94. KEHANCURAN DUA KELUARGA (Bagian B)"Bagaimana keadaan Ellen, Bu?" tanya Dewi sambil mendekat.Dia langsung bergegas duduk di samping Ajeng yang nampak membatu, matanya menerawang menatap kosong ke arah dinding. Matanya segera mengedar, demi menemukan Mai dan Rahman tengah berpelukan seolah tengah saling menguatkan."Man, bagaimana keadaan Ellen?" tanya Dewi lagi.Kali ini Dewi menodong Usman dengan pertanyaan, dan dia langsung mengernyit heran saat Usman menghela nafas berat dan menatapnya dengan pandangan sedih."Ellen selamat, dia sudah melewati masa kritis," kata Usman pelan.Dia lalu menatap dinding di depannya, ikut memandang kosong seperti para orang tua di sana. Wajahnya sangat tertekan dan juga diliputi banyak kabut kegelisahan."Kalau Ellen selamat, kenapa kalian nampak murung?" tanya Dewi heran. "Bukankah itu artinya adalah kabar baik?" tanya Dewi lagi tak mengerti."Hah …." Usman kembali menghela nafas berat."Tapi anaknya tidak bisa diselamatkan, keponakan kita tidak
Menantu Lemas, Ipar Panas, Mertua Lemas95. KRONOLOGI (Bagian A)Dewi yang melihat suaminya itu tergesa-gesa menjadi heran dan juga panik, ada apa? Ketakutan naik merayapi belakang kepalanya, namun dia juga tidak bisa melepaskan pelukannya pada Ajeng sekarang ini. Jadi Dewi hanya menatap Abdul, memberikan isyarat, bertanya ada apa. Namun reaksi Abdul cukup membuat dia bingung dan tambah panik, karena Abdul hanya menggeleng kecil dan tersenyum.Suaminya itu malah menuju ke tempat di mana Usman tengah duduk terpekur, dia berhenti tepat di depan Usman sehingga membuat Usman mendongakkan kepalanya."Man! Ayo ikut aku sebentar!" ajak Abdul sambil kembali memutar haluan, untuk kembali menjauhi tempat mereka. “Kita bicara di tempat lain!” kata Abdul sambil berjalan menjauh.Usman menghela nafas panjang, mengacak rambutnya sebentar, lalu bangkit dan mengikuti langkah Abdul. Karena sepertinya Abdul ingin mengatakan sesuatu yang penting, dan dia hanya berharap semoga apa yang akan suami Dewi i
96. KRONOLOGI (Bagian B)"Buruk, bahkan dokter belum keluar dari ruangan dari tadi, dia hanya keluar sebentar untuk mengabarkan, kalau benturan di kepala Galuh cukup parah, dan beberapa tulang di rusuknya juga patah," kata Abdul menjelaskan. “Dokter sudah melakukan pertolongan yang diperlukan, dan Allah yang akan menentukan semuanya. Kita hanya bisa berdoa pada Allah SWT,” kata Abdul lagi."Astaghfirullah, bagaimana ini semua bisa terjadi? Dan apakah sudah ada kabar mengenai yang menabrak mereka?" tanya Usman menahan kesedihan."Belum, walau desa kita adalah desa besar, dan banyak desa tetangga yang juga tidak kalah besar. Tapi, jalan masuk ke kecamatan hanyalah satu jalan, tidak ada jalan lain. Dan sudah di jaga oleh Marwan dan Sugeng, mereka bertindak cepat dengan melakukan hal itu," kata Abdul lagi. "Walau dia bersembunyi, tapi teman-teman Galuh itu sudah menyebar dan mencari orang-orang yang mencurigakan!" katanya lagi."Alhamdulillah, teman-teman Galuh bisa di andalkan," ujar Us
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas97. BERHARAP (Bagian A)"Astaghfirullahaladzim, yang bener, Dul?" tanya Usman dengan mata melotot. “Gila! Keluarga tidak waras!” ujar Usman dengan emosi."Iya, bener! Aku juga terkejut dengan hal ini," ujar Abdul pelan. “Aku tidak menyangka mereka mengambil kesempatan di dalam kesempitan seperti ini,” kata Abdul lagi.Mereka terdiam dan jatuh dalam keheningan. Saling menyelami pikiran masing-masing, penat akan segala hal yang telah terjadi hari ini. Belum siap mereka mencerna kabar buruk sudah datang kabar buruk yang lainnya."Dul, bagaimana ini? Tidak mungkin kita mengabarkan hal ini sama para orang tua, mereka pasti akan semakin shock," kata Usman pelan. “Aku takut hal ini akan menambah beban pikiran mereka,” lanjut Usman sambil menerawang, dia menatap ke depan sana dengan pandangan kosong.Tangannya menangkup kening dan memijatnya dengan pelan, wajahnya terlihat kusut dengan beberapa bulir keringat yang menggantung di sana."Ini juga yang ten
