak disangka-sangka ternyata James cukup berani juga. Padahal dia sudah punya istri yang luar biasa, tapi dia masih saja menyeleweng. Sepertinya yang namanya lelaki itu memang tidak pernah beres.“Jangan dekat-dekat! Kalau kamu kangen aku, kenapa kamu masih mikirin orang lain? Tadi di depan kamu ramah begitu, tapi kenapa kamu nggak pernah sebaik itu sama aku? Masih bilang aku penting di hatimu pula! Cih, kenapa aku baru sadar sekarang kalau kamu itu cuma mulutnya yang manis!”“Mana ada, kamu saja yang jago godain orang lain …. Sini, kucium … aku ….”Suara James terdengar sangat keras dan lantang, membuatku yang mendengarnya saja jadi malu.“Tadi itu bosku, mana mung
“Kak Maya jangan nggak tahu diri, ya! Kamu masih nggak sadar betapa baiknya kakakku ke kamu? Kamu bisa hidup santai setiap hari tanpa kerja itu berkat kakakku yang banting tulang kerja keras sendirian di luar sana. Punya hak apa kamu ngomong begitu?”“Lho, kenapa malah jadi kamu yang sewot? Sejak kapan kamu boleh ikut campur kalau aku lagi ngomong sama Harry?” balasku.“Aku ….”“Aku apa?! Memangnya kenapa kalau aku nggak kerja? Kayaknya kamu sendiri juga tersinggung dibilang pengangguran, ya? Pantas saja kamu bangga banget setiap hari datang ke kantor untuk ngerasain kayak apa rasanya jadi ibu bos. Pasti enak, ya?”Aku menatap lurus Jasmine dengan sorot mataku yang tajam. Tampaknya selama ini aku terlalu baik sampai Jasmine berani kurang ajar padaku.“Kakak kamu banting tulang sendirian? Coba tanya dia apa dia berani ngomong begitu ke aku? Aku yang ke sana kemari menemani klien minum sampai lambungku berdarah. Nggak tahu kamu? Atau memang kamu sekeluarga nggak ada yang tahu? Kakakmu s
Adele sudah tertidur sebelum kami sampai di rumah. Begitu mobil terparkir dengan baik, Harry turun dan menggendong Adele masuk ke dalam kamar tidurnya. Aku juga langsung mandi sehabis menyelimuti Adele.Tiba-tiba ponsel Harry berbunyi, spontan aku melirik sekilas sebelum bunyi itu terhenti. Namun aku tahu Harry tidak mungkin mengangkat telepon itu di hadapanku. Aku mengambil baju tidur dan ponselku masuk ke dalam kamar mandi. Aku menyalakan air dan diam-diam mengintip ke luar melalui celah pintu. Sambil memperhatikan suara di luar, benar saja, aku dapat mendengar suara Harry yang sedang berbicara dengan suara lirih.Aku langsung menghubungi nomor Fanny, tapi yang kudapat adalah nada sibuk. Benar dugaanku, sepertinya Harry sedang berbicara dengannya. Aku langsung naik pitam sampai tanganku gemetaran. Di bawah pengaruh amarah itu aku mandi dan langsung keluar dari kamar mandi. Harry yang mendengar suara dari dalam kamar mandi langsung menutup panggilan dan pergi ke balkon berpura-pura si
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung