Tak ingin berurusan di tempat itu, Sadewa segera berjalan kembali ke mobilnya tanpa menghampiri Rayyan apalagi menyapa pemuda itu. Rayyan menghela napas. Sedikit lega kiranya karena Nadina berhasil menyingkir dari pemuda itu dan tak ada pertikaian berarti di sekolahnya. “Lihatlah, Nadhif. Belum selesai istrimu dengan semua kenangan yang kau tinggalkan, ia harus berjuang dari masa lalu gelapnya sendirian. Bukankah ini tidak adil untuknya menjalani kisah ini sendirian?” gumam Rayyan. Rayyan berjalan ke arah kantornya, beberapa guru muda mulai menggodanya padahal tak biasanya mereka berlaku demikian. Rayyan mengerutkan dahi sembari tersenyum palsu saat terus berjalan ke arah mejanya. Sampai matanya menangkap sesuatu asing yang ada di mejanya. Sebuah buket bunga dengan sebuah mentai lengkap bersama tulisan yang dapat jelas terbaca. “Im so sorry, Babe!” Begitulah kiranya isi pesan pada mentai yang ada di meja kerja Rayyan. Rahang Rayyan mengeras. Ia meneguk salivanya kasar lalu mera
“Ah, astagfirullah! Maaf Rayyan, Adnan benar-benar menyita perhatianku! Terima kasih, aku bisa sendiri!” ujar Nadina lalu menerima sodoran kotak obat itu. Nadina duduk di kursi tunggu sembari membuka kotak itu perlahan. Diambilnya salah satu cairan pembersih luka dan di tuangkannya dengan sulit karena tangannya yang terluka mulai terasa kaku. Rayyan mengamati Nadina, ia ragu haruskah ia kembali menawarkan bantuan? Tapi ia khawatir juga tawarannya akan terkesan sebagai pemaksaan. Karenanyalah ia terus mengamati wanita itu untuk meyakinkan apa yang perlu ia lakukan. Hingga sampai di detik botol itu tampak hendak terjatuh karena posisi tangan Nadina yang di tak pas. Rayyan segera mendekat lalu menangkap botoo pembersih luka itu sebelum mendarat dan menumpahkan segalanya. “Aku akan membantumu, Nadina!” putus Rayyan lalu duduk di sebelah Nadina sembari meraih kapas dari kotak obat. “Maafkan aku, Rayyan. Aku nyaris menumpahkan semua isinya. Aku akan menggantinya nanti.” Nadian memandan
“Berhenti melantur, Regina! Hentikan ocehanmu itu atau aku yang akan membuatmu bungkam!” sergah Rayyan ketus. Pemuda itu benar-benar tampak telah lelah menghadapi wanita di depannya yang sekarang malah menuduhnya macam-macam. “Jawab dulu pertanyaanku, siapa wanita berhijab dan seorang anak laki-laki itu? Dia selingkuhanmu?” sergah Regina. Rayyan menghela napasnya sembari sebentar mengalihkan pandangan sebelum akhirnya kembali menatap Regina dengan mata nyalangnya yang tajam. “Dia muridku serta ibunya. Kenapa kau sibuk denganku, Regina?! Sudah kubilang berhenti mengekoriku! Kenapa kau terus ngotot, hah?! Aku tak akan kembali denganmu!” pekik Rayyan. “Murid dan ibunya? Apa kau yakin, Ray? Karena aku melihat tatapan lain di matamu!” “Apa?! Apa yang kau ligat, heh?!” Rayyan memajukan tubuhnya. Regina terus mundur bahkan hingga tubuhnya terantuk dinding dan tak lagi bisa mundur. “Kenapa diam? Katakan! Katakan apa yang kau lihat di mataku, Regina!!” bentak Rayyan lagi sembari memukul
Rayyan segera membalik tubuhnya guna melihat kembali apa yang ia lihat dalam kaca kecil mobil sang sopir itu benar ataukah tidak. Namun ia tak mendapati siapapun di belakang sana selain Madina yang masih mengamati mobil yang ia tumpangi melenggang pergi. Ia tampak sedikit panik, tak sedikitpun ia menggeser posisinya sampai matanya menangkap Nadina yang masuk ke dalam pondoknya kembali. “Ada apa, Pak? Ada yang tertinggal?” tanya sang sopir saat menangkap tingkah penumpangnya yang sedikit aneh. “Oh, ehm, tidak, Pak! Lanjutkan saja perjalanannya!” sahut Rayyan lalu kembali duduk di kursi penumpang dengan cukup tenang. Tak berhenti di sana, pikirannya terus menghantuinya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuka ponselnya dan menghubungi Regina. [Malam ini temui aku di restoran yang dulu biasa kita datangi. Aku tak memiliki banyak waktu, jadi datanglah tepat waktu!] tulis Rayyan kepada Regina. Sementara itu, Nadina kembali ke dalam pondok dan langsung menuju kamar putranya. Nadhi
“Maaf Umi, tapi jika Umi hendak kembali menjodohkan Nadina dengan Rayyan karena masalah ini, Nadina tidak bersedia, Umi.” Aminah menghela napas. Belum ia memulai apa yang hendak ia rencanakan. Lagi-lagi menantunya itu telah bisa membaca pikirannya. “Lihatlah istrimu, Nadhif! Ia seperti cenayang sekarang! Bagaimana bisa umi membantu Nadina melewati kesendiriannya ini? Bagaimana? Apa yang mesti umi lakukan untuk meyakinkan istrimu ini, Nadhif?” batin Aminah. “Baiklah, Nadian. Sekarang katakan, kapan Adnan mesti dibawa kembali ke klinik. Bukankah jahitannya harus diperiksa juga?” tanya Aminah. “Dua atau tiga hari lagi, Umi. Bisakah umi mengantar Nadina?” Aminah mengangguk setuju. Hari berganti malam, Rayyan telah menunggu kedatangan Regina sejak lima menit yang lalu, tak lama setelahnya Regina datang dengan gaya pakaian make up-nya yang terkesan terlalu berlebihan. Wanita itu duduk di hadapan Rayyan setelah datang mendekati Rayyan dan dengan tegas Rayyan menolaknya. “Jadi, ada apa
Rayyan melepaskan Regina dan memundurkan tubuhnya. Pemuda itu kini menatap Regina dengan tatapan yang cukup serius sementara Regina membalasnya dengan tatapan kecewa yang sedikit terselip apa amarah. “Aku tidak akan pernah meninggalkan kota ini tanpa kamu bersamaku, Rayyan! Jika aku tidak bisa memilikimu, maka tidak juga dengan orang lain!” Kepalan tangan Regina mendarat ke meja hingga membuat beberapa pengunjung menoleh terkejut. “Hentikan semua rencana gilamu, Regina! Sudah kubilang jangan menyentuh siapapun yang tak ada kaitannya dalam masalah kita. Jadi jangan berpikiran macam-macam!!” sentak Rayyan. Regina tersenyum miring sembari terkekeh getir. Wanita itu kini mengangkat wajahnya usai mengusap air matanya yang mengalir hingga membasahi dagunya. “Kenapa? Kau takut? Lagi pula dia bukan keluargamu, Ray! Kau tak akan bisa selalu menjaganya dariku!” “Hentikan, Regina!” “Kenapa? Kau berniat menikah dengannya? Supaya kau bisa selalu ada di dekatnya dan menjaganya dariku? Begitu?
Rayyan perlahan melepaskan genggaman tangannya pada lengan Nadina dan sedikit menggeser tubuhnya menutupi Nadina sembari menelan salivanya. “Ada apa, Ray? Kenapa kau–” celetuk Nadina sesekali melirik ke arah Regina juga. “Kenapa kau di sini? Kau sendirian?!” sergah Rayyan menatap Nadina dengan raut cemasnya. Nadina yang memandang wajah Rayyan penuh kekhawatiran turut merasa cemas. Ia bahkan seketika melupakan amarahnya karena Rayyan tiba-tiba menyentuh lengan pakaiannya karena pemuda itu kini malah tampak ketakutan. “Aku? Aku belanja, Ray. Ada apa denganmu? Kenapa kau aneh seperti ini? Semua baik-baik saja bukan?” tutur Nadina. Regina tampak mendekati Nadina dan Rayyan yang terlibat pembicaraan tanpa mengajaknya itu. Rayyan sedikit melirik kedatangan Regina. “Apa dia suamimu? Sepertinya dia sangat khawatir melihatmu berbicara dengan orang asing sepertiku,” celetuk Regina. “Ah, bukan! Jangan salah paham! Kami bukan suami istri. Hanya kenalan!” sela Nadina cepat. “Kau sudah sele
Wajah Rayyan kini tak dapat lagi menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia benar-benar tak menyangka Nadian akan mengeluarkan kalimat sedemikian rupa yang membuat jantungnya sebentar terhenti. “Apa maksudmu, Nadina?” ujar Rayyan. “Iya, kau berselingkuh dari wanita bernama Regina itu lalu hubungan kalian berakhir. Tidakkah kau berpikir tindakanmu salah, Ray? Jika kamu memang tidak siap dengan sebuah hubungan dan komitmen, kenapa membuatnya? Kau menyakitnya, Ray!” sergah Nadina. “Nadina, kau salah paham!” sergah Rayyan. “Salah paham? Salah paham di mananya? Sepertinya semuanya sudah jelas. Rasa khawatirmu pasti muncul karena kau takut dia mengatakan sesuatu yang buruk tentangmu kepadaku bukan?” “Ahh, aku jadi penasaran siapa wanita yang menjadi selingkuhanmu itu. Aku heran, kau tampak baik, Ray! Tetapi ternyata..,” “Nadina!” pekik Rayyan cepat seketika membuat Nadina sedikit tercekat. “Bukan aku yang berselingkuh! Dia yang berselingkuh!” Nadina terkekeh mendengar apa yang Rayyan tutur