“Mbak, kok Gemilang sore-sore sudah tidur sih? Tumben amat.”“Iya tumben. Sepertinya itu pengaruh vitaminnya yang aku berikan tadi.Memang itu untuk anak lelap tidur, dan enak makan.” Jawab Nita.“Oh gitu. Ya pantas. Biasanya Gemilang betah sampai jam 8 jam 9. Kok ini tumben masih jam 7 sudah tidur.” ujar Gita.“Makan sana, Gita. Sayur tadi masih banyak loh.” ucap Nita, sambil dia mengangkat tubuh Gemilang dan memindahkannya dalam kamar.Gita hanya mengangguk, dia masih terdiam duduk di samping bekas tidur Gemilang tadi sambil menatap TV yang menyala, tetapi pikirannya tidak ke TV itu.Nita keluar setelah membaringkan tubuh Gemilang di tempat tidur. Dia melihat Gita. Gadis itu sepertinya sedang dalam masalah terlihat dari wajahnya yang murung. Nita menghampir, duduk di sebelahnya sambil meraih remote TV. Dia mengganti channel lalu bertanya tanpa melihat ke arah Gita.“Ada apa, kok sepertinya murung?”Gita menghela nafas.“Mbak Nita, katanya mau ajari aku nulis novel. Kapan?”Nita seka
“Nenek malas lah. Anisa ketakutan tuh. Nanti mau pipis aja minta anter. Padahal Nenek cuma punya cerita legenda mistis aja.”“Ayolah Nek, cerita. Gita mau mendengarkannya. Gita kan sedang cari inspirasi untuk belajar menulis novel seperti mbak Nita.”Anisa dan Bu Mila langsung menoleh pada Gita. “Benar seperti itu?” Tanya neneknya.“Iya, Gita juga masih belajar menulis kok. Apalagi bulan depan kan Gita udah mulai masuk sekolah. Jadi ini kesempatan Gita.”“Baiklah, kalau begitu nenek mau cerita lagi. Tapi ini bukan tentang horor ya, cuman tentang mistis saja. Biar Anisa nggak takut.” jawab Bu Mila ,membuat Gita tersenyum senang. Kemudian naik ke atas kasur nenek dan tiduran di sebelah nenek. Sementara Anisa, nyempil di tengah-tengah mereka karena takut.Nenek memulai bercerita.“Ini tentang sebuah danau angker yang dihuni oleh siluman buaya putih.”“Wah, sepertinya sangat menarik ini.” ujar Gita, rasa tak sabar mendengar cerita Neneknya.“Tidak tahu, ini adalah kejadian betul atau tida
Gita menoleh, matanya bersinar saat menyadari Nita tengah memperhatikannya yang terus terusan membenahi jilbabnya di depan cermin. Pipinya memerah, ia tersenyum tersipu, "Pantes nggak sih, mbak, aku berpakaian seperti ini?" tanya Gita dengan suara gemetar.Nita tersenyum hangat, ia mengerti bahwa Gita merasa tidak percaya diri dan tegang. Dengan lembut, ia menenangkan, "Tentu saja pantes lah. Malah sangat cantik, dengan pakaian seragam putih abu-abu ini. Sana, cepat berangkat, belajar yang rajin, ya." Nita menyodorkan tangannya, dengan penuh hormat, Gita mengulas senyuman, lalu menyambut tangan Nita dan menciumnya sebagai tanda rasa terima kasih dan hormat.Uang pecahan 50 ribu di ulurkan Nita. “Uang jajannya.”“Banyak amat mbak.”“Ya untuk besok lagi, atau sebagian di tabung.”Gita memberi gerakan hormat, kemudian melambaikan tangannya sebelum akhirnya keluar rumah sambil tersenyum lebar.Dia melihat Heru sudah memanaskan motor, menenteng helm khusus milik Gita.“Nih, berangkat lah.
"Eh, iya. Sama dia juga." Alin, si gadis remaja itu, menunjuk Gita sambil tersenyum. Gita tersenyum malu-malu pada mereka, lalu satu per satu mereka saling memperkenalkan diri, menyebut nama dan asal sekolah masing-masing.Terungkap bahwa Alin merupakan murid terfavorit ketika masih di SMP dan termasuk anak orang kaya di kampung ini. Orang tuanya memiliki usaha perkebunan sawit dan tambang timah yang sangat luas. Bahkan, Alin selalu diantar dengan mobil mewah ke sekolah.Kebetulan rombongan tim Gita ini berasal dari SMP yang sama dengan Alin. Semua tampak sumringah dan bersemangat karena bisa satu tim dengan Alin, yang dikenal sebagai murid unggulan dan memiliki reputasi baik. Euforia mereka semakin terasa ketika bersama-sama menghadapi berbagai tantangan dalam kegiatan tim mereka nanti.Di tengah keramaian, Gita merasa cemas dan gugup saat mereka mulai bertanya tentang latar belakang serta asal sekolahnya. Tangannya terketar-ketar, dan suara jantungnya terdengar keras di telinganya.
“Munak siapa?” Gita berpikir, sepertinya tidak ada yang namanya munak?Alin cekikikan kecil, “Itu tetanggamu yang reseh itu.”“Oh, hehe. Ada masih. Dia yang jatuhin ayam sambalku tadi, katanya dia yang mau beresin meja.”Alin hanya mendekikkan bahunya, dan melangkah masuk bersama Gita.Saat mereka mau masuk, Indah dan Ayu Sudah keluar dari kelas.“Mejanya udah bersih, Gita. Maaf ya udah ganggu makan kamu, kalau gitu aku permisi.” Belum juga sempat Gita menjawab, Indah dan Ayu sudah nyelonong pergi.Gita tidak ingin memikirkan itu, meskipun sedikit merasa aneh saja dengan sikap mereka hari ini. Tumben kok baik.Dia melanjutkan makannya, begitu juga dengan Alin.“Aku malas kalau ada mereka, selera makanku langsung kacau rasanya.” Ujar Alin.Gita tersenyum, “Nggak tau juga, kenapa mereka tiba-tiba baik padaku? Biasanya selalu judes.” Ucap Gita.Alin menoleh, menatap Guta sekilas. Dia juga berpikir demikian.Saat jam istirahat telah usai, wali kelas sudah masuk kembali. Bu Siska memberi p
Alin terdiam, ada rasa kecewa pada Gita yang selama ini ia anggap jujur, polos dan baik. Tapi juga terselip keraguan dalam hatinya. Belum sempat Alin bicara, bu guru sudah berkata, “Gita, kamu ikut ibu ke ruangan BK. Sekarang juga. Kamu juga Alin.”Gita menoleh pada Alin yang tidak bisa berkomentar apa-apa. Dengan wajah menunduk dan langkah berat, Gita mengikuti Bu Siska untuk ke ruangan BK.“Huh, dasar maling!” beberapa anak-anak berteriak pada Gita. Antara teriakan Mereka, suara Desi kencang.Entah kenapa, saat ini Alin begitu ragu untuk mengikuti langkah kaki mereka. Ada hal yang tiba-tiba terpikirkan oleh-nya.“Bu Guru, tunggu sebentar.”Sebelum Bu Siska dan Gita sampai di pintu, tiba-tiba Alin berseru.Bu Siska menoleh, begitu juga dengan Gita.“Kenapa lagi Alin, kita pergi ke ruangan BK dan selesaikan masalah ini disana.”Alin mendekat, kembali menatap Gita yang sudah menangis tanpa suara sejak tadi.“Bu, maaf. Saya baru ingat. Saya yang salah masukin uang dalam buku Gita.”Semu
Alin mengangguk dan mengikuti langkah Gita yang membawanya masuk ke dalam rumah itu. "Assalamualaikum," Gita mengucapkan salam, dijawab oleh Nita yang masih ada di ruangan tengah."Waalaikumsalam. Eh, Gita, sudah pulang?"Ketika menyambut uluran tangan Nita, Gita langsung memeluk Nita dan menangis tersedu-sedu. Nita pun terkejut."Ada apa, Gita? Kamu ada masalah di sekolah?" Tanya Nita sambil mengelus lembut kepala Gita. Gita belum menjawab, dia masih menangis tersedu-sedan. Nita kemudian menyuruhnya untuk duduk, dan dia ke belakang mengambil air minum. Dia menyuguhkan segelas air minum untuk Gita.Gita menerima air tersebut dan meneguknya. Nita menoleh pada Alin yang masih berdiri di sana. "Kamu temannya Gita? Duduk saja, Dek.""Iya," jawab Alin langsung duduk di sebelah Gita. Nita pun ikut duduk di depan mereka.Dia menatap Gita yang sudah mulai tenang. "Ada apa, Gita? Cerita sama Mbak Nita. Apa ada yang mengganggumu di sekolahan?"Gita menggeleng pelan.Tiba-tiba Alin bersuara, "Ta
Nita dan Alin terkejut mendengar ucapan Kita. Kemudian Nita berkata, "Mana bisa seperti itu, Gita? Kamu harus tetap sekolah sampai lulus. Tidak akan terjadi apa-apa padamu, percayalah. Jika kamu benar, maka Allah akan melindungimu dan menjauhkanmu dari fitnah serta orang-orang yang tidak menyukaimu.""Iya, Mbak Nita, itu benar. Gita, kamu jangan menyerah ya. Aku akan menjadi temanmu yang paling setia. Percayalah, semua akan baik-baik saja," ucap Alin.Entah mengapa, Gita merasa ragu dan takut. Dia benar-benar ketakutan jika tidak bisa menghindari fitnah atau orang-orang yang tidak menyukai kehadirannya di SMA itu. Sementara itu, Nita tidak mungkin membiarkan Gita menghadapi masalah seorang diri. “Jika nanti ada masalah lagi, kamu jangan sungkan untuk bicara pada mbak Nita. Jika ada yang mengganggumu atau sudah keterlaluan padamu, maka Mbak Nita dan Mas Heru tidak akan tinggal diam. Kami akan datang ke sekolah untuk menyelesaikan masalahmu. Kamu harus belajar, Gita. Kamu harus terus se
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany