"Sebenarnya aku tidak berniat melakukan ini, Sha. Aku bukan orang bodoh. Aku tahu kalau kamu tidak menginginkanku lagi," ungkap Sandra lirih."Lantas, apa yang membuatmu pada akhirnya melakukan hal keji yang melanggar profesi muliamu sebagai seorang dokter? Jangan bilang karena kamu mendapat bisikan dari iblis ya? Karena tingkahmu ini justru membuat iblis keder karena merasa kalah jahat denganmu," ejek Ganesha sarkas. Arimbi meringis. Beginilah sifat Ganesha yang mulai ia kenali. Kalimat-kalimatnya pedas namun akurat. Sehingga membuat lawannya tidak bisa berkelit lagi."Karena rasa benciku pada Arimbi," ungkap Sandra lirih. Tidak ada jalan lain. Ganesha telah membatasi ruang geraknya. Ia tidak bisa mencari alasan lagi. "Benci padaku?" Memangnya aku punya salah apa pada, Mbak? Kita saling kenal juga baru dalam hitungan bulan." Arimbi keheranan. Saat ini dirinya dan Ganesha ada di ruangan direktur rumah sakit. Ancaman Ganesha yang akan melaporkan rumah sakit karena diduga telah mela
Satu persatu orang dalam ruangan berjalan keluar. Menyisakan Sandra, Dahlia, Nina, Arimbi dan Ganesha sendiri. Bahasa tubuh mereka semua sangat tegang. Terutama Dahlia. Ia berkali-kali menelan ludah. Ia ingin meminta maaf pada Ganesha, namun tak kuasa. Ia takut diamuk oleh mantan sahabatnya. Ya, mantan. Dahlia yakin, setelah hari ini Ganesha pasti tidak akan mau lagi melihat wajahnya. "Sha, gue... gue... minta maaf." Dengan suara terbata-bata Dahlia memberanikan diri meminta maaf Ganesha. "Kalau Sandra dan Nina yang melakukan kekacauan ini, gue masih mengerti. Itu manusia bedua memang setali tiga uang. Tapi lo. Lo ini sehabat gue, Lia. Kenapa lo tega banget melakukan semua ini pada gue. Kenapa?" Ganesha tiba-tiba saja memukul meja."Sabar, Mas. Sudahlah, tidak usah diingat-ingat lagi kalau hal itu membuat Mas emosi." Arimbi menggenggam buku-buku jari Ganesha di atas meja. Ganesha membalas dengan balik menggenggam tangan Arimbi. Melihat interaksi Arimbi dan Ganesha yang intim membuat
Arimbi membuka mata ketika mendengar dering alarm ponselnya. Refleks ia memindai jam di dinding kamarnya. Pukul 06.00 WIB. Setelahnya, Arimbi meringis sendiri. Alarm berbunyi tentu saja waktunya adalag pukul enam pagi, sesuai jam yang telah ia atur sendiri. Untuk apa lagi ia memindai jam dinding bukan? Ganesha kerap menertawai kebiasaan anehnya ini.Perlahan, Arimbi memindahkan lengan Ganesha yang melingkari perutnya. Ia harus segera bangun untuk membuat sarapan sederhana. Ganesha menyukai sarapan pagi dua takup roti panggang selai kacang dan secangkir kopi. "Mau ke mana kamu, Rimbi?" guman Ganesha dengan suara parau. Lengan yang tadinya Arimbi singkirkan telah kembali melingkari pinggangnya. Malah kini makin erat."Mau membuat sarapan pa-- aduh!" Arimbi meringis kesakitan. Kakinya kram saat ia mencoba meregangkan tubuh."Kamu kenapa, Rim?" Kaget mendengar jeritan Arimbi, Ganesha menendang selimut dan memeriksa keadaan Arimbi. Kantuknya seketika lenyap entah ke mana."Kaki saya kra
"Lo seharusnya nggak usah nganterin gue pulang, Rim. Lihat hujan deras. Mana udah malem lagi." Valerie menatap cemas jalanan menuju rumahnya. Saat ini ia berada dalam mobil Arimbi. Karena hujan, Arimbi tidak membolehkannya pulang sendiri. Istimewa rumahnya berada di daerah pemukiman yang relatif sepi. Arimbi takut ia kenapa-kenapa apabila pulang menumpang taksi online."Justru itu. Ini udah malem dan hujan deras makanya gue nganterin lo pulang. Mana rumah lo di ujung kulon lagi. Kalau Rini mah rumahnya deket. Makanya gue okein dia pulang sendiri. Rumah lo yang mana Val?" Sembari menyetir Arimbi menatap deretan rumah yang di depannya. "Itu yang catnya warna biru. Udah lo nurunin gue di sini aja. Biar gue lari-lari masuk ke dalem. Maaf, gue bukannya nggak sopan nggak nyuruh lo singgah ya? Tapi ini udah malem. Stop di sini aja, Rim?" Valerie memberi aba-aba. Arimbi pun menghentikan laju mobilnya."Gue turun ya, Rim? Inget, ntar kalo udah sampe rumah telepon gue. Biar gue tenang." Sebe
Mobil berwarna putih itu kian mendekat. Arimbi mengangkat tangan. Melindungi matanya yang silau karena sorot lampu mobil yang terang. Dalam gelap, sorot lampu mobil itu jadi terasa sangat menusuk mata. Terdengar suara pintu mobil yang dibuka dikuti sesosok tubuh yang memegangi payung. Setelah pintu mobil ditutup tergesa, sosok berpayung itu segera menghampirinya."Mbak kenapa? Kecelakaan ya?" Sosok berpayung itu ternyata seorang anak remaja berusia kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun."Iya, Dik. Mobil Mbak ditabrak orang. Mbak bisa meminjam ponselmu untuk menghubungi suami Mbak, tidak? Ponsel Mbak kehabisan daya." Di antara suara curah hujan, Arimbi berbicara dengan suara bergetar. Ia ketakutan dan kedinginan."Oh boleh, Mbak. Sebentar ya, ponsel saya masih ada di mobil. Mbak pakai saja payung saya. Biar saya berlari ke mobil," usul sang remaja sembari mengulurkan payung."Tidak usah, Dik. Mbak sudah terlanjur basah. Lagi pula di mobil Mbak juga ada payung. Mbak tadi pa
"Rimbi, ke sini sebentar, Sayang." Ganesha melambaikan tangan. Ia ingin mendapat kepastian dari Arimbi. "Bagaimana kejadian awalnya? Kamu gugup karena jarak kendaraan yang terlalu dekat ya?" Ganesha penasaran. "Bukan," Arimbi menggeleng tegas."Saat itu jalanan sangat sepi. Hanya saya seorang di sana. Sebuah mobil Land Cruiser hitam tiba-tiba memepet saya, hingga saya membanting setir ke kanan.""Memepetmu?" Ganesha mengerutkan dahi. Berbagai pemikiran singgah di kepalanya."Ibu yakin kalau Ibu dipepet? Bukan karena Ibu gugup makanya Ibu membanting stir hingga sampai keluar jalan?" petugas polisi ikut menginterogasi."Yakin, Pak. Karena setelah berada di depan saya, mobil itu berbalik dan menabrak bember depan mobil saya. Mobil saya sempat berputar beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar berhenti. Sebelumnya orang itu terus membayangi saya sejak keluar dari mall. Orang itu benar-benar ingin membunuh saya!" Arimbi kembali gemetar mengingat kejadian itu."Tidak apa-apa, Sayang. Tid
"Mas tidak habis pikir, mengapa kamu tidak menceritakan soal orang yang ingin menabrakmu, Rim?"Ganesha masih tidak puas akan keterangan Arimbi perihal orang yang ingin menabraknya. Saat ini mereka telah berada di rumah sakit. Ganesha memang meminta ambulance membawa Arimbi langsung ke rumah sakit. Ia takut kalau ada luka dalam yang tidak Arimbi sadari karena masih syok akan peristiwa tabrakan ini. Dan di sini lah sekarang mereka berada. Arimbi tergolek lemah Di bed pasien UGD menunggu dokter memberikan hasil atas beberapa pemeriksaan lanjutkan atas perintah dokter. Arimbi juga sudah tidak kedinginan lagi, karena pakaian basahnya telah diganti dengan piyama rumah sakit. Arimbi sekarang mual dan pusing. Setelah peristiwa berlalu, shocknya baru mulai terasa sekarang."Waktu itu aku masih yakin tak yakin, Mas," terang Arimbi. Setelahnya ia meringis. Aroma antiseptik yang menguar dari ruangan membuat perutnya kian bergolak. Apalagi saat ia mendengar erangan kesakitan beberapa pasien UDG
"Siapa orang yang begitu keji menginginkan kamu celaka ya, Rim? Ibu tidak habis pikir." Bu Ambar mondar-mandir di ruangan Mawar 101. Ketika Ganesha menceritakan bahwa putrinya mengalami kecelakaan, jantungnya serasa berhenti. Dan kini setelah mengetahui putrinya bukan mengalami kecelakaan biasa, melainkan dicelakakan, Bu Ambar semakin ngeri. Salah apa putrinya sampai ada orang yang mendendaminya seperti ini."Rimbi juga tidak tahu, Bu. Tapi Ibu tenang saja. Mas Esha sudah menyerahkan masalah ini pada pihak yang berwajib. Biar pihak yang kompeten saja yang menyelidikinya. "Apa mungkin, Nina? Eh sepertinya tidak deh. Nina itu 'kan tidak bisa menyetir. Atau jangan-jangan salah satu dari mantan pacar Ganesha? Siapa itu yang dokter? Yang sekarang dipecat karena menukar hasil test DNA itu lho?" Bu Ambar menjentik jemari. Terus berupaya menebak-nebak dengan menyebutkan nama-nama yang ia curigai satu persatu."Dokter Sandra maksud Ibu?""Nah iya. Mungkin saja bukan? Atau mungkin itu tuh. Ya
"Relakan, Mbak. Tempatkan masalah sesuai dengan masanya. Masa lalu tempatnya memang di waktu lalu. Dewasalah untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa Mbak lakukan tentang masa lalu, kecuali memutuskan terus hidup di sana dan menderita selamanya atau berubah menjadi lebih baik."Nina tidak menjawab pertanyaan Arimbi. Dirinya sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Arimbi. Ia bukanlah orang bodoh. Dirinya hanya seorang pendengki serakah yang tidak bisa melihat kebahagiaan orang lain."Kita pulang ya, Nin? Ayah yakin setelah minum obat dan tidur pasti kamu akan merasa lebih baik. Kalau ada waktu, Rimbi pasti akan menengokmu ke rumah. Iya 'kan, Rim?" Pak Sujatmiko menatap Arimbi sendu dengan pandangan meminta pertolongan.Arimbi langsung tidak menjawab pertanyaan terselubung pamannya. Melainkan ia menatap Ganesha terlebih dahulu. Meminta izin tanpa bicara. Ketika melihat Ganesha mengangguk samar barulah Arimbi berbicara."Iya, Mbak. Nanti kalau ada waktu luang, Rimbi akan menjen
"Kamu di sini saja, Rim. Ingat kamu sedang hamil. Nina itu sedang depresi. Apa pun akan berani ia lakukan." Ganesha menahan bahu Arimbi saat istrinya itu ingin bangkit dari tempat tidur."Tapi saya harus, Mas. Bagaimanapun Mbak Nina itu sepupu saya. Sedikit banyak saya memahami kepribadiannya. Lagi pula ada Mas juga. Saya pasti aman." Arimbi membujuk Ganesha."Ayolah, Mas. Daripada Nina membuat ulah yang mengacaukan acara, sebaiknya kita cegah terlebih dahulu." Arimbi menghela lengan Ganesha. Teriakan histeris Nina makin membahana."Baiklah. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Mas tidak mau kamu sampai kenapa-kenapa." Kalimat Ganesha ditanggapi anggukan singkat oleh Arimbi. Sesampai di ruang tamu, keadaan mulai kacau. Nina terus menjerit histeris, dan mengatakan bahwa ia tidak terima diperlakukan tidak adil oleh Seno. Sejurus kemudian dua orang Satpam komplek terlihat memasuki rumah. Dengan segera mereka mengamankan Nina. Namun Nina terus meronta-ronta liar dan memaki-maki Seno sera
"He eh," Bu Astuti mengangguk lemah. Mata tuanya berkaca-kaca. Sungguh ia menyesal pernah berbuat tidak baik pada Arimbi, hanya karena ia kesal pada Ganesha. Jika saja waktu bisa diulang, betapa ingin dirinya mengubah sikap judes dan nyinyirnya dulu pada Arimbi. Istri Ganesha ini lembut dan baik hati."Ini minumnya, Bu. Kalau Ibu tidak keberatan saya bantu meminumkannya ya, Bu?" Dengan sopan Arimbi meminta izin Bu Astuti."He eh... he eh..." Bu Astuti mengangguk berkali-kali. Kedua mata tuanya kini membentuk kolam air mata. Bu Astuti menangis tanpa suara."Ayo diminum, Bu. Pelan-pelan saja agar tidak tersedak." Arimbi membungkuk. Ia memeluk bahu Bu Astuti sambil mendekatkan bibir Bu Astuti pada birai gelas. "Sudah, Bu?" tanya Arimbi lagi. Bu Astuti sudah menghabiskan seperempat gelas air putih. Bu Astuti mengangguk. "Sebentar ya, Bu. Saya mengambil tissue dulu." Arimbi menarik selembar tissue dari atas meja. Setelahnya ia mengelap sudut bibir dan dagu Bu Astuti yang basah. "Maaf...
Dua tahun kemudian."Sah!" Arimbi, Ganesha dan beberapa kerabat lain ikut mengucapkan kata sah, saat penghulu menyatakan ijab kabul Seno dan Rina sah. Ya, hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Seno, Rina dan juga Mahesa. Karena keduanya pada akhirnya memutuskan menikah setelah dua tahun berpacaran."Akhirnya mereka menikah juga ya, Rim?" Ganesha tersenyum sumringah melihat sepasang pengantin baru di depannya saling memasang cincin. Ia ikut gembira untuk Seno. Sebagai seorang kakak, ia mengasihi Seno dengan caranya sendiri. Di masa lalu Seno memang banyak sekali melakukan kesalahan. Namun perlahan-lahan ia berubah dan menjadi pribadi yang lebih. "Iya, Mas." Arimbi menimpali kalimat Ganesha singkat. Ia memang selalu hati-hati apabila membicarakan soal Seno. Ia tidak mau Ganesha mengira kalau dirinya masih peduli pada Seno."Seno sekarang sudah banyak berubah ya, Rim? Tepatnya sejak ia tahu kalau dirinya ternyata memiliki Mahes. Sekarang kebahagiaan Mahes adalah prioritasnya, Ma
"Ayo lanjutkan ceritamu di taman belakang saja." Arimbi membawa Menik ke taman kecil kesayangannya. Di sana ia kerap menghabiskan waktu bercocok tanam. Mulai dari berbagai macam jenis bunga hingga tanaman herbal ada di tamannya."Lanjutkan ceritamu, Nik." Arimbi menghempaskan pinggulnya di kursi taman. "Tuh, Mbak Tini juga sudah menyiapkan makanan kecil. Kita mengobrol di sini saja sementara Mas Esha dan Bang Ivan bekerja." Arimbi kian semangat mengorek cerita tatkala Mbak Tini muncul dengan sepiring pisang goreng hangat dan dua gelas sirup markisa."Ya, terus aku membawa Bu Mirna ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian Ivan dan Pak Kristov menyusul. Di situ aku baru tahu kalau ibu-ibu yang aku tolong adalah ibunya Ivan. Singkat cerita aku dan Bu Mirna kemudian menjadi akrab. Tidak lama kemudian Ivan pun menembakku. Katanya untuk pertama kalinya ibunya mencomblanginya. Dengan dua mantan Ivan terdahulu Bu Mirna tidak cocok. Ivan juga bilang ia sudah lelah pacaran ala remaja ingusan. Ia
Arimbi termangu menatap televisi. Baru saja diberitakan bahwa Bastian Hadinata yang digadang-gadang akan menjadi walikota telah dilengserkan. Selain dinilai tidak layak menjadi calon walikota, saat ini Bastian juga telah diamankan karena terbukti melakukan gratifikasi terhadap beberapa proyek pemerintah.Televisi juga menayangkan wawancara singkat dengan Bastian dalam seragam berwarna oranye. Di scene-scene lain, terlihat Priska dan Prisila berlarian sambil menutupi wajah mereka dengan syal. Mereka berdua tampak menghindari awak media yang terus memburu saat mereka baru saja keluar dari kantor polisi. Berita tentang korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh Bastian Hadinata memang tengah menjadi headline di mana-mana. Apalagi semua aset-aset Bastian Hadinata saat ini telah disita oleh negara. Tidak heran kalau Prisila dan Priska sekarang menjadi bulan-bulanan pers. Mereka dikejar di mana pun mereka berada."Kamu percaya dengan karma bukan, Ri? Lihatlah, apa yang sekarang terjadi pa
"Kamu tadi menanyakan bagaimana Mas tahu perihal rumah impianmu bukan? Nah, itu dia orang yang sudah memberitahu Mas. Seno, sini." Ganesha melambaikan tangannya pada Seno. Memanggil adiknya yang tengah mewarnai gambar dengan Mahesa. Semenjak tahu bahwa dirinya telah mempunyai seorang anak, Seno berubah banyak. Ia kini lebih kalem dan bertanggung jawab. Di sela-sela waktu luangnya, ia selalu menyempatkan diri bercengkrama dengan putranya. "Jadi kamu yang membocorkan rahasiaku?" Arimbi berpura-pura marah pada Seno. Ia juga berusaha bersikap wajar pada Seno. Bagaimanapun Seno adalah adik iparnya sekarang."Ampun, Kakak Ipar. Aku terpaksa melakukannya karena diancam Mas Esha. Katanya ia akan membuangku keluar kota kalau aku tidak mau bekerjasama." Seno meringis. Ia menghargai usaha Arimbi yang ingin berinteraksi wajar dengannya. Mereka sekarang telah menjadi satu keluarga besar."Jangan membuat Rimbi memandangku sebagai kakak yang kejam ya, Sen?" Ganesha mengacungkan tinjunya pada Seno.
Arimbi melirik Ganesha sekilas saat laju mobil memasuki hunian mewah kompleks Graha Mediterania. Kompleks perumahan mewah yang baru saja launching minggu ini. Ia mengetahui perihal hunian mewah ini karena memang dibangun oleh Caturrangga Group dan beberapa investor dari Jepang. Selain hotel dan condominium, Caturrangga Group juga membangun kompleks-kompleks perumahan mewah dengan segmen pasar kelas atas atau high end."Kita akan mengunjungi salah satu customer Mas ya? Apa tidak mengganggu kalau Mas menemui costumer di hari Minggu begini?" "Nggak kok, Rim. Tenang aja. Kita semua akan bersenang-senang bersama." Ganesha tersenyum lebar. Ia memahami rasa penasaran istrinya. Arimbi mengerutkan kening. Kita? Bersama? Apa yang Ganesha maksud?Laju kendaraan melambat tatkala melewati rumah demi rumah mewah yang mereka lewati. Sebagian besar bentuknya sama karena memang dibangun seragam. Sebagaian lagi bentuknya sudah berubah karena direhab sesuai dengan selera para pemilik rumah.Tatkala la
Bu Astuti terpana. Ia tidak menyangka kalau Rina bisa bersikap seluwes itu terhadap Mahesa. Biasanya Rina itu tidak menyukai anak kecil. Rina anak tunggal. Ia tidak terbiasa berinteraksi dengan anak kecil. Menurut Rina anak kecil itu rewel dan menyusahkan. Tumben kali ini Rina bersikap begitu kompak pada Mahesa. Syukurlah, berarti tujuannya mendekatkan Rina dengan Seno akan semakin mudah. Mengingat Mahesa adalah darah daging Seno. Mendekati Mahesa artinya mendekati Seno juga."Rina dan Mahesa cocok sekali ya, San? Sepertinya kalau menjadi ibu dan anak pas ya?" Bu Astuti meminta tanggapan Bu Santi."Iya, Tut. Kita sebagai orang tua mendoakan yang terbaik saja. Biar yang muda-muda menentukan jalan hidup mereka sendiri." Bu Santi memberi jawaban netral. Ia memang setuju Rina menjadi pengganti Nina. Selain perilaku Rina yang sekarang membaik, ia juga gembira bisa melaksanakan niat Pak Syarief almarhum yang ingin berbesanan dengannya. Namun ia menyerahkan semuanya pada Seno dan Rina sendir