Aku menyambut kedatangan bestie, 4 Little Stars di teras. Serta merta keharuan menyelimuti hatiku, begitu juga dengan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Dalam rintik hujan yang cukup deras seperti ini, mereka tetap datang sesuai rencana semula. Tak seorang pun absen, bahkan masing-masing orang membawa oleh-oleh untukku. Bukan oleh-olehnya lho, yang penting tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Wah, istimewa sekali! "Thanks banget, Bestie!" riang gembira aku berseru. "Serius nih, aku terharu banget." Satu per satu Bella, Brilliant dan Rafael menyalami aku lalu beriringan masuk ke ruang tamu. Suasana malam ini benar-benar hangat. "Mir, sorry banget ya, kami baru bisa datang jenguk kamu?" Rafael membuka pembicaraan. "Sorry juga, nggak bisa ikut bantu pindahan kemarin." Brilliant mengulum senyum, menimpali permintaan maaf Rafael. "Sebenarnya kami sudah berusaha sih, Mir. Tapi, yaaah, tabrakan sama jadwal kerja. As you know lah, Mir." Bella nyengir kuda poni. Memandang kami sa
Mommy tersenyum sedih. Meletakkan jari-jemari tanganku ke dalam genggaman hangat. Tersendat-sendat menahan tangis Mommy bertanya, "Kenapa kamu nggak pernah cerita sama Mommy, Mirah?" "Mirah minta maaf, Mommy." "Ya, Mommy sudah maafkan kamu. Tapi kenapa, Mirah, kamu pikul beban yang seberat ini sendiri? Kamu tahu kan, Mirah, Mommy selalu ada buat kamu?" Sedih, aku mengangguk dan hanya itu yang bisa aku lakukan. Dalam hal ini, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Kelu. Terlalu bisu untuk mengucapkan sesuatu. Ya Tuhan! "Mirah …!" Mommy mempererat genggaman tangannya. Tak pelak, air mata menetes juga. Aku yakin, Mommy juga tak pernah menyangka, puteri semata wayangnya akan mengalami nasib yang seburuk ini. Kelam. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Oh, nggak mungkin kamu keluar dari rumah ini, sebelum bayi kalian lahir. Emh, biar Mommy saja yang di sini ya, temani kamu?" Tanpa berkata-kata, hanya dengan air mata yang kian deras mengalir, aku memeluk Mommy. Erat dan hangat. Kini, Mo
"Ah, sakit, Mas Arfen!" rintih Mourin sambil mencengkeram saku jas putih Arfen. "Sakit, Mas. Hah, hah, hah …!" "Ya. Sabar ya, Mourin. Sabar, sebentar lagi bayi kita lahir, kok. Sudah pembukaan lengkap. Tinggal nunggu kepala bayi sandar. Habis itu, kamu boleh ngeden. Semangat, Mourin, sebentar lagi kita bertemu dengan buah hati kita. Mutiara Surga." "Aaaaaaa … Sakit, Mas!" Mourin semakin kesakitan. "Hah, hah, hah … Aku mau dioperasi saja, Mas. Ini sakit banget, hah, hah, hah." "Sabar, sabar." kata Arfen sambil melap keringat di kening Mourin dengan tisu. Memberinya minum air mineral dengan pipet. Mengusap-usap kepalanya yang yang terlihat basah. "Tarik napas, keluarkan. Tarik lagi, keluarkan lagi. Jangan ngeden dulu ya, nanti malah bengkak jalan lahirnya. Tenang, tenang!" "Huh, huuuh! Sakit, Mas, sakit, aaaaaa …!" Sampai di sini, Arfen panik. Belum pernah dia merasa sepanik ini sebelumnya. Benar, sudah puluhan pasien dia tolong tetapi baru kali ini dia menolong persalinan seseorang
"Mirah!" pekik Mommy ketika pintu terbuka secara perlahan-lahan. "Ya Tuhan, Mirah …?" Mommy duduk bersimpuh di depanku yang berdiri tegak dengan lilitan selendang panjang di leher. Entah, apa yang sudah merasuki diriku sehingga seputus asa ini. Sekarang pandanganku lurus ke depan namun kosong, tanpa senyuman apalagi kata-kata. Tidak ada sama sekali. "Apa yang kamu lakukan, Sayang? Ingat, Mirah, sadar. Ada Baby Twins di perut kamu. Sebentar lagi mereka akan terlahir ke dunia. Sadar, Mirah, sadar. Jangan putus asa, ya? Masih ada Mommy, Mirah. Mommy akan selalu ada buat kamu, Sayang." Detik berikutnya, Mommy berdiri. Melepaskan lilitan selendang panjang di leherku. Air matanya berderaian seperti hujan. "Tuhan marah kalau kita putus asa, Mirah. Tuhan murka. Kita harus lebih banyak bersyukur, Mirah. Tak terhitung nikmat-Nya untuk kita. Arfen atau siapa pun itu bisa saja meninggalkan kamu tapi Mommy nggak, Mirah. Nggak akan pernah." "Mir---Mirah minta maaf, Mommy." "Ya, Mirah. Ngga
Aku lebih dari terkejut, berlipat-lipat ketika tiba-tiba Mourin ada di belakang kami. Mommy juga terlihat sangat terkejut, wajahnya sampai berubah menjadi pucat. Mungkin sama sepertiku, takut kalau-kalau Mourin serius dengan ancamannya kemarin. Apakah itu? Mencelakai kami termasuk Mama. "Hemh, masih berani juga ya kalian berkeliaran di sini?" Mourin merendahkan sekaligus melembutkan suara. Memasang wajah cerah dan hangat. "Nggak takut? Oh, pasti kalian berpikir aku main-main. Iya, kan?" Ketakutan, Mommy memandangku. Menggenggam tangan ini erat-erat. Dari sorot matanya aku tahu, Mommy mengajak untuk melanjutkan perjalanan pulang. Sejujurnya aku pun menginginkan hal yang sama tetapi bagaimana dengan Mourin? Apa tidak tersinggung kalau kami tinggal pulang begitu saja? Mungkin pemikiran ini bodoh namun demikianlah adanya. "Maaf, Mourin … Kami harus cepat pulang." lega sekali rasanya karena berhasil mengucapkan kata-kata manis itu. Setidaknya aku bisa bersikap lebih baik dari pada Mouri
"Kamu beneran mau nikah sama aku, Mas?" tanyaku waktu itu di saluran telepon yang cukup jernih. Mas arfen meneleponku dari klinik karena katanya masih ada sedikit waktu sebelum berangkat ke rumah sakit. "Yakin, kamu nggak akan menyesal, Mas?" "Iya. Yakin. Kenapa harus menyesal, Sayang?" "Ya, mana tahu kan, Mas?" sahutku sambil melanjutkan menggambar bunga Kamboja merah jambu di buku diary. Itulah uniknya aku. Selain menulis, buku diary juga aku gunakan untuk menggambar apa saja yang kuinginkan. "Kamu kan, dokter spesialis kandungan sedangkan aku, lulus kuliah pun belum. Ini aku baru selesai KKN lho, Mas. Masih harus nyusun skripsi …!" "Nggak masalah itu, Sayang. Memang harus begitu prosesnya. Aku bersedia menunggu sampai kamu lulus kuliah." Aku auto jingkrak-jingkrak di kamar. Seketika hati rapuh oleh traumaku ditumbuhi oleh berjuta-juta kebahagiaan. Berbunga-bunga, manis dan indah. "Serius, Mas? Tapi masih lama banget lho, Mas. Dua semester lagi, lah." "Nggak masalah, Say
Ha, apa, Naufal?Naufal yang itu? Maksudku Naufal yang menyukai aku sejak SMA kelas satu dulu itu? Dia, laki-laki yang sudah membuatku patah hati bahkan sebelum sinyal cinta itu berdenging? Dia malah mati-matian mendekati Abrina. Padahal jelas, aku selalu gila setiap kali bertemu dengannya. Parah tidak sih, kalau seperti itu? Ya, gila. Salah tingkah, mempercantik diri, mempermanis pembawaan, melembut-lembutkan perkataan. Sampai-sampai aku tidak berani bernapas. Takut kalau-kalau mulutku bau bakwan, siomay atau batagor. Ugh, aku juga takut kalau mendadak buang angin, serius. Dan sekarang dia datang. Justru di saat aku sudah menjadi isteri Mas Arfen. Sebenarnya, anak manusia bernama Naufal itu punya hati tidak, sih? Kalau punya, hatinya berisi perasaan atau tidak? "Na---Naufal, Mom?" tanyaku sambil membuka pintu. "Naufal Tasnim?" Mommy memandangku dengan senyum gembira mereka di bibir. "Iya, Naufal teman SMA kamu dulu. Temui dulu, gih. Kasihan dia, jauh-jauh datang dari Bali."Ha, B
