Perkataan Darko membuat Zaver menegang. Apakah pria lusuh ini tahu sesuatu?
"Apa maksudmu hah?! Jelas-jelas tadi Zaver yang menyelamatkan ayah. Kau sejak tadi kan hanya diam saja!" bentak Rosa kesal.
Darko hanya tersenyum kecil. Ia menatap Angeline yang sedari tadi seakan 'menyelidiknya'.
"Kau tahu apa memangnya dukun? Pakaianmu yang lusuh itu sudah mencerminkan pengetahuanmu, kamu tahu itu tidak?!"
Zaver yang terpancing langsung menyerangnya. Ia tak mau momentumnya dirusak oleh pria miskin di depannya ini.
"Bukan begitu, aku tadi hanya melihat kau menekan-nekan titik-titik yang tidak jelas. Jadi, menurutku tuan Abimayu pulih bukan karena apa yang kau lakukan!"
Mendengar perkataan Darko, wajah Zaver memerah. Bagaimana pria miskin ini tahu apa yang terjadi sebelumnya? Apa dia memahami teknik kedokteran?
"Kak Darko, aku tadi melihatmu..."
Belum sempat Angeline menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba dari pintu muncul beberapa keluarga besar Wibisono.
"Bagaimana keadaan anakku? Apakah dia baik-baik saja!"
Tiba-tiba seorang nenek tua, ditopang beberapa laki-laki, muncul dari balik pintu masuk rumah itu.
Pada saat semua orang tengah menangani dan fokus pada Abimayu, Rosa menelpon mertua dan keluarga besarnya untuk datang dan melaporkan keadaan Abimanyu.
Rosa pun langsung memeluk mertuanya itu seraya sesenggukan.
"Nenek, selamat datang...Ayah sudah pulih, dia hanya butuh istirahat."
"Syukurlah kalau begitu, aku tadi meminta paman Rinto untuk cepat-cepat sampai. Aku takut tak sempat bertemu anakku itu! Siapa yang menyelamatkannya?"
Zaver pun berdehem, dia langsung maju satu langkah dan memperkenalkan diri.
"Nyonya besar, saya Zaver, dokter keluarga ini. Tadi saya cukup kesulitan menangani tuan Abimayu, namun akhirnya saya bisa memulihkannya."
Semua orang memandang Zaver dengan antusias. Seorang penyelamat keluarga Wibisono!
Setelah mendapatkan puja-puji yang tak seharusnya ia terima, Zaver pun undur diri dari sana. Sekali lagi, ia menatap Angeline yang menghindari kontak mata dengannya.
Darko hanya menatapnya dengan jijik. Pria yang mengaku-ngaku itu tidak punya potensi sama sekali menjadi seorang dokter!
Abimanyu yang sudah dipindahkan ke sofa masih belum sadarkan diri. Namun, nafasnya sudah normal dan hanya menunggunya pulih kembali.
Setelah Zaver pergi, Angeline pun langsung menyalami neneknya itu dengan takzim. Begitu juga Zaver, yang padahal hanya dokter keluarga tersebut.
Widya Martono adalah neneknya Angeline, setelah menikah dengan Agung Wibisono maka secara otomatis sekarang nama panggilannya adalah nyonya besar Wibisono.
Nyonya Wibisono atau neneknya Angeline sebenarnya sangat sayang kepadanya, dikarenakan dia merupakan cucu wanita satu-satunya dan juga cucu kesayangan almarhum Agung Wibisono.
Dikarenakan bujukan anak sulungnya yang bernama Rinto Wibisono, sehingga nyonya besar menyetujui sarannya untuk memutuskan perjodohan yang dilakukan almarhum Agung Wibisono dengan seseorang dari ibu kota negara.
Dan sejauh ini mereka juga tidak tahu serta belum mendapatkan kabar lebih lanjut dari calon besannya hingga Agung Wibisono meninggal. Akhirnya Widya menyetujui saran anak sulungnya.
Tentu saja Angeline yang sangat menyayangi almarhum kakeknya sama sekali tidak setuju dengan rencana keluarganya. Meskipun dia belum pernah bertemu dengan pria yang dijodohkan oleh kakeknya, akan tetapi dia juga sudah melihat wajah calon suaminya dari foto yang di berikan oleh Almarhum Agung Wibisono.
Darah patriotik dan ketegasan seorang tentara menurun di tubuh Angeline dari kakeknya, membuat pemikirannya sangat tegas serta menjunjung tinggi janji yang sudah di ikrarkan.
Sesampainya di Rumah Abimayu seluruh anggota keluarga sudah berkumpul. Semua orang memandang ke arah Angeline yang hanya menunduk dari tadi.
Melihat cucu perempuan satu-satunya yang cantik menyalaminya, Widya tersenyum lebar dan langsung mengusap rambutnya.
“Kamu kelihatan tambah cantik saja? Cucu nenek memang anak yang baik.”
Nyonya Widya memuji kecantikan Angeline, seketika semua orang pandangannya fokus ke arahnya.
Wajah penuh dengan kemenangan dan kebahagiaan tergambar jelas di wajah keluarga Wibisono. Hanya Rosa Widodo, ibunya Angeline yang terlihat datar melihat kearah Angeline.
Darko sengaja berdiri tak jauh dari mereka, dia tidak langsung datang memperkenalkan diri. Memperhatikan semua anggota keluarga Wibisono dari kejauhan.
“Jangan lupa nanti malam acara pertunangan kamu di hotel Shantika, kamu harus tampil yang cantik. Jangan buat malu nenek dan keluarga kita,” ucap nyonya besar Wibisono sambil memegang kedua tangan Angeline.
Angeline tidak menjawab perkataan nyonya besar, dia hanya menundukkan kepalanya dan matanya menatap lantai keramik berwarna putih di bawahnya.
Jantung Angeline berdebar sangat kencang, tentu saja dia tahu tujuan ucapan nyonya besar. Dikarenakan hal inilah dia sudah membulatkan tekad untuk menikah tanpa disaksikan keluarganya dengan Darko.
“Nenek, saya tidak bisa datang…”
Angeline berkata dengan lirih sambil menundukkan kepalanya, dia sama sekali tidak berani menatap wajah nyonya besar yang ada di hadapannya.
“Apa yang kamu katakan?”
Angeline terdiam mendengar cecaran neneknya itu.
“Apa yang kamu katakan?! Kamu sekali-kali jangan pernah membuat malu keluarga Wibisono!”
Mendengar perkataan pamannya itu, Angeline langsung menatap neneknya.
“Nenek apa lupa dengan pesan kakek sebelumnya?”
“Pesan kakek? Memangnya kakek pernah pesan apa?”
"Kakek telah menjodohkanku dengan pria pilihannya!"
Nyonya besar nampak tertegun untuk sesaat, kemudian menatap ke arah Rinto yang tak jauh darinya, saat Angeline mengingatkan perjodohan itu, tentu Rinto juga mendengarnya.
Bahkan Rinto sangat tahu dengan perjodohan yang diatur almarhum tuan besar Agung Wibisono, hanya saja dia sangat serakah dan ingin memanfaatkan keponakannya demi keuntungannya sendiri.
“Nenek, nenek tahu sendiri betapa sayangnya kakek semasa hidupnya terhadap Angeline. Apa nenek ingin Angeline menjadi cucu yang durhaka dan mengingkari perjodohan yang sudah di atur kakek? Bagaimana marahnya kakek di surga saat mengetahui Angeline tidak menuruti apa yang sudah beliau atur untukku.”
Angeline menatap wajah nyonya besar setelah mengingatkan akan pesan almarhum kakek Agung Wibisono.
“Sudahlah kalau kamu memang ndak mau dengan perjodohan yang diatur Rinto,” ucap nyonya besar setelah terdiam untuk beberapa saat sambil melirik kearah anak sulungnya.
Wajah Rinto seketika menggelap mendengar perkataan nyonya besar, dia tahu selain keuntungan yang sudah di depan mata akan hilang, dia juga akan di maki oleh Boss Norman Bagyono yang dijodohkan dengan Angeline.
“Rinto! Kamu batalkan acara nanti malam, tunggu hingga Angeline bersedia membatalkan perjodohan yang diatur kakek Agung.”
Angeline nampak tertegun mendengar ucapan nyonya besar Widya kepada paman Rinto. Dia sama sekali tidak mengerti, kenapa nyonya besar berkata seperti itu.
Sementara itu Rinto yang mendengar perintah nyonya besar untuk sesaat menjadi bingung, dia tidak mengerti kenapa nyonya besar malah memerintahkan dirinya untuk membatalkan acara pertunangan nanti malam.
Akan tetapi setelah di perhatikan perkataan nyonya besar, dia seketika itu juga tahu, kalau di balik perintah itu nyonya besar juga masih mengharapkan perjodohan yang diatur dirinya.
“Baik bu, saya akan membatalkan reservasi hotel dan mengabari keluarga Bagyono,” sahut Rinto dengan wajah murung, meskipun dia sedikit kesal dengan penolakan Angeline akan tetapi dia tidak berani menampakkannya di hadapan nyonya besar.
Lalu, tiba-tiba Angeline langsung berjalan menghampiri Darko. Pria yang sejak tadi tak digubris sama sekali oleh keluarga itu.
“Nenek, perkenalkan. Ini kak Darko, suami Angeline."
Suara Angeline nampak bergetar, dia sedang menguatkan diri untuk menghadapi kemarahan nyonya besar dan keluarganya. Karena pria yang dia pilih ternyata tidak selevel dengan keluarga mereka.
Benar saja seperti dugaannya, wajah semua orang langsung terlihat keruh. Apalagi wajah nyonya besar kini terlihat menggelap menahan amarah.
“Siapa?!!... Suami kamu…?!”
Nyonya besar berteriak tidak percaya sambil menatap kearah Darko serta Angeline. Dia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan cucu kesayangannya ini. Rinto dan yang lainnya juga tidak percaya dengan apa yang dikatakan Angeline, saat memperkenalkan Darko sebagai suaminya. “Angeline!! Jangan bercanda kamu…! Berani-beraninya kamu bercanda di depan nenek dan kami para orang tua?!” Rinto menghardik Angeline, wajahnya memerah pertanda kalau dia sangat marah dan tidak percaya dengan omongan keponakannya ini. Sedangkan Rossa nampak sedang menahan nafas, melihat Angeline datang bersama Darko. Dia sudah bisa menebak, tak lama lagi pasti ada badai di depannya. Dia hanya bisa menatap Angeline dan Darko dengan perasaan kasihan. Rosa tidak terlalu memihak antara pilihan anaknya maupun pilihan kakak iparnya, dia sebenarnya lebih mendukung pilihan anaknya. Akan tetapi sejak melihat kondisi Darko yang terlihat miskin, dia pun hanya bisa diam meskipun
Sekarang tinggal Angeline dan ibunya saja yang berada di rumah. Rosa menghela nafas lega, seakan gunung yang menghimpit tubuhnya sudah terangkat. Sedari tadi dia diam saja tidak berani berbicara dan mencampuri percakapan nyonya besar dengan Angeline. Setelah suasana mulai sedikit tenang, Rosa mulai bertanya lagi tentang Darko. Akan tetapi Angeline tidak ingin beradu argumen dengan ibunya lagi, ia terlalu lelah untuk melakukannya lagi. Angeline pun pergi ke kamarnya yang ada di rumah megah itu, meninggalkan Darko yang masih berdiri di sana. Demi mengusir rasa bosan, Darko berjalan ke luar rumah untuk berjalan-jalan sebentar. Setelah mengambil uang di ATM terdekat, ia pun pergi ke pusat kota tersebut menggunakan taksi. Akhirnya taksi pun berhenti setelah sampai di jalan komersil, di jalan ini sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah gedung-gedung pencakar langit. Setelah meminta sopir taksi untuk menurunkannya di pinggir jalan, Darko mulai berja
Sedangkan Tono yang berdiri di belakang manajer Yadi, semakin kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Kemudian Tono menyentuh tubuh manajer Yadi dengan pelan sambil berkata, “Bosss, Boss…” Tono semakin tidak mengerti meskipun dia sudah memanggil manajer Yadi berulang kali dan sudah menepuk tubuhnya, manajer Yadi sama sekali tidak menyahut maupun bergerak. Tono semakin kebingungan,sementara itu manajer Yadi yang di panggil Tono ingin berteriak minta tolong, akan tetapi dari mulutnya sama sekali tidak terdengar satu patah katapun. Kepala manajer Yadi seakan mau pecah, rasa takutnya semakin menjadi di karenakan antara otak dan tubuhnya tidak sinkron. Tubuhnya sama sekali tidak mau menuruti kehendak otak. Bibir manajer Yadi seperti mau bergerak akan tetapi hanya bola matanya saja yang berputar-putar di penuhi rasa panik. Tubuh manajer Yadi benar-benar kaku berubah menjadi sebuah patung manekin. Tono kemudian berteriak ke arah Darko,”Apa yang kamu
"Baiknya kita apakan orang kampung itu?" ucap temannya sambil memegang kemudi mobil sportnya. "Bagaimana kalau kita beri pelajaran, sepertinya pemuda miskin itu bukan berasal dari kota ini. Mungkin dia baru datang dari kampung sehingga tidak mengenal kita para tuan muda dari keluarga kaya di kota Mandiraja?" "Okey, ayo kita beri pelajaran orang itu."Mobil sport berhenti di depan Darko, teman-teman tuan muda yang memakai mobil sport merah inipun ikut berhenti ketika melihat mereka menghentikan kendaraannya. Melihat ada mobil yang berhenti di depannya dan dari dalam mobil keluar dua pemuda berpakaian mahal yang menatapnya dengan tatapan menghina, seketika Darko mengernyitkan dahinya. Dia sama sekali tidak mengerti kenapa kedua anak muda ini menghalangi jalannya. Kedua pemuda kaya ini tersenyum penuh dengan expresi menghina mendatangi Darko, seakan yang mereka datangi adalah seorang budak hina. Darko menghentikan langkahnya menunggu mereka berdu
Setelah Darko selesai memberi peringatan, bayangan tinju berantai meluncur ke tubuh puluhan pemuda kaya yang sedang kelelahan setelah berulang kali menyerang ke arah Darko tanpa hasil. Bughh..!! Bughh..!! Puluhan tubuh melayang sejauh lima meter, tubuh para pemuda kaya ini melayang dari tempatnya berdiri dan satu persatu jatuh mencium tanah. Dari mulut mereka mengeluarkan seteguk darah setelah terkena tinju Darko di bagian perutnya. Melihat para tuan muda kaya yang terkapar di tanah, Darko sama sekali tidak peduli dia segera menghampiri Danang dan meletakkan kakinya di atas tubuhnya. Wajah Danang seketika memucat melihat kehebatan Darko, apalagi kini tubuhnya sedang diinjak salah satu kaki Darko tentu saja rasa takutnya semakin menjadi. "Apa yang akan kamu lakukan, cepat lepaskan saya?" Danang berkata dengan suara gemetar, meskipun dia tahu kalau dirinya sudah di kalahkan oleh Darko. Sebagai tuan muda dari keluarga konglomerat di kota Mandira
Keesokan paginya, Darko tinggal di rumah sendirian. Sedangkan Angeline pergi bekerja di perusahaan keluarga, demikian juga dengan kedua mertuanya juga pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksakan lebih intensive penyakit Stroke Abimayu. Karena bosan Darko kembali pergi jalan-jalan, dia tidak memperdulikan peringatan Angeline untuk tidak pergi kemana-mana. Saat mau keluar dari rumah, dia ditegur satpam yang menjaga di pintu gerbang. “Pak Darko, saya mendapat pesan dari nona Angeline untuk melarang bapak keluar.” Darko yang mau melangkah keluar dari pintu gerbang nampak mengernyitkan dahinya, dia menoleh ke arah Satpam Wenas dan menatapnya dengan tatapan tajam. Tentu saja Satpam Wenas sama sekali tidak takut dengan Darko, apalagi Darko hanya seorang menantu yang miskin dan tidak punya pekerjaan. Kemudian Satpam Wenas menghalangi jalan Darko dengan berdiri di depan pintu gerbang. “Minggirlah, jangan menghalangi jalanku,” ucap Darko pelan sambil
Kemudian Lusi segera berdiri di depan Darko dan melindungi pakaian pria yang akan di pegang. “Jangan sekali-kali menyentuh pakaian ini, kamu tidak tahu berapa harga jaket ini?!” Suara Lusi sangat mendominasi saat memarahi Darko, dia berpikir kalau pemuda miskin di depannya tidak tahu betapa berharganya pakaian hasil rancangan desainer Italy ini. Pakaian Tuxedo ini terbuat dari sutra tebal yang sangat langka, serta dijahit tangan oleh desainer dunia itu sendiri. Pakaian ini merupakan koleksi dan kebanggan toko pakaian bermerek ini. Darko menatap Lusi yang ada di depannya dengan ekspresi acuh tak acuh, ‘Apa mereka berpikir kalau dia tidak mampu membeli pakaian mahal ini’. “Memangnya, harga pakaian ini berapa? Kenapa tidak boleh dilihat?” “Dasar orang kampung, lihat, pakaian yang kamu kenakan? Berani-beraninya menyentuh pakaian mahal ini. Nyawamu dijual pun tidak bisa di gunakan untuk membeli pakaian ini!”Lusi berkata dengan gusar mendengar perkata
Darko keluar dari toko pakaian Versaci ini diiringi tatapan hormat semua karyawan, bahkan manajer Liana juga ikut menemani hingga pintu keluar toko. Setelah keluar dari toko Versaci, Darko melanjutkan jalan-jalan di SuperMall ini. Saat sedang berjalan santai di lantai empat, tiba-tiba terdengar teriakan dan jeritan histeris dari lantai bawah. Darko nampak penasaran kemudian dia menjulurkan kepalanya melalui pagar pembatas. Matanya segera menatap ke kerumunan yang ada dibawahnya, dia melihat ada anak perempuan berusia sepuluh tahun yang tergeletak tak sadarkan diri dan tubuhnya bersimbah darah. “Ada anak jatuh dari lantai tiga..!”Suara teriakan pengunjung SuperMall silih berganti membuat kewaspadaan Darko segera bereaksi, apalagi dia juga sudah melihat sendiri keadaan anak itu dari lantai empat. Darko segera menuruni eskalator dengan cepat melalui pegangan tangannya, melewati para pengunjung yang juga sedang turun. Sebelum tubuhnya sampai ke lantai tiga,
Bab 295. KEBAHAGIAAN “Jadi, siapa orang tua kak Darko?” Angeline berkata tanpa sadar. Padahal dia merasa malu untuk menanyakannya, akan tetapi apa yang keluar dari mulutnya adalah reflek saja karena dia tidak bisa menahan rasa penasarannya. George tidak marah mendengar perkataan Angeline, sebaliknya George malahan tersenyum kemudian melanjutkan perkataannya. “Orang tua Darko tentu saja kamu sudah mengenalnya dengan baik.” “Apa? Saya sudah mengenalnya?”Angeline berteriak tanpa sadar, saat tersadar dan merasa tidak sopan berteriak di hadapan mertuanya, Angeline langsung menutup mulutnya dengan tangan. “Maaf saya hanya terkejut saja. Tapi siapakah orang tua kak Darko, mana mungkin saya sudah mengenalnya.” “Orang tua Darko adalah Bu Siti.”George segera menyebutkan nama Siti dengan nada pelan sambil menatap wajah Angeline dan Darko silih berganti. "Mana mungkin bu Siti adalah orang tua kandung kak Darko?”Mata Angeline seakan mau keluar saat men
Bab 294. LATAR BELAKANG YANG MENGEJUTKAN Malam ini Angeline benar-benar menyerahkan diri sepenuhnya kepada Darko. Tentu saja Darko juga tidak menolak ketika Angeline berinisiatif untuk melakukan hubungan intim sebagai suami istri dengannya. Keesokan paginya wajah Darko tampak semakin bersemangat, kegundahan dan kegalauan yang mendera pikirannya sudah lebih berkurang. Sedangkan wajah Angeline tampak pucat dan terlihat seperti orang yang kelelahan. Maklumlah mereka semalam telah bertempur hingga semalaman. Bagi Darko yang seorang kultivator tentu saja tidak masalah jika dia melakukan hubungan suami istri semalaman tanpa henti. Hanya saja dia tidak tega melihat Tenaga Angeline kehabisan untuk melayaninya. Menjelang subuh barulah Darko menghentikan serangannya pada Angeline. Saat terbangun Darko tampak bersiul dengan penuh kegembiraan dan langsung berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tanpa menunggu Angeline terbangun
