"Iya, Marni, kamu memang pencuri makanya aku memperingatkan kamu, supaya kamu jangan membawa barangku sehelai benang pun." Aku membenarkan ucapanku, yang menganggap Marni seorang pencuri."Heh, Mbak, memangnya apa yang pernah aku curi darimu? Hingga kamu sampai seenaknya saja berkata, seperti itu kepadaku," tanya Marni.Ia berkata, sambil menengok ke arahku. Matanya pun mendelik, tanda ia tidak suka dengan apa yang aku ucapkan."Apa kamu masih nggak sadar, Marni, kalau kamu itu seorang pencuri?" Aku bertanya balik kepada Marni."Ya nggak lah, Mbak, sebab aku nggak pernah mencuri apapun darimu. Memangnya apa yang pernah aku curi darimu, Mbak?" tanya Marni lagi.Marni masih kekeh tidak mengakui, kalau dia bukanlah pencuri. Marni rupanya tidak sadar, dengan perbuatannya selama ini kepadaku."Oh, jadi kamu nggak sadar ya, Marni? Kalau selama ini, kamu terus berusaha untuk mencuri suamiku. Kamu ingin mengambilnya dariku, iya 'kan? Jadi apa perbedaannya kamu sama seorang pencuri? Nggak ad
Bahkan ia malah menyangka, kalau semua ini adalah kesalahan dari Marni. Si Mbak yang tidak aku ketahui namanya itu ternyata membelaku. Mungkin karena ia telah melihat perlakuanku kepada para karyawanku selama ini, makanya ia lebih percaya kepadaku dari pada ucapan Marni. "Heh, Mbak, kalau nggak tau kejadiannya, Mbak lebih baik diam! Mbak nggak perlu membela Mbak Mira dan malah menyalahkanku. Karena apa yang aku ucapkan ini, adalah kenyataan yang sebenarnya. Semua itu benar-bebar terjadi," sungut Marni. Ia marah kepada pembeli yang akan belanja kueku, sebab si pembeli ini menyalahkannya."Ya jelaslah aku membela Mbak Mira, sebab aku sudah tau sifatnya. Ia baik kepada semua orang apa lagi karyawannya, jadi nggak mungkin Mbak Mira akan berbuat demikian kepada Mbak, apabila Mbak tidak berbuat jahat kepadanya. Sedangkan sifat Mbak, sudah jelas sekali terlihat, kalau Mbak itu seorang yang arogan. Mbak sepertinya mau membuat toko ini bangkrut 'kan, dengan menyebarkan gosip murahan sepe
"Iya benar, Lusi. Si Marni ini hampir saja menjebak suamiku, kalau saja aku tidak memasang CCTV. Namun, dia bukannya mau mengakui semua kesalahan yang dia buat, tetapi dia malah membuat gosip murahan seperti ini." Aku membenarkan semua perkataanku sebelumnya."Mbak, memang pada dasarnya perempuan ini nggak bener. Dia selalu membuat masalah di sana sini, dia membuat kericuhan dan lebih baik kita usir saja dia. Perempuan model begini, jangan sampai ada di lingkungan kita," protes Pembeli yang lain.Mereka pun berkomentar, ia bahkan mengusulkan, supaya Marni di usir dari kampung tempat tinggalku yang sekarang."Enak saja kamu, main mengusir orang begitu saja. Memangnya kampung ini, punya nenek moyangmu?" Marni bertanya, seolah mengolok pembicaraan pembeli tadi.Marni benar-benar sudah kehilangan kewarasannya menurutku, ia sepertinya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Menurut pendapatnya semuanya itu sama, yang penting sesuai dengan keinginan hatinya. "Kampung ini m
"Iya bener, Mbak. Aku dapat kabar ini dari salah seorang pembeli, kalau ditikungan jalan raya sana, telah terjadi kecelakaan. Ada seorang perempuan tertabrak mobil, pada saat sedang menyebrang jalan. Ia menyebutkan ciri-cirinya, yang mirip banget dengan Mbak Marni." Lusi menjelaskan kepada kami, kalau dia mendapat kabar ini dari seorang pembeli kue, yang kebetulan melihat kejadian tersebut. Aku pun menjadi gelisah dan serba salah, sebab walaupun Marni perempuan yang jahat, tetapi ia juga seorang manusia. Jiwa kemanusiaanku meronta ingin menolongnya, semoga saja ia masih bisa tertolong."Mas, kita cari tau kebenarannya yuk! Aku tidak tega, kalau benar yang celaka itu Marni. Apalagi dia sebatang kara, Mas. Dia tidak mempunyai siapa-siapa di sini. Bahkan suaminya pun entah berada di mana," ajakku."Tapi, Dek, dia itu sudah jahat banget sama kamu. Jadi biarkan saja, kita tidak perlu ikut campur. Mungkin saja semuanya itu merupakan teguran dari Allah untuknya," ujar Mas Romi. Ia tida
"Dek, sudah ya. Kamu jangan menangis terus, nanti yang ada Marninya juga ikut sedih," bujuk Mas Romi."Iya, Mas, aku hanya tidak menyangka, jika Marni akan seperti ini," sahutku.Namun, siapa sangka, setelah aku berbisik di telinganya, ada respon dari Marni. Dari susut matanya menetes air mata, kemudian jari tangannya pun bergerak. Aku pun segera melaporkan semuanya kepada Dokter, kemudian Pak Dokter pun kembali memeriksa Marni. Atas izin Allah, Marni dapat membuka matanya, kemudian dia berkata dengan suara parau serta putus-putus. Aku pun mendengarkan selayang diucapkannya dengan begitu seksama."Mbak Mi-ra, aku min-ta ma-af, ya Mbak! Aku ba-nyak do-sa sa-ma Mbak," ucap Marni.Ia meminta maaf kepadaku, atas kesalahan yang pernah dia lakukan."Iya, Marni. Mbak sudah memaafkan kamu kok. Kamu jangan terlalu banyak bicara dulu ya, sebab kondisi kamu belum stabil," tegurku."Aku ng-gak kuat, Mbak. Aku ca-pe, aku mau pu-lang," sahutnya."Marni, sudah ya jangan bicara dulu. Kamu istirahat
"Iya, Mas, ayo!" sahutku.Kemudian setelah Marni dikuburkan serta didoakan, kami semua yang mengantarkan jenazah Marni, ke peristirahatan terakhirnya pun pada bubar. Kami meninggalkan pemakaman umum ini, menuju rumah masing-masing. Aku juga pulang ke rumahku, yang dibeli dari Ibu mertuaku."Mira, Romi, kalian nginep saja di sini ya! Ini juga kan rumah kalian sendiri," pinta Ibu mertuaku, ia meminta kami supaya menginap. "Iya, Bu. Mira akan menginap di sini, biar nanti Mas Romi saja yang pulang. Ia pulang, setelah ashar sepulang dari tahlilan Marni. Soalnya kalahkan semua menginap di sini, rumah nggak ada yang nungguin, Bu." Aku menyetujui ajakan mertuaku."Ya sudah kalau begitu, ayo masuk! Nanti kita makan barang ya, Ibu kangen makan bareng sama kalian semua," ujar Bu Ratmi.Kami semua pun masuk, kemudian segera membersihkan diri. Aku mengganti pakaianku menggunakan daster mertuaku, sebab aku tidak membawa baju untuk ganti. Beruntung tubuh kami seukuran, jadi aku bisa meminjam paka
"Iya, Dek, silahkan! Karena selain sebagai seorang istri, yang harus berbakti sama suami. Kamu juga adalah seorang anak, yang harus berbakti juga kepada kedua orang tuamu. Mereka orang yang telah merawat dan menyayangi kamu, hingga sebesar dan sedewasa ini. Mas bukan orang yang egois kok, Dek. Apalagi selama kemarin Ibuku sakit, kamu yang merawatnya dengan penuh kasih sayang. Masa Iya sih, sekarang Ibu kamu sakit, Mas akan melarang kamu untuk merawat beliau! Jika Mas orang yang seperti itu, berarti Mas seorang suami egois, serta dzolim kepadamu dan juga Ibumu." Mas Romi memberikan izin kepadaku, bahkan dengan sedikit menasehatiku."Iya, Mas, terima kasih ya." Aku berterima kasih kepada suamiku, sebab dia telah memberiku izin untuk merawat Ibu, yang sedang sakit.Aku merasa bersyukur, sebab mempunyai suami yang pengertian, serta paham terhadap agama seperti Mas Romiku ini. Karena tidak jarang, aku menemukan di sekitarku ada suami egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri, serta
"Maaf ya, Susi. Belanjaan ini, tidak pernah aku minta untuk digratiskan oleh suamimu. Dari tadi aku sudah menanyakan harga, serta telah memberikan uangnya. Namun, suami kami saja, yang menolaknya. Ini buktinya, uangnya masih aku pegang." Aku menjelaskan kepada Susi, kalau aku tidak seperti yang dia bilang."Ya sudah, mana sini uangnya! Semuanya pas lima puluh ribu, silahkan kamu segera pergi dari warungku." Susi mengambil uang dari tanganku dan bilang uangnya pas, padahal dia belum menghitungnya. Susi bahkan seolah mengusirku, menyuruhku untuk segera pergi dari warungnya. Aku pun tidak mau banyak bicara, aku segera pergi dari hadapan Susi dan Mas Ferdi. Padahal Susi ini dulu sahabat dekatku, tapi sekarang kami sudah seperti dengan seorang musuh bebuyutan. Susi memang keterlaluan, padahal selama ini dia yang salah, dia yang menikungku dari belakang, tapi kenapa sepertinya malah aku yang salah dimata dia. Sepanjang jalan aku malah kepikiran masa lalu bersama Mas Ferdi dan Susi.*****
"Lho, kok ada foto Mas sama Meri sedang berpelukan begini sih? Kamu dapat dari mana, Dek?" Mas Romi bertanya dengan sorot mata yang menatap tajam ke arahku."Aku dikirim Susi, Mas. Katanya kalian berdua ada hubungan spesial, bener nggak sih Mas apa yang dia bilang? Karena aku melihat foto kalian juga terlihat begitu mesra," tanyaku mau minta penjelasan.'Dek ... Dek, kamu itu lebih percaya Mas suami kamu, sama Merry Adik kamu, atau sama Susi temen kamu? Temen yang sudah merebut mantan pacar kamu, sewaktu kamu masih sekolah dulu. Kalau memang kamu lebih percaya sama Susi, Berarti kamu salah besar, Dek. Karena Mas sama Merry itu tidak ada hubungan spesial, terkecuali hubungan antara kakak ipar dan adik ipar. Kamu jangan mau di bodohi sama Susi dong, Dek. Dia itu hanya menginginkan, supaya hubungan kamu dan Mas berantakan. Kamu tahu nggak, Dek, kalau Susi dan suaminya sekarang hubungannya sedang goyang. Karena suaminya Susi ketahuan selingkuh, makanya dia memanas-manasi kamu. Mungkin t
"Alhamdulillah, akhirnya Meri mau menggantikan Lusi. Kalau sampai Meri tidak mau, pasti toko kueku terbengkalai. Semoga dengan kedatangan Meri nanti, toko kueku akan semakin berkembang, aamiin," harapku.Kemudian aku mengangkat tubuh Nadyra dan segera memberikan asi kepadanya. Tidak berapa lama anak keduaku yang bernama Azka pulang dari sekolah dan langsung masuk ke kamarku untuk menyalamiku. Alhamdulillah, aku mempunyai anak-anak yang shaleh, semoga gadis kecilku juga menjadi anak yang shaleha, aamiin."Assalamualaikum, Bu, Kakak pulang," ucapnya sambil meraih tanganku dan menciumnya."Waalaikumsalam, Kak Azka, alhamdulillah Kakak udah pulang tuh, Dek. Bagaimana belajarnya hari ini, Kak, lancar?" Aku bertanya keadaan Azka di sekolah, setelah aku menjawab salam dari anakku yang nomer dua ini."Lancar dong, Bu, Kakak bisa menjawab semua soal ulangan hari ini," sahut Azka.Ia menjawabnya dengan begitu bersemangat, kebetulan hari ini memang ada ulangan harian di sekolah Azka."Alhamdul
"Mbak Mira, terima kasih ya. Karena Mbak Mira telah paham dengan keadaanku," ucap Lusi."Iya, Lusi, sama-sama. Aku harus paham, sebab yang namanya manusia pasti punya problem. Kehidupan yang kita jalani tidak akan selamanya bisa sesuai harapan kita," sahutku."Ya sudah, Mbak, aku pamit ke toko dulu ya. Assalamualaikum," pamit Lusi.Aku pun mengiyakan, saat Lusi pamit untuk pergi ke toko. Kemudian ia pergi meninggalkanku sendirian, yang sedang bingung memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Setelah Lusi kembali ke toko, setelah ia selesai membicarakan apa yang ingin diungkapkannya. Aku melamun seorang diri, membayangkan bagaimana nasib toko kueku, ketika Lusi sudah tidak ada lagi nanti? Sedangkan aku baru saja melahirkan dan tidak bisa membuat kue seperti dulu. Menurut Lusi, ia akan pergi sekitar satu minggu lagi. Jadi aku harus segera mencari orang untuk menggantikan Lusi membuat kue, mumpung masih ada waktu untuk mencari orang yang tepat pengganti Lusi tersebut. Setelah setelah
"Itu, Dek, Meri barusan menyuruh Mas memasangkan lampu yang ada di kamarnya. Kata dia mumpung ada Mas karena ternyata lampu kamarnya putus," sahut Mas Romi."Oh begitu, ya Mas, ya sudah kalau memang seperti itu. Mas, sudah dulu ya, meneleponnya soalnya Nadyra-nya mau nyusu dulu. Nanti kita sambung lagi," pungkasku.Setelah itu aku pun mengakhiri sambungan telepon, kemudian menyimpan telepon tersebut di atas nakas, sebab Nadyra memang sudah terbangun dari tidurnya. Aku menyusui Nadyra, sambil tiduran, supaya Nadyra kembali terlelap. Soalnya baru juga berapa menit dia tidur kini sudah terbangun karena kehausan. Setelah Nadyra kembali tertidur, aku pun merapikan selimutnya, lalu bangkit dari kasur. Aku berniat akan pergi ke toko untuk mengeceknya. Sudah lebih satu bulan semenjak aku melahirkan, aku tidak pernah lagi mengecek toko kueku. Biasanya aku menyerahkan semuanya kepada Lusi. Pas aku baru membuka pintu kamar, ternyata Lusi sudah ada di depan pintu kamarku. "Eh, Mbak Mira, baru
Rasanya nggak mungkin juga, jika suami serta adik kandungku tega menghianati aku. Makanya aku tidak akan percaya seratus persen, dengan perkataan Susi, yang belum jelas kebenarannya. Bisa saja Mereka berpelukan begitu karena Mas Romi mau menolong Meri, bukan karena sengaja berpelukan karena mempunyai perasan lain. Aku percaya, kalau mereka berdua tidak akan seperti itu.[Ya sudah, terserah kamu saja kalau memang kamu tidak percaya. Aku hanya ingin memberitahu kanu saja, apa yang terjadi di sini tanpa sepengetahuan kamu.] Susi mengirimi chat lagi kepadaku.[Terima kasih, Susi, sebab kamu telah mau memberitahu aku. Tapi aku lebih percaya kepada mereka berdua,] terangku lagi.Setelah membalas chat terakhir dari Susi, Susi pun tidak lagi mengirim chat kepadaku. Sepertinya ia kecewa karena aku tidak percaya dengan aduannya tersebut. Biar saja, sebab jika aku menuruti semua aduan Susi, sudah pasti rumah tanggaku, yang aku bina sekitar lima belas tahun ini akan sia-sia.Setelah tidak ada c
"Makanya, Mbak Widi, jangan menuruti emosi dulu. Cari tau dulu kebenarannya, kalau sudah seperti ini siapa yang rugi," tanyaku merasa geram dengan apa yang terjadi."Iya, Mbak Mira, aku menyesal sudah gegabah. Sekarang aku menyesal, Mbak, sebab telah mendengar kata orang dan menuruti emosi." ujar Mbak Widi."Ya sudah nggak apa-apa, Mbak. Aku mau kok memaafkan Mbak Widi," ungkap Meri.Adikku ini memang orang baik, ia tidak pernah mau ribet dan mempermasalahkan apa pun. Sifat dia sama persis dengan sikap Bapak kami, yang lebih memaafkan ketimbang memperpanjang masalah. Aku pun memiliki sifat yang sama, tidak pernah mau ribet, atau berpikir untuk membalas perlakuan jahat orang lain. Karena bagiku memiliki sifat seperti itu capek, sebab permasalahan akan tetap ada dan tidak ada habisnya. Aku ingin hidup tentram dan damai, makanya kami tidak terlalu mempermasalahkan semua itu. Toh lama kemanan orang yang membenci kita akan bosan sendiri, sebab kita tidak meladeni mereka."Terimakasih, M
