"Kalau caramu menyetir seperti keong begini, bisa bulan depan baru kita sampai di rumah Ririn, Van. Aku saja yang menyetir ya? Lagian aku tahu jalan pintas ke rumah Ririn.""Sabar dong, La. Namanya juga mengendarai mobil baru, ya harus pelan-pelan lah. Kalau nanti lecet, bisa ketahuan Bang Ivan lagi kalau aku membawa mobilnya.""Perasaanku nggak enak, Van. Kamu sih membawa mobil Bang Ivan nyolong-nyolong begini. Kalau ketahuan bagaimana? Tahu begini, bagusan kita dianter ayahku saja seperti perjanjian semula.""Kamu tuh ya, Rim? Anak rumahan banget. Kita ini sudah tamat SMP. Bulan depan kita sudah berseragam SMA. Masa sih ke mana-mana masih dianter orang tua terus kayak anak TK?""Iya nih, La. Arimbi nggak asik. Tiap ke mana-mana kita berempat dianter ayahnya melulu atau Bang Ivan. Sekali-sekali kayak begini dong, nyetir sendiri. Bebas... lepas... kutinggalkan saja beban dihatiku... melayang dan melayang jauh..."Bener, Pris. Tapi kamu nggak usah pake acara nyanyi-nyanyi juga lagi. Ma
"Ini, Rimbi. Ayo minum dulu." Ganesha menggenggamkan segelas air dingin ke tangan Arimbi yang menatap nyalang dinding kamar."Te--terima kasih, Mas." Dengan tangan gemetaran, Arimbi mencoba minum. Namun karena tangannya terus bergetar, sebagian air terpercik ke pangkuannya."Sini, saya bantu." Ganesha menempatkan mulut Arimbi pada birai gelas. Meminumkan beberapa teguk air dingin dengan sabar. Hatinya melembut menyaksikan Arimbi ketakutan seperti ini."Kamu mimpi apa?" Setelah meletakkan gelas di nakas, Ganesha kembali ke sisi ranjang. Ia duduk di samping Arimbi yang terpekur diam."Bukan apa-apa, Mas," jawab Arimbi kaku.Arimbi tidak ingin berbagi cerita padanya. "Baiklah. Apakah kamu baik-baik saja? Ingin saja temani sampai kamu tidur kembali?" tawar Ganesha lagi. Jujur, ia khawatir melihat keadaan Arimbi. Arimbi menggeleng lemah."Tidak perlu, Mas. Saya... saya... baik-baik saja." Setelah mengatakan kalau dirinya baik-baik saja air mata Arimbi mulai berlelehan. Padahal ia sudah be
"Rim, Bapak berkemeja garis-garis yang baru masuk itu namanya Pak Imran. Pak Imran adalah customer tetap Mbak Sheila yang baru saja resign. Pak Imran adalah seorang pengusaha pertambangan. Type mobil yang digemari Pak Imran itu biasanya mobil sport dengan cc besar. Nah tugas lo sebagai sales counter adalah memperkenalkan mobil-mobil sport terbaru agar poinmu tinggi. Sana, dekati Pak Imran. Lakukan tugas lo dengan baik. Jangan lupa juga untuk melakukan up selling dan sugesstive selling agar poin lo makin maksimal. Semangat ya?"Rini selaku sales counter senior mengajari Arimbi tips dan trik menjadi sales counter yang baik."Oke. Doain gue berhasil menjual unit ya, Rin?" Arimbi bergegas menghampiri Pak Imran. Tidak lupa Arimbi juga membawa brosur dan price list harga mobil. Rini mengacungkan jempolnya."Selamat siang, Pak Imran. Saya Arimbi Maulida. Sales counter baru. Kalau saya boleh tahu Bapak mencari mobil jenis apa?" sapa Arimbi ramah."Kamu siapa?" Pak Imran menurunkan kacamatanya
"Gila banget itu mobil. Sama sekali nggak melambatkan kecepatan. Padahal dia tahun kalau kita mau menyeberang. Lo nggak apa-apa, Rim?" Rini, Valerie, Giska dan Wendy membantu Arimbi berdiri."Gue nggak apa-apa." Setelah menenangkan diri sejenak, Arimbi menenangkan baru bisa bersuara. Ia shock."Lutut lo berdarah, Rim! Kita ke rumah sakit ya? Lo bisa jalan atau mau gue papah?" Rini panik. Kedua lutut Arimbi luka-luka karena tergesek aspal. "Nggak usah ke rumah sakit. Cuma lecet-lecet kecil doang. Bisa gue obatin sendiri di showroom pake kotak P3K." "Luko lo kayaknya lumayan parah. Better lo ke rumah sakit deh. Nanti infeksi." Wendy jongkok. Ia memeriksa luka-luka Arimbi ngeri."Nggak usah. Luka kecil begini nggak masalah buat gue. Percaya deh. Nih, gue aja masih bisa jalan seperti biasa." Menahan perih Arimbi mencoba berjalan. Ia tidak ingin membuat rekan-rekannya cemas."Ya udah. Kalo gitu jalannya pelan-pelan." Rini dan Wendy memegangi lengan kanan dan kiri Arimbi. Sepanjang jalan
"Sebenarnya aku tidak berniat berbohong, Rim. Keadaanlah yang memaksa. Papa yang mengatur semuanya selama aku dan Priska koma. Sewaktu aku dan Priska sadar, kami berdua sudah berada di Toronto General Hospital."Berarti setelah kecelakaan, Prisila dan Priska dibawa orang tuanya ke Kanada. "Di sana aku harus menjalani operasi besar, karena telah terjadi pendarahan hebat pada organ-organ vitalku. Dadaku cedera parah karena terlempar keluar mobil. Paru-paruku dipenuhi darah sehingga kinerja jantungku tidak normal. Sementara Priska mengalami gegar otak. Kami berdua sekarat kala itu, Rim." Prisila mencoba menjelaskan situasi pasca kecelakaan sekitar sebelas tahun lalu waktu itu.Saat ini Arimbi, Prisila, Ivan dan Ganesha berada dalam ruangan Ivan. Ganesha berinisiatif mengumpulkan para pihak yang bertikai, untuk meluruskan kesimpangsiuran peristiwa masa lalu."Ceritamu ini berbanding terbalik dengan apa yang diceritakan oleh Bang Ivan. Bang Ivan bilang, kamu meneleponnya dari luar negeri
"Waktu itu aku marah, La. Aku bilang pada papa, bahwa aku akan mengatakan yang sebenarnya pada keluarga Vana. Papa mengamuk. Akibatnya papa membatasi ruang gerakku. Papa menggunakan jasa dengan pengawal untuk mencegah niatku. Aku juga tidak diberi ponsel. Intinya aku tidak punya akses apapun. Aku bahkan tidak lagi bisa berkomunikasi dengan Priska."Prisila menengadah. Menatap langit-langit ruangan sembari mencoba menghadirkan kembali situasi waktu itu."Pada suatu hari aku nekad menghubungi nomormu dengan mencuri pinjam ponsel pengawalku. Sialnya aku ketahuan. Padahal aku sudah sempat mendengar suaramu menjawab halo."Berarti nomor luar negeri yang meneleponnya dulu adalah Prisila. "Papa marah besar. Papa bilang kalau aku mengaku, maka aku akan di penjara di Indonesia sana. Mendengar kata penjara, aku takut, Rim. Aku tidak mau dipenjara. Papa bilang ia melakukan semua ini semua demi kebaikanku sendiri.""Dan kamu kemudian menyerah untuk memberitahukan yang sebenarnya?" tebak Arimbi.
Sembari menyetir Ganesha melirik Arimbi yang duduk bagai patung di sampingnya. Saat ini ia akan membawa Arimbi ke rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya. Lima belas menit sudah berlalu, sejak mereka berkendara. Namun suasana di dalam mobil tetap hening. Arimbi tidak bersuara sedikitpun. Sedari masuk ke dalam mobil, Arimbi mengunci mulutnya rapat-rapat dengan pandangan lurus ke depan.Biasanya Arimbi akan berbincang ringan demi mengurai keheningan di dalam mobil. Namun kali ini sikapnya berbeda. Di sepanjang perjalanan Arimbi hanya diam membisu. Air mukanya murung. Arimbi tampak tertekan setelah pertemuannya dengan Prisila. Ganesha tidak mengetahui apa yang mereka berdua bicarakan. Namun menilik air muka keduanya yang sedih dan muram, pasti keduanya belum menemukan titik terang."Antar saja saya pulang ke rumah ya, Mas? Kaki saya sudah tidak sakit lagi." Sekonyong-konyong Arimbi bersuara."Kakimu tetap sakit Rimbi. Hanya saja kamu tidak bisa merasakannya saat ini. Pikiranmu mengambi
"Masuk akal," Arimbi mengangguk puas. Begitu juga Ganesha. Keduanya lega atas alasan yang ingin mereka berdua yakini sendiri."Kita sudah sampai di UGD, Rim. Kamu tunggu di sini sebentar. Saya akan meminta petugas mengambil kursi roda untukmu." Ganesha melirik sekilas kedua lutut Arimbi yang terluka. Karena tidak segera diobati, luka-luka Arimbi sebagian tampak mengering dan membentuk kerak darah. Ganesha sadar, kalau Arimbi memaksa berjalan, pasti lututnya akan sakit karena kembali terluka."Nggak perlu, Mas. Saya masih bisa jalan sendiri ke UGD. Cuma lecet-lecet kecil biasa saja," Arimbi menggeleng keras. Ia tidak mau didorong-dorong seperti orang yang sedang sakit keras. "Mas langsung saja memarkir kendaraan. Lihat, mobil di belakang sudah menunggu Mas jalan. Oh ya, ini KTP saya untuk mengurus masalah administrasi." Arimbi membuka tas. Mengeluarkan KTP dari dompet dan meletakkannya di atas dashboard. Setelah mencangklong tas, ia membuka pintu mobil. Perlahan ia mencoba menjejek
"Relakan, Mbak. Tempatkan masalah sesuai dengan masanya. Masa lalu tempatnya memang di waktu lalu. Dewasalah untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa Mbak lakukan tentang masa lalu, kecuali memutuskan terus hidup di sana dan menderita selamanya atau berubah menjadi lebih baik."Nina tidak menjawab pertanyaan Arimbi. Dirinya sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Arimbi. Ia bukanlah orang bodoh. Dirinya hanya seorang pendengki serakah yang tidak bisa melihat kebahagiaan orang lain."Kita pulang ya, Nin? Ayah yakin setelah minum obat dan tidur pasti kamu akan merasa lebih baik. Kalau ada waktu, Rimbi pasti akan menengokmu ke rumah. Iya 'kan, Rim?" Pak Sujatmiko menatap Arimbi sendu dengan pandangan meminta pertolongan.Arimbi langsung tidak menjawab pertanyaan terselubung pamannya. Melainkan ia menatap Ganesha terlebih dahulu. Meminta izin tanpa bicara. Ketika melihat Ganesha mengangguk samar barulah Arimbi berbicara."Iya, Mbak. Nanti kalau ada waktu luang, Rimbi akan menjen
"Kamu di sini saja, Rim. Ingat kamu sedang hamil. Nina itu sedang depresi. Apa pun akan berani ia lakukan." Ganesha menahan bahu Arimbi saat istrinya itu ingin bangkit dari tempat tidur."Tapi saya harus, Mas. Bagaimanapun Mbak Nina itu sepupu saya. Sedikit banyak saya memahami kepribadiannya. Lagi pula ada Mas juga. Saya pasti aman." Arimbi membujuk Ganesha."Ayolah, Mas. Daripada Nina membuat ulah yang mengacaukan acara, sebaiknya kita cegah terlebih dahulu." Arimbi menghela lengan Ganesha. Teriakan histeris Nina makin membahana."Baiklah. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Mas tidak mau kamu sampai kenapa-kenapa." Kalimat Ganesha ditanggapi anggukan singkat oleh Arimbi. Sesampai di ruang tamu, keadaan mulai kacau. Nina terus menjerit histeris, dan mengatakan bahwa ia tidak terima diperlakukan tidak adil oleh Seno. Sejurus kemudian dua orang Satpam komplek terlihat memasuki rumah. Dengan segera mereka mengamankan Nina. Namun Nina terus meronta-ronta liar dan memaki-maki Seno sera
"He eh," Bu Astuti mengangguk lemah. Mata tuanya berkaca-kaca. Sungguh ia menyesal pernah berbuat tidak baik pada Arimbi, hanya karena ia kesal pada Ganesha. Jika saja waktu bisa diulang, betapa ingin dirinya mengubah sikap judes dan nyinyirnya dulu pada Arimbi. Istri Ganesha ini lembut dan baik hati."Ini minumnya, Bu. Kalau Ibu tidak keberatan saya bantu meminumkannya ya, Bu?" Dengan sopan Arimbi meminta izin Bu Astuti."He eh... he eh..." Bu Astuti mengangguk berkali-kali. Kedua mata tuanya kini membentuk kolam air mata. Bu Astuti menangis tanpa suara."Ayo diminum, Bu. Pelan-pelan saja agar tidak tersedak." Arimbi membungkuk. Ia memeluk bahu Bu Astuti sambil mendekatkan bibir Bu Astuti pada birai gelas. "Sudah, Bu?" tanya Arimbi lagi. Bu Astuti sudah menghabiskan seperempat gelas air putih. Bu Astuti mengangguk. "Sebentar ya, Bu. Saya mengambil tissue dulu." Arimbi menarik selembar tissue dari atas meja. Setelahnya ia mengelap sudut bibir dan dagu Bu Astuti yang basah. "Maaf...
Dua tahun kemudian."Sah!" Arimbi, Ganesha dan beberapa kerabat lain ikut mengucapkan kata sah, saat penghulu menyatakan ijab kabul Seno dan Rina sah. Ya, hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Seno, Rina dan juga Mahesa. Karena keduanya pada akhirnya memutuskan menikah setelah dua tahun berpacaran."Akhirnya mereka menikah juga ya, Rim?" Ganesha tersenyum sumringah melihat sepasang pengantin baru di depannya saling memasang cincin. Ia ikut gembira untuk Seno. Sebagai seorang kakak, ia mengasihi Seno dengan caranya sendiri. Di masa lalu Seno memang banyak sekali melakukan kesalahan. Namun perlahan-lahan ia berubah dan menjadi pribadi yang lebih. "Iya, Mas." Arimbi menimpali kalimat Ganesha singkat. Ia memang selalu hati-hati apabila membicarakan soal Seno. Ia tidak mau Ganesha mengira kalau dirinya masih peduli pada Seno."Seno sekarang sudah banyak berubah ya, Rim? Tepatnya sejak ia tahu kalau dirinya ternyata memiliki Mahes. Sekarang kebahagiaan Mahes adalah prioritasnya, Ma
"Ayo lanjutkan ceritamu di taman belakang saja." Arimbi membawa Menik ke taman kecil kesayangannya. Di sana ia kerap menghabiskan waktu bercocok tanam. Mulai dari berbagai macam jenis bunga hingga tanaman herbal ada di tamannya."Lanjutkan ceritamu, Nik." Arimbi menghempaskan pinggulnya di kursi taman. "Tuh, Mbak Tini juga sudah menyiapkan makanan kecil. Kita mengobrol di sini saja sementara Mas Esha dan Bang Ivan bekerja." Arimbi kian semangat mengorek cerita tatkala Mbak Tini muncul dengan sepiring pisang goreng hangat dan dua gelas sirup markisa."Ya, terus aku membawa Bu Mirna ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian Ivan dan Pak Kristov menyusul. Di situ aku baru tahu kalau ibu-ibu yang aku tolong adalah ibunya Ivan. Singkat cerita aku dan Bu Mirna kemudian menjadi akrab. Tidak lama kemudian Ivan pun menembakku. Katanya untuk pertama kalinya ibunya mencomblanginya. Dengan dua mantan Ivan terdahulu Bu Mirna tidak cocok. Ivan juga bilang ia sudah lelah pacaran ala remaja ingusan. Ia
Arimbi termangu menatap televisi. Baru saja diberitakan bahwa Bastian Hadinata yang digadang-gadang akan menjadi walikota telah dilengserkan. Selain dinilai tidak layak menjadi calon walikota, saat ini Bastian juga telah diamankan karena terbukti melakukan gratifikasi terhadap beberapa proyek pemerintah.Televisi juga menayangkan wawancara singkat dengan Bastian dalam seragam berwarna oranye. Di scene-scene lain, terlihat Priska dan Prisila berlarian sambil menutupi wajah mereka dengan syal. Mereka berdua tampak menghindari awak media yang terus memburu saat mereka baru saja keluar dari kantor polisi. Berita tentang korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh Bastian Hadinata memang tengah menjadi headline di mana-mana. Apalagi semua aset-aset Bastian Hadinata saat ini telah disita oleh negara. Tidak heran kalau Prisila dan Priska sekarang menjadi bulan-bulanan pers. Mereka dikejar di mana pun mereka berada."Kamu percaya dengan karma bukan, Ri? Lihatlah, apa yang sekarang terjadi pa
"Kamu tadi menanyakan bagaimana Mas tahu perihal rumah impianmu bukan? Nah, itu dia orang yang sudah memberitahu Mas. Seno, sini." Ganesha melambaikan tangannya pada Seno. Memanggil adiknya yang tengah mewarnai gambar dengan Mahesa. Semenjak tahu bahwa dirinya telah mempunyai seorang anak, Seno berubah banyak. Ia kini lebih kalem dan bertanggung jawab. Di sela-sela waktu luangnya, ia selalu menyempatkan diri bercengkrama dengan putranya. "Jadi kamu yang membocorkan rahasiaku?" Arimbi berpura-pura marah pada Seno. Ia juga berusaha bersikap wajar pada Seno. Bagaimanapun Seno adalah adik iparnya sekarang."Ampun, Kakak Ipar. Aku terpaksa melakukannya karena diancam Mas Esha. Katanya ia akan membuangku keluar kota kalau aku tidak mau bekerjasama." Seno meringis. Ia menghargai usaha Arimbi yang ingin berinteraksi wajar dengannya. Mereka sekarang telah menjadi satu keluarga besar."Jangan membuat Rimbi memandangku sebagai kakak yang kejam ya, Sen?" Ganesha mengacungkan tinjunya pada Seno.
Arimbi melirik Ganesha sekilas saat laju mobil memasuki hunian mewah kompleks Graha Mediterania. Kompleks perumahan mewah yang baru saja launching minggu ini. Ia mengetahui perihal hunian mewah ini karena memang dibangun oleh Caturrangga Group dan beberapa investor dari Jepang. Selain hotel dan condominium, Caturrangga Group juga membangun kompleks-kompleks perumahan mewah dengan segmen pasar kelas atas atau high end."Kita akan mengunjungi salah satu customer Mas ya? Apa tidak mengganggu kalau Mas menemui costumer di hari Minggu begini?" "Nggak kok, Rim. Tenang aja. Kita semua akan bersenang-senang bersama." Ganesha tersenyum lebar. Ia memahami rasa penasaran istrinya. Arimbi mengerutkan kening. Kita? Bersama? Apa yang Ganesha maksud?Laju kendaraan melambat tatkala melewati rumah demi rumah mewah yang mereka lewati. Sebagian besar bentuknya sama karena memang dibangun seragam. Sebagaian lagi bentuknya sudah berubah karena direhab sesuai dengan selera para pemilik rumah.Tatkala la
Bu Astuti terpana. Ia tidak menyangka kalau Rina bisa bersikap seluwes itu terhadap Mahesa. Biasanya Rina itu tidak menyukai anak kecil. Rina anak tunggal. Ia tidak terbiasa berinteraksi dengan anak kecil. Menurut Rina anak kecil itu rewel dan menyusahkan. Tumben kali ini Rina bersikap begitu kompak pada Mahesa. Syukurlah, berarti tujuannya mendekatkan Rina dengan Seno akan semakin mudah. Mengingat Mahesa adalah darah daging Seno. Mendekati Mahesa artinya mendekati Seno juga."Rina dan Mahesa cocok sekali ya, San? Sepertinya kalau menjadi ibu dan anak pas ya?" Bu Astuti meminta tanggapan Bu Santi."Iya, Tut. Kita sebagai orang tua mendoakan yang terbaik saja. Biar yang muda-muda menentukan jalan hidup mereka sendiri." Bu Santi memberi jawaban netral. Ia memang setuju Rina menjadi pengganti Nina. Selain perilaku Rina yang sekarang membaik, ia juga gembira bisa melaksanakan niat Pak Syarief almarhum yang ingin berbesanan dengannya. Namun ia menyerahkan semuanya pada Seno dan Rina sendir