Beberapa jam setelah itu, Marcel datang kembali ke rumah inti mertuanya. Sudah bisa ditebak, Herman teramat murka dengan keputusan yang telah Marcel buat.“Kamu berniat menghancurkan perjanjian kita, ha?” tanya Herman geram.“Perjanjian kita memang sudah hancur, makanya aku sudah tidak tahan lagi untuk tetap bersama Shirley.” Marcel berkomentar tenang.“Terus kenapa kamu meninggalkan rumah ini, kenapa?” sergah Herman.“Shirley selingkuh,” jawab Marcel singkat.Herman mengerutkan keningnya tak percaya.“Kembali sekarang, perjanjian ini masih bisa diperbaiki.” Dia berkata tegas. “Jangan mempersulit hidup kamu lagi.”“Aku ke sini justru mau kasih tahu Ayah kalau aku akan mencarikan dana untuk membayar utang,” sahut Marcel sekenanya. “Jadi Ayah tidak perlu memaksakan pernikahan aku dan Shirley lagi.”Herman mengembuskan napas keras.“Kamu pikir semudah itu?” tukasnya. “Sudahlah, lebih baik kamu temui Shirley dan minta maaf sekarang.”Marcel menggeleng tegas.“Aku akan buktikan sama Ayah,”
Wajah Ronnie merah padam ketika Marcel mengingatkan soal tantangan itu.“Kamu meragukan kemampuan perusahaan ini?” tanya Ciko geram. “Kamu pikir kamu siapa!”Saat mengatakan itu, Ciko mengamati Marcel dan baru tersadar jika penampilan adik iparnya itu sudah jauh berubah.Marcel yang biasa menggunakan kaos berkerah khas seragam toko tempatnya bekerja, kini justru mengenakan jas formal seperti dirinya, dengan arloji perak yang melingkar di pergelangan tangannya.Ciko yang suka mengoleksi arloji, jelas sangat tahu kalau arloji yang dikenakan Marcel bukanlah barang murah.“Sudah naik jabatan rupanya,” komentar Ciko sinis. “Jadi direktur toko?”Ronnie mendengus dengan tawa yang tertahan.“Begitulah,” sahut Marcel tenang. “Jadi bagaimana, kalian berani tidak?”“Aku tidak sudi sujud di kaki kamu, najis.” Ciko mencemooh, dan Ronnie heran sekali karena Marcel masih bisa menghadapi penghinaan itu dengan tenang.“Ya sudah, kamu punya ketakutan kalau perusahaan orang tua kamu gagal kan?” kata Mar
“Kamu harus sembunyi!” seru Venya tertahan sambil berdiri.“Buat apa aku sembunyi?” tanya Marcel heran. “Pintu sudah terkunci sistem kan.”Venya tidak segera menjawab, tapi tatapan matanya begitu waspada dan khawatir.“Ada apa, Ve?” tanya Marcel penasaran.“Aku belum bisa menjelaskannya sekarang, Cel ...” jawab Venya dengan nada meminta maaf. “Sembunyi saja dulu ....”Marcel diam dan tidak lagi mendesak Venya, meskipun ingin tahu apa yang terjadi.Fokus mereka berdua kini teralihkan sepenuhnya oleh percakapan yang terdengar di luar.“Buka pintu!”“Telepon si Marcel!” “Buat apa? Sudah seharusnya kita punya hak masuk ke sini!”“Siapa pun buka pintunya!”Marcel dan Venya saling pandang.“Bagaimana ini?”“Jangan buka pintu.”“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”“Entahlah, mereka tidak akan mundur.” Venya berusaha tenang. “Atau sebaiknya aku temui mereka ....”“Buat apa?”Sejurus kemudian, Marcel mendengar suara benda keras yang dibanting.“Apa kita perlu keluar sekarang?” bisik Marcel, lab
Setibanya di dalam lab, Venya sukses memancing rasa ingin tahu Marcel karena melihat tampang Venya yang sekeruh lumpur.“Ada apa, Ve?”Venya segera menjelaskan kronologi kejadian yang sempat dia alami ketika menghadapi keluarga Delvino yang memaksa ingin masuk lab. Marcel geleng-geleng kepala sebagai tanggapan atas sikap dari keluarga istrinya itu.“Congkak sekali kan mereka,” komentar Marcel.“Aku tidak apa-apa ...” sahut Venya pelan.“Kalau kamu sampai dapat kekerasan verbal atau fisik, bilang aku.” Marcel menatap tegas Venya. “Itu kamu kelihatan shock, apa kita perlu kasih mereka pelajaran?”Venya tidak segera menjawab. Dia tiba-tiba merasakan kepalanya pusing dan tubuhnya lemas, karena itu dia nurut-nurut saja saat Marcel memintanya untuk berbaring di tempat tidur sementara Meru duduk termenung seperti biasanya.“Kamu pasti kelelahan, kamu juga rutin mengonsumsi formula yang kamu buat sendiri kan?” tanya Marcel.“Tidak, aku tidak sempat ....”“... paling tidak sempatkan diri kamu
“Aku tidak bisa janji, maaf.”Marcel memutus pembicaraan mereka tanpa memberi kesempatan kepada Shirley untuk berbicara lebih jauh lagi.“Argh!”Di tempatnya berlibur dengan teman, Shirley melempar ponselnya ke tempat tidur dengan kesal. Dia lantas menghela napas panjang, kemudian ganti menghubungi ibunya.“Bu, aku tidak mau meneruskan pernikahan ini!” Shirley duduk di salah satu kursi dengan wajah cemberut. “Aku sama sekali tidak cinta sama Marcel!”Reina menghela napas dan balas menjawab.“Kita akan rugi besar kalau melepas Marcel,” kata Reina logis. “Kita tidak bisa memeras tenaga dia lagi, dan sumber pendapatan kita akan berkurang. Pikirkan itu, Sayang.”Shirley tidak segera menjawab, dia menuang air teh ke dalam cangkirnya sendiri lalu meneruskan pembicaraan.“Aku tidak yakin kalau Marcel bisa mendapatkan uang itu dengan cuma-cuma,” ujar Shirley sok tahu. “Mungkin saja dia dapat pinjam, utang teman atau malah rentenir ....”“Jangan ngaco kamu,” tegur Reina galak. “Mana ada renten
Marcel lantas diminta untuk menunjukkan kartu identitasnya oleh beberapa orang.“Marcelino? Kamu asli orang sini?”“Begitulah,” angguk Marcel.“Ikut kami sekarang,” kata salah seorang yang tadi menjebloskan Marcel ke dalam ruangan.Dengan tenang Marcel membiarkan dirinya digelandang ke sebuah rumah berlantai dua yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor.Di sana sudah ada Aldi yang menunggunya dengan tampang gembira. Tanpa banyak basa-basi di awal, satu di antara mereka langsung mengajak Marcel bicara.“Ada yang bisa saya bantu, Pak Marcel? Katakan saja.”Marcel mendongak dari posisinya yang tengah duduk diapit dua anggota keamanan Aldi yang bertubuh kekar.“Sepertinya saya ingin memindahkan lab secara bertahap,” sahut Marcel datar, dengan kedua mata menatap lurus ke arah pria matang berompi yang duduk menghadapnya dengan aura berkharisma. “Saya rasa rumah keluarga Delvino tidak lagi aman.”Pria jangkung dengan mata bijak itu menatap Marcel dengan pandangan menyipit hingga tinggal
Ketika makan malam berlangsung, sesekali Herman melayangkan pertanyaan kepada Marcel.“Kerja di mana sekarang, Cel?”“Masih di toko kecil-kecilan, Yah.” Marcel menjawab asal. “Kalau hanya di rumah ini saja, aku tidak akan dapat uang.”Di seberang meja, Ronnie saling pandang dengan Shirley. Kali itu adalah untuk pertama kalinya Marcel diizinkan makan satu meja bersama keluarga mereka.“Oh ya?” tanggap Herman tidak percaya. “Kamu bukannya memutuskan untuk meneruskan kembali lab itu? Saya kira kamu sibuk di sana, tapi mungkin kamu jadi lupa kewajiban kamu untuk membantu pekerjaan asisten rumah tangga di sini ....”Herman menghentikan ucapannya ketika Shirley memandangnya dengan tatapan merajuk.“Marcel tetap mau bercerai.” Shirley memberi tahu.Marcel hanya tersenyum singkat. Dari sudut matanya, dia melihat bagaimana Shirley mencibir ke arah piringnya sendiri.Malamnya, seperti biasa Marcel mengambil bantal dan selimutnya karena berniat untuk tidur di kamar pembantu.“Tidur saja di kamar
Setibanya di kantor mertua, Marcel turun bersama Aldi untuk bersama-sama menemui Herman.Marcel yang mengenakan kemeja biru biasa dan celana hitam licin berjalan di samping Aldi yang disuruhnya bergaya seperti pengusaha konglomerat.Marcel yang tidak tahu apa-apa hanya menurut saja apa yang Aldi sarankan kepadanya.“Saya mau bertemu Pak Herman,” kata Marcel kepada pegawai yang bertugas di meja. “Saya menantunya, yang sebentar lagi akan jadi mantan.”Pegawai perempuan itu bereaksi cukup sulit saat mencoba mencerna ucapan Marcel, tapi dia tetap pergi ke dalam ruangan Herman untuk memberi tahu kedatangan menantunya.“Masa dia sampai tidak tahu kalau Anda ini menantu atasannya?” bisik Aldi terheran-heran.“Anda tidak perlu heran,” sahut Marcel dalam bisikan rendah. “Padahal orang tua saya berharap saya akan mendapatkan jenjang karir yang bagus.”Aldi mengedarkan pandangannya ke sekeliling.“Tidak masalah perusahaan sekecil ini, Anda kan punya belasan perusahaan ....”“Kita tidak membicara
Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma
Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s
“Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb
“Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma
“Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”
Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris