“Naila ada di dalam bersama Neneknya, Papanya juga masih perjalanan ke sini, karena Papanya kemarin ke luar kota ada urusan pekerjaan,” jawab Bu Laila seakan tak nyambung dengan pertanyaanku. Mungkin dari pada nggak menjawab.“Boleh saya masuk, Bu?” tanyaku minta ijin. “Jangan dulu, Nak. Tadi aja Toni masuk dia menyuruh Toni keluar. Mungkin dia malu dengan kondisinya,” jawab Bu Laila. Aku melirik Toni.“Kalian semua sudah tahu penyakit Naila, dia terlalu minder dengan kamu, Nak Toni,” jawab Bu Laila dengan air mata berlinang. Toni juga terlihat matanya nanar.“Apa kata dokter, Bu?” tanyaku. Masih sangat penasaran. Bu Laila menarik nafasnya kuat-kuat dan melepaskannya perlahan.“Dokter menyarankan segera melakukan pengangkatan rahim, tapi Naila selalu menolak,” jawab Bu Laila semakin terisak pilu. Sesama perempuan hatiku sangat terasa sesak. Aku juga mendesahkan nafas, ingin membuang rasa sesak ini.“Bu, saya mau menikahi Naila, apapun kondisinya?” celetuk Toni. Kami semua mengarah pa
[Bagaimana kabarnya Lika, sehat?] tanya Bu Dokter itu mengawali basa basi. [Masih sering mual aja, Bu,] jawab Lika. Ya, dari awal terdengar wajar.[Biasa, namanya juga maag] jawab Dokter itu. [Tapi karena maag saya kambuh, jadi alasan buat saya kalau saya hamil, biar nggak jadi di cerai sama suami saya,] jawab Lika. Membuat semua mata mendelik saat mendengarnya. Apalagi Lika. Dia terlihat sangat pucat.[Tapi, Lika. Cepat atau lambat pasti akan ketahuan, kalau kamu berbohong,] jawab Dokter itu mengingatkan.[Bu, dokter tenang saja, itu sudah saya pikirkan matang-matang, yang terpenting sekarang suami saya nggak akan menggugat saya,] sahut Lika terdengar sangat percaya.[Tapi, saran saya, kamu harus hati-hati, karena cepat atau lambat akan ketahuan, jadi menurut saya kamu lebih baik jujur,] sahut dokter itu masih berusaha mengingatkan.[Ok, Bu. terimakasih untuk tespeck dua garisnya kemarin,] ucap Lika.[Itu punya pasien, ngomong-ngomong untuk apa kamu memintanya?] tanya dokter itu.[
“Aku menyesal mengenalkan kamu kepada Mas Toni, Lika! Aku kira kamu perempuan baik, hingga aku memutuskan untuk mengenalkanmu dengan Mas Toni,” suara Naila terdengar serak dan bergetar. Dengan air mata yang terus berjatuhan. Wajahnya sangat pucat dengan rambut terurai sedikit berantakkan. Lika masih terdiam, dengan memegangi pipi yang habis di tampar oleh Naila.“Aku mencoba mengalah, karena aku merasa nggak pantas untuknya, kamu yang sudah mendapatkannya, menyia-nyiakannya begitu saja. Aku benar-benar menyesal mengenalmu!” ucap Naila lagi, memegang dada mengatur nafasnya. “Naila aku benci kamu!!!” teriak Lika ingin mendorong Naila. Seraya kilat Toni, memasang punggung untuk Naila. Aku seret Lika sebisanya. Agar dia tak menyentuh Naila. Nggak tahu apa jadinya kalau Naila, sampai kena dorongan Lika.“Cukup Lika, Naila tak bersalah, kamu yang bersalah!!!” bentakku ke Lika.“Orang seperti mu tidak bisa mengerti kesalahanmu! Orang sepertimu hanya bisa menyalahkan orang lain!” sungut Mas
“Apa? kamu mau menikahi, Naila?” sentak ibu saat mendengar niatan Toni. Kami semua terdiam. Hatiku bergemuruh melihat reaksi ibu. Seakan tak terima.“Restui Toni, Bu!” bujuk Toni memelas. Ibu seketika membuang muka.“Apa kata tetangga, Toni! Kamu belum resmi bercerai dengan Lika, sekarang sudah mau menikah lagi,” ucap Ibu dengan tatapan mata memandang pintu. Tidak mau melihat wajah anaknya. Iya, aku faham maksud ibu. Pasti bagi tetangga yang nggak tahu sebab musabab Toni bercerai, karena Toni ijin menikah lagi. perempuan mana yang mau di madu? Jelas Lika minta cerai. Pasti seperti itu pikiran orang.Belum lagi pikiran keluarga besar Lika. Kalau seandainya tahu Toni nikah lagi dan sebelum resmi bercerai. Entah, seperti makan buah simalakama.“Bu, Toni nggak perduli apa kata tetangga, Toni hanya ingin menikahi Naila sebelum terlambat dan akan meninggalkan penyesalan mendalam,” sahut Toni. Ibu terdiam sejenak. Mengatur hembusan nafasnya.“Toni! Naila itu sakit tumor rahim, susah bagi dia
“Apa? wanita tak mempunyai rahim akan kamu nikahi?” bentak ibu memandang ke arah Toni. Aku hanya bisa tertunduk takut dan memejamkan mata. Tak tega melihat Toni. Hatiku merasa sangat bersalah dengan Toni. Lagian kenapa Ibu tanyanya sama aku, nggak sama Mas Riko atau Toni?“Karena Naila mau operasi pengangkatan rahim itu, Toni mau menikahi Naila sebelum operasi itu di lakukan,” sahut Toni masih kekeh dengan niatnya. Masih berusaha membujuk ibunya.“Apa maksudmu, Ton!!!” teriak ibu, seakan bingung dengan jalan pikir anaknya.“Naila tetap kekeh nggak mau di angkat rahimnya, Ibu! makanya Toni ingin segera menikahi dia, biar dia mau di operasi, karena Toni nggak mau nyawa Naila yang terancam,” Toni mencoba menjelaskan dengan suara naik turun. Aku mengerti maksud Toni. Dia menikahi Naila di saat organ tubuhnya masih utuh. Ketika salah satu organ tubuh itu akan di ambil, Naila mendapatkan dukungan dari orang yang dia cintai. “Nggak! Ibu tetap nggak setuju!” ibu masih bersikeras dengan pendi
Suasana malam hari di Rumah Sakit. Masih ramai orang yang menjenguk keluarga atau sahabat. Yuda aku titipkan ke Bu Retno. Kasihan dia jika harus ikut lagi. Apalagi dia besok harus sekolah. Naila tetap dengan pendiriannya, nggak mau untuk di angkat rahimnya. Dia hanya bisa menangis, memohon kepada keluarganya, untuk membatalkan operasi itu. “Saya nggak tahu lagi, bagaimana harus membujuk Naila,” celetuk Bu Laila. Kami semua terdiam. Kulirik Ibu dia juga masih membisu.“Saya ingin menengoknya, Bu,” ucap Toni.“Bujuk dia ya, agar dia mau melakukan operasi itu,” pinta Mama Naila. Toni hanya bisa mengangguk pelan.“Boleh saya juga ikut masuk?” tanya Ibu kepada mama Naila.“Silahkan, Bu! terimakasih sudah mau menjenguk anak saya,” jawab Bu Laila. Ibu mengangguk perlahan. Kemudian ikut masuk ke dalam ruangan. Aku juga mengikuti mereka masuk ke ruangan Naila. Karena penasaran.Wajah Naila sangat pucat. Rambutnya berantakan. Matanya sembab, mungkin habis menangis lama. Toni duduk di kursi de
“Atau kamu memang nggak sayang dengan nyawa kamu? Hingga ingin meninggalkan kami semua?” tanya Toni lagi. Air mata Naila semakin berjatuhan tiada henti. Dari tadi aku hanya bisa diam. Karena jujur juga bingung mau ngomong apa. Ku lihat Bu Laila melihat kami dari pintu. Karena pintu Rumah Sakit ini separuh atasnya kaca bening. Jadi bisa melihat kondisi pasien tanpa harus masuk ke dalam. Dia juga menangis, melihat perjuangan Toni membujuk Naila.Aku mendekati Naila, memegang tangannya. Berusaha menenangkan kegundahan hatinya.“Nai, boleh Mbak ngomong sesuatu?” tanyaku memulai pembicaraan. Ku lihat Ibu dia juga memandangku lekat. Begitu juga dengan Toni. Mas Riko tidak ada di sini. Dia menunggu di luar.“Silahkan Mbak,” lirih Naila juga menatapku.“Apapun yang ada di dunia ini, menurut Mbak masih bisa kita dapatkan, asalkan kita mau berusaha. Tapi ada satu yang tidak bisa kita dapatkan, kamu tahu itu apa?” tanyaku. Dia masih terdiam, seakan memikirkan ucapanku.“Cinta?” Jawab Naila, sea
Pagi ini tugas ibu negara sudah menunggu. Badan rasanya capek luar biasa. Ngilu-ngilu gimana gitu, karena kemarin bolak balik rumah sakit. Yuda sudah di antar papanya berangkat ke sekolah. Aku masih dengan berkutat dengan dapur dan kamar mandi. Dari cuci piring sampai cuci baju dan ngepel.Setelah semua beres sudah mandi juga tentunya, aku mendekati Mas Riko yang lagi asyik dengan gawainya. Mungkin dia hanya buka-buka youtube.“Mas,” sapaku. Dia memandang seraya mengangkat satu alisnya.“Hemmm,” jawabnya, masih dengan mengangkat sebelah alisnya.“Maaf, ya, kalau aku kemarin aku bilang sama Naila, kalau aku mau memberikan anak ke dua kita ke Naila, kalau dia menikah dengan Toni,” ucapku. Dia menautkan ke dua alisnya. Aku merasa bersalah dengan Mas Riko, karena di kamar Naila kemarin tidak ada Mas Riko. Aku takut dia marah dan nggak setuju. Apalagi dia terdiam sekarang. Dag dig dug rasanya hati ini.“Kamu hamil?” tanya Mas Riko. Sekarang aku malah yang menautkan alis.“Belum, maksudku b
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu