"Menggunakan mulut juga boleh, Sayang," ucap Kevin dengan nada merayu. Namun sang istri mencoba menolak, meskipun ia sadar bahwa upayanya mungkin tak akan berhasil. Dalam sekejap, hanya dengan satu kali tarikan tangan, piyama tidur yang dikenakan istri pun terlepas, kancing-kancingnya jatuh di bawah. Begitu kuat pegangan Kevin hingga tubuh istri tersingkap hanya dalam satu gerakan. "Sayaaaaaaaang, jangan," sang istri mencoba menolak lagi. Namun Kevin mengabaikan keberatan istri, tubuhnya merebahkan sang istri di atas ranjang. Dengan perlahan, ia membuka habis semua pakaiannya. Setelah puas, Kevin mulai menguasai bagian dada istri, menandai kekuasaan dan kepemilikannya di sana. Air Asi sang istri terasa mengalir, namun bukan hal itu yang Kevin perhatikan, seolah pria tersebut malah menikmatinya. Setelah puas menorehkan tanda kepemilikan pada tubuh istri, kini Kevin melumat bibir istrinya dengan nafsu, merasakan lidah di dalam mulutnya yang menarikan sebuah simfoni desahan kenikma
"Kau tahu sedang berhadapan dengan siapa?" tanya Dimas dengan nada tegas, emosi terpancar dari wajahnya saat menatap wanita di hadapannya.Wanita itu memilih untuk menunduk, tampak ketakutan dengan situasi yang dihadapinya. Aura menakutkan terpancar dari kedua pria yang berdiri di depannya. Dinda merasa ketakutan luar biasa saat berhadapan dengan tatapan tajam kedua pria tersebut. "Kau harus belajar lagi tata krama agar hidupmu tidak penuh sial," ujar Dimas dingin, melampiaskan kekesalannya pada wanita malang itu. Sementara itu, Kevin memperhatikan dengan nada menertawakan. Rasa ingin tertawa berkecamuk di benak Kevin. Dimas, pria yang biasanya selalu sabar, kini justru mudah tersulut emosi. Bahkan wanita cantik di depannya pun dihadapinya dengan sikap dingin dan tegas. Kevin mulai bertanya-tanya dalam hati, apakah asistennya tersebut memiliki gangguan lain? Seperti memiliki ketertarikan pada sesama jenis? Kevin menggeleng cepat, menepis pikiran yang absurd itu. Padahal kenyataa
Beberapa hari kemudian, Dinda melangkah dengan penuh harap menuju gedung pencakar langit tempat berdirinya Adamson Corporation. Dia menepati janjinya untuk bertemu dengan Kevin, berharap di balik tembok beton ini akan menemukan harapan baru dalam hidupnya. "Ya Tuhan, mudah-mudahan aku diterima di kantor ini," ucapnya dalam hati, mencoba untuk menguatkan diri. Namun, saat Dinda hendak melangkah masuk ke dalam gedung dan menuju meja resepsionis, dia justru tak menyangka bertemu dengan sosok yang kerap meliputi hari-harinya dengan nuansa kelabu—pria menyebalkan yang hampir tak pernah tersenyum saat berjumpa dengannya. "Se–selamat siang, Pak Dimas," ucap Dinda dengan ragu-ragu, menyapa asisten dari pemilik perusahaan ini. Tak seperti yang diharapkan, Dimas malah menyambut dengan sikap ketus. "Mau apa kau datang ke sini?" tanyanya dengan sinis, membuat Dinda semakin merasa gelisah. Dinda mencoba mengambil nafas dalam-dalam, lalu saat hendak menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba ter
Dengan cepat, Kevin berbicara pada Dimas, "Ajak Dinda ke ruang kerjamu, dia akan mulai bekerja hari ini juga." Dimas menghembuskan nafas kasar, namun ia tak bisa mengelak dari perintah sang atasan. "Baik, Tuan," jawabnya patuh. "Ayo, ikut aku," ucap Dimas dengan nada ketus pada Dinda. Sikapnya itu membuat Kevin menegurnya. "Jangan bersikap kasar pada wanita. Kau harus bisa menghargai wanita dengan baik," nasihat Kevin tegas. Dimas sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dan meminta maaf. "Mohon maaf, saya salah. Kami permisi dulu," pamitnya sebelum membawa Dinda menuju ke depan ruang kerjanya. Setelah tiba di meja kerjanya, Dimas melampiaskan kekesalan hatinya pada Dinda. "Kau ini, bikin repot saja. Kenapa tidak mencari kerja di tempat lain?" tegurnya dengan keras. Dinda menunduk lesu, matanya berkaca-kaca. "Maafkan saya," jawabnya lemah. "Maaf, maaf. Dari tadi kau hanya bisa minta maaf terus," ucap Dimas, masih dengan nada ketus. Sementara itu, Kevin yang menyaksikan per
Saat jam pulang kantor tiba, akhirnya Kevin melangkah keluar dari ruang kerjanya. Dimas dan Dinda buru-buru berdiri, siap menyambutnya. Kevin tahu kalau keduanya sejak tadi terus saja beradu mulut. Ia seakan tak merasa nyaman dengan situasi tersebut, dan sebelumnya sengaja mencari celah untuk mengamati keadaan dari balik pintu ruangannya. "Apakah Anda akan pulang sekarang, Tuan?" tanya Dimas dengan nada ragu, mencoba menjalin percakapan. "Menurutmu aku mau ke mana?" sahut Kevin, ketus dan jelas tak dalam suasana hati yang baik. Dimas menelan ludah, mengatur nafasnya, kemudian menjawab, "Sopir sudah menunggu Anda di lobby, Tuan. Izinkan saya untuk mengantar Anda." Kevin menggeleng, lalu menatap tajam ke arah Dinda. "Kenapa aku harus diantarkan? Yang harus kau antar pulang adalah Dinda. Awas saja, nanti kalau tidak mengantarnya sampai apartemen lalu kau harus menjemputnya jam tujuh malam, dan ajak mereka ke rumahku." Dimas mengangguk pasrah, "Baik, Tuan," balasnya dengan lembut.
"Ayo, cepat ambil mobilmu, ini kuncinya!" teriak Dimas kepada Dinda, namun wanita itu seolah tak mendengarnya. "Aku tidak mau! Pergilah saja kau sendiri, dasar manusia sombong!" ucap Dinda, meluapkan amarah yang tak tertahankan di dadanya. "Ayo, Ma, kita pergi," ucapnya menarik tangan sang Mama, berusaha menjauhi sosok pria arogan bernama Dimas. Sementara itu, Dimas yang masih duduk di dalam mobilnya terpaksa turun. Bahkan saat itu, karyawan lain di kantor terjebak, tak bisa keluar karena gerbang terhalang oleh mobil Dimas. "Kau ini cari penyakit saja! Kau past suka kalau aku dimarahi sama tuan muda?!" teriak Dimas lagi, kemudian menarik tangan mamanya Dinda untuk membawanya masuk ke dalam mobilnya. Setelah wanita paruh baya itu masuk, Dimas menarik tangan Dinda dan menempatkannya persis di samping kemudian. Tak ada perlawanan dari Dinda, karena sadar bahwa mereka sudah menjadi tontonan. Bahkan koper-koper milik Dinda dan mamanya sudah dimasukkan oleh Dimas ke dalam mobilnya. Ia
Tepat pukul 18.30 waktu setempat, Dimas tiba di basement apartemen milik Dinda. Namun, tak ada tanda-tanda wanita itu dan mamanya berada di sana. "Sialan! Padahal aku sudah menyuruhnya untuk menunggu di sini," ucap Dimas dengan raut wajah memerah kesal. Hidupnya seakan-akan terus terkendali oleh kemalangan sejak bertemu dengan Dinda. "Ke mana dia bisa pergi? Aku jelas-jelas menyuruhnya menunggu di sini," geram pria itu. Dengan langkah berat, Dimas keluar dari dalam mobil. Baru saja ia hendak melangkah menuju lift, tiba-tiba Dinda muncul dari dalam lift yang ada di basement. "Baru datang ya?" tanya Dinda mencoba bersikap ramah. "Sudah satu jam," jawab Dimas dengan nada ketus, jelas ia masih kesal. "Selain suka bikin kesel, suka berbohong juga ya," sindir Dinda dengan tatapan tajam. "Jangan banyak omong! Ayo, cepat masuk," ucap Dimas memberi perintah pada Dinda, merasa semakin emosi berbicara dengan gadis tersebut. "Tunggu sebentar, aku nunggu mama dulu," ucap Dinda. Tak bersela
Setelah selesai makan malam, Kevin mengajak Dimas, Dinda, dan ibunya serta sang istri untuk duduk di ruang tamu, sementara ayah mertuanya diminta untuk beristirahat saja karena pria itu baru saja minum obat sebelum tidur. "Jadi, bagaimana Bu? Apakah nyaman tinggal di apartemen itu?" tanya Kevin mengawali perbincangan mereka dengan penuh kehangatan. "Sangat nyaman, Tuan. Terima kasih banyak, akhirnya kami memiliki tempat yang layak untuk berteduh. Terima kasih Nyonya, Tuhan pasti akan membalas kebaikan kalian," ucap ibu Dinda dengan penuh keterharuan. "Sama-sama, Bu," jawab Kevin dan istri serempak. "Setidaknya kami bisa membantu agar kalian betah di sana," sambung Kevin lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Dinda dan juga Mamanya. "Saya berharap Dinda dan Dimas bisa bekerjasama dengan baik. Saya tidak ingin melihat asisten saya terlalu kelelahan karena mengerjakan segalanya sendiri. Tolong kalian saling mendukung, jangan saling mempertahankan ego. Ingatlah bahwa kalian adalah