Share

180. Urusan Baru

Penulis: Annisarz
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Berhenti melantur, Regina! Hentikan ocehanmu itu atau aku yang akan membuatmu bungkam!” sergah Rayyan ketus.

Pemuda itu benar-benar tampak telah lelah menghadapi wanita di depannya yang sekarang malah menuduhnya macam-macam.

“Jawab dulu pertanyaanku, siapa wanita berhijab dan seorang anak laki-laki itu? Dia selingkuhanmu?” sergah Regina.

Rayyan menghela napasnya sembari sebentar mengalihkan pandangan sebelum akhirnya kembali menatap Regina dengan mata nyalangnya yang tajam.

“Dia muridku serta ibunya. Kenapa kau sibuk denganku, Regina?! Sudah kubilang berhenti mengekoriku! Kenapa kau terus ngotot, hah?! Aku tak akan kembali denganmu!” pekik Rayyan.

“Murid dan ibunya? Apa kau yakin, Ray? Karena aku melihat tatapan lain di matamu!”

“Apa?! Apa yang kau ligat, heh?!” Rayyan memajukan tubuhnya. Regina terus mundur bahkan hingga tubuhnya terantuk dinding dan tak lagi bisa mundur.

“Kenapa diam? Katakan! Katakan apa yang kau lihat di mataku, Regina!!” bentak Rayyan lagi sembari memukul
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   181. Ilusi

    Rayyan segera membalik tubuhnya guna melihat kembali apa yang ia lihat dalam kaca kecil mobil sang sopir itu benar ataukah tidak. Namun ia tak mendapati siapapun di belakang sana selain Madina yang masih mengamati mobil yang ia tumpangi melenggang pergi. Ia tampak sedikit panik, tak sedikitpun ia menggeser posisinya sampai matanya menangkap Nadina yang masuk ke dalam pondoknya kembali. “Ada apa, Pak? Ada yang tertinggal?” tanya sang sopir saat menangkap tingkah penumpangnya yang sedikit aneh. “Oh, ehm, tidak, Pak! Lanjutkan saja perjalanannya!” sahut Rayyan lalu kembali duduk di kursi penumpang dengan cukup tenang. Tak berhenti di sana, pikirannya terus menghantuinya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuka ponselnya dan menghubungi Regina. [Malam ini temui aku di restoran yang dulu biasa kita datangi. Aku tak memiliki banyak waktu, jadi datanglah tepat waktu!] tulis Rayyan kepada Regina. Sementara itu, Nadina kembali ke dalam pondok dan langsung menuju kamar putranya. Nadhi

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   182. Pertemuan

    “Maaf Umi, tapi jika Umi hendak kembali menjodohkan Nadina dengan Rayyan karena masalah ini, Nadina tidak bersedia, Umi.” Aminah menghela napas. Belum ia memulai apa yang hendak ia rencanakan. Lagi-lagi menantunya itu telah bisa membaca pikirannya. “Lihatlah istrimu, Nadhif! Ia seperti cenayang sekarang! Bagaimana bisa umi membantu Nadina melewati kesendiriannya ini? Bagaimana? Apa yang mesti umi lakukan untuk meyakinkan istrimu ini, Nadhif?” batin Aminah. “Baiklah, Nadian. Sekarang katakan, kapan Adnan mesti dibawa kembali ke klinik. Bukankah jahitannya harus diperiksa juga?” tanya Aminah. “Dua atau tiga hari lagi, Umi. Bisakah umi mengantar Nadina?” Aminah mengangguk setuju. Hari berganti malam, Rayyan telah menunggu kedatangan Regina sejak lima menit yang lalu, tak lama setelahnya Regina datang dengan gaya pakaian make up-nya yang terkesan terlalu berlebihan. Wanita itu duduk di hadapan Rayyan setelah datang mendekati Rayyan dan dengan tegas Rayyan menolaknya. “Jadi, ada apa

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   183. Rencana Semesta

    Rayyan melepaskan Regina dan memundurkan tubuhnya. Pemuda itu kini menatap Regina dengan tatapan yang cukup serius sementara Regina membalasnya dengan tatapan kecewa yang sedikit terselip apa amarah. “Aku tidak akan pernah meninggalkan kota ini tanpa kamu bersamaku, Rayyan! Jika aku tidak bisa memilikimu, maka tidak juga dengan orang lain!” Kepalan tangan Regina mendarat ke meja hingga membuat beberapa pengunjung menoleh terkejut. “Hentikan semua rencana gilamu, Regina! Sudah kubilang jangan menyentuh siapapun yang tak ada kaitannya dalam masalah kita. Jadi jangan berpikiran macam-macam!!” sentak Rayyan. Regina tersenyum miring sembari terkekeh getir. Wanita itu kini mengangkat wajahnya usai mengusap air matanya yang mengalir hingga membasahi dagunya. “Kenapa? Kau takut? Lagi pula dia bukan keluargamu, Ray! Kau tak akan bisa selalu menjaganya dariku!” “Hentikan, Regina!” “Kenapa? Kau berniat menikah dengannya? Supaya kau bisa selalu ada di dekatnya dan menjaganya dariku? Begitu?

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   184. Mendekat

    Rayyan perlahan melepaskan genggaman tangannya pada lengan Nadina dan sedikit menggeser tubuhnya menutupi Nadina sembari menelan salivanya. “Ada apa, Ray? Kenapa kau–” celetuk Nadina sesekali melirik ke arah Regina juga. “Kenapa kau di sini? Kau sendirian?!” sergah Rayyan menatap Nadina dengan raut cemasnya. Nadina yang memandang wajah Rayyan penuh kekhawatiran turut merasa cemas. Ia bahkan seketika melupakan amarahnya karena Rayyan tiba-tiba menyentuh lengan pakaiannya karena pemuda itu kini malah tampak ketakutan. “Aku? Aku belanja, Ray. Ada apa denganmu? Kenapa kau aneh seperti ini? Semua baik-baik saja bukan?” tutur Nadina. Regina tampak mendekati Nadina dan Rayyan yang terlibat pembicaraan tanpa mengajaknya itu. Rayyan sedikit melirik kedatangan Regina. “Apa dia suamimu? Sepertinya dia sangat khawatir melihatmu berbicara dengan orang asing sepertiku,” celetuk Regina. “Ah, bukan! Jangan salah paham! Kami bukan suami istri. Hanya kenalan!” sela Nadina cepat. “Kau sudah sele

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   185. Penjelasan

    Wajah Rayyan kini tak dapat lagi menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia benar-benar tak menyangka Nadian akan mengeluarkan kalimat sedemikian rupa yang membuat jantungnya sebentar terhenti. “Apa maksudmu, Nadina?” ujar Rayyan. “Iya, kau berselingkuh dari wanita bernama Regina itu lalu hubungan kalian berakhir. Tidakkah kau berpikir tindakanmu salah, Ray? Jika kamu memang tidak siap dengan sebuah hubungan dan komitmen, kenapa membuatnya? Kau menyakitnya, Ray!” sergah Nadina. “Nadina, kau salah paham!” sergah Rayyan. “Salah paham? Salah paham di mananya? Sepertinya semuanya sudah jelas. Rasa khawatirmu pasti muncul karena kau takut dia mengatakan sesuatu yang buruk tentangmu kepadaku bukan?” “Ahh, aku jadi penasaran siapa wanita yang menjadi selingkuhanmu itu. Aku heran, kau tampak baik, Ray! Tetapi ternyata..,” “Nadina!” pekik Rayyan cepat seketika membuat Nadina sedikit tercekat. “Bukan aku yang berselingkuh! Dia yang berselingkuh!” Nadina terkekeh mendengar apa yang Rayyan tutur

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   186. Belum Selesai

    “Assalamualaikum, Mbak Nadina!” pekik salah seorang santriwati menginterupsi perbincangan antara Nadina dan Sadewa. Kini kedua orang itu menoleh bersamaan ke arah sang penyela sembari sedikit menjauhkan diri satu sama lain. Nadina sebentar mengatur raut mukanya sebelum akhirnya menanyakan maksud kedatangan sang santriwati tersebut. “Maaf sudah menyela, Mbak Nadina. Saya hanya ingin memberi tahu jika tamu yang memiliki janji dengan Mbak Nadina sudah rawuh—datang.” Santriwati berpakaian putih hitam itu tampak sedikit membungkukkan bada sembari memegangi hijab yang menutup bagian depan tubuhnya dengan sempurna. “Ah, baiklah. Aku akan segera datang. Terima kasih!” sahut Nadina. Sang santriwati pamit lalu Nadina kembali menoleh ke arah Rayyan. “Maaf Rayyan, aku tak berniat mengusirmu, tetapi aku tidak bisa lagi menjamumu di sini, tamuku yang lain sudah datang. Aku tak mungkin membuatnya menunggu lebih lama karena kita sudah saling menyepakati waktu pertemuan ini,” papar Nadina. “Tida

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   187. Kiriman

    Usai menghabiskan makanannya dengan sedikit gontai dan malas, seorang santriwati masuk sembari membawa sebuah kotak berbalut kertas cokelat rapi ke arah Nadina. “Assalamualaikum, Mbak Nadina!” “Waalaikumussalan, ada apa ini?” sahut Nadina lalu berjalan menuju sang santri sembari mengibaskan tangannya yang basah setelah mencuci bersih piringnya. Sang santri melirik ke arah kotak yang ia bawa lalu menyodorkan kotak paket itu kepada Nadina. Meskipun sedikit bingung hingga mengerutkan dahinya, Nadina akhirnya menerima kotak itu cepat usai mengelap tangannya ke gamisnya. “Apa ini? Kiriman dari mana?” tanya Nadina mulai mengamati paket cokelat yang kini berada dalam dekapannya itu. “Tidak tahu, Mbak. Tadi kurir lepas tiba-tiba datang dan menyerahkan kotak ini kepada penjaga piket kantor kesekretariatan. Kurir bikang untuk Mbak Nadina. Tidak ada nama pengirim di sana, jadi saya segera membawanya kemari takut jika ada sesuatu yang penting di dalamnya,” papar sang santriwati. Nadina meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   188. Pesan Misterius

    Hari berganti malam, Nadina telah jauh lebih baik daripada sore tadi saat ia melihat kotak misterius yang datang padanya tanpa pengirim itu. Nadina saat ini tengah membantu Melati untuk mengajar para bocah di pondok untuk mengaji dasar di masjid besar pondok. Bocah-bocah berusia empat sampai enam tahun itu tampak cukup senang dengan kegiatan mereka, beberapa di antaranya duduk tenang menunggu giliran, beberapa di antaranya bermain dan berbisik bersama kawan lainnya. Beberapa menit setelah seluruh bocah itu telah mendatangi gilirannya, kelas bubar dan ditutup dengan doa bersama. Kini Nadina dan Melati bersama-sama merapikan kembali sisi masjid yang mereka gunakan untuk mengajar malam itu. “Mbak Nadina, saya dengar tadi abi Ali mengubur bangkai tikus. Memang di dalam dalem ada tikus, Mbak?” celetuk Melati saat keduanya bersama-sama mengangkat bangku kayu yang keduanya gunakan untuk mengajar. “Bukan dari dalem. Tapi dari paket. Entahlah Melati, sepertinya ada orang iseng yang mengir

Bab terbaru

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   228. Mencintai itu Mengikhlaskan

    Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   227. Menutup Lembar

    Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   226. Malaikat Penolong

    Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   225. Nyamuk Harus Mati

    “Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   224. Dendam Terpendam

    Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   223. Unjuk Gigi

    “Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   222. Trauma

    Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   221. Lembar Baru?

    Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   220. Keputusan Terbaik

    Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan

DMCA.com Protection Status