Hari ini aku menjemput Arya ke terminal. Istriku--Arumi--sudah masak enak dan berbagai menu untuk menyambut adik iparnya yang sudah lama tak berjumpa.Lima belas menit kami sudah sampai rumah. Hari sudah mulai gelap. Dia naik bis siang jadi datangnya jam segini. Aku saja sampai salat magrib di musala terminal tadi menunggunya. Terlihat di depan pintu rumah ibu sudah menyambut anak lelakinya yang selama ini hidup jauh diperantauan."Alhamdulillah Arya, akhirnya kamu datang juga," capan sumringah ibu melihat Arya datang udah setahun lebih Arya tak pulang karena sibuk kerja di kota lain.Arya masuk mandi dan bergegas makan malam bersama kami. Setelah makan malam, karena waktu isya telah tiba kami berdua pergi ke masjid. Setelah pulang salat kami duduk di ruang keluarga bercengkerama mendengar cerita Arya.Di tengah canda-tawa kami Arya ingin mengatakan kalau dia ingin membicarakan sesuatu. Aku jadi teringat beberapa hari lalu memang Arumi mengatakan kalau kata Andini, Arya mau pulang in
Dua bulan kemudian Arya pun menikah kami semua hadir di acara pernikahannya di kota sebelah. Termasuk Kak Kia yang pada pernikahanku dulu dia tak betah berlama-lama hadir di acara.Habis acara kami langsung pulang sedang Arya dan istrinya akan menyusul bulan depan setelah semua di urus, kartu eluarga mereka dan lain sebagainya.Arya dan istrinya juga mau membuat usaha di sini jadi akan tinggal sementara di rumah ibu juga.Pada hari Arya datang membawa istrinya ibu telah mempersiapkan semua menu yang enak untuk menyambut menantu barunya. Arumi yang terlebih sibuk di suruh ibu mempersiapkan hampir semua masakan. Sebenarnya aku heran sama ibu dia sangat bersemangat sekali. Selalu begitu. Dulu Arumi pun diperlakukan seperti itu. Namun, setelah kami tinggal bersama. Habis hati Arumi babak belur di buatnya.Setelah lama menunggu Arya dan istri pun datang. Asti menyalami ibu dan kami semua. Kami kemudian makan. Setelah selesai makan Asti langsung mengumpulkan piring habis makan dan mencuci
(POV Arumi)Ibu demam, tidak tahu kenapa? badan ibu pagi-pagi panas. Aku membuat ibu sarapan bubur dan menyuapinya. "Ibu sarapan dulu, ya?" sambil mulai memyedok bubur dan menyuapkan pada ibu. Setelah aku aduk-aduk mendinginkannya dalam mangkuk.Ibu melengoskan wajahnya "Ibu gak mau!""Lo, kenapa Bu? Apa rasanya tak enak? 'kan ibu belum coba." ku berucap dengan kelembutan."Ah paling gak enak, ibu'kan tahu kamu buat sesuatu tak pernah enak." ku tak peduli dengan kata-kata ibu karena yang terpenting beliau sarapan supaya panas badannya tak makin menjadi. Lagipula aku sudah tahu kalau ibu bilang tak enak selalu akting, di belakangku lahap saja. Aku terus mencoba menyuap ibu lagi. Sampai beliau mau membuka mulutnya. Akhirnya usahaku berhasil ibu pun menganga. Akhirnya bubur lolos juga ke mulut ibu, buru masuk satu sendok bubur ke mulut beliau.Oek!Ibu memuntahkan bubur. "Apa ibu bilang! ini tak enak." Sambil tangan ibu melempar mangkuk ke lantai hingga bubur berserakan dan mangkuk peca
(POV Arumi)"Eh, wanita gak tahu diri! kamu di sini numpang ya! Num-pang! Jangan malah kamu yang sok kuasa di rumah ini ya!""Apaan sih kak. Datang-datang bukannya salam langsung marah-marah sama orang!""Eeh udah berani nyaut sekarang ya? Hebat!!""Aku gak nyaut nanti juga salah! tapi benar'kan kak? Aku gak tahu kapan kakak datang tetiba udah batantang-betenteng aja di depan kamarku." Aku hampir tak percaya kata-kata itu keluar dari mulutku. Mungkin perkataan Asti yang selalu ia tekankan padaku beberapa minggu ini sudah masuk alam bawah sadar. "Kalau ada orang yang marah-marah gak penting sama kita, menyalahkan kita padahal kita gak salah. Lawan!" Itu kata-kata Asti yang selalu terngiang-ngiang di telingaku sekarang. Hingga kata-katanya sudah mulai merasuk jiwa sekarang membuat aku berani menjawab amarah Kak Kia yang menurutku tanpa sebab. Sebenarnya diri ini bukan tidak berani. Berani! Cuma rasa tak enakan lebih menguasai diri. Aku yang sudah terbiasa selalu menjaga perasaan or
"Oya, Arya, Raga ... bilang pada istri kalian jadi adik ipar jangan kurang ajar. Jadi, mantu di rumah ini jangan sekongkol." Tiba-tiba Kak Kia berkoar ketika kami bertiga kakak beradik sedang duduk-duduk di ruang keluarga sedang makan camilan. Asti dan Arumi sedang ke pasar."Maksudnya, Kak?" tanya Arya."Masa mereka kemaren aku datang gak disuguhin apa-apa. Malah marah karena aku ganggu waktu tidur siangnya.""Masa sih, kak? Asti'kan gak tidur siang Kak, dia pergi sama aku habis itu pulang duluan. Mana ada dia tidur.""Iya kamu gak percaya sama kakakmu sendiri. Dia emang gak ada tidur, tapi ikut marah sama aku. Waktu aku menegur Arumi. Padahal aku negur Arumi baik-baik lo.""Oh iya, aku lupa ngasitahu Arumi kalau kakak mau datang." timpalku karena memang begitu adanya."Iya walaupun dia gak tahu aku mau datang, aku datang dibaik-baikin dong jangan malah marah-marah dan ngajak bertengkar hanya karena gangguin dia tidur siang."Raga memang melihat perubahan istrinya sekarang gak lagi
Bang Rendi menelfon ibu. Aku mendengar karena ibu kalau menerima telfon pasti suaranya di loudspeaker.Sebelum Bang Rendi sempat berbicara Ibu sudah memberondong dengan pertanyaan."Kenapa kalian, kok, gak main ke sini? Terus kenapa Kia gak dijemput udah lama juga dia nginap di sini." Ibu seperti curiga ada apa-apa diantara mereka. Feeling seorang ibu seperti alaram.Ya, siapa yang tak curiga Kak Kia yang biasa menginap selalu nunggu Bang Rendi cuti. Ini datang sendiri bahkan tanpa Intan anaknya. Bawa pakaiannya banyak lagi."Aku sudah yakin dia belum cerita sama Ibu, makanya sekarang aku telfon Ibu. Kia pergi sendiri dari rumah Bu, kenapa saya yang harus jemput? Hari itu kami bertengkar. Aku menegurnya terlalu boros sangat suka foya-foya, mengahabiskan uang dengan yang tidak jelas. Hanya untuk pamer. Apa salah aku sebagai suami menegurnya. Dia langsung marah dan mengamuk ambil koper membereskan pakaian dan pergi. Aku gak akan menjemputnya, Bu kalau dia sendiri tak pulang."Ooh terny
"Kamu kenapa Dek kenapa kau diam saja dari tadi memannya dari siang tadi kau kemana?" cerca Bang Raga melihatku datang sudah sangat sore, hampir Maghrib.Bang Raga masih memakai pakaian kantornya ketika dia berangkat tadi pagi. Kemeja biru dan dasinya sudah kelihatan tak beraturan dan dari raut wajahnya terlihat Bang Raga sangat cemas. Ah, apa benar cemas atau hanya akting belaka?Seperti yang tak terduga olehku selama ini. Tenyata Bang Raga menyimpan rahasia tentang wanita lain yang tak ku tahu. Bahkan Arya juga tahu. Apa yang dia sembunyikan dariku? Apa hanya itu? Atau banyak lagi rahasia yang lainnya?Bukankah suami istri itu satu tubuh. Yang berarti menyatu dan tidak ada yang harus dirahasiakan. Apabila yang satu ada rahasia yang lainnya juga harus tahu?Ada kecewa di hatiku pada Bang Raga. Aku berlalu begitu saja. Menyahutnya hanya dengan tatapan mata. "Aku kelimpungan dan sampai lelah mencarimu. Aku juga baru pulang ini. Karena kau keluar tak pulang-pulang tanpa kabar. Asti, ak
(POV Raga)Ternyata memang tidak ada yang boleh dirahasiakan dari istri, walau tujuan kita merahasian adalah untuk menjaga perasaannya. Rahasia yang ku tutupi tentang Diana. Berakibat seperti hari ini karena dia hanya tahu sepenggal, salah paham jadinya dan membawa bencana rumah tangga.Dirinya terlihat teramat sakit. Menurutku penyebab Arumi begitu, pertama karena salah paham dan dugaannya yang salah karena cuma tahu sepenggal, dua penggal. Kedua karena rahasia terbongkar bukan dari mulut suaminya sendiri. Jadi, dia bisa menyimpulkan kalau aku menyembunyikan sesuatu darinya dan tak jujur. Ketiga, hal yang paling penting adalah dia merasa dikhianati. Dikhianati aku dan adik iparnya --Arya. Karena seolah kami menutupi sesuatu mengenai perempuan lain di hadapannya.Padahal tak sedikit pun aku mengkhianatinya. Rupanya hari ini dia ke kantor dan kemungkinan besar dia mendengar pembicaraan aku dan Arya. Aku yang sedari sore panik mencarinya karena pergi tak berkabar yang kata Asti hanya b