"Iya, Rani, terima kasih ya. Kamu memang temanku, yang selalu mau membantuku saat aku dalam kesulitan." Aku berterima kasih kepada Rani sahabatku.Setelah itu kami pun berganti topik pembicaraan, membahas tentang usaha yang dijalani. Karena aku juga masih bergabung, dengan bisnis butik Rani. Selesai membahas semuanya, aku pun pamit karena hari telah menjelang sore hari. Mas Romi pun telah menjemputku, dengan mobil angkotnya."Ran, aku pulang dulu ya, tuh suami aku sudah datang menjemput. Nanti kita kabar-kabari ya, kalau Mas Rakanya sudah pulang dari luar kota." Aku pamit kepada Rani, sambil berdiri dan bersalaman dengannya."Iya, Mir, entar malam insya Allah suamiku datang kok. Paling besok aku Kabarin kamu ya," sahut Rani, sambil menyambut tanganku, kemudian kami cipika-cipiki.Aku pun berlalu dari rumah Rani menuju halaman rumah, Rani pun mengekoriku dari belakang untuk mengantarku hingga teras depan rumahnya. Aku pun segera menuju mobil suamiku yang terparkir di halaman rumah Rani
"Di jalan Lus, saat kami akan pulang barusan. Dia Mbak lihar sedang duduk, di depan sebuah toko yang telah tutup. Ya sudah, Mbak masuk dulu ya! Kalian lanjutkan saja kerjaannya ya," sahutku.Setelah itu, aku pun masuk ke dalam menyusul Mas Romi dan juga Marni. Pas masuk rumah, Marni sedang bersimpuh di hadapan Bu Ratmi. Dia menangis meminta maaf kepada Ibu mertuaku. Sedangkan Bu Ratmi membuang muka, saat Marni sedang meminta maaf kepadanya sambil bersimpuh."Bu Ratmi, maafin Marni ya, Bu. Marni tidak tahu jika kejadian waktu itu, malah membuat Ibu seperti ini." Marni terus bicara, ia meminta maaf kepada Bu Ratmi, tetapi ucapan permintaan maaf Marni, sama tidak di respon oleh mertuaku itu."Bu, orang yang meminta maaf sebaiknya Ibu maafin. Orang yang memaafkan lebih baik lho, Bu." Aku memberi saran kepada mertuaku, supaya ia mau memaafkan Marni.Karena sebaik-baiknya orang, adalah orang yang mau memaafkan kesalahan saudaranya. Toh mau diapakan juga kejadian tidak dapat diulang. Mungki
Pov MarniAku hidup sebatang kara, orang tuaku meninggal saat aku masih duduk di kelas tiga SMA. Aku terlahir dari keluarga berada, aku selalu dimanja oleh kedua orang tuaku. Kekayaan Ayahku di mana-mana, sebab dia memiliki sebuah bisnis yang sangat menjanjikan. Namun, aku pun tidak tahu bisnisnya apa, yang pasti aku hidup berkecukupan, serta bergelimang harta.Aku hidup sesukaku, tidak ada orang yang mau mengusikku. Karena mereka segan, dengan kekuasaan yang dimiliki oleh orang tuaku. Tidak ada satu orang pun yang meremehkanku, baik di lingkungan sekolah ataupun rumah tempat tinggalku.Bahkan aku di anggap ratu di mana pun aku berada, aku suka sekali menindas orang yang levelnya rendah jika dibanding aku. Aku suka sekali membuat orang lain sengsara akibat perbuatanku.Sampai suatu ketika, Ayahku ditangkap oleh pihak yang berwajib, sebab Ayah memiliki bisnis terlarang seperti judi dan pembuatan obat-obatan terlarang. Ayah juga sebagai otak pencucian uang dari sebuah bisnis, yang ti
"Lagian nggak mungkin juga, kalau kamu mampu mengimbangi keluarga kami, iya 'kan Mbak Dewi?" tanya Mbak Marsya, kepada Mbak Dewi."Ya iyalah Marsya, mana mungkin si Mira itu mampu menyaingi kita. Dia cuma punya penghasilan dari toko kue sekecil ini, sama dari hasil suaminya yang hanya sopir angkot. Berapa sih penghasilannya? Sedangkan kita sudah jelas, gaji kita sama suami hampir dua puluh juta. Belum lagi, kalau kita dapat bonus dari kantor bisa lebih dari satu bulan gaji 'kan. Pokoknya nggak sepadan deh sama penghasilan mereka," sahut Mbak Dewi menyepelekan penghasilanku.Padahal, kalau harus sombong penghasilan ku lebih besar, jika dibandingkan dengan gaji mereka, yang katanya dua puluh juta untuk dua orang. Penghasilanku pun kalau ditotal lebih dari lima puluh juta perbulan. Penghasilanku terdiri dari toko online, hasil karyaku bikin novel, dari toko kue, hasil kebun dan juga dari penghasilan angkot. Semuanya satu bulan lebih dari lima puluh juta. Lagian aku terkadang aneh kepada
"Bu, sudah ya. Ibu nggak usah sedih lagi, walaupun rumah Ibu sudah terjual, tapi Ibu masih bisa menempatinya kok. Karena Mira yang membelinya, bukan orang lain. Jadi Ibu tetap bisa tinggal di rumah itu semau Ibu. Sudah ya, Bu, Ibu jangan menangis lagi," pintaku kepada Bu Ratmi."Iya, Mira. Ibu hanya tidak menyangka, seorang menantu yang selama ini Ibu benci. Ibu umbar kejelekannya kepada semua orang, justru kamu yang menyelamatkan, serta merawat Ibu dikala sakit. Sedangkan anak sama menantu Ibu, yang selalu Ibu banggakan nggak ada pedulinya sama Ibu. Bahkan mereka hanya ingin memoroti harta, serta tenaga Ibu, dikala Ibu masih sehat dulu. Ibu sedih, Mira. Ibu begitu berdosa kepadamu, Nak," ungkap Bu Ratmi. Ia berkata dengan lirih, mengungkapkan rasa penyesalannya."Sudah ya, Bu. Ibu tidak perlu mengingat masa-masa kebelakang, justru Ibu harus menatap masa depan yang lebih baik. Jadikan semua yang telah terjadi itu, sebagai sebuah pelajaran berharga di dalam hidup kita. Semua itu janga
"Bu, Ibu jangan bicara seperti itu ya? Ucapan itu adalah Doa, lho Bu. Aku takut, kalau nanti ucapan Ibu akan mejadi kenyataan. Lebih baik Ibu beristigfar, ya Bu," pintakuAku menyuruh mertuaku untuk beristigfar, serta mengingatkan, jika ucapannya itu tidak baik dan takut menjadi kenyataan. Karena biar bagaimana pun, mereka adalah anak sama menantunya mereka adalah orang-orang, yang dulu pernah beliau sayangi. Aku merasa kasihan, jika suatu saat nanti ia akan menyesali ucapannya tersebut. Maka dari itu aku memberi wejangan kepada mertuaku, supaya ia tidak menyesalinya dikemudian hari."Alah sok bijak sekali kamu itu, Mira. Lagian kami nggak peduli juga, dengan semua ucapan Ibu tadi. Yang penting sekarang ini adalah uang, uang dan uang. Karena dengan adanya uang, kami akan tetap dihormati oleh banyak orang. Sebab kalau kita nggak punya uang, ya pastinya kami akan seperti kamu dulu, yang nggak pernah dianggap. Bukankah dulu juga kamu nggak pernah dianggap sama Ibu, ketika dulu kamu bel
"Ya ampun, Mira, kamu memang kelewat baik jadi orang. Makanya, mereka selalu menginjak-injak kamu, sebab kamu nya seperti ini." Bu Ratmi ikut mengomentari perbuatan kedua menantunya.Tapi biarlah, sebab aku juga tidak akan membalas, aras apa yang telah orang lain lakukan kepadaku. Karena menurutku percuma, jika aku membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan pula. Karena yang ada, kita sama saja seperti mereka, seperti orang-orang yang jahat. Aku juga bukannya mau rugi materi, tapi aku juga tidak mau membalas perbuatan mereka, biar aku serahkan saja semuanya sama Allah."Iya, Bu, nggak apa-apa kok. Ya sudah, Lusi, biar nanti Mbak Mira yang bayar ya. Hitung saja semuanya," perintahku."Baik, Mbak, kalau begitu aku permisi ya. Aku mau kembali ke toko," pamit Lusi."Iya, silahkan," sahutku.Setelah itu Lusi pun kembali ke toko, sedangkan kami berlanjut untuk makan siang dulu. Aku mengajak semua yang masih hadir untuk makan siang bersama, sebab makanannya sudah siap tersedia di atas m