Akhirnya karena aku terus-menerus khawatir dan Mama juga rewel, kami berangkat ke rumah sakit. Mbak Sri tidak henti-henti menangis di sisi tempat tidur Mama. Dia mengaku merasa sangat bersalah atas musibah ini tetapi aku tidak menyalahkan sama sekali. Siapa yang dapat menduga? Aku dan Mommy bahkan mau minta tolong Mama untuk datang ke rumah."Mama!" aku berjalan mendekat. "Lekas sembuh, Mama." kataku tersendat-sendat oleh karena menahan tangis. "Maaf, Mirah baru bisa ke sini. Sudah sering kerasa Mama, tapi belum ada bukaan.""Ya, nggak apa-apa. Mama doakan mudah dan lancar semuanya." "Makasih, Mama. Mama sudah makan siang?" Mama menggeleng. Tersenyum sedih, hampir menangis. "Mama keingetan Arfen terus, Mirah. Nggak mikir tapi kepikiran terus. Kangen banget, rasanya di pelupuk mata terus."Aku mengelus dada. Bisa merasakan berapa sedih dan hancurnya Mama atas kecelakaan hukum yang menimpa Mas Arfen. "Ya, Mama. Tapi Mama harus makan, sedikit-sedikit biar cepat sembuh. Mirah suapi ya,
Tak ingin menimbulkan kecurigaan atau yang setara dengan itu dalam diri Mas Arfen, sebisa mungkin aku bersikap sebagaimana mestinya. Tidak terlalu manja, tetapi juga tidak terlalu mandiri. Begitu juga terhadap Mama---aku tetap menjenguk setiap weekend, menemani minum teh sore atau berbelanja di supermarket---terutama Mourin. Menahan emosi, mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya adalah jalan yang harus aku tempuh. Ya, walaupun kadang-kadang ucapannya lebih tajam dari sembilu. Tak perlu diambil hati."Kok, kamu nggak ngasih tahu kalau mau ke undangan sih, Mir?" protes keras Mourin begitu sampai di rumah dan tahu kalau kami mau ke wedding party Bella. "Tahu gitu kan, aku nggak pakai tunik kayak gini?" "Sorry banget, Mourin, aku benar-benar lupa." Itu bohong, asli. Sesungguhnya aku memang tak ada niat untuk mengajak dia. Cukup Mas Arfen saja, maksudku. "Hemh!" Mourin memberengut, menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Membujuk Mas Arfen supaya mau mengantarkannya ke shopping m
First Love Sign Angkasa. Lama dan dalam, aku memandang foto bayi mungil itu sampai-sampai tanpa sadar menetes air mata. Bayi suci itu terlihat begitu tenang, damai dan bahagia. Sayang, orangtuanya tak punya perasaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Di panti asuhan mana coba, dia membuangnya? "Mir, itu ada panti asuhan di seberang jalan!" seketika perhatianku teralih dari foto First ke ujung telunjuknya. Hari ini aku meminta bantuan 4 Little Stars minus Bella dan dirinya untuk mulai mencari First. "Gimana, kita turun tanya dulu, nggak?" "Biar aku dan Rafael dulu saja yang turun. Nanti kalau memang diperlukan, baru kalian kami panggil. Gimana?" Brilliant menghentikan mobil tepat di seberang pintu gerbang panti asuhan. "Yuk, El?""Oke. Siap berjuang, Bos!" Rafael terdengar antusias. "Kalian di sini saja dulu, ya?""Ya." Anyelir dan aku menjawab hampir bersamaan. "Fotonya, mana?" pertanyaan Brilliant menyentil kuat-kuat kesadaranku. "Semoga saja benar, ini panti asuhannya."."Ini, Bril
Oh, jadi, Mourin justru menyalahkan aku? Baik, baik!"Jaga bicara kamu ya, Mourin?" setenang mungkin aku bertekad menghadapinya. "Bukan aku lho, yang memaksa kamu untuk menikah dengan Mas Arfen. Bukan aku juga yang membuat kamu masuk dan terperangkap cinta terlarang bersamanya. Kamu, kamu sendiri yang memaksakan keada---""Stop, stop!" Mirah memotong kasar perkataanku tetapi aku tidak peduli. "Kamu yang memaksakan keadaan, menghalalkan segala cara. Satu yang perlu kamu ketahui, Mourin, seandainya Mas Arfen berani jujur dari awal, aku nggak akan pernah menikah dengannya. Nggak akan sudi bertemu dengannya lagi, apa pun alasan---""Dasar, anak ndeso. Norak, kampungan. Kere munggah bale!"Di sini, aku mulai tersulut emosi tetapi sebisa mungkin mengendalikan diri. "Emh, terus saja menghina aku, Mourin. Aku nggak apa-apa, kok. Serius. Terus saja mengolok-olok, merendahkan sampai kamu puas." "Ya, karena kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Masa, nggak tahu diri juga, s
Lusa ini Mourin berulang tahun dan ternyata sudah menyusun rencana honeymoon ke Bali selama satu minggu. Sialnya---ini adalah kesialan terbesar dalam hidupku---dia juga mengajakku. Bayangkanlah! Mau tak mau, suka tak suka, aku harus ikut serta. Itu, kalau seperti itu, madu jenis apa namanya? Seharusnya dia silent saja akan hal itu dan langsung pergi, cukup bersama Mas Arfen. "Mourin, kamu tahu kan, aku ada Tulip - Olive?" dengan tegas aku mengatakan hal itu, dengan maksud membuka mata kesadarannya. "Nggak mungkin aku ikut kalian. Tulip - Olive adalah segala-galanya bagiku." Mourin mengernyitkan dahi, tertawa meremehkan. "Ya, kalau gitu percuma saja dong, kamu punya baby sitter?""Maksud kamu?" nada suaraku meninggi dengan sendirinya di sini. "Aku membayar baby sitter bukan untuk supaya aku bisa bersenang-senang di luar rumah atau bagaimana. Jangan lancang kamu, Mourin. Aku membayar baby sitter, supaya bisa membantu Mama di butik dan untuk hal-hal yang bersifat penting lainnya.""Sss
"Sudahlah, Mirah. Jangan disesali terus, jangan diingat-ingat lagi." ujar Mama usai seruputan pertama teh manisnya yang terdengar sangat nikmat. "Kamu nggak salah, kok. Kita semua dalam ancaman, di bawah tekanan dia waktu itu. Kalau Mama jadi kamu, Mama juga pasti melakukan hal yang sama."Getir, aku berusaha memberikan senyum semangat. "Terima kasih, Mama, sudah mengerti situasi dan kondisi Mirah. Ya, sebenarnya, Mirah berat hati membagi Mas Arfen dengan perempuan seperti dia. Tapi gimana lagi? Toh, Mas Arfen juga sudah lama bersama dia."Mama menyeruput teh manisnya lagi. Mengambil sepotong brownies dan mulai menikmati. Bukan hanya itu, Mama juga memuji brownies buatanku. Crunchy, katanya. Manis, gurih dan tidak membuat eneg. Wah, aku benar-benar tersanjung sampai ke langit biru."Mirah!""Ya, Mama?" aku mengurungkan diri untuk mengambil sepotong apel merah dalam salad buah. "Gimana, Mama?"Mama mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di badan mug. "Kamu mau bantu Mama, kan? Pasti mau, kar
"Ya, aku juga nggak tahu, Mas." terus terang prihatin sekali dengan tingkah laku Mourin yang misterius dan penuh dengan sandiwara. Baru saja Mas Arfen meminta pendapatku. Ya, tentu saja, aku tidak kau terlibat lebih jauh lagi. Bahaya. "Kamu sudah tanya sama Mourin, apa motivasinya untuk tinggal di rumah Mama? Menurutku kamu juga harus mempertimbangkan perasaan Mama lho, Mas. Bukan berarti aku ingin menguasai Mama atau bagaimana lho, ya? Jangan salah paham!" Mas Arfen melepas jaket, menyerahkannya padaku. "Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku juga nggak setuju, nggak mau, kalau sampai pindah ke rumah Mama."Aku diam. Membantunya membuka kencing kemeja. "Ya, katanya sih, biar lebih dekat kalau ke klinik.""Oh?""Sebenarnya kan, Sayang, aku nggak mau dia kerja. Aku, maunya, dia kerja di rumah saja kayak kamu."Secara alami, aku tertawa kecil. "Mungkin karena aku ada pekerjaan di butik ya, Mas? Jadi, Mourin juga tetap ingin kerja di luar rumah?""Ya, mungkin juga, Sayang. Aku nggak tahu gima
Ternyata itu smartphone, bukan seperti yang aku pikirkan sebelumnya. Lagi pula, mana mungkin Mourin memberiku bahan peledak? Bisa-bisa Mas Arfen menusnahkan dia dalam sekejap mata. "Sekali lagi, makasih ya, Mourin?"Mourin menganguk kecil. Merapikan poni dengan ujung jari telunjuk. "Sama-sama. Semoga kamu suka ya, Mir?"Gugup, geragapan aku menjawab. "Emh, aku suka kok, Mourin.""Mir, aku boleh minta pendapat kamu, nggak?"Senejak aku merenung atas pertanyaan itu, menimbang-nimbang. "Boleh, semampu aku, ya?""Gimana kalau pindah ke rumah ini?" Mourin meremas-remas jari tangannya. "Emh, soalnya rumahku mau aku jual, Mir."Ha, apa?"Mas Arfen butuh dana tambahan untuk mulai praktek lagi dan itu nggak sedikit, Mir." Ha, serius? Kenapa Mas Arfen tidak membicarakan masalah itu denganku? "Berapa?""Ya, nggak banyak banget juga sih, Mir. Sekitar dua ratus lima puluh juta."Woaaa, sebanyak itu? Memangnya untuk biaya apa saja, sih? Kliniknya kan, masih ada, tinggal jalan saja? Oh, mungkin
Lagi, Mas Arfen menggenggam jari-jemari tanganku. Mengecupnya berkali-kali sampai basah. "Sayang, aku minta maaf, ya?""Untuk?""Ya, aku ngasih surprisenya keterlaluan banget."Aku hanya diam, mengulas senyum tabah. Sejujur-jujurnya mengakui dalam hati, sulit untuk memaafkan. Ini sudah di luar batas kesanggupanku sebagai manusia, serius. Bagaimana bisa Mas Arfen menyusun surprise yang sekeji itu? Aku bukan robot, boneka, wayang atau sesuatu yang setara dengan itu. Tidakkah dia menyadarinya?""Thanks banget, Sayang. Emmmuaaah …!" "Tapi serius, kamu jahat banget lho, Mas!" aku memasang wajah super judes. Membunuhkan ekspresi kecewa, marah dan muak. "Masa sampai segitunya, sih?"Mas Arfen menanggapi dengan satu keciIpan super lembut---lebih lembut dari es krim tapi hangat---di keningku. "Maaf, Sayang, maaf …?""Jangan bilang, kalau ternyata selama ini kamu kerja sama dengan Dokter Nafsin ya, Mas?"Mas Arfen tersentak, dia sampai terlihat gugup. "Paham kan, maksudku? Kamu kerja sama de
"Happy Birth Day, Mirah …!" Berbondong-bondong Mama, Mbak Sri, Mas Arfen, si Dokter Mesum, Mbak Hasya menyanyikan lagi keramat itu dengan gembiranya. Mourin pun ikut bernyanyi dengan ekspresi super duper happy. Terakhir, seiring sejalan dengan aliran darah dalam tubuhku yang tersendat-sendat akibat syok yang luar biasa, muncullah 4 Little Stars versi lengkap plus Anyelir. Mereka bekerja sama membawa roti ulang tahun dengan lilin angka dua puluh tiga berwarna merah cerah di atasnya. Roti ulang tahunnya berbentuk setangkai bunga mawar merah jambu dengan hiasan kupu-kupu terbang. Itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kedatangan Mommy dan Om Damar. Mereka langsung memelukku erat-erat secara bersamaan dengan air mata melinang-linang, seolah aku baru saja ditemukan setelah sekian juta tahun hilang. Oh, sungguh, aku semakin syok. Tidak mengerti dengan semua kejahatan ini! Mereka pikir, surprise semacam ini hebat, begitu? Wow! Jelas Mereka tidak tahu apa itu surprise dan hal ap