Aeri mengira laki-laki itu adalah Arvan."Van, aku minta maaf, kamu pasti marah ya sama aku.""Do, siapa perempuan itu, kamu selingkuh ya dariku."Laki-laki itu yang tiba-tiba dipeluk, menggeleng mendengar tuduhan pacarnya."Sumpah beb, aku nggak selingkuh kok, aku juga nggak tahu perempuan ini siapa."Laki-laki itu mencoba melepas pelukan Aeri, "mbak, tolong lepaskan. Ini saya bukan Arvan.""Arvan kok gitu sih?" Bukannya melepaskan, Aeri malah semakin memeluk erat laki-laki itu."Ri!" Arika menyusul Aeri, dia juga turut mencoba melepaskannya dari laki-laki itu. "Lepaskan dia, Ri. Jangan buat orang malu, deh.""Mbak, ini temannya mabuk ya?" Tanya laki-laki itu.Arika menarik lurus bibirnya, "enggak kok mas, teman saya ini lagi sakit."Kata 'sakit' yang Arika katakan terdengar ambigu. Laki-laki dan perempuan itu pada akhirnya menatap Aeri kasihan."Kok orang sakit dibiarkan lepas sih mbak? Tolong temannya ba
"Kita itu hanya sebatas teman, aku tidak bisa menganggapmu lebih dari itu.""Aku tidak mau menikahi Frisya.""Aku tidak mencintaimu."Kata-kata yang pernah Arvan katakan terlintas di benak Frisya. Dia di ruangannya menatap kearah jendela.Dia selalu bertanya-tanya, apa yang kurang darinya sampai Arvan tidak mencintainya, apa kurangnya dia daripada Aeri.Frisya meremas telapak tangannya. Dia membelai foto Arvan di ponselnya."Kenapa sih, Van. Kamu tidak mau sama aku?" Monolognya, "apa kelebihan Aeri sampai kamu menikahinya? Aku mencintaimu Arvan, sangat-sangat mencintaimu."Idris yang mendengar perkataan Frisya waktu dia masuk ke ruangan perempuan itu, hanya tersenyum pahit.Cinta segitiga ini sangat menyesakkan. Selama lima tahun dia yang mencintai perempuan itu, tapi cinta Frisya malah untuk Arvan."Hai, Sya," Idris menyapa Frisya yang sepertinya tidak sadar dengan kedatangannya.Dia menaruh buah dan bunga di nak
"Papa, mengapa papa menyuruh Arvan tinggal di rumah terlantar, seharusnya papa berikan anak kita rumah yang lebih baik, atau setidaknya renovasi rumah itu sebelum diberikan."Saat Senopati pulang dari kantor, dia sudah disambut omelan istrinya yang akhirnya tahu juga soal rumah yang dia berikan pada Arvan."Itu bukan rumah terlantar, lagipula kondisinya juga masih bagus, apa salahnya papa memberikan rumah itu pada Arvan.""Tapi pa, kondisi rumah itu....""Ma," Senopati menyela ucapan istrinya, "Arvan itu sudah dewasa, jika memang rumah itu belum layak di tempati, dia bisa sendiri memanggil tukang untuk renovasi, jadi Mama tidak perlu khawatir.""Seharusnya papa bilang dari awal bagaimana kondisi rumah itu, seharusnya papa juga tidak menyuruh Arvan pergi dari rumah ini, kenapa sih papa malah mengusir Arvan juga, Mama itu khawatir dengan kondisi Arvan, pa.""Hanya Arvan saja? Apa mama tidak khawatir juga pada kondisi Aeri.""Untuk apa m
Setelah keluar dari ruangan Aeri. Idris kembali ke ruangan Frisya.Dari kejauhan, dia melihat seorang anak kecil yang berdiri di depan pintu ruangan Frisya yang terbuka.Anak kecil itu sama dengan anak kecil yang dia temui di ruangan Aeri."Adik perempuannya Mita?" Gumamnya.Mendengar yang di katakan Mita di ruangan Aeri tadi. Dia yakin, anak perempuan ini kembali kabur dari kakaknya dan akan sembunyi di ruangan lain.Karena takut anak kecil itu sembunyi di ruangan Frisya dan mengganggunya, Idris lalu diam-diam menangkap anak kecil itu.Saat itulah dia melihat Frisya yang baru saja menangis"Dris, ini tidak seperti yang kamu pikirkan."Idris tidak mendengarkan apa yang Frisya katakan, dia menghampiri Frisya setelah menyerahkan anak kecil itu pada kakaknya yang datang menyusul."Terimaka ...." Belum sempat Mita mengucap terimakasih.Idris menutup pintu ruangan. Dia lalu memegang wajah Frisya
"Sya, kamu beneran mau ikut menjenguk Aeri?" Sekali lagi Idris bertanya, dia khawatir dengan kondisi Frisya yang masih lemah karena kecelakaan.Untuk meyakinkan Idris, Frisya mengangguk yakin."Iya Dris, mau berapa kali sih kamu akan bertanya?" Frisya tertawa."Tapi kondisimu ....""Dris," panggil Frisya menyela ucapan Idris, perempuan itu menoleh kebelakang—kepada Idris yang mendorong kursi rodanya. "Aku benar-benar tidak apa-apa, jadi kamu jangan khawatir, ya?"Idris tidak pernah bisa menang dari Frisya, akhirnya setelah diyakinkan, dia pun tidak lagi bertanya.Waktu mereka hampir sampai di ruangan Aeri, mereka melihat suster dan dokter yang setengah berlari masuk ke ruangan itu.Dan tidak lama, Arvan keluar dari ruangan sambil membuka kancing kemejanya yang memperlihatkan dada bidangnya."Van, dokter tadi? apa yang terjadi dengan Aeri?" Tanya Idris.Arvan menoleh kearah Idris dan Frisya."Dia tiba-tiba pingsan lagi," beritahunya seperti itu bukan apa-apa.Khawatir saja laki-laki it
Awal mula Arvan mendapat julukan pangeran bunga layu tidak lain karena Aeri. Meski sejak kecil Arvan sangat tampan. Tapi dimasa-masa SMP dulu, dia menutupi ketampanannya dengan berpenampilan culun layaknya seorang kutu buku. Apalagi Arvan memang seorang kutu buku. Kalau tidak ke perpustakaan, temannya itu pasti akan di kelas untuk membaca. "Yaelah Van, tutup dulu napa bukumu, sekali-kali kek makan ke kantin bareng gitu." Suatu hari, karena Idris muak melihat temannya selalu di kelas sendirian, dia pun menasehati temannya itu.Mendengar perkataan Idris, Arvan lalu menunjukkan roti yang sudah dia makan separuh."Aku sudah punya makanan, jadi ngapain ke kantin.""Tapi ....""Kalau kamu tidak ada urusan disini, mending sana keluar," Arvan mengusir Idris sebelum temannya itu semakin menganggu dengan ocehannya.Idris sudah seringkali mengajak Arvan keluar dari rutinitasnya membaca, tapi dia selalu saja gagal. Dia tadinya sudah mau menyerah.'Memang rasanya mustahil untuk membawa Arvan ke
"Sudah kamu diam saja dulu, aku mau mengambil foto.""Hah?" Pagi itu, Arvan tiba-tiba saja menjadi model dadakan Aeri.Aeri memang sejak awal punya minat dalam fotografi, karena itu, dia selalu membawa kameranya ke sekolah.Membawa kamera kesekolah sebenarnya dilarang, tapi Aeri tetap nekat membawanya yang membuat Arvan heran kenapa sampai sekarang temannya itu tidak kunjung ketahuan selalu membawa kamera?'Aeri adalah teman baik ku.'Dengan pemikiran seperti itu, Arvan dengan patuh mengikuti keinginan Aeri untuk di foto.Karena saking fokusnya memfoto, Aeri bahkan tidak sadar kalau sudah banyak siswa-siswi lainnya yang sudah datang ke sekolah.Arvan sudah meminta Aeri untuk berhenti memotret waktu banyak orang yang berdatangan, apalagi semua orang tidak lepas menatap ke arah mereka berdua.Arvan mengira orang-orang itu menonton mereka layaknya seperti menonton topeng monyet. Dia mengira semua orang menatap heran dengan apa yang mereka lakukan. Padahal sebenarnya, rata-rata semua ora
Di rawat di rumah sakit rasanya sangat membosankan. Mulai dari makanannya yang tidak enak sampai dia tidak boleh keluar kamar.Padahal Aeri merasa sudah baikan. Dia memegang dahinya. "Masih panas sih, tapi aku sudah merasa baikan, kok."Saat dia bilang ingin keluar dari rumah sakit. Arvan malah mengomelinya."Jangan membuat orang khawatir, Ri. Kamu kemarin sudah kejang-kejang, kamu mau sakitmu semakin parah?""Tapi aku sudah baikan sekarang."Arvan lalu memasukkan termometer ke mulut Aeri."Lihat, apanya yang baikan." Setelah mengeluarkan termometer itu, Arvan memperlihatkan suhu yang tertera di sana yang memang masih tinggi.Setelah itu Aeri tidak lagi bicara."Hanya sampai besok, aku tidak mau di rumah sakit lebih lama lagi."Ingin rasanya Arvan berteriak."Kenapa susah sekali sih Ri, ngasih tahu kamu.""Yaudah nggak usah ngasih tahu segala, biarkan saja aku keluar rumah sakit."Arvan menghela napasnya, "baiklah, kamu besok bisa keluar kalau panasmu sudah turun, tapi kalau belum ja
"Ck," decakan kesal Arvan di tengah meeting sukses membuat suasana rapat menjadi hening.Keringat dingin membasahi dahi seorang anak buahnya yang tadi presentasi di hadapan semua orang di sana. Entah apa yang salah dari presentasinya hingga membuat bosnya itu berdecak. Tidak hanya anak buahnya yang presentasi saja, namun seluruh anak buahnya di ruangan itu juga merasa ketakutan. Setelah kemarin timnya melakukan kesalahan yang membuat proyek besar yang dia tangani hampir gagal. Arvan yang harus turun tangan untuk menangani masalah itu menjadi sensitif.Sedikit saja kesalahan yang anak buahnya lakukan bisa membuatnya marah besar dan bahkan sampai memecat anak buahnya tersebut.Karena itu, para anak buahnya bersikap hati-hati untuk tidak membuat bos mereka marah.Anak buah yang presentasi menelan ludah sebelum memberanikan diri untuk bertanya. "M-mohon maaf pak Arvan, apakah ada yang salah dari presentasi saya?" Jari-jari tangan si anak buah gemetaran, teman-temannya yang sesama anak bu
Menjadi fotografer wedding selalu membuat Aeri excited. Kepuasan mengabadikan momen bahagia pengantin yang baru menikah adalah hal yang membuatnya merasa bahagia."Bapak, boleh sedikit geseran ke kiri, nah iya, tahan ya, satu, dua, ...." Bersamaan dengan hitungan ketiga, muncul cahaya dan suara shutter dari kamera.cekrek!Aeri mengatur posisi para keluarga dalam sesi foto bersama keluarga kedua mempelai.Selesai sesi foto keluarga besar, kini giliran dia memfoto para tamu undangan yang ingin berfoto dengan pengantin. Kadang saat sesi foto begini, ada saja hal menyebalkan yang dia alami.Seperti saat akan memfoto, tiba-tiba saja ada seorang tamu undangan yang lewat di depannya, alhasil hasil fotonya menjadi jelek. Tidak lagi dengan para fotografer dadakan yang kadang mengganggunya waktu mengabadikan momen bahagia pengantin."Eh, kamu minggiran sana, aku mau ngambil foto cucuku."Seorang ibu-ibu dengan kasar menggesernya untuk mengambil foto cucunya bersama mempelai pengantin.'lah, di
Pada akhirnya Arvan dapat juga berbaring di tempat tidur. Dia melihat jam di ponselnya. Jam menunjukkan sudah pukul 4 lewat, entah sudah berapa jam dia dimarahi oleh papanya. Mungkin jika bukan karena Kyran, Arvan butuh berjam-jam lagi untuk bisa berbaring diatas tempat tidur. "Aku harus berterimakasih padanya nanti." Ucapnya sebelum dia jatuh tertidur. Rasanya tidak lama saat Arvan memejamkan mata dia kembali dibangunkan oleh suara berisik lagu yang diputar dengan keras. Arvan awalnya menutup kepalanya dengan bantal, namun karena lagu itu tidak kunjung berhenti, dia yang tidak tahanpun melempar bantal itu ke asal suara. "Berisik, nggak lihat orang lagi tidur." Arvan bangkit duduk di atas tempat tidur, dia menatap tajam seseorang di depannya. "Lagian, siapa suruh kakak tidur di kamarku," Alvin, orang yang ditatap tajam melempar balik bantal yang mengenainya pada Arvan, "AC dikamar kakak kan sudah diperbaiki, kenapa tidak balik ke kamar kakak sendiri, kenapa masih tinggal di kam
"Mama!" Senopati menekan nada suaranya untuk tidak membentak istrinya."Lagian kenapa sih Papa masih membelanya? Dia itu istri yang buruk, lihat!" Rullistya menunjuk pada Frisya yang tadi menyusulnya ke arah Arvan dan kini dia memegangi lengan Arvan yang terlihat akan jatuh kapan saja. "Beratus-ratus kali Frisya lebih baik dari perempuan itu, seharusnya papa mendukung putra kita menikah dengannya bukan dengan perempuan tidak jelas itu."Senopati hanya bisa menghela napas panjang, kepada putranya dia bisa saja tegas, tapi tidak demikian jika dengan istrinya."Tapi, yang kini menjadi istrinya Arvan itu Aeri, Ma," ingatkan Senopati, "dan Aeri adalah istri yang Arvan pilih.""Lalu, memang kenapa kalau Aeri istri Arvan, tidak menutup kemungkinan mereka akan cerai nantinya.""Jangan bicara seperti itu, Ma. Mama mau pernikahan putra kita gagal?""Tentu, malah mama berdoa secepatnya Arvan berpisah dari perempuan itu."'Amin.' Spontan Arvan mengaminkan ucapan mamanya. Dia memang ingin secepat
"Kenapa kamu tidak bilang pada papa kalau mama memintamu dan Aeri pulang?" Tanya papa setelah dari tadi menceramahi Arvan gara-gara Aeri yang tiba-tiba keluar rumah.Padahal waktu Senopati datang, jelas-jelas dia melihat Aeri menghajar Arvan, tapi masih saja Arvan yang dia salahkan karena melihat Aeri yang hampir mau menangis dan pergi begitu saja waktu dia tanya ada apa."Lalu ini, kamu. Bisa-bisanya kamu tenang-tenang saja padahal istrimu entah ada di mana sekarang."Sudut bibi Arvan sobek, dan lebam di pipinya membiru. Tidak ada yang merawat lukanya, tidak seperti Frisya yang karena luka ditangannya sampai dibawa ke rumah sakit oleh mamanya.'Apa mereka tidak menganggap aku anak apa? Satunya mengurus Frisya, satunya lagi Aeri,' gerutu Arvan dalam hati.Dia semakin menekan kompres es batu pada luka di bibirnya, mengalihkan rasa kesalnya pada rasa sakit yang malah membuatnya merintih."Aku kira papa tahu soal mama yang membawa Aeri pulang, lagian juga aku dan Aeri di sini sampai reno
Aeri yang biasanya tenang, hari ini memuntahkan segala uneg-unegnya, keluh kesahnya terlalu banyak hingga butuh waktu lama untuk dia berhenti mengeluh panjang lebar.Entah sudah berapa kali Arika menahan untuk tidak menguap di hadapan Aeri, dia juga sampai malas mengecek jam, waktu mendengarkan Aeri. Dia menopang kepalanya dengan lengan yang dia sandarkan ke sandaran sofa, dia duduk sembari menghadap Aeri yang ada di sampingnya.Di posisinya itu, godaan untuk tidur begitu besar. Hampir saja dia tertidur, tapi untungnya Aeri menyudahi keluh kesahnya."Rasanya aku menyesal menikah dengan si ba*sat itu, akan lebih baik kalau aku menikah denganmu, Ka." Aeri menoleh pada Arika di sampingnya yang mendadak kantuknya hilang mendengar ucapannya."Kamu bercanda, kan?""Aku tidak bercanda," mata Aeri penuh dengan keyakinan yang membuat bulu kuduk Arika merinding, "akan lebih baik kalau aku menikah dengan ...,""Oke, shut up," Arika menutup mulut Aeri.Aeri yang dia kenal memang orang aneh, salah
Keras kepala, itulah hal baru yang Arvan ketahui dari Aeri. Arvan memegang dahinya, pusing. Tidak tahu lagi bagaimana menghadapi Aeri."Kamu ini ya," saat Rullistya akan menampar Aeri, Frisya segera menahannya."Tante, sudah jangan main tangan dengan Aeri." Frisya memegang erat tangan Rullistya."Ma, sebaiknya mama keluar dulu dari sini, tenangin dulu diri Mama.""Kenapa mama yang harus pergi, yang seharusnya pergi itu dia, wanita kurang ajar itu, ini rumah mama!" tidak terima dengan perkataan Arvan, Rullistya kini malah memarahinya.Arvan menghela napasnya lelah, dia lalu menatap Aeri. Dia sebenarnya malas berurusan dengan istrinya itu, bahkan sekedar bicara saja rasanya berat."Aeri ...,""Ya, ya, aku tahu, kamu pasti mau mengusirku kan?" Aeri memotong perkataan Arvan."Sebaiknya kamu kembali ke kamarmu.""Kamarku?" ulangnya setelah mendengar ucapan Arvan, entah bagaimana kekesalannya pada laki-laki itu meningkat.Dia tahu Arvan akan menyuruhnya pergi, tapi dia tidak menyangka aka
"Meskipun sisa, makanan itu masih layak untuk dimakan, lagian yang makan makanan itu tidak hanya kamu saja, Aeri, tapi semua orang di rumah ini, bahkan Arvan, dia juga memakan makanan itu, benarkan Arvan?" Frisya bertanya pada Arvan untuk menyakinkan kata-katanya.Dan karena memang Arvan memakan makanan itu, jadi dia pun mengiyakan perkataan Frisya."Apa yang Frisya katakan benar Aeri, dan sejak kapan kamu jadi pilih-pilih makanan begini, lagian itu hanya makanan sisa semalam bukan makanan basi."Disudutkan oleh dua orang di hadapannya membuat Aeri tidak bisa tidak memutar bola matanya."Lalu, kalau semua orang makan makanan itu, apa aku harus memakannya juga, enggak kan?" Aeri mengangkat bahunya sebelum dia memunggungi Arvan untuk membantu Frisya membasuh tangannya di wastafel.Tapi Frisya menolak bantuannya, dia menepis tangan Aeri dan berjalan mendekati Arvan yang dengan sigap menahannya yang hampir terjatuh."Aeri yang kukenal tidak akan buang-buang makanan.""Sya, tanganmu perlu
Saat Aeri akan membawa nampan makanan ke dapur, dia melihat Arvan yang mendekatkan wajahnya pada Frisya, seperti orang yang akan berciuman.Spontan Aeri menyiram Arvan dengan sup yang dia bawa."Ck, ini siapa yang ...." Saat Arvan menoleh, dia melihat Aeri yang tersenyum cerah padanya, "Aeri. Apa maksudnya kamu menyiramku?" Arvan yang tadi akan marah, menekan nada suaranya untuk tidak berteriak di depan Aeri."Lama nggak ketemu ya Van, sepertinya kamu lupa kalau istrimu sedang sakit.""Apa-apaan kamu ini, kenapa kamu menyiramku?" Kembali Arvan bertanya mengacuhkan perkataan Aeri.Aeri memutar bola matanya, dia lalu menendang lutut Arvan."Auww!" Ringis Arvan memegang lututnya."Entahlah, pengen aja aku nyiram kamu, lagian bukannya negrawat istri yang sakit, ini malah enak-enakan berduaan dengan perempuan lain.""Ck, siapa juga yang berduaan.""Lalu ..." Aeri melihat antara Frisya dan Arvan.Sebelum Arvan bicara, Frisya lebih dulu berkata."Kamu salah paham Ri, aku dan Arvan bukannya b