“Mbak Rasti, pucat banget mukanya?” tanya Mak Rida. Aku menggunakan masker, untuk masuk ke warung Mak Rida. Aku ingin mendengar obrolan mereka dulu. Seraya pura-pura milih belanjaan. Lagian warung Mak Rida lumayan ramai. Nggak mungkin aku mau langsung menyerang Mbak Rasti.“Iya, loo, Ti, kamu pucat banget,” sahut Mak Mak yang lain lagi. Entahlah, siapa namanya aku nggak tahu.“Alhamdulillah, Mak, bawaan bayi,” jawab Mbak Rasti. Cukup membuat gelegar panas di telinga dan hati. Mbak Rasti hamil lagi? Beruntung sekali dia. Sedangkan aku sampai di belain, mengikuti ide gila Mbak Juwariah juga nggak berhasil. Pasti ibu semakin sayang sama Mbak Rasti. Hati ini terasa benar-benar bergemuruh.“Kamu hamil? Wah, syukurlah, selamat, ya,” ucap Mak Rida.“Iya, Ti, selamat ya, Yuda bentar lagi punya adik, jadi ikut seneng,” jawab Mak yang satunya.“Alhamdulillah, bawaannya masih teler, Mak,” jawab Mbak Rasti, yang menurutku lebay. Halah, paling juga di lemes-lemesin badannya, biar dapat perhatian d
“Tadi udah Rasti bayarkan? Rasti permisi dulu, ya!” ucap Mbak Rasti pamit.“Udah, Mbak Rasti. Di jaga baik-baik ya, kandungannya. Lancar sampai persalinan.” Sahut Mak Rida.“Iya, Ti, di jaga baik-baik kandungannya. Semoga anak saya juga segera ketularan. Udah pengen nimang cucu,” sahut emak yang lainnya.“Aamiin, terimakasih ya, doanya. Semoga anak emak segera hamil ya, biar cepat nimang cucu,” jawab Mbak Rasti sok ramah. Benar-benar gatal rasanya telingaku mendengar mbak Rasti di baik-baiki sama orang.“Saya juga pamit, ya, Mak Rida. Ini uang belanjaan saya, pas kan?” sahut, emak-emak itu.“Owh, iya mak, pas kok,” jawab Mak Rida. Kemudian semua berlalu. Warung sudah sepi. Aku mendekat ke Mak Rida. Niat hati ingin memberi Mbak Rasti pahitnya Kopi, ternyata warung ini lumayan ramai. Tapi biarlah, bisa kapan-kapan. Lagian rumah Mbak Rasti juga belum pindah. Bisa kapan saja aku ke sana melancarkan aksiku.Setidaknya aku bisa tahu tentang info Mas Toni, yang memang beneran sudah menikah l
Akhirnya sampai juga di alamat yang di berikan Mak Rida. Lumayan jauh, tapi demi rasa penasaran dengan Mbak Juwariah, aku datangi alamat itu. Kenapa dia berbuat seperti denganku? Jahat sekali dia.Perjalanan sekitar dua puluh menit naik motor dengan laju sedang. Jalan yang di lewati juga bagus, tak ada menemui jalan yang rusak. Rumahnyapun di jalan poros, jadi gampang mencarinya. Tapi, walau jalan menuju rumahnya berliku akan tetap aku tempuh. Terlalu sakit dia meninggalkan bekas luka.Motor ini sudah berada di halaman alamat rumah yang di kasih Mak Rida tadi. Semoga nggak salah alamat. Aku lihat lagi secarik tulisan di kertas. Pas, sesuai juga dengan nomor rumahnya. Dengan langkah pasti aku mendekati rumah itu. Pintu rumahnya terbuka. Semoga saja Mbak Ria ada di rumah. Tidak lagi keluyuran. “Assalamualaikum,” salamku, aku melongokkan kepala. Pintu rumah terbuka, tapi tak ada sahutan. “Assalamualaikum,” aku mengulangi lagi ucapan salam. Seraya semakin meninggikan nada suara. berhar
Mendengar usirannya. Aku semakin merebahkan badan di sandaran kursinya. Aku ingin membuat ibu hamil ini semakin kacau pikirannya. Balas dendam tak perlu jambak-jambakkan rambut atau cakar-cakaran. Cukup balas dengan santai, dia sendiri yang merasa sakit.“Kalau aku nggak mau pergi, Gimana?” tanyaku seraya memainkan gawai dengan santai. Wajahnya semakin terlihat geram.“Maumu itu apa, Lika?” bentaknya lagi.“Tenang dong, selow, ibu hamil nggak boleh marah-marah, walau itu anak haram. Ops,” ucapku, seraya membungkam bibir dengan gaya kemayu. Sengaja ingin membuat dia semakin geram.Dia terlihat sedang mengatur nafasnya. Di pegang dadanya yang naik turun. Mencoba mengatur emosinya. Dia akhirnya duduk kembali di tempat semula.“Bukannya ini semua rencana, Mbak. Niat awal ingin menghancurkan rumah tangga Mbak Rasti, kan? Berujung rumah tanggaku yang hancur. Tapi nggak masalah, untung udah bosen sama Mas Toni,” jawabku masih dengan nada biasa saja. Bahkan nada bersyukur yang aku gunakan. Pa
Badan ini terasa nggak nyaman di ranjang. Hanya gulang guling saja dari tadi. Padahal malam semakin larut. Tapi mata ini belum bisa terpejam. Akhirnya memilih mengambil gawai lagi, yang sudah aku letakkan di meja. Ya, dari tadi aku hanya main gawai membuka-buka sosial media.Karena bingung mau ngapain lagi, terpaksa aku berselancar lagi di dunia maya. Aku masih penasaran dengan pernikahan Mas Toni sebenarnya. Kalau belum lihat sendiri dia menikah denga Naila, aku masih belum percaya.Akhirnya aku mencari mengetik nama Toni Maulana di pencarian. Mata ini menyipit saat melihat photo profilnya berubah. Dia memasang photo mereka berdua. Photo yang sangat romantis membuat hati ini cemburu. Seketika aku penasaran dengan isi komentar. Aku langsung mengkliknya. Benar saja ratusan komentar membanjiri. Ada yang mengucapkan selamat, doa kebaikan, ada juga yang bertanya-tanya. Tak terasa air mata ini menetes dari sudut mata. Seakan tak percaya kalau Mas Toni sudah benar-benar melupakanku. Kenap
Kulihat pintu kamar Papa terbuka. Mungkin sengaja di buka biar aku tahu Papa ada di dalam. Biar aku tak segan mengetuk pintu kamar itu. Dengan langkah pelan aku masuk ke dalam kamar. Kenapa aku setakut ini sekarang? Padahal dulu suka-suka aku, jika ingin masuk ke kamar Papa Mama. Sekarang ada rasa nggak enak mau masuk kamar ini. Terasa kayak orang lain. Suasana rumah ini benar-benar berubah. Sudah nggak seperti dulu lagi.“Pa,” sapaku, seraya masuk ke dalam. Kulihat Papa lagi duduk di sofa yang tak jauh dari sisi ranjangnya.“Hem, masuk,” jawab Papa juga terdengar ketus. Deguban jantung merasa semakin menjadi-jadi. Semakin membuatku takut melihat mata Papa. Kulihat Papa lagi membolak-balik koran yang dia pegang, seraya menggunakan kaca mata bacanya. “Kata Mama, Papa mau ngomong sama Lika?” tanyaku bingung. Karena Papa masih asyik dengan korannya. Padahal aku sudah duduk di sofa. Berasa di anggurin. Aku nggak berani lagi mengganggu Papa. Padahal dulu aku sering menarik korannya kala
“Udah turuti saja pemintaan, Papamu, nggak usah protes,” ucap Mama saat aku ceritakan. Karena bingung mau cerita ke siapa lagi. Nggak ada teman yang bisa aku ajak tukar pendapat sekarang. “Tapi, Ma ...,”“Kamu niat nggak minta maaf sama, Papa dan Mama!” bentak Mama memotong ucapanku. Merasa nggak adil. “Niat banget, Ma, meminta maaf sama Mama dan Papa. Tapi kan nggak harus mengirimku ke jogja,” jawabku. Iya, Papa ingin mengirimku ke Jogja. Kalau aku ke Jogja, bagaimana bisa membalas dendam? Aku hancur, semuanya juga harus hancur. Enak saja mereka bahagia, aku sengsara.“Kalau niat ya, turuti keinginan kami, apa susahnya kamu ke Jogja. Ikut dengan nenekmu,” bentak Mama. Semenjak pisah dengan Mas Toni, Mama dan Papa jarang sekali bicara lembut denganku. Yang ada bentak-bentak terus nada bicaranya. Nggak ada kedamaian lagi rasanya. Rumah ini benar-benar sudah seperti neraka. Panas terus perasaan hati ini.Aku nggak akan kuat menghadapi Nenek. Secara nenek itu kaku banget orangnya. Haru
“Hanya berpamitan dengan teman-temanmu saja minta waktu sebulan? Apa yang mau kamu rencanakan Lika? Jangan buat Mama dan Papa malu lagi,” sahut Mama seakan bisa membaca isi pikiranku. Apakah terlihat dari raut wajahku? Aku harus bersikap lebih santai lagi, biar Mama nggak curiga.“Ma, segitunya Mama sudah nggak percaya dengan anak sendiri? Lika memang pernah membuat kesalahan yang fatal, tapi kasih Lika kepercayaan lagi. Lika juga tidak merencanakan apa-apa. Hanya ingin berpamitan dengan temen-temen dekat saja, Ma, percaya sama Lika,” ucapku meyakinkan Mama. Seraya menyatukan sepuluh jari. Memohon, berharap Mama mengabulkan permintaanku. Untuk kesekian kalinya Mama mengatur nafasnya. Mengontrol emosinya. Kuusap wajahku dengan perasaan galau. Bingung karena jujur aku malas ikut Nenek Rumana. Bisa stres kalau tinggal bersama Nenek Rumana. Mana rumahnya di kampung plosok. Kalau di kotanya masih mending. Ah, benar-benar tak sanggup aku membayangkannya. “Ngomong sendiri dengan Papamu, M
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu