"Astaga.. Anin.. Berapa kali lagi, Mbak harus jelaskan? Gak separah itu sayang," keluh Tari merasa frustasi. "Jangan bohong lagi, Mbak. Kemarin Mbak bilang semuanya baik-baik saja, semua gosip dan rumor itu sudah diseleaikan oleh Kak Ganendra. Tapi ternyata apa? Mbak bohong," bantah Anindya tak kalah frustasi. "Sekarang Mbak harus jujur apa saja dampak dari rumor itu? Aku yakin tidak sesederhana itu, Danisa pasti punya alasan besar kenapa memintaku menyebarkan rumor itu. " Belum puas dengan penjelasan Tari di kafe, sampai rumah Anindya langsung memberondong kakak iparnya itu dengan banyak Sekali pertanyaan. Tari menghela nafas panjang. "Anin, kami semua tahu itu bukan salahmu. Kamu dalam pengaruh dan ancaman Danisa. Tidak ada yang menyalahkan kamu, jadi berhenti merasa bersalah," Anindya terdiam ucapan Tari tak membuatnya tenang. Tiba dia teringat sesuatu. "Om Ibra pasti sangat marah kan Mbak, itu sebabnya Om Ibra dan Kak Ganendra juga Jihan tak pernah datang menjengukku?
"Maaf saya tidak bisa melanjutkan pernikahan dengan Mas Gibran. Dari awal pernikahan niat kami berbeda dan tidak mungkin akan bisa satu arah. Bertahan hanya akan membuat kami saling menyakiti," ucap Anindya di depan keluarganya dan keluarga Gibran. Gadis itu berbicara dengan tenang dan penuh percaya diri. Tak ada sedikit pun rasa gugup dan takut yang terlihat di wajah ayunya meski semua orang menatap kearahnya dengan berbagai reaksi. Gibran terkesiap, wajah tampannya nampak kaget dan kecewa. Matanya menatap lekat wanita yang masih berstatus istrinya itu dengan bibir bergetar. "Tidak bisakah kamu pikirkan lagi? Pernikahan kita belum juga satu tahun, masih ada waktu untuk memperbaiki niat dan tujuan kita," kata Gibran dengan mimik memelas. Anindya bergeming. Hatinya sudah sangat yakin untuk mengakhiri pernikahannya dengan Gibran. Baginya mempertahankan pernikahan tanpa cinta itu hal yang paling bod*h untuk dilakukan karena pernikahan adalah sebuah perjalanan panjang yang memb
"Berhenti bersikap seolah kamu istri yang baik di depan keluargaku, Tari." Ucapan Kak Abisatya membuatku yang tengah menunduk hendak melepas sepatu high heels, terkesiap. Aku sudah sangat lelah setelah makan malam di keluarga mertuaku. Perlukah kami bertengkar lagi malam ini? "Kamu dengar, tidak? Jawab!!" sentaknya dengan suara keras yang hampir membuat jantungku copot dari tempatnya. Pelan, aku mengelus dadaku karena kaget. "Maaf." Hanya kata itu yang kurasa aman untuk kuucapkan. Aku sadar membela diri akan semakin membuatnya marah. Namun, mengapa Kak Abisatya malah menatapku tajam? Sepertinya aku memilih kata yang salah. "Maaf? Tidak perlu minta maaf jika kamu terus mengulangi kesalahan yang sama," ucapnya, "Ingat baik-baik, Tari. Pernikahan kita hanya di atas kertas. Jika bukan karena Ganendra yang memintaku, aku tidak sudi menikahimu. Jangan pernah lupa, aku menikahimu hanya—" "—untuk membantu menutupi aib keluargaku akibat kesalahanku memilih calon suami," poton
Enam bulan sebelumnya, keluarga besarku tengah menyiapkan acara pernikahan. Rumah sudah bising dengan suara orang beraktivitas. Saudara dari Mama dan Papaku sudah berkumpul semua untuk akad esok hari. Aku begitu khawatir mengingat akan melepas status gadis yang selama 20 tahun ini aku sandang. Bukannya tak senang, hanya saja aku merasa masih belum benar-benar siap untuk memasuki tahap berumah tangga. Kuliahku saja masih semester 4. Jadi, aku tidak yakin jika aku bisa menjalankan peran seorang istri dengan baik. Jika bukan karena kesungguhan Bagas, kekasihku, dalam membujuk orang tuaku, sekarang aku pasti masih sedang menghabiskan waktu di mall bersama teman dan sepupuku. Ya, dialah tersangka utamanya! Pria itu sudah tidak sabar mempersunting diriku. Katanya, takut kehilangan aku. Alasan yang terlalu mengada-ngada. Aku bahkan merasa jengah mendengar gombalan dan ungkapan Bagas yang kurasa sangat berlebihan. Tapi, entahlah … aku dan keluargaku merasa Bagas adalah
"Brengsek!" umpat Kak Ganendra seketika. Bugh! Dengan penuh amarah, kakakku itu menghadiahkan bogem mentah tepat di wajah tampan Bagas, hingga pria itu tersungkur. Di sisi lain, aku hanya menatap kosong ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu. Entah terbang ke mana perginya rasa belas kasihku melihat Bagas dipukuli? Suara teriakan dan jeritan di sekitarku pun tak membuatku berempati. Berbeda denganku, wanita yang mengaku istrinya Bagas itu terlihat begitu khawatir bahkan sampai menangis melihat keadaan suaminya yang babak belur. Sambil marah-marah, wanita itu membantu Bagas berdiri meski pria itu berulang kali menepis tangannya kasar. "Lepas!" sentak Bagas kembali menepis tangan istri yang dinikahinya empat bulan lalu tanpa sepengetahuanku itu. Aku menoleh saat sebuah tangan merangkulku dari samping. Sandra menatapku sedih. "Sabar," ucapnya. Sabar? Bisakah aku sabar? Kecewa, marah, bercampur malu. Itu yang saat ini berjejalan di otakku. "Pernikahan kamu
"Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–" "Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat. "Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah." Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja. Jika waktu bisa diputar…. "Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan. Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku. "Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger." "Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?" "Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku du
Seharusnya, aku tidak lari! Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri. "Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku. "Iya Bik," jawab Kak Satya singkat. "Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya." Aduh! Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya? Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan. Masa harus nunggu Kak Satya berangkat? Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi! Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua. Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini. Tentu tanpa ca
Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo
"Maaf saya tidak bisa melanjutkan pernikahan dengan Mas Gibran. Dari awal pernikahan niat kami berbeda dan tidak mungkin akan bisa satu arah. Bertahan hanya akan membuat kami saling menyakiti," ucap Anindya di depan keluarganya dan keluarga Gibran. Gadis itu berbicara dengan tenang dan penuh percaya diri. Tak ada sedikit pun rasa gugup dan takut yang terlihat di wajah ayunya meski semua orang menatap kearahnya dengan berbagai reaksi. Gibran terkesiap, wajah tampannya nampak kaget dan kecewa. Matanya menatap lekat wanita yang masih berstatus istrinya itu dengan bibir bergetar. "Tidak bisakah kamu pikirkan lagi? Pernikahan kita belum juga satu tahun, masih ada waktu untuk memperbaiki niat dan tujuan kita," kata Gibran dengan mimik memelas. Anindya bergeming. Hatinya sudah sangat yakin untuk mengakhiri pernikahannya dengan Gibran. Baginya mempertahankan pernikahan tanpa cinta itu hal yang paling bod*h untuk dilakukan karena pernikahan adalah sebuah perjalanan panjang yang memb
"Astaga.. Anin.. Berapa kali lagi, Mbak harus jelaskan? Gak separah itu sayang," keluh Tari merasa frustasi. "Jangan bohong lagi, Mbak. Kemarin Mbak bilang semuanya baik-baik saja, semua gosip dan rumor itu sudah diseleaikan oleh Kak Ganendra. Tapi ternyata apa? Mbak bohong," bantah Anindya tak kalah frustasi. "Sekarang Mbak harus jujur apa saja dampak dari rumor itu? Aku yakin tidak sesederhana itu, Danisa pasti punya alasan besar kenapa memintaku menyebarkan rumor itu. " Belum puas dengan penjelasan Tari di kafe, sampai rumah Anindya langsung memberondong kakak iparnya itu dengan banyak Sekali pertanyaan. Tari menghela nafas panjang. "Anin, kami semua tahu itu bukan salahmu. Kamu dalam pengaruh dan ancaman Danisa. Tidak ada yang menyalahkan kamu, jadi berhenti merasa bersalah," Anindya terdiam ucapan Tari tak membuatnya tenang. Tiba dia teringat sesuatu. "Om Ibra pasti sangat marah kan Mbak, itu sebabnya Om Ibra dan Kak Ganendra juga Jihan tak pernah datang menjengukku?
Pagi ini setelah sarapan pagi Tari akan menemani Anindya ke kampusnya. Setelah sebulan lebih menenangkan diri kini Anindya sudah bersiap untuk menata kembali hidupnya yang sempat kacau karena balas dendam Hal pertama yang Anindya sudah lakukan adalah mengikhlaskan segalanya dan memohon pengampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukannya. Selanjutnya gadis 20 tahuan itu akan kembali fokus pada tujuan dan cita-citanya. "Kalian mau Papa antar?" tanya Farhan setelah menyelesaikan sarapannya pagi ini. "Nggak usah Pa, kampus sama kantor kan berlawanan arah. Aku sama Mbak Tari diantar sopir," tolak Anindya tak ingin merepotkan papanya. "Jangan khawatir Pa, ada Pak Johan yang ikut dengan kita. Kalau gak salah Papa ada meeting penting kan pagi ini?" Tari ikut menimpali, teringat telpon dari Satya semalam untuk menyampaikan kepada Farhan tentang meeting penting pagi ini. "Iya, Papa ada meeting penting pagi ini dengan Ibra dan Ganendra dan perwakilan pemegang saham lainnya," jawab Fa
"Aku tahu, tidak seharusnya aku membawa orang lain dalam masalah kita. Tapi, kenyataan Tari sudah terseret dalam masalah kita. Dan jika kita bercerai sekarang, maka rumor itu akan muncul kembali. Tari akan jadi pihak bersalah yang akan terus dihujat. Jadi, kumohon pikirkanlah." Sejak semalam ucapan Gibran terus terngiang di telinga dan pikiran Anindya. Sama seperti pagi ini, kalimat itu membuat hatinya resah dan tak tenang. Rasa bersalah semakin menggunung dihatinya. Sholat dan dzikir sedikit memenangkan hatinya shubuh tadi. Namun pagi ini gelisah itu kembali merajai hatinya. Helaan nafas terdengar berat dari mulut gadis yang saat ini sedang melipat kedua kakinya diatas sofa kamar dengan tatapan keluar jendela. Bola mata berwarna kecoklatan itu menatap sendu langit pagi yang tertutup mendung seperti hatinya yang sedang gundah. Sejak semalam hujan mengguyur kota metropolitan itu dengan begitu derasnya. Dan pagi ini hawa dingin menyelimuti seluruh kota sampai terasa ke hatinya.
Sudah sebulan ini keluarga Rahardian menjadi topik utama pemberitaan di semua acara berita di televisi nasional maupun portal berita online. Hampir semua infotainment memberitakan tentang rumor hubungan gelap antara Tari dan Gibran karena beredarnya foto-foto mereka saat masuk ke sebuah hotel ketika menemui Anindya. Gambar dan judul berita yang menggiring opini jika rumah tangga Anindya Aditama dan Gibran Narendra Wiratama sedang terguncang dan sedang dalam proses perceraian karena kehadiran Bestari Ayu Rahardian sebagai orang ketiga. Selain menyeret nama Rahardian, salah satu keluarga terkaya di negara ini, gosip itu juga membawa-bawa nama salah satu keluarga keturunan kerajaan di jawa yang membuat rumor itu sedikit sulit diredam dan semakin meluas. Beberapa pihak memanfaatkan berita itu untuk mendapatkan keuntungan dengan mencari antusias netizen yang selalu haus akan berita dan rasa keingintahuan yang tinggi. Jadilah berita itu terus bergulir dan sempat membuat nilai sa
"Membun*hmu," ucap Anindya dengan mengacungkan pist*l yang dibawanya tepat di kening Danisa. Sekektika tubuh Danisa membeku, matanya melebar dengan degup jantung berdentum kencang. "Yakin mau membun*hku?" ujarnya berusaha untuk tenang. "Katakan, mereka dulu atau kamu?" tanya Anindya yang langsung membuat dua orang kawan Danisa seketika panik. Dengan menahan sakit dua orang itu pun berusaha untuk bangun. "Diam atau satu peluru akan lepas dari tempatnya," ujar Anindya seraya mundur dua langkah memastikan ketiga targetnya dalam pengawasannya. "Kamu tidak akan bisa melakukannya. Kamu mencintaiku begitu juga aku. Kita terikat satu sama lain," ucap Danisa berusaha mempengaruhi pikiran Anindya. "Kamu tidak boleh lupa saat-saat kita bersama. Kita melakukan banyak hal untuk pertama kalinya. Akulah satu-satunya orang yang selalu memprioritaskan kamu. Aku yang selalu menuruti keinginanmu." Danisa berusaha membawa Anindya kembali pada kenangan-kenangan kebersamaan mereka dulu. "A
"Ini semua harus berakhir dan akulah yang harus mengakhirinya," gumam Anindya dengan keteguhan hati. "Kamu mau menyusul mereka?" Dilla terlihat tidak setuju dengan keputusan Anindya. "Kamu tahu kemana mereka pergi?" Tak menjawab Anindya malah mengajukan pertanyaan. Dilla berdecak kesal. Pertanyaannya malah dijawab dengan pertanyaan lagi. Meski begitu tetap menjawab. "Ke dermaga, di sana sudah menunggu kapal yang akan membawa mereka ke Batam setelah itu ke Singapura." Anindya menganggukkan kepalanya. "Danisa bilang akan membawamu tapi aku tinggal di sini sampai kuliahku selesai baru menyusul kalian. Tapi tenyata..... " Dilla tidak pernah menyangka orang yang dianggapnya sebagai seorang kakak yang datang ketika dirinya terpuruk ternyata orang jahat yang hanya memanfaatkannya dan setelah merasa tak butuh berniat menghabisi nyawanya. Beruntung Dilla mengikuti ucapan Anindya. Meski sempat tak percaya. "Turuti kataku, jika aku salah kamu juga takkan rugi. Namun jika ak
"Eh.... tunggu jangan salah faham! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ujar Gibran panik. Tanpa bicara Satya langsung mendekati istrinya. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya khawatir sambil kedua tangan besarnya menakup wajah sang istri. Tari menggelengkan kepalanya. "Syukurlah," ucapnya Satya menghembuskan nafas lega. "Loh..... kamu gak salah faham?" Gibran melihat pasangan suami istri itu dengan tatapan takjub. Tadinya dia pikir Satya akan marah-marah menuduhnya dan Tari berbuat yang tidak-tidak karena berada di dalam kamar hotel sendirian. "Kamu pikir aku bodoh? Setelah semua masalah yang kami hadapi istriku akan mengkhianatiku? Yang benar saja," ujar Satya. "Aku salut padamu, kamu sanga pencemburu tapi sangat percaya pada istrimu." Gibran kagum. "Dimana Anindya?" tanya Satya. "Tadi dia pergi angkat telpon tadi sudah lima belas menit belum kembali," jelas Gibran. "Kenapa kamu biarkan dia pergi sendirian? Dia pasti sudah kabur," geram Satya. "Bodoh," umpat
"Aku mau pergi sebentar. Nitip Sabia ya," ucap Tari pada Jihan yang sedang menghabiskan waktu senggangnya dengan menonton drakor kesukaannya di ruang tengah. "Nanti kalau Papa atau Mas Satya tanya, bilang aja aku mau keluar beli kebutuhan Sabia." Sambungnya setelah menyerahkan putrinya pada kakak iparnya itu. "Emang kamu mau kemana?" Jihan menatap Tari curiga. Tangannya mendekap Sabia yang ada di pangkuannya. Tari menggigit bibir bawahnya, bingung mau bohong atau jujur. "Mau pergi sebentar ketemu orang?" "Siapa?" "Teman," "Namanya siapa?" Jihan makin curiga. "Tak ada temanmu yang aku nggak kenal. Sebutkan namanya siapa?" Tari mendesah berat, Jihan lebih protective dari Ganendra. Sulit sekali membohongimu wanita itu. "Aku mau ketemu Anindya," jujur Tari tak bisa mengelak. "Apa? Kamu mau ketemu Anindya?" tanya Jihan dengan mata menyipit. "Kalau memang ada perlu kenapa di gak datang kesini aja? Emang Satya tahu kamu kamu mau keluar untuk ketemu Anindya?" Istri Gan