Pov Bu RatmiAku seorang Ibu dari tiga orang putra, yaitu Rendi, Reyhan dan si bungsu Romi. Aku mengurus dan merawat mereka bertiga dengan penuh kasih sayang. Aku hidup dari kecil serba berkecukupan, sebab orang tuaku orang yang berada, serta mempunyai suami yang sudah mapan pula. Tanah dan sawah milikku ada di mana-mana. Sehingga selama ini, aku tidak pernah merasakan kekurangan ekonomi seperti orang lain.Tidak jarang pula, aku menghina orang yang derajatnya berada di bawahku. Hingga mereka menitikan air mata karena mungkin merasa sakit hati atas ulahku kepadanya.Namun, pada saat sedang banyak-banyaknya mengeluarkan biaya, sebab anakku Rendi d sedang kuliah semester tiga, Reyhan sekolah SMA kelas tiga, serta si bungsu Romi duduk di kelas satu tiga SMP. Pada saat itu, keluargaku menglami kemalangan, Ayah mereka yaitu suamiku meninggal dunia karena kecelakaan. Duniaku terasa seakan hancur saat itu, mendapat berita kalau suami yang sangat aku cintai telah tiada. Menurut cerita oran
"Lho, kok ada foto Mas sama Meri sedang berpelukan begini sih? Kamu dapat dari mana, Dek?" Mas Romi bertanya dengan sorot mata yang menatap tajam ke arahku."Aku dikirim Susi, Mas. Katanya kalian berdua ada hubungan spesial, bener nggak sih Mas apa yang dia bilang? Karena aku melihat foto kalian juga terlihat begitu mesra," tanyaku mau minta penjelasan.'Dek ... Dek, kamu itu lebih percaya Mas suami kamu, sama Merry Adik kamu, atau sama Susi temen kamu? Temen yang sudah merebut mantan pacar kamu, sewaktu kamu masih sekolah dulu. Kalau memang kamu lebih percaya sama Susi, Berarti kamu salah besar, Dek. Karena Mas sama Merry itu tidak ada hubungan spesial, terkecuali hubungan antara kakak ipar dan adik ipar. Kamu jangan mau di bodohi sama Susi dong, Dek. Dia itu hanya menginginkan, supaya hubungan kamu dan Mas berantakan. Kamu tahu nggak, Dek, kalau Susi dan suaminya sekarang hubungannya sedang goyang. Karena suaminya Susi ketahuan selingkuh, makanya dia memanas-manasi kamu. Mungkin t
"Alhamdulillah, akhirnya Meri mau menggantikan Lusi. Kalau sampai Meri tidak mau, pasti toko kueku terbengkalai. Semoga dengan kedatangan Meri nanti, toko kueku akan semakin berkembang, aamiin," harapku.Kemudian aku mengangkat tubuh Nadyra dan segera memberikan asi kepadanya. Tidak berapa lama anak keduaku yang bernama Azka pulang dari sekolah dan langsung masuk ke kamarku untuk menyalamiku. Alhamdulillah, aku mempunyai anak-anak yang shaleh, semoga gadis kecilku juga menjadi anak yang shaleha, aamiin."Assalamualaikum, Bu, Kakak pulang," ucapnya sambil meraih tanganku dan menciumnya."Waalaikumsalam, Kak Azka, alhamdulillah Kakak udah pulang tuh, Dek. Bagaimana belajarnya hari ini, Kak, lancar?" Aku bertanya keadaan Azka di sekolah, setelah aku menjawab salam dari anakku yang nomer dua ini."Lancar dong, Bu, Kakak bisa menjawab semua soal ulangan hari ini," sahut Azka.Ia menjawabnya dengan begitu bersemangat, kebetulan hari ini memang ada ulangan harian di sekolah Azka."Alhamdul
"Mbak Mira, terima kasih ya. Karena Mbak Mira telah paham dengan keadaanku," ucap Lusi."Iya, Lusi, sama-sama. Aku harus paham, sebab yang namanya manusia pasti punya problem. Kehidupan yang kita jalani tidak akan selamanya bisa sesuai harapan kita," sahutku."Ya sudah, Mbak, aku pamit ke toko dulu ya. Assalamualaikum," pamit Lusi.Aku pun mengiyakan, saat Lusi pamit untuk pergi ke toko. Kemudian ia pergi meninggalkanku sendirian, yang sedang bingung memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Setelah Lusi kembali ke toko, setelah ia selesai membicarakan apa yang ingin diungkapkannya. Aku melamun seorang diri, membayangkan bagaimana nasib toko kueku, ketika Lusi sudah tidak ada lagi nanti? Sedangkan aku baru saja melahirkan dan tidak bisa membuat kue seperti dulu. Menurut Lusi, ia akan pergi sekitar satu minggu lagi. Jadi aku harus segera mencari orang untuk menggantikan Lusi membuat kue, mumpung masih ada waktu untuk mencari orang yang tepat pengganti Lusi tersebut. Setelah setelah
"Itu, Dek, Meri barusan menyuruh Mas memasangkan lampu yang ada di kamarnya. Kata dia mumpung ada Mas karena ternyata lampu kamarnya putus," sahut Mas Romi."Oh begitu, ya Mas, ya sudah kalau memang seperti itu. Mas, sudah dulu ya, meneleponnya soalnya Nadyra-nya mau nyusu dulu. Nanti kita sambung lagi," pungkasku.Setelah itu aku pun mengakhiri sambungan telepon, kemudian menyimpan telepon tersebut di atas nakas, sebab Nadyra memang sudah terbangun dari tidurnya. Aku menyusui Nadyra, sambil tiduran, supaya Nadyra kembali terlelap. Soalnya baru juga berapa menit dia tidur kini sudah terbangun karena kehausan. Setelah Nadyra kembali tertidur, aku pun merapikan selimutnya, lalu bangkit dari kasur. Aku berniat akan pergi ke toko untuk mengeceknya. Sudah lebih satu bulan semenjak aku melahirkan, aku tidak pernah lagi mengecek toko kueku. Biasanya aku menyerahkan semuanya kepada Lusi. Pas aku baru membuka pintu kamar, ternyata Lusi sudah ada di depan pintu kamarku. "Eh, Mbak Mira, baru
Rasanya nggak mungkin juga, jika suami serta adik kandungku tega menghianati aku. Makanya aku tidak akan percaya seratus persen, dengan perkataan Susi, yang belum jelas kebenarannya. Bisa saja Mereka berpelukan begitu karena Mas Romi mau menolong Meri, bukan karena sengaja berpelukan karena mempunyai perasan lain. Aku percaya, kalau mereka berdua tidak akan seperti itu.[Ya sudah, terserah kamu saja kalau memang kamu tidak percaya. Aku hanya ingin memberitahu kanu saja, apa yang terjadi di sini tanpa sepengetahuan kamu.] Susi mengirimi chat lagi kepadaku.[Terima kasih, Susi, sebab kamu telah mau memberitahu aku. Tapi aku lebih percaya kepada mereka berdua,] terangku lagi.Setelah membalas chat terakhir dari Susi, Susi pun tidak lagi mengirim chat kepadaku. Sepertinya ia kecewa karena aku tidak percaya dengan aduannya tersebut. Biar saja, sebab jika aku menuruti semua aduan Susi, sudah pasti rumah tanggaku, yang aku bina sekitar lima belas tahun ini akan sia-sia.Setelah tidak ada c
"Makanya, Mbak Widi, jangan menuruti emosi dulu. Cari tau dulu kebenarannya, kalau sudah seperti ini siapa yang rugi," tanyaku merasa geram dengan apa yang terjadi."Iya, Mbak Mira, aku menyesal sudah gegabah. Sekarang aku menyesal, Mbak, sebab telah mendengar kata orang dan menuruti emosi." ujar Mbak Widi."Ya sudah nggak apa-apa, Mbak. Aku mau kok memaafkan Mbak Widi," ungkap Meri.Adikku ini memang orang baik, ia tidak pernah mau ribet dan mempermasalahkan apa pun. Sifat dia sama persis dengan sikap Bapak kami, yang lebih memaafkan ketimbang memperpanjang masalah. Aku pun memiliki sifat yang sama, tidak pernah mau ribet, atau berpikir untuk membalas perlakuan jahat orang lain. Karena bagiku memiliki sifat seperti itu capek, sebab permasalahan akan tetap ada dan tidak ada habisnya. Aku ingin hidup tentram dan damai, makanya kami tidak terlalu mempermasalahkan semua itu. Toh lama kemanan orang yang membenci kita akan bosan sendiri, sebab kita tidak meladeni mereka."Terimakasih, M
"Asal Mas tau, kalau adik ipar Mas Romi ini seorang pelakor. Ia itu berusaha menggoda suamiku, saat kemarin ia belanja di warungku, Mas" Mbak Widi memberitahu kami semua itu."Maaf, Mbak, maksud, Mbak apa? Kok Mbak mengatakan aku seorang pelakor? Memangnya kapan aku menggoda suami Mbak," tanya Meri yang datang menghampiri kami.Melihat Meri keluar, Mbak Widi juga mendekatinya. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya, akan menampar Meri. Tapi keburu ditangkis oleh Mas Romi. Mba" Wish hampir saja berbuat anarkis terhadap adikku, jika saja Mas Romi tidak sigap menangkis tangan Mbak Widi."Mbak Widi, tolong Mbak jangan kasar begitu. Tolong beritahu kami dulu, seperti apa sih permasalahan yang sebenarnya? Kok bisa seperti ini," tanyaku meminta penjelasan."Mbak Mira ngapain bertanya kepadaku? Mbak kan bisa tinggal tanya saja sama adik Mbak, ngapain mesti nanya sama aku," tanya balik Widi dengan begitu ketus."Maaf ya, Mbak, bukan aku mau ngeles. Tapi aku memang tidak merasa menjadi seorang p
"Ya sudah, Lus, suruh masuk saja ya," pintaku."Iya, Mbak siap," sahutnya.Setelah itu Lusi pun segera pergi untuk menyuruh orang, yang mencariku tersebut supaya masuk. Tidak berapa lama, Lusi bersama orang yang ingin bertemu aku itu pun masuk dan ternyata itu adalah Rani temanku."Rani, katanya kamu sedang di luar kota, tapi kok kamu sudah ada di sini?" Aku to the poin bertanya kepada Rani.Aku kaget bercampur heran, kenapa ia bisa berada di rumahku saat ini. Padahal tadi pagi saat aku telepon dia untuk mengundang dia, supaya datang keacaraku. Rani bilang, kalau ia sedang ada di luar kota. Makanya aku tidak percaya jika sekarang ia ada di hadapanku. Apa mungkin, pada saat pagi di telepon itu dia sedang mengerjai aku? Makanya sekarang ia sudah ada di hadapanku."Mira, kamu sudah kena prank yang aku buat. Aku memang sudah dari luar kota, tetapi sudah pulang dua hari yang lalu. Aku sengaja, bilang sedang diluar kota, sebab ingin memberi kejutan sama kamu. Dan ternyata kejutan aku berhas
"Mas pasti setuju dong, Dek, toh semuanya juga demi kebaikan keluarga kira juga," sahut Mas Romi."Ya sudah, masalah ini nanti kita obrolin lagi saja. Sekarang lebih baik kita makan sore dulu, pasti sudah pada laper kan," tanyaku.Kemudian kami pun pergi menuju ruang makan dan makan bersama. Empat minggu setelah kejadian perampokan di rumahku, Mas Rayhan pun dikabarkan sudah diperboleh dibawa pulang. Berhubung yang nabrak bertanggung jawab, jadi tidak perlu mengurusi administrasi lagi. Bahkan Mas Rayhan diantar pulang oleh orang yang menabrak tersebut. "Mas, alhamdulillah ya, Mas Rayhan sudah bisa pulang. Kebetulan kita mau syukuran kelahiran anak kita," ucapku."Iya, Dek, alhamdulillah. Ibu, Bapak dan Meri juga bisa hadir. Mereka sekarang sedang dalam perjalanan," sahut Mas Romi."Apa benar, Mas? Kapan Ibu memberitahu Mas," tanyaku.Aku merasa kaget, saat mendengar orang tua dan saudaraku mau datang. Ternyata mereka menyempatkan diri, supaya bisa hadir, di acara cukur akikah serta