Diaz menghela napas dalam-dalam. "Tadinya dokter bilang stress, makanya maag-nya sering kambuh. Tapi, saat Aliya mengeluh kesakitan yang luar biasa, dokter nyuruh buat CT. Dan kemarin hasilnya menunjukkan jika ada yang tidak beres di perutnya." Diaz menjeda perkataannya untuk menghirup udara, "ada cancer di ususnya."Aku terperangah mendengarnya. Bagai petir yang menyambar di siang yang terik. Aliya yang selalu tampak tenang ternyata menyimpan lara.Ketika masih bercakap dengan Diaz, Aliya terjaga. Aku langsung bergegas masuk menemui. Ibu Aliya yang pengertian sengaja keluar untuk memberikan kebebasan agar leluasa bicara dengan putrinya."Aku sakit, Zen. Aku akan mati." Tidak kusangka di balik senyum kalemnya, jiwa Aliya ternyata rapuh. "Jangan bicara seperti itu, Al. Semua penyakit pasti ada obatnya. Beruntung sakitmu terdeteksi secara dini. Jadi masih ada kesempatan," tuturku memberikan semangat.Aliya menggeleng lemah. "Percuma sembuh toh gak yang membuat hidupku bahagia sekarang
(Arzen)"Apaaah? Kabur?" Mata Diaz terbeliak tidak percaya. "Kamu udah nyari Nafia di kamar atas?" tanya Diaz dengan mimik khawatir.Aku menggeleng lemah."Lihat ke atas dulu, ya.""Jangan!" Saat aku berseru, Diaz yang sudah dua langkah berhenti. "Gak mungkin Nafia di atas.""Kamu bisa yakin ngomong begitu, meriksa aja belum."Aku berdecak pelan. "Bajunya kosong," kataku sambil menunjuk lemari.Diaz ternganga. Hanya sebentar saja. Selanjutnya ia bergerak cepat menuju lemariku. Saat melihat rak baju di lemari kosong, Diaz kian terperanjat."Apa yang membuat dia kabur, Zen?" cecar Diaz dengan pandangan tajam. "Jangan bilang Nafia cemburu karena kedatangan Aliya semalam.""Nafia memang cemburu." Aku mengamini omongan Diaz pelan."Aku hapal watak Nafia. Dia bukan wanita yang gegabah dalam mengambil keputusan," tutur Diaz yakin. "Pasti ada sesuatu yang membuat dia lelah sama kamu," tebak Diaz terlihat yakinAku sendiri memilih diam. Tidak membenarkan, tidak pula membantah."Apa ini ada ka
Seperti janjiku pada Aliya tadi siang, sore ini aku kembali menyambangi gadis itu. Bertiga dengan Diaz dan ibunya Aliya, kami akan menemani Aliya menjalani kemoterapi.Ini adalah pengobatan kemoterapi pertama bagi Aliya. Gadis itu menjalani pemeriksaan meliputi tes darah guna mengevaluasi fungsi hati dan ginjal. Aliya juga melewati pemeriksaan jantung.Setelahnya Aliya baru menjalani proses kemoterapi. Lengan gadis itu dipasangi selang infus guna memasukkan obat ke dalam tubuhnya. Tiga jam berlalu, Aliya diperbolehkan pulang.Efek dari pemberian obat tersebut, Aliya terlihat mengantuk. Di dalam mobil dirinya tertidur dalam pelukan ibunya. Suasana di dalam mobil hening. Diaz fokus menyetir, sedangkan ibu Aliya memeluk putrinya. Aku sendiri mengalihkan pandangan ke arah jalanan.Tanpa sengaja mata ini menangkap sesosok bayangan. Rambut dan tinggi badannya mirip Nafia. Bahkan jaket yang dikenakan pun mirip kepunyaan istriku. Aku yakin wanita yang memasuki mini market itu pasti Nafia."Y
(Nafia)"Siapa itu?!"Aku langsung menutup mulut. Itu suara Diaz. Suaranya masih terdengar jauh. Sepertinya Diaz berseru di dalam kamarnya. Aku harus segera pergi sebelum dia memeriksa teras ini.Maka tanpa ba-bi-bu lagi langkah seribu kuambil. Lalu membuka cepat gerbang besi yang tidak terlalu tinggi ini. Setelah itu aku kembali berlari.Sempat bertemu dengan beberapa tetangga kompleks yang sedang joging pagi. Pada mereka aku melempar senyum manis, setelahnya kembali berlari. Namun, kubuat lari santai seperti sedang joging supaya tidak dicurigai.Sampai di jalan raya baru kuhentikan lari. Kuatur napas agar tidak tersengal. Setelah itu kembali mengayun.Kaki ini berhenti di sebuah warung kecil pinggir jalan. Haus dan lapar membuatku membeli sebotol air mineral dan sebungkus roti cokelat.Setelah membasahi kerongkongan dan mengisi perut, aku melangkah lagi.Ke mana aku harus melangkah? Tidak mungkin aku pulang ke rumah Paman Santosa. Arzen akan mudah menemukan. Menemui Tina juga bukan
Ibu Mas Ibnu meraih kepalaku ke dalam dekapan. "Anggap rumah ini seperti rumahmu sendiri seperti yang yang dulu-dulu.""Terima kasih, Bu." Aku memisahkan diri, "tapi, saya gak bisa menginap lama di sini.""Kenapa begitu?" Ayah dan Ibunya Mas Ibnu kompak bertanya."Memang kamu mau tinggal di mana? Gak mungkin kan tinggal di rumah Dek Santosa?" Ayah Mas Ibnu yang bertanya."Saya takut Mas Arzen dan asistennya menemukan saya di sini.""Lalu?" Lagi-lagi kedua orang tua itu bertanya bersamaan."Bapak kan punya beberapa kontrakan di daerah Bogor. Saya akan memilih tinggal di sana saja."Suami istri itu saling bertukar pandang."Terserah kamu saja, Fia. Kami hanya mendukung apa yang terbaik untuk kamu." Ibu Mas Ibnu mengelus lenganku."Makasih, Bu." Aku memeluk wanita berjilbab lebar itu. "Dan satu pinta saya, tolong jangan kasih tahu keberadaan saya pada Paman Santosa," punyaku sungguh-sungguh."Kenapa begitu?" Dahi Ayah Mas Ibnu mengernyit."Saya hanya ingin hidup sendiri dulu.""Baiklah."
Dengan menenteng tas plastik putih aku menyusuri jalanan sendiri."Nafia?"Aku tersentak. Itu suara yang amat kukenal. Ketika kutoleh seraut wajah oriental menatapku tidak percaya."Deva?" tegurku melihat pemuda itu duduk angkuh di motor besarnya."Lu sendirian? Mana suami lu?" tanya Deva dengan suara yang lumayan keras. Matanya menatap sekeliling. Seolah tengah mencari seseorang."Sttt!" Aku sendiri segera menempelkan telunjuk di jari, lalu mengitari pandangan. Takut jika ada orang yang mengenal kami."Ngapain lu celingak-celinguk gitu?" Deva bertanya masih dengan suara lumayan besar."Bisa gak dikecilin suaranya, Ko?!" tanyaku memasang wajah jutek, "lagian aku kan gak tuli," lanjutku sewot."Ya ... habisnya lu gak jawab pertanyaan gue," timpalnya cuek.Aku diam dengan bibir mencebik."Kita makan di sini, yuk!" ajak Deva kemudian. Pemuda itu menunjuk warung tenda pinggir jalan.Aku berpikir sejenak. Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh bantuan dia."Oke." Aku menelengkan kepala. Se
Keesokan pagi, seperti rencana semula seusai sarapan bersama, ayahnya Mas Ibnu mengantarku ke Bogor. Beliau mengemudikan mobilnya sendiri. Bertiga dengan istrinya kami berangkat ke kota kembang tersebut.Melalui jalan tol Jagorawi hanya butuh waktu sekitar satu jam dua puluh menit untuk tiba di tujuan. Dalam perjalanan aku sempat tertidur. Baru bangun saat Ayahnya Mas Ibnu menghentikan mobil di sebuah toko roti. Ternyata istrinya ingin membeli kue unyil.Ibunya Mas Ibnu masuk ke mobil lagi dengan dua plastik besar di tangan. Mobil melaju lagi. Lima menit kemudian, kami telah tiba di tujuan.Ayahnya Mas Ibnu membuka kontrakan tiga petak yang terletak di paling ujung. Ada sepuluh bangunan berjejer dengan corak yang sama. Hanya beda warna. Dan ini semua milik Ayahnya Mas Ibnu.Mataku menatap sekeliling. Ruang tamu minimalis sudah tersedia satu set sofa. Di ruang tengah juga ada sebuah televisi lengkap dengan karpet."Ini kontrakan adalah rumah kedua bapak. Kamu tinggallah di sini biar ga
(Arzen)Hampa. Sunyi. Ada yang hilang di dalam sana saat mendapati rumah kosong tanpa Nafia.Ini gila! Nafia mampu menjungkir balikkan hidupku. Kami hanya tinggal seatap tidak lebih dari empat bulan. Kenapa harus sekosong ini hidup tanpa dia?Apalagi setiap hari Diaz selalu saja menyalahkan aku atas kepergian Nafia. Perangai Diaz juga berubah. Pemuda itu jadi sedikit membangkang."Kamu itu laki-laki bodoh, Zen!" Kecamannya malam itu tidak pernah terlupa. "Tidak bisa bersyukur. Istri sebaik dia kamu sia-siakan. Tidak pernah aku mendengar Nafia mengeluh atas perangai dinginmu. Di depan semua orang dia mampu berpura-pura bahagia. Tidak pernah juga aku mendengar dia meminta dan menuntut macam-macam. Aku masih ingat, Nafia cuma minta dianggap seperti istri pada umumnya, Zen. Bukan sekedar teman tidur saja."Kekecewaan yang dilontarkan Diaz membuatku makin stres. Belum lagi menghadapi pertanyaan dari Mama, Arsy, ataupun Paman Santosa dan istrinya atas tidak aktifnya nomor ponsel Nafia. Baik
Ditemani Arzen dan Diaz keesokan harinya, aku pulang ke rumah Bapak Ibu. Kami pamit pada mereka. Tangan Arzen yang masih sakit tidak memungkinkan dia untuk menyetir sendiri."Jaga Fia baik-baik ya," pesan Bapak sambil menepuk pundak Arzen, "dia sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri.""Insya Allah, Pak." Arzen membalas kalem, "dan saya sangat berterima kasih karena selama Nafia pergi dari rumah, Bapak dan Ibu telah merawatnya dengan baik.""Maaf, Ya Nak Arzen, kami sempat pernah berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan Fia," timpal Ibu."Gak papa, Bu. Itu kan memang kemauannya Nafia sendiri," jawab Arzen bijak.Setelah pamit dari rumah Bapak Aminuddin, aku mengajak Arzen berkunjung ke rumah Paman Santosa. Pada dirinya juga kami meminta doa restu."Pesan saya masih sama, Dek Arzen. Tolong jaga dan cintai Nafia dengan baik," ucap Paman kalem."Insya Allah, Paman." Arzen mengangguk ramah, "dan tolong jangan sungkan menegur jika saya lalai seperti kemarin," lanjutnya tulu
"Aku masih mencintai kamu, Zen. Masih." Tangan ini terus melingkari erat perutnya. Agar Arzen percaya jika aku memang benar-benar tidak menginginkan dia pergi.Arzen mengurai pelukan. Kami saling bertatapan. Maniknya menelisik mataku lekat. Seakan tengah mencari kejujurannya di dalamnya."Naf, aku tahu kamu tersiksa dengan pernikahan ini, makanya aku sadar diri dengan menjauh dari kamu," tutur Arzen lembut. Belum pernah kudengar dia selembut ini berbicara. "Jika perpisahan mampu memberimu kebahagiaan, aku rela pergi." Aku kembali menggeleng. "Tolong jangan katakan itu," mohonku seraya menempelkan telunjuk di bibir Arzen. "Karena kebahagiaanku adalah ketika kamu mencintai aku," tuturku serius.Arzen meraih jemariku. Dia mengecupnya lembut. "Aku mencintai kamu, Naf. Dan aku berjanji mulai detik ini akan selalu membuatmu bahagia."Aku tersenyum haru. Tanpa malu kupeluk pria ini lagi. "Kita rajut kembali mahligai rumah tangga yang sempat terkoyak kemarin.""Iya." Arzen balas mendekapku
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
Aku melepas pegangan Arzen. "Aku mau telpon Diaz buat jemput kamu."Ketika hendak berdiri, Arzen mencegah. "Jangan bohongi diri kamu, Naf.""Aku gak bohongi hati sendiri, Zen." Aku menjawab datar, "tapi, saat ini aku sudah mati rasa sama kamu. Entah besok atau lusa. Yang pasti saat ini, aku sedang tidak mau bersama kamu."Kutingalkan Arzen segera. Aku tidak mau terlarut akan bujuk rayuannya. Seperti niat sebelumnya Diaz pun kuhubungi. Dan sekitar setengah jam pemuda itu sudah menampakan diri."Kamu boleh saja marah sama Arzen, tapi jangan berlarut-larut. Karena itu sama saja kamu memelihara dendam. Percuma kamu beribadah jika masih saja mengikuti napsu setan itu," nasihat Diaz dengan tenang dan serius. "Arzen tidak pernah kasar sana kamu. Dia tidak pernah KDRT. Dia hanya masih terjebak kisah masa lalu, tapi kini dia sudah menyadari kekeliruannya. Jadi tolong jangan buat setan tertawa menang karena berhasil memisahkan kalian."Aku termangu. Wejangan Diaz terdengar begitu panjang. Aku
Arzen akan menginap di sini," kata Bapak Aminuddin tenang."Tapi, Pak." Aku menyela tidak rela."Kasihan jika suamimu harus tidur di luar."Tanpa menunggu jawabanku, Bapak Aminuddin berlalu."Zennnn, kamu ...."Hachiii!Aku mendesah. Ingin rasanya berteriak, tapi kutahan. Walaupun Bapak Ibu sudah menganggap layaknya anak kandung, tetap saja aku harus bersikap sopan.Dengan menahan gondok, kubuka pintu lebar-lebar."Makasih." Arzen mengulum senyum.Lelaki itu memasuki kamar. Matanya menatap sekeliling. Aku sendiri berjalan tenang menuju lemari. Kuraih sebuah selimut."Ini udah ada selimut lho, Naf. Ha-hachiii." Arzen memberi tahu disertai bersin.Aku tidak membalas. Kini bantal pada ranjang pun aku ambil. Arzen mengernyit bingung karenanya."Lho ... kamu mau tidur di mana?" tegur Arzen begitu melihatku keluar kamar. Beberapa kali dia menggosok hidungnya yang merah. Bersinnya pun masih kerap menyerang."Aku tidur di sofa ruang keluarga saja," balasku kalem. "Biar kamu yang tidur di kama
Aku kembali ke rumah Bapak Aminuddin. Kembali tidur di kamar yang dulu. Seperti yang sudah-sudah kedua orang tua ini begitu menyayangi aku. Segala kebutuhanku tercukupi di sini.Waktu berjalan begitu cepatnya. Tidak terasa sudah sepuluh hari aku tinggal di rumah Bapak Aminuddin ini. Setiap hari Arzen datang berkunjung. Kadang pagi sebelum berangkat kerja. Kadang malam hari setelah pulang kerja.Pernah juga dia datang ke sini seorang diri. Tujuannya tidak lain adalah membujuk aku untuk pulang. Ibu Sita dan sang suami juga tidak mau ketinggalan. Keduanya beberapa kali mampir dengan maksud membawaku kembali.Lama-lama bosan menghadapi rayuan Arzen yang terus saja meminta kembali. Akhirnya kedatangan dia aku abaikan. Namun, Arzen tidak kenal menyerah. Bahkan ketika hujan turun dengan derasnya, lelaki itu tetap berdiri di teras depan menungguku."Temui suamimu, Nafia. Kasihan dia kedinginan di luar," suruh Ibunya Mas Ibnu memohon."Biarin aja, Bu. Salah sendiri ngeyel," balasku malas. "Sud
Kejadian itu begitu cepat. Setelah tiga bulan dalam persembunyian, akhirnya Arzen dan Diaz mampu menemukan aku. Sayangnya aku yang panik justru melakukan kecerobohan.Keegoisan mengalahkan kewarasan. Sudah tahu tengah mengandung kenapa aku mesti melarikan diri. Jika tidak ingin menjumpai Arzen, harusnya aku bicara baik-baik saja. Kenapa membahayakan diri sendiri dan kandungan ini?Bodoh! Aku pun menyesali kecerobohan kemarin. Tapi, aku lebih menyesali saat terbangun dari pingsan perut ini sudah kembali rata. Gerakan di dalam sana tidak lagi kurasakan.Aku telah kehilangan permata hati. Penantian selama lima bulan ini sia-sia sudah. Hidupku serasa hancur saat ini. Ketika Arzen datang, rasa benciku padanya bangkit lagi. Walaupun hati kecil ini menyalakan kecerobohan sendiri. Namun, Arzen juga turut andil atas kematian calon bayi kami.Aku yang masih berduka tidak menginginkan kedatangan Arzen. Ketika pria itu menampakan diri, sontak aku mengusirnya. Tidak peduli dia berkali mengucap ka
Sudah empat hari Nafia dirawat. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Namun, hingga sekarang wanita itu belum sudi dikunjungi olehku. Padahal ketika Aliya datang, Nafia menerima kedatangan gadis itu dengan baik. Walau pedih, tapi kuterima. Konsekuensi dari berbagai kesalahanku padanya.Namun, ada yang mengganjal hati. Sudah lebih dari sekali aku melihat Aliya datang menjenguk Nafia pasti bersama Deva. Aku tahu mereka berteman. Tetapi, cara pandang Aliya tampak berbeda pada Deva."Aku lihat-lihat, sekarang lengket banget sama bosnya Nafia," sindirku suatu sore. Aku sengaja main ke rumahnya. Masalahnya aku tidak bisa langsung menegurnya di rumah sakit. Itu karena Aliya tidak mau lepas dari Deva. Sementara aku, masalah berdebat lagi dengan pemuda beganjulan itu."Memangnya kenapa?" Aliya membalas tenang. "Kami sama-sama single," imbuhnya santai."Oh ... jadi sekarang kamu sudah ikhlas jika aku lepas?" Walau emosi, tetapi kuikuti permainannya. Tenang."Zen, sadar dong! Kamu baru saja ken