"Asal Mas tau, kalau adik ipar Mas Romi ini seorang pelakor. Ia itu berusaha menggoda suamiku, saat kemarin ia belanja di warungku, Mas" Mbak Widi memberitahu kami semua itu."Maaf, Mbak, maksud, Mbak apa? Kok Mbak mengatakan aku seorang pelakor? Memangnya kapan aku menggoda suami Mbak," tanya Meri yang datang menghampiri kami.Melihat Meri keluar, Mbak Widi juga mendekatinya. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya, akan menampar Meri. Tapi keburu ditangkis oleh Mas Romi. Mba" Wish hampir saja berbuat anarkis terhadap adikku, jika saja Mas Romi tidak sigap menangkis tangan Mbak Widi."Mbak Widi, tolong Mbak jangan kasar begitu. Tolong beritahu kami dulu, seperti apa sih permasalahan yang sebenarnya? Kok bisa seperti ini," tanyaku meminta penjelasan."Mbak Mira ngapain bertanya kepadaku? Mbak kan bisa tinggal tanya saja sama adik Mbak, ngapain mesti nanya sama aku," tanya balik Widi dengan begitu ketus."Maaf ya, Mbak, bukan aku mau ngeles. Tapi aku memang tidak merasa menjadi seorang p
"Ya sudah, Lus, suruh masuk saja ya," pintaku."Iya, Mbak siap," sahutnya.Setelah itu Lusi pun segera pergi untuk menyuruh orang, yang mencariku tersebut supaya masuk. Tidak berapa lama, Lusi bersama orang yang ingin bertemu aku itu pun masuk dan ternyata itu adalah Rani temanku."Rani, katanya kamu sedang di luar kota, tapi kok kamu sudah ada di sini?" Aku to the poin bertanya kepada Rani.Aku kaget bercampur heran, kenapa ia bisa berada di rumahku saat ini. Padahal tadi pagi saat aku telepon dia untuk mengundang dia, supaya datang keacaraku. Rani bilang, kalau ia sedang ada di luar kota. Makanya aku tidak percaya jika sekarang ia ada di hadapanku. Apa mungkin, pada saat pagi di telepon itu dia sedang mengerjai aku? Makanya sekarang ia sudah ada di hadapanku."Mira, kamu sudah kena prank yang aku buat. Aku memang sudah dari luar kota, tetapi sudah pulang dua hari yang lalu. Aku sengaja, bilang sedang diluar kota, sebab ingin memberi kejutan sama kamu. Dan ternyata kejutan aku berhas
"Mas pasti setuju dong, Dek, toh semuanya juga demi kebaikan keluarga kira juga," sahut Mas Romi."Ya sudah, masalah ini nanti kita obrolin lagi saja. Sekarang lebih baik kita makan sore dulu, pasti sudah pada laper kan," tanyaku.Kemudian kami pun pergi menuju ruang makan dan makan bersama. Empat minggu setelah kejadian perampokan di rumahku, Mas Rayhan pun dikabarkan sudah diperboleh dibawa pulang. Berhubung yang nabrak bertanggung jawab, jadi tidak perlu mengurusi administrasi lagi. Bahkan Mas Rayhan diantar pulang oleh orang yang menabrak tersebut. "Mas, alhamdulillah ya, Mas Rayhan sudah bisa pulang. Kebetulan kita mau syukuran kelahiran anak kita," ucapku."Iya, Dek, alhamdulillah. Ibu, Bapak dan Meri juga bisa hadir. Mereka sekarang sedang dalam perjalanan," sahut Mas Romi."Apa benar, Mas? Kapan Ibu memberitahu Mas," tanyaku.Aku merasa kaget, saat mendengar orang tua dan saudaraku mau datang. Ternyata mereka menyempatkan diri, supaya bisa hadir, di acara cukur akikah serta