Bab 293. TIDUR SATU RANJANG DENGAN ANGELINE Setelah menerima laporan kapten pengawal, tuan besar George segera bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruang keluarga. Widyawati memandangi kepergian suaminya tanpa berusaha mencegahnya, karena dia tahu kalau George ingin segera bertemu dengan Darko. “Kalian kembalilah ke tempat kalian, nanti kalau saya membutuhkan bantuan kalian pasti kalian akan saya panggil.” “Baik nyonya.”Kapten pengawal dan kepala pelayan segera kembali ke tempatnya masing-masing. “Darko, kamu pergi kemana saja? Kami mencarimu sedari tadi kenapa tidak kelihatan?”George segera menyapa Darko, setelah melihat sosok Darko yang sedang duduk di teras paviliun. Darko yang sedang asik menikmati rokoknya segera menoleh ke arah sumber suara. Darko segera berdiri dan tersenyum ke arah george setelah mematikan rokok di tangannya. “Ayah…” George menatap wajah anak angkatnya dengan perasaan bersalah, sebagai seorang pria tua yang berpenga
Bab 292. GALAU TINGKAT LANGIT Darko merasa sangat galau tingkat langit menghadapi kenyataan yang dialaminya. Andai dia bisa memilih tentu saja Darko lebih suka selalu hidup di medan perang daripada menerima kenyataan ini. Kenyataan ini tidak bisa dikatakan manis maupun pahit, karena semua adalah kenyataan yang sebenarnya. Hanya saja setelah tahu bahwa dia hanya anak angkat, perasaan hutang budi kepada ayah dan ibu angkatnya menjadi sangat besar. Hutang budi ini melebihi kebaikan harus dilakukan oleh anak kandung kepada orang tua kandungnya. Karena sangatlah wajar dan seharusnya, anak kandung berbakti kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi saat ini Darko merasa tekanan yang harus dilakukan kepada kedua orang tua angkatnya seperti sebuah gunung yang selalu berada di punggungnya. Tentu saja Darko tidak bisa durhaka maupun melupakan budi baik yang diberikan George dan Widyawati yang selama ini merawatnya. Bahkan kalau bisa, dia tidak ingin
Bab 291. SEBUAH TEKAD Dalam sekejap sosoknya sudah muncul di tebing gunung yang dulu pernah dijadikan tempat berkemah. Tebing gunung ini terletak di perbatasan timur Nusantara, lebih tepatnya tempat dia berkemah dan membunuh seekor ular python. Tempat ini sangatlah terpencil serta pemandangannya sangat indah, dari atas tebing ini Darko bisa menatap ke arah lembah sejauh mata memandang. “Aaaa…. aaaa….aaaa….!!”Dengan lantangnya Darko menjerit sekuat tenaga melepaskan kegundahan dan ketidak percayaan pada dirinya. Gema teriakan Darko mengagetkan hewan-hewan liar yang ada di hutan serta menerbangkan burung-burung yang sedang mencari makan di antara pepohonan. “Tuhan… haruskan saya percaya dengan kenyataan ini? Orang tua yang begitu baik merawatku sejak kecil ternyata mengaku bukan orang tua kandungku?” “Tuhan…! Apa yang harus saya lakukan?” “Astagfirullahaladzim…. Ya Alloh, ujian apalagi yang Engkau berikan kepadaku?” “Kalau memang mereka berd
Bab 290. TEKANAN BATIN Angeline segera menjawab pertanyaan Widyawati, sambil tersenyum kearah Siti. Sementara itu Darko yang tidak terlalu menganggap penting kehadiran Siti, ekspresi wajahnya tampak datar saja. Jendral George dan Widyawati sepertinya juga mengerti, kenapa Darko bersikap datar kepada Siti. Yang pasti Darko belum menyadari kalau wanita paruh baya yang datang jauh-jauh dari negara Samanta ini, sebenarnya hanya mempunyai satu tujuan yaitu untuk menemui Darko sebagai anak kandungnya yang hilang dua puluh lima tahun yang lalu. Siti tampak tersenyum mendapat pembelaan dari Angeline. Tentu saja sebagai sesama wanita Angeline lebih peka dan tidak terlalu berpikir jauh dengan Siti. Apalagi mereka sudah menandatangani kerjasama antara dua perusahaan, sehingga sikap Angeline sebagai CEO baru, tentu saja sangat senang dengan kerjasama ini. “Maaf ayah, saya mau ke kamar dulu. Biar Angeline menemani kalian ngobrol.”Darko segera berpamitan
Bab 289. ANGELINE BERTEMU KEDUA MERTUANYA Widyawati tampak menghela nafas setelah melihat foto yang ada di dalam liontin, kemudian dia menyerahkan kalung perak itu kepada Siti. “Ternyata kamu memang orang tuanya Darko, akan tetapi lebih baik kalian melakukan tes DNA terlebih dahulu agar semuanya lebih jelas lagi.” “Benar apa kata istriku, kalian sebaiknya Tes DNA terlebih dahulu agar semakin jelas dan kuat hubungan diantara kalian.” Siti sangat terkejut mendengar saran dari kedua suami istri di depannya ini, dia tidak menyangka kalau seorang bangsawan seperti keluarga Mangkusadewo mempunyai hati yang begitu terbuka dan bisa menerima pengakuannya tanpa memarahi maupun menghalanginya. Memang, keluarga Mangkusadewo terkenal sebagai keluarga yang rendah hati dan suka menolong siapapun serta bersedia mendengarkan pendapat orang lain, meskipun sebenarnya pendapat orang itu merugikan dirinya. Sifat-sifat baik dari keluarga Mangkusadewo ini telah diturunk
Bab 288. FOTO MASA MUDA ORANG TUA KANDUNG DARKO Sementara itu Jendral George yang memperhatikan perubahan pada ekspresi wajah Widyawati hanya bisa tersenyum kecil dan bergumam. “Apa yang akan kamu lakukan setelah mendengar perkataan Siti, apakah kamu akan mempercayai begitu saja omongannya? Mana mungkin kita akan melepaskan Darko yang sudah mereka rawat sejak kecil dengan penuh kasih sayang, kepada wanita yang datang entah dari mana dan mengakui kalau Darko adalah anak kandungnya?” “Dari data yang ada di arsip mereka, saya di perlihatkan nama dan alamat rumah ini.”Sebelum Widyawati bertanya dan menyanggah perkataannya, Siti sudah melanjutkan perkataannya. Tampaknya Widyawati mempunyai sifat yang lebih sabar dan bisa menerima perkataan Siti. Meskipun belum seratus persen mempercayai, akan tetapi Widyawati masih bisa menerima apa yang dikatakan Siti. Widyawati ingin menggali lebih banyak informasi yang bisa di keluarkan Siti untuk membuktikan apa yang
Bab 287. TENSI MENINGGI Meskipun kesal karena dia tidak disuruh naik mobil Rolls Royce itu, Siti tetap diam. Karena yang jelas dia diizinkan untuk bertemu dengan tuan George Mangkusadewo. Dengan dikawal kapten penjaga pintu gerbang, Siti berjalan menuju Mansion yang jaraknya dua ratus meter dari pintu gerbang. Akhirnya Siti sampai juga di Mansion keluarga Mangkusadewo, di depan pintu Mansion dia sudah dijemput seorang pengawal bagian dalam. Kapten penjaga pintu gerbang segera menyerahkan tanggung jawab mengantar Siti kepada pengawal bagian dalam. Begitu memasuki Mansion, Siti sangat kagum dengan arsitektur dan furniturenya. Arsitekturnya gabungan dari arsitektur tradisional di gabungkan dengan arsitektur modern. “Tuan, tamunya sudah ada di sini.”Pengawal bagian dalam yang menerima Siti segera memberi hormat dan melaporkan kedatangannya. Jendral George Mangkusadewo segera menatap kearah Siti, dalam tatapan matanya terlihat kalau dia