Airin berdiri mematung di depan jendela kamarnya. Agak lama dia melamun di sana, matanya melihat keluar kepada pohon mangga besar yang mengembangkan daunnya yang rimbun. Di sana sini nampak sinar bulan jatuh dari antara sela-sela daun yang rimbun. Dibukanya lebih lebar jendela kamarnya, sejauh mata memandang nampak sinar bulan purnama yang putih lembut.
Sudah empat purnama dia tinggal di rumah ini semenjak kepergian nya dari rumah suaminya. Mantan suami lebih tepatnya, karena sekarang sudah habislah masa Iddah nya. Sudah sah dia menjadi janda yang diceraikan. Semenjak kepulangannya, hari-hari nya lebih banyak dihabiskan di dalam rumah. Sesekali dia pergi ke Toko meubel Mas Rahman kakaknya, hanya sekedar mengantarkan makanan atau berkunjung, terkadang dia juga mengantarkan Raka keponakan bersekolah. Untunglah di rumah ada Ibu, Mba Laras, dan anak-anaknya sehingga waktu tidak terasa sepi.Sebenarnya dia sudah mengutarakan keinginnya untuk bekerja di toko Mas Rahman. Akan tetapi Mas Rahman tidak mengijinkannya bekerja sebelum masa Iddah nya selesai. Menurutnya wanita di masa Iddah lebih baik berada di dalam rumah agar tidak menimbulkan fitnah. Apalagi di toko meubelnya lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan yang bekerja di sana. Sejenak Airin tersadar dari lamunannya ketika terdengar pintu kamarnya dibuka. Dari luar dilihatnya Ibunya datang mendekat."Ngelamunin apa toh, Rin? Kok berdiri saja disitu?" tanya Bu Ningsih, Ibu Airin."Gak ada kok, Bu. Cuma lagi liatain bulan purnama saja.""Sudah malam. Ayo ditutup jendelanya, nanti masuk angin.""Iya, Bu," jawab Airin dan bergegas menutup jendela dan menguncinya."Kamu gak papa 'kan, Rin? Semenjak kepulanganmu ibu lihat kamu sering melamun di kamar," tanya Bu Ningsih. Dia sedikit mencemaskan keadaan Putri nya itu. Ada raut kesedihan yang terpendam di wajah putri kesayangannya itu."Gak papa kok ,Bu. Airin baik-baik saja.""Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Kita harus selalu berprasangka baik dengan takdir Allah. Sapa tau lepas berpisah dengan Bayu, Allah sedang mempersiapkan jodoh yang lebih baik untuk kamu.""Ah ibu ini, baru beberapa hari jadi janda sudah ngomongin jodoh.""Eh jangan salah, anak ibu inikan janda yang cantik, manis, baik hati, dan tidak sombong. Pasti banyak laki-laki yang ngantri buat jadiin kamu istrinya," ucap Bu Ningsih berkelakar.Mendengar perkataan ibunya, Airin hanya tersenyum. Jodoh, menikah lagi, apakah dirinya siap untuk membuka hatinya untuk laki-laki lain? Biarlah waktu yang akan menentukan. Saat ini dia hanya ingin menikmati kesendiriannya.***"Kalau kamu beneran mau bantu Mas di toko, Senin depan kamu bisa mulai masuk. Minggu depan akan ada pameran di Mall, insyaallah kita akan buka stand di sana," ucap Mas Rahman sambil menikmati sarapannya."Iya, Insyaallah Senin Airin masuk Mas," ucap Airin yang sedang sibuk menyuapkan makanan kepada Rasya keponakannya yang berumur tiga tahun."Satu lagi yah. Aaa...." Tangannya dengan cekatan menyuapkan suapan terakhir. "Alhamdulillah," lanjutnya menuntun Rasya mengucap hamdalah yang diikuti bocah kecil itu dengan terbata-bata."Tante Arin, Rasa mau main di depan," celoteh manja Rasya kepada Airin."Oke. Tapi cuma sebentar yah habis ini mandi," jawab Airin lembut.Sementara itu dari ruang tamu terdengar suara Mba Laras yang sedang berbicara dengan seseorang."Assalamualaikum," ucap seorang pemuda memberi salam. Usianya sekitar tiga puluh lima. Dia adalah Bima, sepupu jauh Airin. Bima datang pagi-pagi atas permintaan Mas Rahman untuk membahas rencana pembukaan standnya."Waalaikumsalam," ucap Airin dan Mas Rahman hampir bersamaan."Eh Bima. Ayo duduk! Sekalian ikut sarapan," ajak Mas Rahman."Terimakasih kasih, Mas. Tadi udah di rumah," jawab Bima sopan."Apa kabar Airin?" tanya Bima, senyum ramah tersungging di bibirnya."Alhamdulillah sehat, Mas." jawab Airin canggung karena kini Bima duduk disebelahnya."Tante Arin ayok!" rengek Rasya yang sedari tadi minta ditemani bermain di depan rumah."Eh iya. Ayok," jawab Airin. "Airin tinggal ke depan dulu, Mas," pamit Airin kepada Bima."Iya silahkan," jawab Bima. Pandangan nya tak lepas mengikuti kepergian Airin ke halaman depan."Ehem," dehem Mas Rahman mengagetkan Bima. Wajahnya memerah karena ketahuan mencuri pandang kepada adiknya."Kita ngobrolnya di samping saja yah, biar enak.""Iya Mas."Mereka berdua pun bangkit menuju teras di samping rumah.***Di depan rumah, Airin asyik mendorong Rasya di atas sepeda roda tiganya. Ini adalah salah satu kesibukannya di rumah. Membantu menjaga anak-anak Mas Rahman ketika Mba Laras sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Kegiatan ini sangat menyenangkan bagi Airin, karena pada dasarnya dia sangat suka dengan anak-anak. Bahkan baginya mereka sudah Airin anggap seperti anaknya sendiri."Assalamualaikum," ucap seorang wanita berkacamata. Dia terlihat cantik mengenakan gamis berwarna mint dipadankan dengan jilbab dengan warna senada."Waalaikumsalam," jawab Airin, "Masya Allah, Nirma! Pangling aku!" lanjutnya."Gimana? Aku cantik 'kan?""Iya cantik banget sampe pangling aku. Mau kondangan kemana lagi?" tanya Airin meledek."Enak aja. Dandanan keren begini dibilang mau kondangan.""Lah terus mau kemana dong?""Mau ngemall dong.""Mall mana yang pagi-pagi begini sudah buka?""Makanya aku kesini buat ngajakin kamu. Sambil nunggu mallnya buka. Kamu 'kan kalau mandi lama.""Bisa aja kamu, Nir.""Mobil siapa itu ,Rin?" tanya Nirma penasaran melihat sedan hitam terparkir di samping mobilnya."Mobilnya Mas Bina," jawab Airin."Cie cie kayaknya ada yang CLBK nih pagi-pagi sudah diapelin," ledek Nirma."Apaan sih kamu. Mas Bima itu masih sepupuan tau sama aku.""Eh jangan salah loh, sepupuan tapi menikah juga banyak.""Mulai deh tengilnya," ucap Airin. Dipasang nya wajah cemberut."Ih gitu aja sewot. Buruan geh mandi sana, biar Rasya aku yang jagain. Iya kan Rasya sayang." Dicubitnya pipi Rasya yang tembam, gemas!"Emang mau ngapain sih pagi-pagi ke mall.""Hari ini ada acara meet and great oppa kesayanganku. Kamu temenin aku yah! Gak asyik kalau datang sendirian.""Oppa! Siapa tuh? Pasti artis yang sudah tua yah?""Ih norak kamu, Rin. Oppa itu sebutan untuk artis Korea yang ganteng tau.""Jadi sekarang sudah ganti haluan. Bukannya kamu sukanya artis India?""Udah gak zamannya lagi, Rin. Udah geh sana buruan mandi. Kalau siangan dikit entar kebagian nonton di belakang.""Ogah ah. Lagian Mas Rahman gak bakal ngizinin aku ikut acara begituan, perempuan dan laki-laki tumplek jadi satu. Ogah ah!""Aku yang mintain izin deh. Yah, please!""Gak mau." Airin pun melenggang masuk meninggalkan Nirma yang sedikit jengkel."Ayolah, Rin! Tega bener gak mau nemenin aku." Nirma bergegas ikut masuk ke dalam rumah. Diangkatnya Rasya dari atas sepedanya, dan digendong masuk.***Akhirnya Nirma berhasil membujuk Airin untuk pergi bersamanya. Dengan alasan pergi ke toko buku, Nirma berhasil membujuk Mas Rahman untuk mengizinkan Airin pergi bersamanya. Kini mereka sudah berada di tempat parkir sebuah mall yang sudah penuh dengan kendaraan, sampai-sampai Nirma kesulitan memarkirkan mobilnya."Wah pagi-pagi begini parkirannya saja sudah penuh. Padahal ni baru jam sembilan loh," ucap Airin terheran."Iyalah, yang dateng oppa-oppa ganteng sudah pasti fansnya banyak. Ayok Rin buruan turun.""Iya-iya. Gak sabaran banget sih."Dari tempat parkir, Nirma menarik lengan Airin untuk bergegas masuk ke dalam mall. Dari depan pintu sudah ramai pengunjung dengan segala poster dan spanduk idolanya."Aduh, Nir. Pelan dong jalannya." Airin sedikit terseok-seok mengikuti langkah Nirma yang sedikit berlari.BrughhKarena tidak melihat langkanya, tanpa sengaja Airin menubruk seorang pria dan membuat kotak yang dibawanya jatuh dan isinya berserakan.Bergegas Airin membantu pria tersebut memunguti kertas-kertas yang berserakan dan memasukkan nya kembali kedalam kotak yang dia bawa. "Maaf, Mas. Aku yang salah, aku gak liat jalan tadi," ucap Airin menyesal kepada pria tersebut. Pria tersebut hanya diam saja sambil memasukkan kembali barang-barangnya ke tempat semula. Dilihatnya sekilas perempuan yang mengajaknya berbicara dengan wajah datar, kemudian beranjak pergi setelah semua berkasnya dia masukkan.Nirma yang sedari tadi hanya melihat apa yang di lakukan Airin, dia terlihat sedikit kesal dengan pria tersebut, yang bahkan tidak menjawab permohonan maaf temannya."Ayok, Rin. Buruan." Ditariknya kembali lengan temannya untuk bergegas masuk ke dalam mall."Sombong banget sih pria tadi. Ada orang minta maaf ,eh dia diem aja. Untungnya ganteng," selorohnya."Sudahlah, mungkin dia kesal karena barang-barangnya aku jatuhkan tadi.""Ya tapikan kamu gak sengaja.""Kamu sih narik-narik aku. 'Kan aku jadi gak liat jalan.""Lagian kamu lambat banget jalannya." "Kamu yang kecepatan," balas Airin. Mereka berdua pun segera naik ke lantai atas dimana acara meet and great diadakan.***Tiba di lantai atas Airin ternganga, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dibawah panggung sudah berjubel penuh dengan penonton."Subhanallah, Nir. Rame banget." Dilihatnya penonton laki-laki dan perempuan berdesak-desakan dari segala usia."Tuh 'kan kita telat. Udah penuh ni." Ditariknya lengan Airin untuk merangsek ke depan panggung. Akan tetapi Airin menolak."Eh gak gak. Aku disini aja, Nir," ucap Airin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya."Disini mana keliatan, Rin. Ayolah!" ajak Nirma memaksa."Ya ampun, Nir. Itu laki perempuan bercampur baur begitu. Ngak! Pokoknya aku gak mau.""Ayolah, Rin. Kita udah nyampe sini masa cuma liat dari belakang. Mana keliatan." Nirma mulai kesal."Aku nunggu disini aja. Kamu kesana sendiri aja yah?"Sementara dari atas panggung acara sudah akan dimulai. Pembawa acara terlihat berjalan menaiki panggung disambut sorak sorai penonton, suasana sekejap menjadi riuh."Tuh kan sudah mulai. Ya udah kalau kamu memang mau disini aja. Biar aku kedepan sendiri," ucap Nirma kesal. "Ya udah aku nunggu di sana aja yah." Tangan Airin menunjuk bangku panjang di sisi mall.Nirma bergegas merangsek ke depan panggung. Airin megeleng-geleng kepala sendiri, terheran dengan tingkah sahabat nya itu.***Lama Airin duduk sendiri di bangku panjang. Diapun mulai bosan. Entah kapan acara itu akan selesai. Airin memutuskan untuk pergi ke toko buku yang ada di lantai bawah. Terlebih dahulu dia menuliskan pesan untuk Nirma di aplikasi hijaunya, memberitahu nya bahwa dia ada di toko buku.Di toko buku Airin berjalan melihat-lihat koleksi yang ada. Berjalan dari rak satu ke rak berikutnya. Koleksi buku di toko ini cukup lengkap.Setelah melihat-lihat, Airin mengambil dua buah buku yang akan dibelinya. Satu buku agama dan satu lagi novel fiksi. Diapun berjalan menuju kasir untuk membayar kedua buku tersebut."Dua ratus enam puluh ribu, Mba. Sudah termasuk PPN." ucap Mba kasir.Airin membuka tasnya untuk mengambil dompetnya. Dibuka-bukanya seluruh ruang di dalam tasnya tapi dompetnya tidak juga ditemukan."Astaghfirullah! Dompet saya gak ada, Mba." ucap Airin lesu kepada Mba kasir."Astaghfirullah! Dompet saya gak ada, Mba." ucap Airin kepada Mba kasir."Jadi ini, jadi dibeli gak, Mba?""Bentar yah mba aku telpon temanku dulu." Airin mengeluarkan hp dari dalam tasnya. Mencoba menghubungi Nirma, akan tetapi tidak ada jawaban."Maaf yah Mba, saya gak jadi beli bukunya," ucap Airin kecewa dan meninggalkan meja kasir dengan perasaan menyesal."Mau numpang baca aja, pura-pura beli," ucap Mba kasir lemah, namun masih dapat terdengar oleh Airin yang baru beberapa langkah saja meninggalkan meja kasir. Airin jadi tidak enak hati.Diluar toko buku, Airin berkali-kali menghubungi Nirma, namun tidak ada jawaban. Di acara sebising itu pasti Nirma tidak akan mendengar panggilan telepon nya. "Jatuh di mana yah dompetnya. Perasaan tadi langsung masukin ke tas," gumam Airin. Diketiknya sebuah pesan untuk Nirma.***Pukul 12.00 acara baru selesai, Nirma membuka HP ny
Senin pagi yang cerah untuk memulai kesibukan. Ya, kesibukan adalah obat terbaik untuk melupakan banyak hal. Itulah yang saat ini Airin lakukan. Dengan bekerja di Toko Mas Rahman akan membuat hari-harinya cepat berlalu tanpa terasa.Sebenarnya hari ini bukanlah pertama kalinya untuk Airin bekerja di sana. Sebelum menikah dengan Bayu, setelah menamatkan diploma nya dia bekerja di sana membantu kakaknya di bagian administrasi. Dan sekarang dia juga ditempatkan di bagian yang sama.Dikeluarkan nya kartu identitasnya yang baru setelah sebelumnya dirubah di kantor dinas terkait , tertera di sana status nya sudah berubah menjadi 'cerai hidup'. Sebelumnya dia berpikir jika tulisan yang akan tertera di sana adalah 'janda'. Airin senyum-senyum sendiri mengingat nya.Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Ada panggilan masuk, dari Nirma."Airinnn...!" ucap Nirma girang."Assalamualaikum, Nirma.""Waalaik
Arga segera memasuki toko. Dilihatnya toko tersebut lengang."Permisi, Assalamualaikum." ucap Arga, namun tidak ada jawaban."Permisi, Assalamualaikum." ucap Arga sekali lagi. "Waalaikumsalam," jawab seorang perempuan dari dalam ruangan."Mana orangnya?" gumam Arga. Matanya sibuk mencari sumber suara yang menjawab salamnya, tapi tidak juga menampakkan wajahnya."Maaf tadi saya tinggal ke dalam sebentar. Ada yang bisa saya bantu?" ucap Airin yang baru keluar dari ruangannya.Arga menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya perempuan yang baru keluar dari ruangan di ujung toko dengan sedikit terkejut."Dia 'kan... yang waktu itu nabrak aku di mall," gumam Arga.Diperhatikan seperti itu oleh seorang laki-laki, Airin merasa tidak nyaman, apalagi di toko hanya tinggal mereka berdua. Ratna dan Sisca sedang makan siang di ruangan belakang. Akan tetapi Airin harus tetap bersikap ram
Menjelang Maghrib, Airin baru bisa keluar dari toko. Hari ini adalah hari pertama dia masuk kerja, sehingga banyak yang harus dia pelajari. Toko ini sudah lebih maju tentunya, dari lima tahun sebelumnya. Pegawai yang lain sudah pulang semua karena toko sudah tutup jam lima sore. Airin hendak menarik rolling door toko, tiba-tiba dari belakang seseorang mengagetkannya."Biar aku aja, Rin," ucap Bima yang tiba-tiba muncul tanpa Airin sadari.Airinpun menepi, membiarkan Bima menarik pintu tersebut dan menguncinya."Makasih, Mas," ucap Airin."Bukan apa-apa kok.""Kok, Mas Bima ada di sini?""Oh, kebetulan tadi lewat. Terus liat kamu di depan toko," jawab Bima sembari memberikan kunci toko ke Airin, "Kok, kamu baru keluar. Mas Rahman mana?" lanjutnya."Mas Rahman tadi siang keluar, ada urusan katanya.""Terus kamu pulang sama siapa?" "Aku naik ojol, Mas.""Udah mau Magrib, aku anterin aja, yah!""Gak usah, Mas. Biar aku naik ojol aja.""Udah, Ayok. Udah mau azan ini," ajak Bima sedikit me
Setelah kejadian di Bandara, Arga dan Ibunya terlihat perdebatan hebat. Arga kesal, karena tanpa menanyakan pendapat nya, Ibu dan kakaknya mengatur pertemuan dengan seorang perempuan untuk dijodohkan dengan dirinya.Ibunya bersikukuh bahwa apa yang dilakukannya adalah demi kebaikan. Andai saja Arga bersedia untuk menikah lagi dengan sukarela, tentu dia tidak akan mengatur pertemuan diam-diam tanpa sepengetahuannya. Ibunya bahkan mengancam, jika Arga tidak segera menikah lagi, maka Ibunya akan segera mencarikan pengasuh untuk mengurus cucu-cucunya. Ibunya beralasan, bahwa di usia nya yang sudah lanjut seharusnya dia menikmatinya, bukannya malah direpotkan dengan mengurus anak-anak. Tentu ancaman itu tidak sungguh-sungguh diucapkannya, Bu Lastri hanya menggertak saja, karena dia sangat tahu bahwa Arga tidak akan rela jika anak-anaknya diasuh oleh seorang pengasuh. Dia bahkan rela meninggalkan perusahaan demi menjaga sendiri anak-anaknya, dengan bantuan Ibu dan Kakaknya t
Netra Arga tidak berkedip memperhatikan Airin yang mengandeng tangan anaknya memasuki ruangan di ujung toko. Tanpa dia sadari, ada yang berdesir di hatinya. Wanita yang terlihat ketus saat pertemuan pertama mereka kemarin, kini terlihat tersenyum manis kepada anaknya."Ayah sudah," ucap Aira ketika dia sudah kembali dari toilet."Sudah! Pintar," ucap Arga, kemudian menggendong putrinya. Matanya melihat ke sekeliling toko, mencari tempat duduk untuk anak-anaknya."Kalau anda mau, anda bisa menunggunya di dalam, Pak," ucap Airin ramah, dia seperti memahami apa yang sedang dicari laki-laki tersebut.Airin menuntun tamunya memasuki ruangan di ujung toko. Tidak lupa dia membiarkan ke-dua pintunya terbuka lebar sehingga ruangan tersebut dapat terlihat jelas dari toko utama. Ada meja dan sofa panjang yang nyaman untuk mereka duduk di ruangan yang terbilang cukup luas. Tempat itu memang biasa digunakan Mas Rahman menemui tamu-tamunya. Di ujung ruangan ada dua meja kerja
"Tadi Ibu sudah menghubungi Bulek Sanah yang di Bandung buat nyariin calon istri buat kamu, Ga," Ucap Bu Lastri kepada Arga yang sedang asik menikmati sarapannya.Sejenak Arga menghentikan aktifitasnya. Dia sedikit terkejut mendengar perkataan Ibunya barusan. Tadi malam dia memang sudah berdamai dengan Ibunya, dan menuruti keinginan Ibunya untuk menikah lagi. Tetapi dia tidak berpikir jika Ibunya akan bergerak secepat ini."Terserah Ibu saja. Asal calonnya jangan seperti kemarin, cantik tapi gak punya perasaan. Arga menikah lagi 'kan juga demi anak-anak Bu. Arga gak mau menikahi perempuan yang tidak bisa menyayangi anak-anak Arga," jawab Arga."Iya Ibu ngerti. Insyaallah calon yang dicarikan Bulek mu tidak seperti itu. Bulek mu 'kan ustadzah di pondok pesantren, jadi dia pasti mencarikan calon yang sesuai untuk kamu dan anak-anakmu."Arga diam tidak menanggapi dan memilih melanjutkan sarapannya. Sebenarnya dia belum terlalu yak
Sesuai saran Arga, Airin langsung membawa motornya ke bengkel motor terdekat kemudian mengantar Raka kesekolah dan pergi ke toko menggunakan ojol.Airin tiba di toko sedikit terlambat diantar ojol perempuan tentunya. Airin memang selalu memilih driver perempuan untuk setiap ojol yang dinaikinya. Agak susah memang, karena driver perempuan tidak sebanyak driver laki-laki. "Mba Airin ada yang nyariin," ucap Sisca kepada Airin yang baru masuk ke toko."Siapa?" tanya Airin."Gak tau, gak kenal. Orangnya sudah nunggu di dalam. Bapak-bapak," ucap Sisca lagi."Bapak-bapak," ucap Airin kemudian berjalan menuju ruangannya. Disana sudah duduk seorang pria paruh baya."Tok tok. Assalamualikum," ucap Airin sembari mengetuk pintu yang sudah terbuka."Waalaikumsalam Airin," ucap pria tersebut."Pakde. Sudah lama nunggu yah?" ucap Airin ramah kepada tamunya yang tidak lain adalah Pak Suryo, Bapak Bima."Baru aja kok, Rin.""Pakde apa kabarnya?""Alh
Aura merasa senang dan sedikit gugup saat menerima tugas pertamanya sebagai sekretaris setelah satu bulan pelatihan . Meski terasa menantang, Aura siap untuk memulai dan memberikan yang terbaik dalam tugasnya. Dia mempersiapkan segala kebutuhan untuk menyelesaikan tugas tersebut, termasuk menyusun jadwal, membuat catatan, dan mengatur dokumen. Hari ini, Aura menyiapkan jadwal rapat untuk Bos Alan, CEO perusahaan tempatnya bekerja untuk pertama kalinya. Jadwal rapat tersebut sangat penting karena akan membahas strategi perusahaan untuk tahun depan.Aura mengecek jadwal yang sudah ia siapkan, memastikan bahwa semua detailnya telah diatur dengan baik. Setelah ia merasa yakin, Aura pun membawa jadwal rapat tersebut ke ruang kerja Bos Alan.Suasana ruangan itu hening. Di depannya, Bos Alan sibuk mengetik di laptopnya, menunjukkan betapa ia memang sangat sibuk. Aura menyerahkan jadwal tersebut namun Bos Alan meminta Aura membacakan jadwal rapat t
Aura berdiri di depan meja kerjanya yang telah dikosongkan sembari membawa barang-barangnya dengan perasaan kecewa. Hari ini dia dipecat dari kantornya. Dia terlihat sangat sedih dan kecewa karena dia baru saja kehilangan pekerjaan yang sudah lima tahun lebih ditekuninya hanya karena dia terlambat dua menit saat rapat presentasi proyek yang ditanganinya.Aura berusaha menenangkan dirinya dengan mengatakan bahwa dia akan menemukan pekerjaan yang lebih baik dan melanjutkan cinta-cintaannya menjadi desainer interior yang handal dengan kemampuannya sendiri, tapi rasa sakit dan kekecewaan masih membekas dalam hatinya.Aura berjalan keluar dari gedung kantor dengan perasaan yang sangat hampa, berharap bahwa dia akan menemukan jalan keluar dari kesulitan yang akan dia alami nanti jika ayahnya Arga Wicaksono mengetahui keadaannya sekarang.Dia berpikir kembali pada pagi tadi, saat dia terlambat dua menit saat rapat presentasi proyek yang sangat penting. Aura tidak bisa membantah bahwa dia sala
"Kok sendirian mba momongannya? Suaminya kemana?""Wah lucunya. Berapa tahun Mba anaknya?""Mirip banget yah sama Mamahnya.""Seneng yah masih muda sudah punya momongan. Jadi nanti gedenya kayak kakak adek."Aura hanya menanggapinya dengan senyuman masam. Berkali-kali gadis berusia dua puluh lima tahun itu harus menjelaskan kepada pengunjung taman jika bocah berumur lima tahun yang kini sedang dimomongnya adalah adiknya. Sedikit yang percaya, namun tidak sedikit pula yang menyangkalnya."Bunda....!" Aura cemberut sembari menghentak-hentakankan kakinya begitu gadis itu tiba di rumahnya."Kakak. Ada apa, kok teriak-teriak begitu?" tanya Airin yang sedang sibuk memotong kue brownies yang baru selesai dibuatnya. "Besok-besok pokoknya Aura gak mau jagain Inara lagi.""Memangnya kenapa?" Airin menanggapi santai. Dia tahu, Aura tidak benar-benar serius dengan perkataannya."Orang-orang di taman itu loh, Bunda. Masa mereka anggap Inara itu anaknya Aura. Aura gak rela. Aura kan belum menikah.
"Kamu kenapa, Ga? Ada masalah?" tanya Mas Danu ketika rapat sudah selesai. Mereka berdua masih duduk di ruang rapat, sementara pegawai yang lainnya sudah keluar."Eh...Gak. Gak ada apa-apa kok." "Tapi dari tadi kamu terlihat melamun. Di rapat bahkan kamu tidak memperhatikan presentasi mereka. Sebenarnya ada apa? Apa kamu sedang ada masalah dengan istrimu?""Gak ada. Hanya saja...." Arga terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan. Seharusnya hubungannya dengan Airin tidak ada masalah mengingat tadi malam dia dan istrinya justru sedang dalam fase keintiman yang sangat dalam. Tadi malam Arga benar-benar merasa senang karena akhirnya Airin sudah mulai terbuka dan berani dalam hal urusan ranjang. Tapi rasa itu berubah menjadi kebingungan ketika pagi ini Airin seolah-olah sengaja menghindarinya. Telepon dan SMS nya bahkan tidak di balas."Ayolah cerita. Siapa tahu Mamasmu ini bisa bantu.""Emm... Pernah gak, Mba Irma tiba-tiba diemin Mas Danu.""Bukan pernah lagi. Hampir setiap bulan. Apalagi k
Hingga pukul tujuh pagi, Arga belum juga menjumpai Airin. Bahkan ketika dia dan anak-anak menikmati sarapan pagi, Istrinya tidak juga muncul."Airin kemana, Bu?" tanya Arga sembari melihat ke kanan dan ke kiri."Tadi ada kok di dapur.""Gak ada, Bu. Dari tadi Arga cari-cari gak ada tuh di dapur ataupun di kamar anak-anak.""Masa!""Beneran, Bu. Dari pulang ke masjid Arga belum melihatnya.""Tadi dia di dapur kok, pas kamu ngajak anak-anak jalan pagi. Ini nasi goreng kan istrimu yang masak.""Terus sekarang Airin dimana?""Mana Ibu tau. Kamu kan suaminya.""Paling Bunda lagi marah yah sama Ayah," ledek Aura."Marah kenapa? Ayah gak buat salah.""Yah biasanya kalau Perempuan lagi marah kan suka ngediemin, gak pengen ketemu. Kayak yang di TV-TV itu loh, Yah," balas Aura."Kamu ini kebanyakan nonton sinetron. Bunda kalian kan gak pernah marah.""Tapi Bunda juga kan Perempuan, Yah. Wajar juga kalau marah.""Bundamu tidak seperti itu." Arga mulai kesal karena tidak menemukan titik terang ke
Siang ini Airin memutuskan pergi ke pusat perbelanjaan untuk mencarikan hadiah untuk suaminya. Airin meminta Nirma yang kebetulan sedang berada di Jakarta untuk menemaninya. Merekapun pergi bersama dengan anak-anak mereka. Airin juga membawa kedua pengasuhnya untuk membantunya menjaga si kembar. Sementara Nirma ditemani suaminya."Kasih ide dong, Nir. Kira-kira hadiah apa yah?""Bagaimana kalau jam tangan mewah.""Itu hadiah tahun kemaren, Nir.""Kalau baju?""Itu terlalu biasa.""Parfum?""Sudah pernah.""Dompet?""Sudah juga.""Apalagi yah?"Airin dan Nirma terlihat berpikir sejenak."Ahaa. Aku ada ide." Raut wajah Nirma terlihat berbinar-binar."Apa, Nir?" "Sini Aku bisikin." Nirma mendekatkan mulutnya di telinga Airin."Ah kamu ini." Wajah Airin seketika merona mendengarkan perkataan yang Nirma bisikkan."Percaya, deh. Tidak ada yang lebih cowok sukai daripada yang ITU." Nirma sengaja menekankan kata terakhir dengan intonasi yang lebih kuat."Dasar kamu, yah. Tidak berubah meskip
Tiga tahun kemudian"Bunda....!" teriak Aira dari depan kamarnya. Gadis kecil berusia delapan tahunan itu bersungut-sungut sambil menghentak-hentakankan kakinya begitu melihat kamarnya berantakan saat pulang sekolah."Ada apa sayang? Kenapa teriak-teriak?" Airin langsung mendekat."Liatin kamar Aira, tuh."Airin mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar putrinya. Di atas ranjang, Arfan dan Arkan sedang melompat-lompat kegirangan. Bantal dan guling mereka lempar sembarangan, sedangkan buku-buku ditumpuk menyerupai bangunan."Subhanallah, Arfan, Arkan. Ayo turun sayang! Kamar Kakak Aira jadi berantakan nih," bujuk Airin lembut kepada bocah kembar berumur empat tahun itu."Gak, mau. Alkan kan mau main sama Kakak Aila," ucap Arkan polos."Iya tapi mainnya yang baik yah. Sini-sini turun, Bunda gendong." Airin berdiri di pinggir ranjang. Arkan dan Arfan langsung mendekat ke pelukan Bundanya."Kakak Aira kan baru pulang sekolah, masih capek. Kalian main sama Bunda dulu yah.""Iya, deh.""Pin
Setelah beberapa kali sidang perkara, sampai juga pada sidang pembacaan keputusan. Arga ditemani Airin dan Mas Danu ikut serta menyaksikan pembacaan vonis tersebut."Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta Pusat Memutuskan! Satu, Bayu Suseno bin Guntur Suseno telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penculikan dan Penganiayaan, Dua Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama tujuh tahun penjara . . . ."Arga dan Airin merasa lega mendengar putusan yang dibacakan oleh Hakim. Meskipun tuduhan rencana pembunuhan itu tidak terbukti di pengadilan, namun Arga merasa senang karena Bayu mendapatkan hukuman yang maksimal dari Pasal Penculikan dan Penganiayaan. Arga berharap Bayu akan jera dan segera menyesali perbuatannya.Sedangkan dari Pihak keluarga Pak Guntur, Mereka merasa kecewa dan tidak puas dengan putusan yang diberikan kepada anaknya. Pak Guntur beranggapan, Pihak Pengadilan tidak mempertimbangkan hal-hal yang meringankan vonis a
Setelah kedatangan Airin ke rumah sakit, Arga langsung mengajaknya pulang kerumah. Sebenarnya Airin menginginkan agar Arga tetap di rawat sampai keadaannya benar-benar pulih. Tetapi Arga malah beralasan jika dia akan lebih cepat sembuh jika Airin yang merawatnya."Mas Arga harus banyak istirahat biar cepat pulih. Jangan ke kantor dulu kalau belum benar-benar sembuh.""Aku sudah sehat kok, Sayang.""Sehat apanya! Masih lebam-lebam begini."Airin memegang dagu dan mengamati lebam-lebam di wajah suaminya lalu mengoleskan obat lebam yang dibawa dari rumah sakit."Laki-laki berantem itu sudah biasa, Sayang. Lebam-lebam ini menandakan kalau suamimu ini beneran laki.""Laki-laki itu tidak harus adu otot untuk menunjukkan kejantanannya, Mas.""Nah yang itu Mas juga setuju."Arga mengambil obat dari tangan istrinya kemudian memeluknya."Jadi sekarang apa Mas juga bisa menunjukkan sisi kejantanan Mas yang lain," bisik Arga menggoda."Aw.. Aw.. Aw.."Airin menjewer kuat telinga suaminya."Aduh s