Saat melintasi kamar tamu, samar kupingku menangkap suara yang membuat debaran jantungku berpacu lebih cepat, dan tanganku gemetar, sementara bahuku terasa lemas.
"Mami gak habis pikir sama kamu, apa yang membuatmu menyukai perempuan seperti, Naya? Janda dua kali. Sementara kamu, belum pernah menikah sama sekali."
"Mi, urusan jodoh itu biarlah Tuhan yang mengatur sebagai orang tua kita tidak bisa ikut campur."
"Pi, Dewa itu anak kita satu-satunya, wajar kalau, Mami memimikirkan masa depannya. Harusnya, Dewa bisa cari perempuan yang masih lajang, ini malah janda dua kali.
"Coba Papi pikir, pasti ada yang salah dari, Nayanya makanya sampai harus dua kali menjanda," ucap Mama Dewa terdengar emosi.
Mendengar ucapan Mama Dewa hatiku benar-benar rasa tertohok. Seandainya lidahnya adalah mata pisau tentu saja tubuh ini sudah tercabik-cabik.
"Tapi, Mi, Dewa mencintai, Naya tulus tidak peduli masa lalunya," Dewa terdengar membela.
"Halah
"Kenapa mesti bingung, ayo kita cari ayamnya?" tiba-tiba seseorang datang menganggetkan, membuat jantungku rasa mau melompat dari tempatnya, kulihat Bi Jum pun sama kagetnya denganku."Dewa, bisa gak sih gak usah ngagetin gitu?" gerutuku kesal dengan tubuh masih gemetar karena saking kagetnya."Sorry, sorry," ucap Dewa sembari merentangkan kedua telapak tangannya dan mendekat ke arahku dan Bi Jum.Akhirnya aku dan Dewa pergi ke luar ke tempat yang biasa jualan sayur keliling untuk membeli daging ayam. Namun, sayangnya hari ini yang biasa dagang keliling lewat depan rumah tidak jualan, karena sakit."Jadi gimana?" tanyaku ke Dewa setelah kembali."Ya udah, kita jogging aja yuk!""Terus rencana masaknya gimana?""Masalah itu gampang, nanti bisa beli!" jawab, Dewa santai."Tapi ....""Udah ayo!" tanpa mendengarkan ucapanku, Dewa langsung berjalan mendahuluiku.Terpaksa aku pun mengikuti langkahnya, entah
"Habis dari mana kalian?" Langkahku terhenti saat tiba-tiba seseorang bertanya dengan ketusnya padaku."Tante ...," ucapku tertahan. "Em, tadi kita habis dari jogging," jawabku gugup melihat sorot matanya yang begitu nyalang menatapku."Naya, kamu tau, 'kan Dewa anak saya satu-satunya, kamu pasti tau apa yang harusnya kamu lakukan!" ucap Tante Alana penuh penekanan."Saya hanya ingin kebahagian, Dewa. Tante mohon tolong kamu tinggalkan, Dewa! Kamu juga ingin, Dewa bahagian bukan?" Lanjut Tante Alana memohon, membuatku seketika mendongak rasanya benar-benar tidak percaya dengan permintaannyaTubuhku seketika terasa lemas mendengar permintaan mamanya, Dewa. Mata pun mulai terasa panas karena menahan tangis, apa aku salah menikah dengan, Dewa karena statusku?Dewa pun datang menghampiri kami, wajahnya terlihat sendu, dan menatap iba ke arahku."Maafin aku, Nay ... Sepertinya hubungan kita memang harus sampai di sini," ucap Dewa dengan wajah sed
Hari ini aku kembali bekerja seperti biasanya. Namun, pikiran tidak bisa konsentrasi, karena mengingat sikap mamanya, Dewa yang begitu terasa dingin terhadapku. Sejak tadi pagi sampai menjelang siang beberapa kali berkas yang kubuat salah, hingga terpaksa mengulang lagi.Setelah merasa terus-terusan salah, sejenak aku menenangkan diri bersandar di kepala kursi, dengan segelas air putih. Nampaknya butuh minuman coklat biar sedikit lebih rileks. Dengan segera aku mengambil gagang telpon dan menelpon bagian OB untuk minta di buatkan minuman coklat hangat.Tidak lama kemudian pesananku datang. "Ini coklat hangatnya, Bu," ucap salah satu OB kantor, Rina namanya."Oh iya, taruh saja di situ!" Aku menunjuk bagian ujung meja yang masih kosong.Dengan telaten Rina pun menaruh minumannya. "Terima kasih," ucapku sembari mengulas senyum.Rina pun mengangguk, lalu pamit keluar. Aku pun membalasnya dengan anggukan.Begitu minum coklat hangat, pikiran sedi
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" tegasku, dengan menahan emosi, membuat wajah gadis itu semakin terlihat ciut."Bu-bu, Na-naya." Mita tergugup memyebutkan namaku. Sementara lelaki itu diam membisu, ia tertunduk. Langkahku semakin mendekat ke arah mereka."Ki-kita gak merencanakan apa-apa kok, Bu. Mungkin, Ibu salah dengar," ucap lelaki bernama Ammar itu membela."Diam kamu!" Bentakku dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terlonjak."Aku sudah mendengar semuanya, dan kau! saya tidak menyangka kamu melakukan semua ini, aku pikir kamu sudah berubah," ucapku menunding wajah gadis yang masih berdiri tidak jauh dari Ammar."Saya bisa jelaskan semuanya, Bu. Semua ini salah paham," ucap Mita. Namun, aku tidak mempedulikannya."Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi dengan kasus tidak menyenangkan," ancamku penuh penekanan.Seketika Mita langsung memegang pergelangan tanganku memohon dan mengiba agar aku memaafkan kesalahannya.
"Bentar ya, Nis! Saya angkat telpon dulu!""Cie yang ditelpon my sweet," goda Nisa saat aku permisi akan mengangkat telpon, namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum."Assalamualaikum, iya ada apa, Wa?" tanyaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, sibuk gak?""Gak, nih baru habis meeting, dan mau makan sama, Nisa," jawabku sambil menoleh ke arah Nisa yang tidak jauh dariku."Ok, aku jemput kalian!""Em, kita ketemuan aja di tempat makan biasa," usulku."Ya udah kalau gitu, Assalamualaikum," ucap Dewa mengakhiri percakapan. Aku pun membalas salamnya dan mematikan ponsel.Aku dan Nisa pun langsung pergi menuju parkiran, lalu meluncur menuju tempat yang telah di janjikan bersama, Dewa."Mbak, emangnya gak apa-apa aku ikut? Gak ganggu?" tanya Nisa saat di dalam mobil."Apaan sih, Nis kamu itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, jadi santai aja."Mendengar jawabanku, Nisa pun tersenyum. "
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."
"Bentar ya, Nis! Saya angkat telpon dulu!""Cie yang ditelpon my sweet," goda Nisa saat aku permisi akan mengangkat telpon, namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum."Assalamualaikum, iya ada apa, Wa?" tanyaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, sibuk gak?""Gak, nih baru habis meeting, dan mau makan sama, Nisa," jawabku sambil menoleh ke arah Nisa yang tidak jauh dariku."Ok, aku jemput kalian!""Em, kita ketemuan aja di tempat makan biasa," usulku."Ya udah kalau gitu, Assalamualaikum," ucap Dewa mengakhiri percakapan. Aku pun membalas salamnya dan mematikan ponsel.Aku dan Nisa pun langsung pergi menuju parkiran, lalu meluncur menuju tempat yang telah di janjikan bersama, Dewa."Mbak, emangnya gak apa-apa aku ikut? Gak ganggu?" tanya Nisa saat di dalam mobil."Apaan sih, Nis kamu itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, jadi santai aja."Mendengar jawabanku, Nisa pun tersenyum. "
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" tegasku, dengan menahan emosi, membuat wajah gadis itu semakin terlihat ciut."Bu-bu, Na-naya." Mita tergugup memyebutkan namaku. Sementara lelaki itu diam membisu, ia tertunduk. Langkahku semakin mendekat ke arah mereka."Ki-kita gak merencanakan apa-apa kok, Bu. Mungkin, Ibu salah dengar," ucap lelaki bernama Ammar itu membela."Diam kamu!" Bentakku dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terlonjak."Aku sudah mendengar semuanya, dan kau! saya tidak menyangka kamu melakukan semua ini, aku pikir kamu sudah berubah," ucapku menunding wajah gadis yang masih berdiri tidak jauh dari Ammar."Saya bisa jelaskan semuanya, Bu. Semua ini salah paham," ucap Mita. Namun, aku tidak mempedulikannya."Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi dengan kasus tidak menyenangkan," ancamku penuh penekanan.Seketika Mita langsung memegang pergelangan tanganku memohon dan mengiba agar aku memaafkan kesalahannya.
Hari ini aku kembali bekerja seperti biasanya. Namun, pikiran tidak bisa konsentrasi, karena mengingat sikap mamanya, Dewa yang begitu terasa dingin terhadapku. Sejak tadi pagi sampai menjelang siang beberapa kali berkas yang kubuat salah, hingga terpaksa mengulang lagi.Setelah merasa terus-terusan salah, sejenak aku menenangkan diri bersandar di kepala kursi, dengan segelas air putih. Nampaknya butuh minuman coklat biar sedikit lebih rileks. Dengan segera aku mengambil gagang telpon dan menelpon bagian OB untuk minta di buatkan minuman coklat hangat.Tidak lama kemudian pesananku datang. "Ini coklat hangatnya, Bu," ucap salah satu OB kantor, Rina namanya."Oh iya, taruh saja di situ!" Aku menunjuk bagian ujung meja yang masih kosong.Dengan telaten Rina pun menaruh minumannya. "Terima kasih," ucapku sembari mengulas senyum.Rina pun mengangguk, lalu pamit keluar. Aku pun membalasnya dengan anggukan.Begitu minum coklat hangat, pikiran sedi