Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas180. POV IKA (Selingkuh dan juga kebencian) (Bagian A)Saat mendengar kabar, kalau Bapak dan Ibu meninggal, aku memang sangat terkejut. Padahal kami baru saja bersama-sama menghadiri acara syukuran di bengkelnya Galuh, suami Ellen, adik iparku.Tidak ada tanda-tanda dan juga prasangka kalau kedua mertuaku itu akan meninggalkan kami sebegini cepatnya, dan aku juga tidak menyangka kalau nasehat yang mereka berikan tempo hari adalah nasehat mereka yang terakhir.Aku segera bergegas menelepon keluargaku dan mengabarkan kalau mertuaku sudah meninggal, dan aku juga secepatnya datang ke klinik. Tempat yang baru saja dibilang Galuh, kalau jenazah Bapak dan Ibu ada di sana.Mereka kecelakaan di jalan pulang, dan mereka berdua menghembuskan nafas terakhir di tempat kejadian perkara."Hallo, Ma!" Aku membuka pembicaraan saat mendengar teleponku telah tersambung.[Em, hallo. Ada apa, Ka?] Tanya Mama dari seberang sana.Aku yakin, Mamaku saat ini baru bangun
181. POV IKA (Selingkuh dan juga kebencian) (Bagian B)[Bagus! Memang begitu seharusnya!] Ujar Mama di seberang sana.Dan setelah berbasa-basi sebentar, aku menutup panggilan dan mendudukkan diri di bibir ranjang.Memikirkan semuanya, memikirkan bagaimana selanjutnya. Memikirkan rencana hebat agar harta warisan ini jatuh ke tangan suamiku, sehingga aku bisa menikmatinya dengan sepuas hati.~Aksara Ocean~Hari sudah sore saat pemakaman Bapak dan Ibu selesai dilaksanakan, aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku sangat sedih dan menangis histeris saat jenazah Bapak dan Ibu di kuburkan, di satu sisi aku sangat kehilangan, dan di sisi lainnya aku merasa lega. Setidaknya aku tidak perlu lagi berpura-pura dihadapan mereka, aku tidak harus menjadi menantu sempurna lagi untuk mereka.Bang Usman tidak mampu membendung tangisannya, begitupun dengan Galuh, aku bisa melihat adik iparku itu tadi menyembunyikan tangisnya.Namun, Ellen tidak sempat melihat Bapak dan ibu di kuburkan, dia berulang
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas182. POV IKA (Ruri pinjam uang) (Bagian A)Tidak terasa sudah hari ketiga semenjak kepergian bapak dan ibu, di pagi hari ini keluargaku datang dan turun di rumahku.Aku berpamitan kepada Bang Usman dan pulang ke rumah untuk menemui keluargaku, yang kebetulan ikut ke sini hanya Mama dan juga adik perempuanku beserta suaminya. Bang Usman tadi berpesan agar membawa keluargaku ke sini, tapi mana mereka mau. Toh, mereka ke sini untuk melihatku, bukan untuk takziah.Tapi, aku hanya mengiyakan saja kata-kata dari Bang Usman, agar dia senang dan mau mengizinkan aku untuk pulang."Ma!" Aku memeluk Mama dan mencium pipinya, aku sangat rindu karena memang sudah lama tidak bertemu dan berpelukan seperti ini."Dari mana kamu? Mama nunggu lama banget!" protes Mama sambil mencubit lenganku."Dari rumah Bapak, kan masih suasana duka, Ma. Nanti malam itu, masih malam ketiga," ujarku sambil membuka pintu rumah.Mama dan adikku masuk sambil mengedarkan pandangan
183. POV IKA (Ruri pinjam uang) (Bagian B)"Tapi cepat ya, Kak. Aku mau segera punya usaha, punya grosir besar di desa. Biar nggak ada lagi orang yang menghina kami!" ujar Ruri lagi sambil merengek manja.Aku menatapnya sambil tersenyum dan mengangguk, impiannya begitu sederhana. Agar tidak ada lagi yang menghina mereka! Agar mulut orang-orang di desa bungkam.Aku tahu, banyak orang yang menjengkali Mama dan Ruri karena kami dulu memang keluarga yang biasa-biasa saja.Bisa dibilang semenjak aku menikah dengan bang usman, kehidupan kami menjadi lebih baik dari hari kehari.Bang Usman bukan tipe menantu yang perhitungan pada keluarga istrinya, dia cukup rendah hati dan juga baik.Dia tidak segan memberikan bantuan untuk membangun rumah Mama dan juga membelikan sepetak kebun sawit, agar hasilnya bisa digunakan Mama untuk kebutuhan sehari-hari.Cukup? Jelas cukup, bahkan berlebih jika untuk Mama sendiri, tapi semenjak ada Amar dan Ruri, Mama sering kekurangan dan memintaku untuk mengirim
184. POV IKA (Ruri pinjam uang) (Bagian C)"Barusan, Kakak cuma nganter lauk buat kalian makan siang. Soalnya Ibu masak rendang jengkol," kata Ambar sambil mengangsurkan satu buah rantang alumunium, yang langsung diterima Ellen dengan sumringah.Cih, lebay sekali!"Ada oseng cumi, dan juga sambal hati ampela," kata Ambar lagi. "Kamu sudah makan?" tanyanya ke arah Ellen.Adik iparku itu menggeleng pelan, dan Ambar mendelik dramatis. Lucu sekali, padahal dulu mereka itu bermusuhan. Tapi sekarang malah sebegitu dekatnya seperti perangko! Cih!Melebihi kekompakan aku dan juga Ellena, karena memang akhir-akhir ini aku berusaha menjauhi Ellen. Aku tidak nyaman lagi berpura-pura di depannya.Aku menjadi pribadi yang cuek dan juga pendiam, tentunya di belakang Bang Usman. "Kenapa belum makan?" tanya Ambar lagi pada Ellen."Nggak apa-apa, Kak. Aku memang belum selera saja," kataku menyahuti.Galuh berdiri dan memberikan kursinya untuk di tempati oleh Ambar, setelah Bang Usman yang langsung me
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas185. BATAS KESABARAN USMAN (Bagian A)POV IKAAku sontak menatap Ellena dan juga Bang Usman dengan pandangan yang sangat marah, jujur saja aku kecewa saat mendengar ucapan yang baru saja Nuri lontarkan. Bagaimana bisa Ibu dan Bapak melakukan hal ini? Bukankah Bang Usman seharusnya yang lebih berhak? Bang Usman adalah anak laki-laki satu-satunya, dan juga anak suluk keluarga ini.Dan mereka lebih memilih Ellena? Hah, yang benar saja!Aku melirik ke arah Ellen dengan sinis, biar dia sadar kalau aku tidak menyukai kabar yang baru saja kudengar ini. Saat menatap Bang Usman aku langsung menuntut jawaban padanya."Kok bisa sih, Bang?" tanyaku dengan nada menuntut pada Bang Usman.Suamiku itu kemudian malah mengernyit heran, keningnya melipat dalam dengan ekspresi yang sangat aku benci, mungkin dia heran dengan tingkahku.Aku sendiri jelas tengah memendam kekesalan yang amat besar saat ini, dan dia malah santai-santai saja. Sialan! Tidak bisakah dia p
186. BATAS KESABARAN USMAN (Bagian B)"Kenapa kalian begini, sih?" ujarnya pelan. "Masih empat hari! Empat hari yang lalu Mbak Mai dan juga Mas Rahman di kuburkan, dan saat ini kalian sudah ribut masalah warisan? Sadar! Itu bukan ranah kalian!" katanya lagi.Halah, air mata buaya. Padahal Bulek Rosma iu juga pasti merasa kecewa karena tidak mendapatkan hak waris dari Bapak."Halah, Ros ….""CUKUP!"Ucapan yang hampir dikeluarkan oleh Wak Nurma, dipotong Ellen dengan lantang. Dia menatap kami semua dengan nafas yang memburu, dia terlihat amat berusaha menahan amarahnya.Dadanya naik turun dan kemudian, "Cukup!" Dia mendesis.Terlihat amat berbahaya juga mengancam, namun aku sama sekali tidak takut dengannya. Aku adalah istri Abangnya, yang seharusnya mendapatkan lebih banyak ketimbang dia."Kenapa kalian meributkan harta orang, hah?!" tanyanya pelan namun tajam.Orang-orang di sini semua terdiam, Ellena terlihat sangat marah dan juga kecewa. Sudah lama aku tidak melihat amarahnya.Juju
187. BATAS KESABARAN USMAN (Bagian C)Kami semua terdiam dengan pikiran masing-masing, namun tidak lama kemudian aku langsung bergegas pergi karena mendengar ucapan Bang Diky."Hati-hati, Ka. Kakaknya Galuh itu kan, mau bercerai, bisa saja Usman kecantol!"Sialan, sialan! Ambar sialan!Dan setelah aku sibuk mencari keberadaan mereka, aku bisa menemukan mereka tengah enak-enakan menikmati makanan yang tadi di bawa oleh Ambar.Amarahku membumbung tinggi dan berjalan cepat ke arah mereka."Enak ya, makan di sini. Nggak mikirin anak dan istri yang belum makan!" Aku berdiri di bibir pintu dan menatap Bang Usman dengan pandangan tajam, namun suamiku itu dengan cueknya tetap makan dengan lahap.Sialan, dia tidak memperdulikan keberadaanku."Oh, Aksa udah aku suapin tadi, Kak," kata Ellen sambil tersenyum kecil.Cih, sok baik. Aku tidak menyahuti ucapannya dan malah mendengus juga membuang muka. Malas sekali aku melihatnya, najis"Kakak mau makan juga?" Ambar bertanya padaku.Dia mengangsurk