“Akan aneh jika kami telah memiliki putra putri sebesar yang kamu pikirkan, Meydina. Kami baru saja menikah beberapa waktu lalu,” sahut Nadhif cepat untuk menghindari keadaan canggung. “Ahhh, begitu!! Saya pikir kau telah menikah lama! Jadi di hadapanku ini sepasang pasutri —pasangan suami istri, baru?!” pekik Meydina lalu kembali tersenyum dan beralih memandang Nadina. “Hahaha, baiklah saya rasa ini tidak akan ada habisnya jika diteruskan. Lebih baik lanjutkan masalah pekerjaan kalian saja,” ujar Nadhif. “Ahh iya! Saya sampai lupa! Maafkan saya ya, Nadina! Nadhif ini kawan dekat saya saat kami sekolah dasar! Dulu dia tidak sependiam ini, dia seperti preman anak kiai! Patutlah jika saya sedikit nostalgia,” ujar Meydina sambil sesekali terkekeh memandang Nadhif. Nadina tak banyak membalas, ia hanya tersenyum sambil mengiyakan. Ia masih terlalu terkejut dengan situasi di hadapannya saat ini. “Baiklah Nadina, begini. Sadewa telah memberi tahu saya ada beberapa syarat yang akan kamu
“Ahh, begitu rupanya. Saya kira kalian memiliki hubungan kerabat atau pertemanan lain. Baiklah Nadina, selamat datang ke Butik Medina. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, ya! Dan pemotretan pertamamu adalah besok sesuai jam yang tekah kita sepakati!” papar Meydina. Nadina dan Nadhif saling mengangguk. Usai semua penjelasan hari itu, Nadina dan Nadhif kembali pulang. Nadina terus saja memikirkan mengapa Nadhif tidak memberi tahu Meydina jika Sadewa adalah kawan satu sekolahnya dulu. “Mas Nadhif, kenapa Mas Nadhif tidak mengaku saja jika Mas Dewa adalah kakak tingkat Nadina?” tanya Nadina sembari sedikit menoleh ke arah Nadhif. “Setidaknya mereka tidak akan memperlakukanmu spesial atau merendahkan kemampuanmu karena orang dalam. Dan ada beberapa alasan lain yang tidak bisa saya jelaskan sekarang ini,” jawab Nadhif sembari sedikit melirik ke arah istrinya. Nadina hanya sedikit berdeham. Separuhnya ia paham dan separuhnya ia tak mengerti dengan apa maksud dan tujuan Nadhif. Nam
Nadina dengan raut kebingungan menoleh ke kanan dan ke kiri berharap bertemu sang umi maupun suaminya yang akan bisa menjelaskan kebingungannya hari itu. Namun percuma, tak ada yang bisa ia temui. “Ehm, begini. Kalian tahu saya baru di sini bukan? Bahkan hari ini adalah hari pertama saya berada di sini. Jadi bolehkah jangan membahasnya dulu? Saya masih belum memahami apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh saya putuskan,” tutur Nadina berusaha selembut mungkin. “Ahh, baiklah Mbak! Kami akan kembali nanti. Assalamualaikum!” pekik dua orang santriwati itu. Seperginya mereka dari sana, Nadina segera meraih ponselnya dan mengetikkan pesan kepada Nadhif. Ia segera hendak meminta Nadhif datang dan menjelaskan semua kebingungannya itu. Karena Nadhif sedang sibuk mengajar, ia tak bisa datang secepat itu dan berjanji akan menjelaskannya sore nanti. Nadina yang merasa sedikit frustrasi, akhirnya menjatuhkan kepalanya ke meja dan bergaya malas. Tak kama setelah posisinya itu, seseorang masuk
“Mas, jangan!” pekik Nadina sambil memegang tangan Nadhif yang saat itu berada di atas meja yang sama dengan Nadina. Kedua mata mereka seketika saling bertemu. Ada perasaan aneh yang terlintas saat Nadina menyaksikan mata sang suami menatapnya penuh cinta. Ia segera mengalihkan pandangannya laku kembali fokus pada berkas di hadapannya. “Nadina tidak bisa fokus dengan berkasnya jika Mas Nadhif terus melihat Nadina seperti itu,” tutur Nadina tanpa menoleh ke arah Nadhif. “Baiklah, kalau begitu saya pergi ya, Nadina. Sebentar lagi kelas dimulai. Terkait berkas itu, kamu bisa bawa ke kamar nanti. Saya akan tanda tangani di kamar nanti,” ujar Nadhif lalu bangkit dari kursinya. Nadina dengan cepat menahan pergelangan tangan Nadhif dan ikut bangkit dari kursinya. Ia segera melepaskan cekalannya saat Nadhif berbalik menatapnya. “Mas Nadhif jadi tidak sempat makan dan minum karena menjelaskan semua ini pada Nadina. Maaf ya Mas, terima kasih juga!” tutur Nadina. Nadhif seketika tersenyum
“Apa makanannya begitu lezat hingga kamu makan dengan berlepotan seperti ini?” ujar Nadhif sembari menarik tangannya dari Nadina. Wanita itu menatap kosong piring di hadapannya sembari kembali menyapu bibir yang baru saja sang suami usap. “Sudah hilang, Nadina. Tenang saja, nodanya sudah hilang.” Nadhif melanjutkan makannya. Usai makan sore itu, Nadina mengembalikan piring ke dapur sekaligus mencucinya dan menata kembali ke rak. Saat ia hendak kembali ke kamarnya, seorang wanita paruh baya masuk dan memanggil Nadina. “Iya, ada apa?” sahut Nadina sembari menghentikan langkahnya. “Ada santriwati hendak menemui Mbak Nadina untuk meminta izin berkas. Apa Mbak Nadina bisa menemuinya sekarang? Mereka ada di ruang tamu dalem,” tutur wanita paruh baya itu. “Ehm, baiklah. Nadina akan menemuinya, terima kasih!” Nadina mengubah arah perjalanannya. Meskipun sedikit kesal karena masih terusik, Nadina tetap harus melakukannya juga. Di ruang tamu yang cukup luas itu, duduklah dua santriwati d
Nadina langsung membeku, tangannya tak jadi kian dekat mengambil berkas tersebut. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat mendengar nama itu terucap lagi dan lagi antara dirinya dan Nadhif. “Putri Azalea? Mas Nadhif salah baca mungkin?” ujar Nadina akhirnya. “Tidak, Nadina. Silakan kamu baca dulu berkas ini,” tutur Nadhif lalu mengembalikan berkas itu kepada sang istri. Mata Nadina dengan cepat menyebar ke segala sisi berkas itu. Dengan cepat ia membaca mulai salam pembuka yang disampaikan pengirim berkas hingga salam penutup. Tangan Nadina melemas dan perlahan melepasnya kembaran kertas tersebut. Ada sesuatu yang aneh yang terlintas dalam hati dan pikirannya saat mengetahui masa lalu sang suami akan kembali ke sekitarnya. Seharusnya wanita itu bahagia bukan? Bukankah ini dapat membantu usahanya untuk melepas pernikahannya dengan Nadhif jika suatu saat Nadhif kembali dekat dengan Putri Azalea? Namun mengapa rasa sakit yang pertama kali ia rasa ketika mengetahui berita ini. “Di
“Saya hanya ingin kamu yakin kepada saya, Nadina. Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Tidak seharusnya kita berprasangka buruk atas kedatangannya. Tetapi saya ingin kamu yakin jika saya akan selalu memilih kamu.” Nadina menarik napasnya panjang sebelum akhirnya mengangguk sembari menghapus air matanya. “Apakah saya bisa menandatanganinya sekarang?” tanya Nadhif. “Mas Nadhif belum menandatanganinya? Nadina pikir sore tadi mas sudah tanda tangani semua berkasnya,” ujar Nadina. “Belum, Nadina. Saya tidak bisa tenang menandatanganinya jika belum berbicara denganmu, Nadina.” Nadhif kembali menatap sang istri. “Sekarang Mas Nadhif bisa menandatanganinya, Nadina baik-baik saja,” ujar Nadina lalu menggeser bolpoin dan berkas itu ke dekat Nadhif. Pemuda itu tampak sebentar mengamati wajah Nadina yang sedikit memandangnya getir sebelum akhirnya mengisi kolom kosong di sana dengan tanda tangan miliknya. “Kenapa rasanya perih? Apa yang terjadi padamu, Nadina? Bukankah
Nadhif yang mendengar semua pengakuan santriwati itu seketika terkejut. Tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain diam di balik dinding dan mendengarnya. “Sudah ambil vlberkasnya? Ayo, Umi menunggu kita!” pekik suara santriwati itu lagi lalu langkah kaki meninggalkan ruangan kantor terdengar. Nadhif pun berjalan ke arah depan dengan perasaan yang bercampur aduk, langkahnya terasa gontai. Baru saja ia selesai menandatangani izinnya untuk membawa Putri Azalea kembali ke pondok, namun kenyataan yang ia dengar itu seakan memorak-porandakan perasaannya sendiri. “Tidak mungkin yang mereka katakan itu benar, bukan? Tidak mungkin Putri Azalea seperti yang mereka bicarakan. Saya yakin dia kembali ke sini untuk mengabdi kepada pondok, bukan hal lain terlebih apa yang dikatakan santriwati itu!” lirih Nadhif. Baru saja pemuda itu menenangkan dirinya dengan duduk di bangku kerjanya sambil meneguk minuman, Nadina muncul dari ambang pintu sembari mengucapkan salam. “Waalaikumsalam, Nadina. K
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan