Sebenarnya Dina enggan melihat ke sana setelah mengetahui bahwa air di sana susah. Namun, demi menghargai suami yang meminta untuk melihat dalamnya, Dina menurut saja.
Rumah Hana menghadap ke arah barat, tepat di pertigaan jalan yang menjadi lalu lintas pengendara bermotor maupun para pedagang. Termasuk gerobak sampah juga lewat sana, sebab TPA tepat ada di sebelah Utara perkampungan yang ditinggali Dina.Meski kecil, jalan di sana selalu ramai dilalui kendaraan bermotor. Siang hari sampai sore jika cuaca cerah, maka panas sekali di depan rumah. Itu sebabnya Dina jarang melihat pintu rumah mereka terbuka di saat siang sampai sore.Dina meminta ijin pada Bu Maya untuk melihat ke dalam rumah. Dengan senang hati Bu Maya mengiyakan. Saat baru masuk, Dina melihat tumpukan baju yang terbungkus rapi dalam plastik. Nampaknya pakaian keluarga Bu Maya yang baru diambil dari laundry. Dina juga melihat banyak kardus di sana."Maaf ya, rumahnya berantakan. InAku tinggal di kontrakan Bu Rini satu minggu lebih lama dari Tante Dina. Sebelumnya aku tinggal di rumah mertua. Setelah proses ijin yang alot, kami diijinkan tinggal di kontrakan. Bersyukur sekali dapat ijin dari mertua untuk tinggal di kontrakan, meski beliau sering datang menengok kami. Pertama kali datang aku sudah suka dengan suasana di sekitar kontrakan. Apalagi setelah tau tetangga kontrakan baik seperti keluarga sendiri.Umur anak pertamaku saat itu baru sembilan bulan, baru belajar jalan. Aku lihat Tante Dina sayang sekali dengan Kiki, anakku. Ia sering mengajak main bahkan digendong untuk dibawa pulang."Gendong terus, Tan, biar ketularan," ucapku waktu itu, sebab tau kalau dia penganten baru. Dia hanya senyum-senyum saja.Aku bahkan sering menitipkan Kiki jika sedang repot. Tante dengan senang hati menyanggupi. Efeknya, Kiki jadi dekat dengan Tante dan Om Deny, suami Tante Dina. Bahkan malam hari pun, jika suamiku belum pulang, Kiki mi
Aku pikir, setelah Teh Dewi kerja, suasana bakalan aman, adem ayem gitu. Rupanya, salah besar. Emang, sih, dia udah jarang muncul di rumah. Kewarasanku sebagai emak dua anak yang lahirnya jarak dekat, lumayan terjaga lagi. Nggak kayak sebelumnya waktu dia sering ke rumah sama anaknya. Hanya saja, masalah baru muncul sama pintu pagar yang baru dibuat. Pintu yang sebenarnya nggak perlu amat, dibuat cuma buat nurutin satu orang yang rusuh dan nggak seneng lihat orang lain seneng. Seperti siang ini. Aku baru masuk sebentar mau nerima telpon yang menjerit-jerit. Aku tinggalin dua anakku di depan. Udah kasih pesen supaya anteng di sana. Pas aku keluar, lah ... itu si Kakak udah nggak ada. Duh, aku kuatir banget. Mana jalanan depan itu lagi rame, banyak motor lewat. Aku periksa pintu pagar depan rumah, nggak kebuka. Lalu anakku ke mana? Pas lihat ke rumah Tante, te
Beberapa saat sebelumnya …Azam sudah siap berangkat kerja. Kali ini ia akan membawa anaknya serta, sebab Dewi akan berangkat agak siang.Melihat rantai sepeda yang tergantung di dekat pintu kamar, pria itu menghela napas panjang.Sudah beberapa kali ia menegur sang istri untuk tidak mengunci pintu pagar dalam kondisi terbuka saat mereka ke luar rumah. Namun, peringatannya tidak diindahkan.Dilihatnya wanita yang sepuluh tahun ini menjadi teman hidupnya, tengah tersenyum-senyum sendiri sambil menatap lurus pada ponsel di tangan.“Ma,” panggil Azam yang jengah melihat kelakuan istrinya.“Hmmm … .”Dewi menjawab tanpa menoleh. Kini bahkan terkikik entah sebab apa. Wanita itu menoleh setelah beberapa saat suaminya masih berdiri tegak.“Apa, Pa? Belum mau berangkat?“Rantainya aku bawa aja, ya,” pinta Azam, seraya mengambil benda tersebut. Kedua mata Dewi melotot seketika. Gegas ia berdiri dan menyambar ben
POV DewiHampir tengah hari, aku memutuskan untuk istirahat. Duh, mana panas banget lagi hari ini. Segelas teh manis dingin cocok, nih buat ngilangin haus.Tringg ...Triiingg …Tiba-tiba saja ponsel yang ada di tasku berbunyi nyaring. Aku harap itu dari pelanggan yang meminta supply susu yogurt yang ku jual beberapa bulan terakhir ini.Aku sungguh terkejut melihat nama yang ada di layar. Bu Rini pemilik kontrakan. Tumben nelpon."Assalamu'alaikum Bu Rini?" ucapku setelah kupencet tombol hijau dan sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam ... Hallo Bu Dewi, maaf kalau mengganggu waktunya. Bu Dewi nanti malam ada di rumah tidak? Saya mau berkunjung." Waduh, ada apa sampai Bu Rini mau berkunjung segala? Malam-malam lagi."Oh iya, ada kok. Ada perlu apa ya, Bu?" tanyaku penasaran. "Nanti malam saja saya jelaskan, ya, Bu Dewi. Assalamu'alaikum." Bu Rini menutup sambungan telepon setelah kujaw
“Nggak pulang, Zam?”Azam menoleh. Dito, teman nongkrongnya kali ini, sudah bersiap meninggalkan lokasi yang menjadi markas tunggu.“Entar dulu. Masih nunggu orderan satu lagi gue,” jawab Azam.Pria itu melirik ponsel yang berkedip-kedip. Gegas meraihnya, lalu tersenyum lebar.“Panjang umur!” serunya dengan suara riang, lantas menunjukkan layar ponsel yang masih menyala pada temannya.“Jalan dulu, gue!”Pamit Azam sambil menepuk pundak Dito.Dito melihat jam di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pria berjaket kulit warna hitam itu menggelengkan kepala melihat temannya yang masih mengambil orderan di jam selarut ini.“Hati-hati, Zam!” seru Dito ketika suara motor besar Azam bersiap melaju di jalan beraspal.Azam hanya menjawab dengan acungan jempol, lalu segera bergabung dengan para pengendara kendaraan bermotor di jalanan yang ramai.“Kayak udah capek, mata juga udah
“Teh … Teh. Emang semalam Bu Rini ke sini, ya?” Bu Yati menyapa Nia yang sedang duduk santai di teras sambil mengawasi anak-anaknya. Yang ditanya sedikit terkejut. “Masa, sih? Aku nggak tau. Kan semalam ke rumah nenek,” jawab Nia apa adanya. “Sampai jam sebelas baru sampai sini aku, Mbak,” jelas Nia lagi. “Ih … iya, tau. Dia ke rumah situ, tu!” Bu Yati menunjuk rumah Dewi dengan bibirnya. Nia tertawa melihat ekspresi lucu Bu Yati. “Dia negur kali. Lagian itu pintu masih dibuka juga sama si itu,” cetus Bu Yati lagi. “Lagian kenapa nggak disuruh oh dah aja sih, tuh orang?” gerutu Bu Yati dengan wajah kesal. “Kalau gue nih, jadi yang punya, udah gue usir dari dulu dia, Teh.” “Au ah, Bude. Ngantuk aku,” sahut Nia, lalu menutup mulutnya yang tengah menguap lebar. Bu Yati menggelengkan kepala melihat N
“Tinggal seminggu lagi, loh, Pa. Jadi gimana ini kita?”Lagi-lagi Dewi mencecar Azam soal kontrakan. Sudah tiga minggu berlalu. Namun, mereka belum menemukan calon tempat tinggal yang baru.“Ya nggak gimana-gimana. Kemarin udah Papa kasih lihat, Mama nggak mau.”Azam berkata dengan santai. Kulit kuaci memenuhi lantai di sekitar lelaki berkaos merah menyala itu duduk.Dewi mendengkus kesal. Benar memang, Azam telah membawanya ke sebuah rumah tiga petak, yang lebih kurang seperti rumah yang saat ini mereka tempati.Rumah dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang tamu, serta dapur. Posisi rumah juga ada di pinggir jalan kampung. Hanya saja, rumah tersebut nyaris tidak memiliki halaman. Jika pindah ke sana, maka mereka tidak memiliki lahan parkir di luar rumah, sebab halaman yang tersisa kurang dari setengah meter, dan langsung bertemu pagar yang menjadi pembatas halaman dengan jalan.“Bisa yang lebih bagusan la
Waktu terus beranjak. Matahari telah bergeser ke arah barat. Suara anak-anak yang bermain di lapangan sudah ramai terdengar.“Ma, masakin telur, dong?!” pinta Sultan, mengejutkan sang ibu yang tengah menonton Drakor.“Masak sendiri sana! Udah gede juga,” sahut Dewi yang enggan beranjak dari tempatnya. “Nggak bisa, Ma! Buruan, dong. Perutku lapar ini!” Lagi-lagi bocah itu merengek setengah memerintah.“Makan yang lain dulu kenapa, sih?” gerutu Dewi sambil turun dari tempat tidur.“Maunya telur!” seru Sultan yang tidak mau ditawar inginnya.Dewi berdecak kesal, lalu melangkah keluar dengan terpaksa, hendak menuju warung di ujung gang. Di pos ronda sudah banyak para ibu dan balita. Wajah Dewi yang kesal oleh anaknya, kini dimanis-maniskan di depan para tetangga. Ya, meski ia merasa canggung, sebab beberapa waktu lamanya ia tidak berinteraksi dengan tetangga kiri kanan seperti sekarang.“Ada itu, tuh,” celetuk Bu
“Dapat arisan kan, kamu? Kebetulan, sudah saatnya kirim ke ibu.”Hati Lila meradang mendengar ucapan suaminya. Terlebih lagi, melihat ekspresi pria di depannya yang tidak merasa bersalah sedikitpun. “Itu tabungan aku, Yah!?” seru Lila tak terima.Setelah sekian lama ia menyusul suami ke ibukota, lalu berusaha menyisihkan sedikit tabungan, kini dengan mudahnya lelaki itu merampas apa yang ia punya. Ya, meski semua dari pemberian sang suami. Namun, sebagai istri, dia juga punya hak bukan?“Tabungan kamu kan dari aku juga,” sahut Gema yang langsung menyimpan lembaran-lembaran merah itu ke dalam saku celananya.“Dah lah, sana urusin Ari. Ayah mau tidur biar bisa bangun cepat lalu masak bubur,” pungkas Gema lalu berlalu ke kamar. Lila ingin mendebat, tapi seakan tidak bertenaga. Dalam diam, wanita itu mencari cara supaya bisa mengambil kembali haknya..Tengah malam, Lila terbangun dengan kepala yang pusing luar biasa.
Beberapa saat sebelumnya …Lila memasuki halaman kontrakan dengan berdendang ringan. Wanita itu baru saja pulang dari arisan di komplek sebelah.Aroma masakan langsung menyapa indera penciuman begitu ia membuka pintu. Pemandangan pertama yang terlihat adalah Ari yang sedang duduk manis di depan kotak nasi yang terbuka dan menampilkan isinya.Beberapa bungkus makanan ringan berserakan di sekitar bocah berumur tiga tahun itu. Melihat siapa yang datang, Ari langsung melebarkan senyum dan menyapa, “Bunda!”Lila tersenyum malas, dan lebih tertarik dengan nasi kotak yang terlihat lezat.“Ayah mana, Nak?” tanya Lila setelah mendaratkan bibir di pipi gembul anak sulungnya.“Ayah masak di dapur!”Gema menyahut sebelum Ari menjawab pertanyaan sang Bunda.“Jam segini baru pulang. Pasti ngerumpi lagi!” gerutu Gema yang segera beranjak dari dapur menuju ruang tamu.“Nggak ingat anak. Main pergi nggak pulang-pulang.”Gema masih meluapkan kekesalannya pada sang istri yang pergi sejak sore hingga mal
"Gimana Dek, setuju nggak kalau kita pindah ke sana?"Deny sungguh ingin tahu pendapat sang istri, meski sudah terbaca dari raut wajahnya saat berada di sana sore tadi."Setuju sih, Mas. Tapi ... ," jawaban Dina menggantung, seakan ada hal yang berat untuk disampaikan. Biar bagaimana pun, ia sudah jatuh hati dengan rumah yang mereka kunjungi, terlebih dengan halaman di belakang rumah. Ia tak perlu ke luar rumah untuk menjemur cucian, bukan? Juga akan merasa aman menemani anaknya bermain di halaman depan karena sudah memiliki pagar."Tapi kenapa, Dek?" kali ini Deny memandang lekat penuh tanya pada sang istri."Apa nggak mahal sewanya, Mas?” cicit Dina membuat salah satu sudut bibir suaminya tertarik ke atas.“Sudah kuduga,” batin Deny.Dina menghembuskan napas panjang, lalu berkata, “Rumahnya bagus, lho. Halaman ada dua, sudah dipagar lagi," terucap juga pertanyaan yang mengganjal hati wanita itu. Se
Di tempat kerja, Deny disambut dengan ungkapan belasungkawa dari teman-teman kerja. Pria yang masih berduka itu menerima sumbangan kematian dari rekan kerja yang dimasukkan di dalam amplop berwarna putih. Sudah menjadi hal wajar di tempat ia bekerja. Namun, belum ada niat untuk membuka dan melihat isinya. Ia pun menyimpan amplop itu di dalam tas. "Ayo Den, kita ke luar, yuk," ajak Sapto saat jam makan siang."Mau ke mana?""Makan di depan yuk. Aku yang traktir, deh," jawab Sapto dengan senyum tulus."Ya udah, ayok."Mereka berjalan beriringan. Ada empat orang lagi yang ikut serta. Mereka semua teman satu divisi, berusaha menghibur Deny yang masih dalam suasana berkabung dengan bermacam cara.."Dek, ini tadi Mas dapat uang kematian dari teman-teman," ucap Deni saat buah hati mereka sudah terlelap, sambil menyerahkan amplop tebal."Ini buat Ibu kan, Mas? Dikirim aja uangnya," saran Dina begitu sa
Wajah Dina menjadi seputih kapas begitu meninggalkan dapur."Kenapa, Bu?" Deni saat melihat perubahan istrinya."I-itu, Pak. Ada ekor di dalam kompor," ucap Dina dengan nada panik mode on.Deni tersenyum menanggapi. Tanpa berkata lagi, ia beranjak untuk membuka pintu depan. "Tutup dulu pintu kamarnya, Bu."Dina menurut meski tak mengerti dengan maksud sang suami.Deni kembali ke dapur untuk melepaskan sambungan regulator, kemudian mengangkat kompor dua tungku tersebut ke luar rumah.Deni berhenti di luar pagar, lantas membalik kompor itu, dan benar saja, si pemilik ekor yang ditemukan oleh istrinya melompat ke luar."Pergi yang jauh, jangan kembali lagi, ya," ucap Deni sambil dadah dadah.Deni kembali ke dalam rumah, mengambil lap untuk membersihkan kompor."Sudah ketemu, Pak?" ia disambut dengan pertanyaan dari istrinya yang baru ke luar dari kamar mandi."Sudah, Bu. Sudah pergi malah.""Alhamdulillah ... ."Dina menghembuskan napas lega, sambil menepuk dada."Senang sekali dengar
Pukul empat sore, ibu-ibu sudah memenuhi halaman rumah Bu Sari. Sudah menjadi kebiasaan di sana, jika ada warga meninggal, warga lain bergantian membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sore hari setelah Ashar untuk ibu-ibu, sedang untuk bapak-bapak setelah sholat Maghrib. Bu Sari serta Dina ikut bergabung dengan para ibu. Sesekali Bu Sari masih meneteskan air mata. Dina tetap setia di samping Bu Sari mencoba menguatkan.Sedikit hiburan untuk Bu Sari dengan adanya Putri. Sesekali diajak bercanda untuk melupakan kesedihan karena ditinggal belahan jiwa. Tak jarang pula kenangan demi kenangan berkelebat dalam ingatan, membuat butiran mutiara berdesakan hendak ke luar dari indera penglihatan.***Tak terasa sudah tiga hari Dina dan Deny menemani Bu Sari di rumah setelah kepergian sang suami. Bu Sari sedikit terhibur dengan adanya Putri, cucu satu-satunya yang bertingkah lucu. Tak jarang Bu Sari menggendong dan menemani bermain saat Dina harus beristirahat. Kondisinya yang sedang berbadan dua d
"Bu, Bapak baik-baik saja, kan?" Deny bertanya sekali lagi. Sementara Bu Sari masih terisak. Perasaan Deny mulai tak nyaman."Bapakmu baik. Bapak sudah tenang, Nak. Kalian pulang, ya," ucap Bu Sari di antara isak tangisnya.“Maksud ibu tenang bagaimana?” kejar Deny, mengabaikan isakan sang ibu.“Bapakmu meninggal, Nak. Jam satu dini hari tadi. Pulanglah kalau masih ingin melihat bapakmu untuk terakhir kalinya,” jelas Bu Sari, membuat tangis Deny meledak.“Bu … Bapak meninggal, Bu …,” raung Deny yang reflek memeluk istrinya.Dina sendiri terdiam untuk beberapa saat melihat reaksi suaminya. “Innaa lillaahi wa Innaa ilaihi raaji'uun,” gumamnya nyaris tak terdengar.“Mas, istighfar, Mas …,” ucap Dina kemudian, sambil menepuk-nepuk punggung suaminya. “Yang ikhlas, ya, biar lapang jalan Bapak,” lanjut Dina, yang sedikit menenangkan pria yang masih terisak dalam pelukannya.Teringat pada sang ibu yang masih terhubung melalui sambungan telepon, lelaki itu pun berkata, “Baik, Bu. Aku akan car
Sore harinya ….Dina tertegun melihat genangan air di depan kontrakan. Tingginya menyentuh bagian bawah pintu pagar. Hujan baru berhenti beberapa menit yang lalu. Wanita bergamis hijau toska itu berharap air tidak naik lagi, seperti beberapa waktu lalu, yang justru jadi penyebab banjir karena air kiriman.Sempat tertidur setelah menidurkan putri kecilnya, Dina terbangun saat mendengar suara hujan yang turun bagai dicurahkan dari langit. Atap rumah tempat ia tinggal bukan dari genteng yang terbuat dari tanah, sehingga saat hujan turun meski gerimis kecil, ia bisa mengetahui dari dalam rumah.Istri dari Deny itu melihat anak-anak bermain air banjir. Ada yang membawa ban mobil yang besar untuk mereka naiki bergantian. Ada juga yang membawa kursi rusak untuk dinaiki rame-rame."Aku woy … woy … gantian!"Byurr ….Seorang anak menceburkan diri ke genangan air di ujung lapangan."Ganti aku!"Seorang anak lainnya hendak menaiki kursi rusak yang sudah diduduki oleh temannya. Namun, sudah asy
Dina melihat Putri telah bangun dengan badan yang basah. Pemandangan yang biasa ia temui, sebab tidak menggunakan popok bayi pada anaknya.Jika ada Deny, lelaki itu akan sigap memegang anaknya dalam kondisi seperti sekarang. Dina menghela napas teringat suaminya yang ringan tangan membantunya mengurus anak.Toilet training sudah diajarkan sedini mungkin. Namun, sejauh ini belum membuahkan hasil. Menghela napas sejenak, mengulas senyum tipis, lantas bergegas mengangkat bocah kecilnya untuk dibersihkan di kamar mandi.Pakaian yang bersih telah menempel di badan Putri. Dina mengoleskan minyak telon ke beberapa bagian badan anaknya yang terbuka, lantas kembali mengASIhi putri kecilnya yang kini sudah wangi. "Kalau masih ngantuk boleh bobok lagi ya, Nak. Tapi ini sudah pagi, mau main juga boleh," ucap Dina sambil mengASIhi Putri. Satu tangannya yang bebas, mengusap-usap kepala bocah kecil itu dengan penuh rasa sayang."Mmm ... mmm