Ia tiba di rumah, suasananya masih sangat sepi. Belum ada siapapun yang pulang, karena rumah akan kembali riuh ketika hari menjelang senja.
Cakra tiba di dalam kamar, di sana Mega berbaring diatas ranjang. Meringkuk memeluk guling membelakangi pintu. Ia berfikir istrinya itu tertidur, langkahnya berlanjut menuju tempat tas dan jaket untuk melepasnya. Setelah berganti pakaian dengan yang lebih santai, ia baru mendekati Mega di sana.
Ia meraih lembut bahu ramping itu, matanya menyipit ketika merasa yang dipegang itu bergetar.
"Mega?"
"Kamu jahat!"
Lirih Mega tanpa bergerak, membuat Cakra semakin menyipit, mendengar suara parau itu.
"Kamu mimpi?" Tanyanya lagi tanpa rasa bersalah. Memang ia tidak tau apapun, kan? Namun, bukannya menjawab, getaran di bahu itu semakin kencang. Hingga terdengar deru nafas tak beraturan.
"Kamu jahat, mas!" Suaranya lagi.
"Hey, kamu kenapa, sih?"
"Bagaimana rasanya di sini?" Cakra membelah kesunyian di pantai sore itu."Agak lebih baik," Kata perempuan itu, duduk memeluk lutut. Mengarahkan pandangannya ke depan sana, ke arah surya yang semakin rendah saja. Seperti hendak menuju ke dalam air laut.Cakra tersenyum, ia mulai mengerti bagaimana memperlakukan perempuan sedang dilanda emosi. Kedua tangannya lantas melingkari pinggang Mega dari belakang. Menyandarkan ragu di atas pundak sang istri. Awalnya Mega terlihat menolak, tapi ia diam saja."Kalau seperti ini, bagaimana?" Sengaja Cakra menggosokkan pelan pada pundak yang masih bergeming itu."Mega, aku cinta sama kamu," Bisiknya, tepat di depan telinga Mega. Perlahan, ia mengurai pelukan, lalu bergerak ke depan wajah sang istri. Membingkai sepasang pipi yang sudah bersemu merah, entah sejak kapan."Kamu mau kan, memaafkan aku?"Perempuan itu masih bergeming dan menundukkan wajah. "Mau
Cakra melepaskan kancing baju Mega bagian atas. Namun, aktifitasnya tertunda karena ada seseorang mengetuk pintu kamarnya. Ia mendengus kesal, sudah berapa kali hal ini terjadi. Hampir tak bisa terhitung. Keterlaluan sekali mereka! Batinnya. Ia bergerak membuka pintu dengan hati dongkol."Dari mana saja kalian?"Belum sempat ia memastikan siapa yang ada di balik pintu itu, sebuah pertanyaan lantang nyaring di depan telinga. Ketika ia melihat, ada sepasang mata menatap nyalang. Sepasang mata pucat karena kehilangan make-up yang biasa menempel tebal di sana."Menantu nggak tau diri kamu ini! Mertua bekerja seharian, cari uang buat makan. Kalian malah keluyuran nggak jelas sampai malam!" Sosok itu kembali menyentak.Bosan? Jangan ditanya. Jika mau, Cakra bisa membanting pintu saat ini juga. Untuk menghindari celotehan menusuk wanita bergelar ibu mertua itu. Entah apa makanannya tadi, begitu semangat ketika melantan
Waktu bergulir begitu cepat, bulan dan tahun telah berganti tanpa disadari. Akhir tahun tinggal beberapa hari. Pada tahun ke empat pernikahan Cakra dan mega.Hari sudah siang, ketika Cakra hampir menyelesaikan pembelajaran di salah satu kelas sembilan. Kelas riuh yang sejak tadi berceloteh minta segera pulang."Baiklah. Tugasnya jangan lupa di kerjakan, ya,""Iya, pak," Anak-anak menyahut malas.Semangat mereka telah redup, bila dibandingkan dengan pagi harinya. Kebiasaan anak-anak usia SMP, jika kelas pagi, guru pun mau di lahap mentah-mentah. Namun, ketika menjelang jam pulang tak jarang mereka tertidur di dalam kelas. Bahkan ketika guru masih mengoceh di depannya.Ada yang ingin ditanyakan?" Cakra kembali bertanya sambil merapikan buku-bukunya."Ada pak," Salah satu anak lelaki menjawab, wajahnya seperti baru bangun tidur."Iya?""Kapan pulang?" Anak itu nyeletuk. Diikuti sua
"Dua minggu lagi usia pernikahan kalian genap lima tahun. Hingga saat ini, belum ada perubahan bagus yang kamu tunjukkan pada kami," Pak moko bersuara tanpa basa-basi."Tapi, Pak,""Gajimu itu tidak lebih besar dari kami. Dan anak. Kamu juga belum bisa memberikannya untuk kami!" Pak moko menuding tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Tanpa memberikan kesempatan bagi Cakra untuk membela diri.Tak ada waktu yang diberikan oleh pihak keluarga untuk mereka berdua mencetak anak. Itulah penyebab mengapa hingga kini belum bisa memberikannya. Cakra malam ini hendak mengatakan hal tersebut, tetapi pak moko sepertinya sudah akan kembali bersuara."Kalau dalam waktu dua minggu ini, Mega belum ada tanda-tanda kehamilan. Maka kalian harus bercerai!" Suara pak moko terdengar lirih dan datar. Wajahnya menatap ke lurus ke depan, ke arah lampu berjajar indah di pinggiran pintu gerbang.Sementara Cakra, beberapa menit menata
"Mas?" Ia menyapa penuh harap, karena sejak dari meja makan tadi, suaminya selalu terdiam. Seolah tak peduli."Aku harus berangkat,""Mas, tunggu!" Sia-sia. Cakra sudah menghilang dari balik pintu. Meninggalkan Mega menatap daun pintu tertutup dengan pandangan tertegun. Ia mengerjap beberapa kali untuk menghalau agar genangan yang hendak tumpah itu menghilang."Katanya kamu mencintaiku, Mas. Tapi kenapa mudah menyerah?" Lirihnya dengan nafas tersengal, air mata pun bercurah tanpa halangan apapun.Sementara itu, di perjalanan Cakra mengemudikan motor seperti lepas kendali. Berkali-kali tangan kanannya memukul stang dengan keras, diiringi umpatan tak jelas karena wajahnya tertutup helm standar.Hari ini, sebenarnya ia tak ada jadwal mengajar. Hanya saja sebagai guru negeri, tidak boleh absen tanpa alasan jelas. Ia harus masuk tiap hari untuk absen.Dari rumah pak moko hingga tiba di tempatnya mengaja
Sebelum menjawab, Cakra melepaskan nafas berat. Sangat berat dari biasanya."Bapak tetap pada pendiriannya," Ia menjawab lesu. Seketika membuat netra Mega membulat penuh."Meminta kita tetap berpisah?" Tebaknya. Cakra lagi-lagi lesu dalam mengangguk. Setelahnya, tak terdengar lagi Mega bersuara. Suaranya telah berganti menjadi isakan tertahan, hingga dadanya bergerak tak beraturan."Istriku. Boleh aku minta sesuatu untuk terakhir kalinya?""Apa itu?""Tubuh ini. Untuk yang terakhir," Cakra menjawab dengan membingkai wajah sang istri. Hingga tanpa terasa, ada butiran hangat meluncur bebas di pipinya.Sementara Mega, sekilas menatap nanar wajah suaminya. Ia lantas melengos dengan diiringi air mata mengalir pula."Mega," Lirih Cakra, menghadapkan kepadanya wajah basah itu. Membersihkan air matanya, meski terus-menerus mengalir semakin deras."Aku benci kata-kata t
Siang menjelang sore, selepas pulang dari sekolah. Cakra berada di kos-kosan sempit, tak jauh dari sekolah. Tempat itu ia pilih agar memudahkannya berjalan hingga ke sana. Sudah hampir lima belas menit, ia menatap hampa pada sebungkus nasi yang ia beli di pinggir jalan tadi. Juga sebotol air mineral. Belum tersentuh.Kehilangan. Sesakit inikah rasanya? Padahal semalam ia masih merasakan hangat tubuh sang istri, kini semua itu tinggal kenangan yang semakin diingat, semakin tercipta rasa nyeri.Tak ada siapapun yang mengetahui ia berada di tempat ini. Termasuk Mega, ataupun pak Tejo yang selalu menanyakan kabarnya. Saat ini, tak ada alat apapun untuk berkomunikasi. Hanya sebuah kartu sim yang tadi pagi ia lepaskan dari ponsel barunya.Ponsel baru? Iya. Beberapa bulan lalu, ia membeli dua benda pipih keluaran terbaru untuk dirinya sendiri dan istrinya kala itu. Cakra memalingkan wajah dari makanan dan minuman itu, ia memilih menyalak
Ia masuk, menyusul Lidya yang telah duduk di bangku, di depan pasangan muda sedang menikmati makanannya. Betapa kagetnya ia, ketika melihat siapa yang sedang makan di depannya itu."Kalian?" Pekiknya menatap kaget. Hingga membuat dia orang yang disapa itu mendongak, lantas saling mengernyit. Menatap Cakra dan teman wanitanya secara bergantian."Jadi kamu, rupanya? Bagus sekali ulahmu. Baru tadi pagi bercerai dengan Mega, sekarang sudah jalan bersama perempuan lain. Laki-laki macam apa kamu, ini?" Lelaki yang sedang menikmati bebek goreng itu mendengus, menghentikan aktifitasnya dalam menyuapi mulut."Mas, Bima. Tolong jangan salah paham dulu. Saya .... ""Apa? Semuanya sudah sangat jelas, kan?kami, melihat dengan mata kepala sendiri. Kamu jalan berdua dengan perempuan lain!" Bima menghardik, memotong ucapan Cakra sambil mengangkat telunjuknya ke arah Lidya, yang menunjukkan wajah ternganga.Cakra belum bisa men
"Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d
"Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in
"Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o
Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den
Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej
Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b
Sebenarnya, cakra tak kaget dengan nilai rumah itu. Yang hendak ia berikan justru lebih besar, sebuah mobil terbaru dengan harga dua milyar. Hanya saja saat ini barang mewah itu belum bisa datang. Ia hanya bisa menghela nafas berat. "Bagaimana, pak cakra yan terhormat?" Itu suara Prahara, memicing dengan senyuman menyeringai. Bersamaan dengan itu, ada sebuah mobil berhenti di depan rumah. Salah seorang keluar membawa beberapa Map dan memberikan pada cakra. Ia tersenyum lega. "Ini dari saya, pak." Ia mengulurkan sebuah struk pembelian. Pak moko menerimanya dengan ragu, netra setengah abad itu berkerut, mengamati tulisan nominal tak biasa di kertas itu. Bima yang ada di belakang mertuanya itu pun penasaran, ia ikut melongok, ingin melihat tulisan apa yang diberikan cakra tadi. Keduanya menoleh bersamaan, lantas Bima mengedikkan bahunya. Tak lama, pria yang lebih muda itu meraih kertas dari tangan sang mertua. Mungkin ingin memastikan kebenarannya. Mungkin ia mengira salah lihat, hi
[Dimana kamu? Mau menghindar, ya?] pesan yang membuat rasa kantuknya menghilang seketika. Berubah menjadi amarah luar biasa. Beberapa orang mungkin mengetahui perubahan itu, karena saling melihat ke arahnya dengan mata menyipit. [Aku masih ada rapat di sekolah] balasnya. Lalu mencari nomor pak Tejo, dan mengetik pesan untuknya. [Kirim mobilnya sekarang juga, Pak] tak lama, pesan terbalas. [Mas. Mobil yang mas cakra pesan baru saja meluncur dari pusat. Kemungkinan besok baru bisa sampai,] pesan dari pak Tejo, membuatnya membelalak seketika. Cakra menghembuskan nafas berat dan panjang, dengan tangan menyugar rambut. Kepalanya frustasi, tatapan matanya menyapu ke sembarang arah. Pada rekan-rekan guru yang mendadak menatap aneh ke arahnya. "Bagaimana, pak cakra?" Ia terhenyak mendengar suara pak waluyo barusan. Hampir saja tangannya menjatuhkan laptop menyala yang sejak tadi ada di depannya. Hanya saja berada di pinggir meja. "Eh, e, iya, pak?" Cakra tergagap, kembali mengundang tan
Ketika hendak keluar, betapa kagetnya cakra. Di kamar sebelah ada Bima, hampir saja berpapasan jika ia tak segera kembali masuk ke dalam. Ia berdiri di sana, menunggu Bima menyelesaikan aktivitasnya. Tok tok tok! "Siapa di dalam? Kayaknya tadi sudah keluar, kok masuk lagi?" Suara seseorang dari luar pintu membuat cakra kaget, haruskah ia keluar sekarang dan bertemu dengan Bima? "Siapa di dalam?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini terpaksa ia membuka pintu perlahan-lahan. Memunculkan wajah dengan sangat pelan, benar-benar khawatir jika dirinya ketahuan saat ini juga. "Ada apa sih, Mas? Kayak habis ngelihat hantu aja," Celetuk seseorang membuat cakra terkejut. Kali ini tubuhnya telah berada di luar toilet. Ia bisa bernafas lega, karena toilet sebelah, pintunya telah terbuka lebar. Menandakan tak ada orang di dalam. Ia mengayunkan langkah dengan memasang mata awas, mengamati barisan kursi melingkar mengitari setiap meja. Banyak orang yang telah keluar, pak moko dan Bima pun juga