98. BERHARAP (Bagian B)Usman segera menggelar karpet di sisi ranjang Galuh, dan juga satu karpet di sisi ranjang Ellen. Setelahnya dia ikut membereskan makanan dan buah-buahan yang tadi dijinjing oleh Dewi."Istirahat, Bu!" pintanya pada Mai yang masih terlihat sangat sedih."Hah … Ibu ini tidak capek, Man. Tidak mengantuk juga, kalau bisa Ibu mau menggantikan posisi adikmu saja!" jawab Mai dengan nada getir."Mbak, ikhlaskan! Nanti sampeyan ikut sakit," kata Ajeng menepuk bahu Mai. “Jangan ngomong begitu, kita harus kuat!” ujar Ajeng tegas.Dia juga sedih, dia terpukul, dan dunianya juga hancur. Tapi semua sudah terjadi, dan tidak akan bisa diperbaiki, maka Ajeng berusaha berdamai dengan kenyataan."Sedih aku, Jeng! Ngeliat ke kanan, menantuku yang sakit. Ngeliat ke kiri, anakku yang terbaring sakit," kata Mai hampir terisak. “Bagaimana aku bisa kuat?” tanyanya pelan."Sudah-sudah, Buk! Benar kata Ajeng, ikhlaskan! Maka akan Allah ganti dengan yang lebih baik," ujar Rohman sambil me
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas99. ASING NAMUN AKRABPOV GALUHSakit! Kepalaku terasa sangat sakit seolah tengah dipukul dengan godam yang sangat besar, dan aku baru menyadari kalau aku berada di suatu tempat yang sangat asing di indra penglihatanku. Tempat yang dipenuhi dengan rumput hijau seperti lapangan luas atau padang rumput, dan sebuah pohon di tengah-tengah nya, yang sedang aku jadikan tempat bernaung saat ini.Ini dimana?Aku sebelumnya tidak pernah berada di sini, bahkan melihatnya pun tidak pernah. Padahal sudah dua puluh delapan tahun aku hidup di dunia ini, namun aku tidak tahu dan tidak punya ide saat ini sedang ada di mana.Di desaku tidak ada padang rumput sehijau ini, setenang ini, dan sedamai ini. Di sana hanya ada kebun sawit, atau hamparan hutan belukar.Jadi, aku saat ini ada di mana?Aku mencoba menggali ingatanku, namun tak kutemukan apapun di dalam sana. Ah, tidak bisa begini. Mau sampai kapan aku diam dan menunggu nasib yang tak jelas?Aku bangkit d
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas101. BAPAK DAN ANAK (Bagian A)"BAPAK?!" Aku berseru kaget, merasa gamang antara yakin dan tidak dengan penglihatanku sendiri dan segera berlari, entah kenapa aku merasa ketakutan kalau sosok yang persis seperti Bapak itu akan pergi dan menghilang. Walau tertatih dengan rasa sakit yang mendera, namun aku tetap berusaha berlari sambil tetap menggendong anak kecil yang tadi aku jumpai.Hosh hosh hosh ….Nafasku tersengal-sengal, entah kenapa pohon yang seharusnya dekat itu terasa sangat jauh untuk kugapai. Namun semakin dekat aku bisa melihatnya, Bapak, aku yakin itu adalah Bapak. Postur tubuhnya, dan cara duduknya, tak salah lagi itu pasti Bapak. "Pak! Bapak!" Aku berteriak.Jarak kami yang tidak sudah tidak terlalu jauh, membuat dia bisa mendengar suaraku dan mendongak. Wajahnya berkerut keheranan, matanya memicing tajam, dan akupun segera kembali berjalan agar bisa secepatnya sampai ti tempat itu."Galuh?!" pekiknya tak percaya.Aku mengham
102. BAPAK DAN ANAK (Bagian B)"Galuh, kau tidak boleh di sini! Kau harus menjaga Ibu dan juga Kakak-kakakmu!" kata Bapak sambil mencengkram bahuku.Melihat raut wajahnya dan ketakutannya, aku menyadari ini tempat apa. Yah, tidak mungkin bapak yang sudah meninggal lima belas tahun yang lalu tiba-tiba hidup kembali, aku merasa ingin menangis. "Apa Galuh sudah mati, Pak?" tanyaku dengan nada bergetar."Tidak! Tidak! Kamu belum mati, Bapak yakin itu," kata Bapak dengan tenang."Jadi? Kenapa aku bisa di sini?" tanyaku entah pada siapa."Entahlah, bapak juga tidak mengerti," kata Bapak lagi.Hening, kami sama sekali tidak mengeluarkan suara setelahnya. Aku segera menatap ke bawah, tangan mungil anak kecil tadi kembali menarik-narik bajuku."Apa?" tanyaku padanya."Galuh?" tanyanya gamang, dia menatapku dengan pandangan kosong.Aku heran, kenapa pula anak kecil ini menyebut namaku? Bapak menatapnya dengan pandangan yang sama."Iya, nama Om adalah Galuh!" kataku menjelaskan."Dia siapa?" ta