Saat ini, Gita sudah menempuh pendidikan tinggi yang diambilnya dua hari dalam satu Minggu. Dia juga sudah menjadi guru honorer di salah satu SD di kampung mereka. Bu Mila, meskipun usianya sudah tua, tetap diberkahi panjang umur dan kesehatan yang baik.Lalu Anisa, kini sudah duduk dibangku SMA, sementara mereka tidak lagi bekerja untuk Nita. Namun, hampir setiap hari mereka akan datang ke rumah Nita untuk melihat Gemilang yang sudah bersekolah di SD dan membantu meringankan pekerjaan dapur Nita. Hubungan mereka tetap terjalin dengan baik tanpa sedikit pun ada kerenggangan.Kondisi saat ini sangat berbeda dari sebelumnya. Toko Nita kini semakin besar dan bahkan telah memiliki satu cabang di luar sana yang dikelola oleh adik perempuan Heru. Heru juga telah membeli dua truk besar yang dipercayakan kepada Adi dan Ak Rudi.Rumah Bu Mila kini telah direnovasi menjadi rumah batako yang cukup besar, meskipun pembangunannya belum sepenuhnya selesai. Mereka merenovasi rumah tersebut secara be
"Mbak Nita, bagaimana kalau aku berhenti sekolah saja ya? Aku tidak usah melanjutkan, tidak apa-apa, Mbak. Biar aku bekerja saja di rumah Mbak Nita dan melanjutkan menulis novel," ucap Gita.Padahal, hanya sebuah tabung gas yang mungkin harganya tidak lebih dari 200 ribu. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang korupsi dan menggelapkan uang rakyat pulau ini hingga ratusan triliun? Kenapa tidak mereka saja yang diseret dan dipukuli oleh warga, bahkan bila perlu dibakar hidup-hidup karena telah menyebabkan rakyat pulau ini menderita. Gita menjadi geram sendiri memikirkan kekejaman orang-orang yang tidak punya perikemanusiaan dalam memperlakukan sesama manusia.Gita merebahkan tubuhnya sambil memandangi atap rumah yang belum terpasang plafon. Pikirannya masih gelisah, membuatnya berguling kesana-kemari di tempat tidur. Dia terus memikirkan nasib sang Bapak dalam video yang dilihatnya tadi, hingga akhirnya tertidur karena kelelahan.Sekitar pukul 02.00 dini hari, Gita terbangun dengan kei
"Aku kan pingin seperti Mbak Nita, Mas, yang suka berbagi."Heru mengangguk setuju, "Bagus itu, Gita. Berbagi itu mulia, apalagi di keadaan seperti sekarang ini." Gita hanya mengangguk, lalu melajukan motornya setelah menaruh barang yang dibelinya tadi.Namun, Gita tidak menuju ke sekolah. Sebaliknya, dia membelokkan motornya ke arah perkebunan sawit. Tujuannya saat ini adalah Pondok, tempat di mana Dodi tinggal bersama ibu dan adik-adiknya.Gita akhirnya tiba di pondok yang berada di tengah perkebunan pohon sawit itu. Dia memarkir motornya, lalu mengangkat dus mie goreng dan sekarung beras dan dibawanya menuju depan pondok.Pondok panggung itu terlihat sederhana dengan dinding yang terbuat dari triplek dan beratap plastik polybag. Dari belakang pondok, tiga anak kecil, satu laki-laki dan dua perempuan, berlari menghampirinya. Ketiga anak itu sepertinya hanya berbeda usia sekitar 2 tahun, yang tertua berusia sekitar 10 tahun."Mbak, mbak, cari siapa ya?" tanya anak perempuan yang beru
Sore hari setelah pulang mengajar, Gita segera berganti pakaian dan langsung pergi ke rumah Nita tanpa makan terlebih dahulu. Bu Mila, merasa sedikit heran, tetapi tidak terlalu peduli. Mungkin saja Gita merindukan Gemilang dan bisa makan di rumah Nita, jadi Bu Mila tidak terlalu khawatir. Namun, ketika sampai di sana, Gita tidak langsung pergi ke rumah Nita, melainkan mampir ke toko untuk menemui Heru."Mas Heru, ada lowongan pekerjaan nggak sih di kebun Mas Heru atau di tempat lain?" Gita bertanya pada Heru. Padahal Heru belum sempat menyapa dirinya.Heru merasa heran, "Emang siapa yang mencari pekerjaan, teman kamu?""Iya, Mas. Temanku. Kasihan dia, Mas. Ibunya sudah tua, adik-adiknya banyak, dan dia sama sekali nggak punya pekerjaan. Untuk makan saja mereka sulit," jawab Gita, matanya terlihat sayu menatap kosong."Teman kamu siapa? Kok mau kerja di kebun? Apa dia laki-laki?" Heru menanyakan lebih lanjut, karena selama ini dia sangat mengenal Gita dan belum pernah melihat Gita mem
Sore hari ini, Heru berniat menghubungi Adi untuk menanyakan apakah ada lowongan pekerjaan di kebun. Namun, saat Heru baru saja menekan tombol panggilan, Adi tiba-tiba muncul di pintu toko. Heru pun tertawa terbahak-bahak."Kenapa kamu tertawa?" tanya Adi, yang juga ikut tertawa saat melihat Heru. Ponsel dalam saku Adi berdering, dan Adi pun iseng menjawabnya."Halo, Bos! Ada apa menghubungi saya? Apakah ada yang bisa saya bantu?" Heru semakin tertawa, begitu juga dengan Adi. Kemudian, Adi mematikan panggilan dan duduk di hadapan Heru. "Bisa nggak sehari aja nggak menghubungiku. Kok kayaknya Kamu sangat terpesona sama aku ya?" ujar Adi sambil tertawa, yang kemudian mendapatkan pukulan ringan dari Heru di bahunya."Panjang umur banget, baru aku telepon, eh malah langsung nongol aja!""Kita kan sehati, jadi aku tahu kalau kamu sangat mengharapkan kedatanganku, cie!" Adi berkelakar."Ngomong-ngomong, kalian butuh tenaga baru nggak? Aku ingin kalian mempertimbangkan satu orang saja." Ta
"Kabar baik? Apa itu, Nak?" Bu Asih bertanya dengan penuh rasa ingin tahu."Ada pekerjaan di kebun Mas Heru untuk Dodi. Kalau Dodi mau, besok pagi dia bisa datang ke sana. Mas Adi, pengurus kebun, akan menunjukkan pekerjaan apa saja yang bisa dikerjakan Dodi," jelas Gita.Mendengar ucapan Gita, Bu Asih tampak sangat senang. Bahkan, air matanya menetes karena terharu."Alhamdulillah, terima kasih banyak atas bantuanmu, Nak Gita. Dodi pasti sangat senang. Soalnya dia sudah mencari pekerjaan ke sana kemari, tapi tidak ada yang membutuhkan tenaga," kata Bu Asih sambil menoleh pada anaknya, Lia."Lia, coba kamu cari Mas Dodi. Sepertinya dia sedang mancing di kolong belakang sana."Lia mengangguk dan segera keluar dari pondok, berlari kecil menyusul Dodi."Nak Gita, maaf ya, Ibu tidak ada minuman yang bisa disuguhkan kecuali air putih ini," kata Bu Asih sambil menyodorkan gelas kosong dan teko plastik di hadapan Gita."Tidak apa-apa, Bu. Ini saja sudah cukup kok," sahut Gita sambil menuangk
Mungkin hanya sekitar dua puluh menit, Dodi kemudian pamitan untuk pulang. Saat Dodi berdiri, Anisa muncul dari luar, dia baru datang dari tempat Nita. Anisa yang belum pernah melihat Dodi sedikit terkejut melihat ada orang asing di rumah mereka. Setelah Dodi pergi, Anisa langsung menanyakan soal Dodi pada Gita. "Mbak Gita, tadi itu siapa ya?""Oh, itu orang yang mau kerja di kebunnya Mas Heru. Kenapa?"Anisa tertawa kecil. "Kupikir cowok itu pacar mbak Gita, yang mau ngapelin mbak Gita."Gita langsung melotot pada Anisa. "Apa sih, kamu ini masih kecil sudah membahas soal pacar.”“Ya, karena mbak Gita belum punya pacar, tapi setidaknya harus selektif dong ya? Jangan seperti cowok tadi, udah agak cupu mana dekil lagi, untung saja bukan."Gita langsung menegur Anisa, "Kita tidak boleh menghina orang sembarangan, mau dia dekil atau cupu, dia juga manusia. Jangan menilai orang hanya dari penampilannya."Anisa segera menutup mulutnya dengan tangannya, tau jika sudah berbuat salah.“Astaghf
“Kamu mungkin tidak dididik oleh orang tua, kamu tidak disekolahkan oleh orang tua kamu, tapi kamu bisa jadi. Kamu bisa tetap maju tanpa mempedulikan apakah orang tua kamu kaya atau miskin, benar atau salah. Keputusanmu sendiri yang menentukan kemajuanmu, jadi berhentilah untuk menjadikan itu sebuah alasan dan mulailah berkembang, baik dari segi finansial maupun pemikiran.”Gita termenung, merenungkan kata-kata Nita. Setiap perkataan dari Mbak Nita memang benar adanya. Dia adalah bukti nyata, bahwa dulu orang sangat meremehkan dirinya dan memandang sebelah mata, bahkan saudaranya sekalipun. Namun, karena dia telah mengambil keputusan untuk bertahan dan berjuang, pada akhirnya waktu membawanya pada titik kesuksesan saat ini.Gita termenung, mengingat semua nasehat dari Mbak Nita. Sosok yang selama ini menjadi inspirasinya.Dia merebahkan tubuhnya diatas kasur tempat tidur miliknya. Malam ini dia melupakan pekerjaan dan ingin segera tidur.Pagi hari, Gita terbangun dalam keadaan segar b
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany