Bagian 32 "Sandra, aku ini sahabatmu loh, kamu tega mengusirku?" Rupanya Nia masih belum yakin dengan ucapanku barusan. "Apa wajahku terlihat bercanda? Tidak Nia, aku serius. Kamu bukan lagi sahabatku dan aku ingin agar kamu secepatnya meninggalkan rumahku ini. Ayo, tunggu apalagi?" "Mas Ilyas pasti akan memarahimu kalau dia tahu kamu mengusirku. Lihat saja, akan kuadukan semuanya pada Mas Ilyas," ancamnya, lalu mengetikkan sesuatu di ponselnya. Aku tahu, ia pasti akan mengadu kepada Mas Ilyas. "Mas Ilyas? Mas Ilyas tidak peduli padamu, Nia. Aku lah istrinya, bukan kamu," tegasku. Biarpun aku tahu bahwa kenyataannya Mas Ilyas memang mencintai Nia. "Oh ya? Kita lihat saja," ucapnya dengan sangat yakin. "Halo, Mas!" Belum sempat Nia menyampaikan maksudnya menelpon Mas Ilyas, aku sudah merampas ponselnya dan membantingnya ke lantai hingga layarnya retak seribu. "Sandra, kamu merusak ponselku! Kamu berani padaku?" Nia balik menantangku. "Kamu pikir aku takut padamu? Kamu salah
Bagian 33Plak!Sebuah tamparan dariku berhasil mendarat di pipinya."Cukup, Nia. Jangan paksa aku untuk berbuat kasar padamu!" Aku segera mengunci pintu kembali. Tidak tahan lagi mendengar setiap kata-katanya yang membuat hatiku semakin sakit.Jika aku tidak bisa meredam emosi yang bergejolak di dalam dada, aku takut akan terjadi hal buruk nantinya. Takut jika aku gelap mata dan akhirnya nekat menyakiti Nia.Tidak, aku tidak mau terpancing. Biarkanlah ia berkoar-koar sesuka hatinya. Aku tidak akan terpancing.Astagfirullah … aku menarik napas sambil mengucapkan istighfar berkali-kali agar hatiku bisa tenang kembali.Baru saja kuhempapaskan bobotku di atas sofa, tiba-tiba terdengar deru mesin mobil. Mobil Mas Ilyas berhenti di halaman depan, ia memarkirkannya di samping mobilku.Mas Ilyas turun dari dalam mobil dan langsung menghampiri Nia yang menangis sesenggukan di depan pintu. Acting lagi. Tadi Nia begitu garang menghardikku. Saat Mas Ilyas datang, ia seolah habis disakiti. Bena
Bagian 34"Sandra, bicaralah, jangan diam saja. Jika kamu keberatan, silakan meminta cerai dari Mas Ilyas. Mungkin itu jauh lebih baik bagimu. Dengan begitu, aku bisa memiliki Mas Ilyas seutuhnya dan tidak harus berbagi suami denganmu," sahut Nia sambil melipat tangan di depan dada.Plak!Aku melayangkan satu tamparan lagi di pipi Nia. Tadi di pipi kanan, sekarang di pipi kiri. Rasakan Nia! Ini belum sebanding dengan apa yang kamu lakukan."Aw, sakit …." Nia mengerang kesakitan sambil memegangi pipinya yang mulai memerah.Mungkin Nia mengira bahwa aku tidak akan berani menamparnya di depan Mas Ilyas. Bahkan jika Mas Ilyas menceraikanku sekalipun, aku tidak takut. Justru aku senang karena tidak perlu lagi repot-repot ke pengadilan agama untuk mengurus gugatan cerai.Aku sungguh merasa terhina diperlakukan seperti ini. Nia seolah menertawakanku karena sudah merasa menang dariku. Mereka berdua sudah menginjak-injak harga diriku. "Sandra, berani-beraninya kamu menamparku. Mas, lihat nih,
Bagian 35 "Mas Rian, jika kamu tidak mau menceraikanku, maka aku yang akan menggugatmu di pengadilan agama. Tunggu saja." Nia kembali bersuara. "Silakan! Pak hakim juga tidak bodoh. Pihak pengadilan tidak akan mungkin mengabulkan gugatan ceraimu jika tidak ada bukti-bukti yang kongkrit. Silakan saja, yang ada hanya akan membuang-buang waktumu saja. Lebih baik mulai sekarang, kamu mencari pekerjaan karena tidak akan ada lagi yang mau menanggung hidupmu." "Siapa bilang? Aku masih punya Mas Ilyas dan juga sahabatku Sandra," ucap Nia dengan pedenya. "Hahaha! Ilyas? kamu yakin? Dan Sandra? Sandra juga tidak akan sudi membiarkanmu tinggal di rumah ini karena kamu sudah menjadi duri dalam rumah tangganya." "Itu betul. Jangankan menampungnya, melihat wajahnya saja aku sudah muak!" sahutku. "Kamu dengan sendiri kan, Nia? Sandra, lebih kamu kamu usir wanita ini dari rumahmu. Lebih cepat lebih baik," ucap Mas Rian lagi. "Tidak, bukan Sandra yang memutuskan, tapi aku." Kali ini, Mas Ilyas a
Bagian 36Pertunjukan dimulai. Aku dan Mas Rian menyaksikannya langsung dari sini."Apa yang anda lakukan di rumah saya? Anda mau maling ya?" tanya lelaki tersebut kepada Mas Ilyas."Rumah anda? Anda salah alamat kali!" Mas Ilyas terus berusaha membuka pintu tersebut dengan anak kunci yang dimilikinya. "Anda jangan asal nuduh. Ini rumah saya dan saya bukan maling," tegas Mas Ilyas."Rumah anda? Jangan ngaku-ngaku ya, ini rumah saya. Saya punya sertifikatnya," ucap lelaki itu lagi."Anda salah kali, ini rumah saya dan saya juga punya sertifikatnya di rumah," ucap Mas Ilyas tak mau kalah."Saya sudah membeli rumah ini, tunggu sebentar, saya ambilkan sertifikatnya." Lelaki itu kemudian membuka pintu mobilnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya."Ini sertifikatnya. Rumah ini milik saya. Saya harap kalian pergi dari sini dan jangan membuat keributan di sini.""Tidak mungkin. Aku lah pemilik rumah ini. Anda pasti memalsukan sertifikat itu, iya, kan?""Sertifikat ini asli, silakan dilihat d
Bagian 37"Cukup, hentikan! Aku pusing mendengar keributan di rumah ini. Mas, cepat bawa wanita itu pergi dari rumah ini. Aku tidak sudi melihat wajahnya. Ayo, Mas," desakku kepada Mas Ilyas."Mas sudah tidak memiliki uang untuk menyewa rumah kontrakan, Sandra. Kartu ATM Mas sedang diblokir. Jujur saja pada Mas, kamu kan yang melakukan itu?" Rupanya Mas Ilyas masih penasaran soal uang di ATM-nya itu."Dan soal rumah itu. Kenapa nama kamu tertera di dalam sertifikat rumah itu? Kamu diam-diam membalik nama rumah itu menjadi atas namamu. Kamu telah menipuku, Sandra. Kenapa kamu melakukannya? Mas benar-benar kecewa padamu!" Tatapan matanya terlihat tajam, menandakan bahwa ia benar-benar marah. "Iya, kamu pantas dilaporkan ke polisi, Sandra. Karena kamu telah melakukan penipuan terhadap Mas Ilyas. Aku sendiri yang akan melaporkanmu," sahut Nia."Nggak salah tuh? Justru kalian yang pantas dilaporkan ke polisi atas tuduhan perzinahan. Kalian berdua telah melakukan perbuatan dosa besar di da
Bagian 38"Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apa kamu sudah menjadi wanita yang sempurna? Sampai sekarang, kamu juga belum hamil. Padahal usia pernikahanmu dengan Mas Rian tidak beda jauh dengan kami. Jika kamu memang wanita yang sempurna, pasti kamu sudah melahirkan anak untuk suamimu," sahutku."Itu karena Mas Rian mandul, Sandra. Makanya aku tidak sudi mempertahankan rumah tanggaku dengannya. Oke, aku jujur sekarang. Mas Rian memang tidak pernah selingkuh dan tidak pernah main tangan. Tapi Mas Rian punya kekurangan, dia Mandul! Mana ada wanita yang mau bertahan dengan lelaki mandul seperti dia?" Nia mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Mas Rian. Benar-benar tidak punya sopan santun."Kenapa diam, Mas? Benarkan, yang aku katakan? Kamu mandul!" ucap Nia lagi.
Bagian 39Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari saat aku terbangun karena dorongan ingin buang air kecil.Kulihat Mas Ilyas sudah tertidur pulas di atas sofa. Sebelumnya, tadi aku melihat Mas Ilyas sibuk dengan laptopnya. Mungkin ia sedang mengerjakan tugas kantor.Aku beranjak dengan pelan, menuju meja yang berada persis di depan Mas Ilyas. Aku ingin tahu apa yang ada di dalam laptopnya.Ternyata Mas Ilyas sedang mempersiapkan materi untuk bahan presentasinya besok. Aku mengetahuinya setelah membaca pesan yang ada di ponselnya.Bagus, aku akan melakukan sesuatu terhadap laptopnya.Kejutan besar sedang menantimu, Mas. Inilah puncak dari pembalasanku. ***"Sandra, bangun Sayang, sudah pagi." Mas Ilyas menepuk pelan pipiku, lalu membelai rambutku. "Bangun, Sayang," bisiknya lagi.Sayang? Aku bahkan muak mendengar Mas Ilyas memanggilku dengan sebutan itu."Cuci muka dulu ya, Sayang. Habis itu kita sarapan. Mas sengaja tidak membangunkanmu, soalnya Mas kasihan padamu. Kamu tidurnya p
Bagian 63"Sandra, izinkan aku menyematkan cincin ini di jari manismu, ya. Pertanda bahwa aku telah mengikat hatimu," pinta Mas Romi.Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Terharu, senang, bahagia semuanya berpadu menjadi satu."Ma, kalau cuma pegang tangan doang boleh ya? Nggak dosa kan megang tangan calon istri sendiri?" "Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!""Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!"Mas Romi meraih tanganku, lalu menyematkan cincin di jari manisku. Ia kemudian mengecupnya. Membuatku tersipu malu."Udah ya pegangan tangannya. Sekarang mari kita tentukan tanggal pernikahan kalian. Mama sudah tidak sabar pengen punya mantu!" Mamanya Mas Romi tersenyum manis padaku. Membuatku teringat kepada almarhumah mama mertua. Sifatnya tidak jauh beda dengan mamanya Mas Romi. Ah, aku jadi rindu padanya."Leb
Bagian 62"Mas Romi datang bersama keluarganya, Mbok? Pagi-pagi begini? Serius?" Aku masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan Mbok Yuli barusan."Iya, Non. Sekarang mereka sedang nungguin Non sambil menikmati teh dan juga pisang crispy buatan Mbok. Non kenapa? Kok wajahnya jadi tegang begitu? Deg-degan ya mau ketemu sama calon mertua?" Mbok Yuli masih sempat-sempatnya menggodaku."Tuh kan, pipinya bersemu merah," ledeknya."Mbok apa-apaan, sih? Biasa aja kok!" Aku memalingkan wajah agar Mbok Yuli tidak bisa lagi melihat raut wajahku. Jujur, aku deg-degan dan juga grogi."Kapan nemuin tamunya kalau kita ngobrol terus di sini? Yasudah, Non siap-siap ya. Mbok mau turun lagi ke bawah."Aku pun menganggukkan kepala dan buru-buru menutup pintu kamar.Apa Mas Romi serius dengan ucapannya semalam? Apa ia sungguh-sungguh mencintaiku? Ia bahkan membawa keluarganya untuk bertemu denganku.Ah, kenapa aku jadi salah tingkah begini sih? Nggak biasanya aku begini. Gegas aku berjalan ke kamar
Bagian 61"Sebaiknya kalian pulang saja, Mas. Beri aku waktu untuk berpikir karena aku belum bisa memutuskan sekarang."Setelah diam cukup lama, akhirnya aku angkat bicara."Nggak bisa gitu dong, Sandra. Kamu harus jawab sekarang juga. Mas sudah sangat lama menunggumu. Mas mohon, mau ya jadi istrinya Mas." Mas Rian tetap memaksa. Ia sama sekali tidak mau mendengarku."Rian, sebaiknya kita pulang. Kasih waktu untuk Sandra berpikir. Lagian, Ini sudah malam dan Sandra mau beristirahat." Mas Romi memberi saran."Kamu saja yang pulang. Aku tidak akan pulang sebelum Sandra menerima lamaranku." Mas Rian tetap bersikeras pada pendiriannya."Rian, jangan paksa Sandra. Beri waktu padanya untuk memikirkan jawabannya. Biarkan dia beristirahat malam ini sambil memikirkan siapa yang akan dipilihnya.""Tidak, aku maunya malam ini.""Memang benar-benar keras kepala ya! Kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik. Jangan salahkan jika aku berbuat kasar padamu." Mas Romi terlihat kesal melihat sikap Mas Ri
Bagian 60"Hentikan, Mas. Tolong jangan membuat keributan di sini. Jika pelanggan butik ini melihat ada keributan di sini, pasti mereka enggak akan mau berbelanja di butik ini. Aku mohon, Mas!" Aku menangkupkan kedua tangan, berharap Mas Rian mendengar permintaanku."Maafin Mas, Sandra. Mas hanya terbawa emosi. Mas sudah mencarimu ke mana-mana. Tiap hari tiada lelah untuk mencari keberadaanmu. Mas juga sudah bertanya pada Romi, dia bilang tidak mengetahui keberadaanmu. Tapi nyatanya dia bohong, bahkan dia sedang menemuimu sekarang. Benar-benar licik!" Mas Rian terlihat kecewa pada Mas Romi. Padahal ini bukanlah salah Mas Romi. Ia melakukan itu atas permintaanku."Aku memang sengaja meminta Mas Romi agar tidak memberitahu siapapun tentang keberadaanku. Aku ingin hidup tenang, Mas. Sudah terlalu banyak masalah dan ujian hidup yang harus kuhadapi. Itu sebabnya aku memilih untuk pergi jauh, aku tidak ingin diganggu oleh siapapun. Jadi tolong mengertilah!"Aku sengaja menjauh dari Mas Rian
Bagian 59Enam bulan sudah aku menetap di tempat kediamanku yang sekarang. Sekarang, hari-hariku disibukkan dengan urusan butik. Seminggu sekali aku juga menyempatkan diri mengikuti pengajian untuk memperdalam ilmu agama. Kuakui ilmu agama yang kumiliki masih sangat dangkal. Aku harus sering-sering mengikuti pengajian untuk menambah kecintaanku kepada Allah SWT, sang pemilik kehidupan.Aku tahu, di balik ujian dan cobaan hidup yang diberikan oleh Allah padaku, pasti ada hikmah di balik semua itu."Sarapan yuk, Non. Nasi gorengnya sudah Mbok hidangkan di atas meja!" Ucapan Mbok Yuli tersebut seketika membuyarkan lamunanku."Iya, Mbok. Kita sarapan sama-sama ya," ajakku sambil menyunggingkan senyum manis kepada wanita yang sudah kuanggap seperti orang tuaku tersebut. "Baik, Non, mari!" Mbok Yuli tidak lagi memanggilkan dengan sebutan Bu Sandra, kini beliau memanggilku dengan sebutan Non. Padahal aku sudah memintanya untuk memanggilku dengan menyebut namaku saja, tapi beliau tidak mau
Bagian 58Akhirnya rumah ini pun terjual. Rumah yang sudah dihuni selama empat tahun lebih. Rumah yang dulu di dalamnya terdapat kehangatan dan kasih sayang. Tapi itu dulu, sekarang semuanya telah sirna. Saatnya membuka lembaran baru dan mengubur semua kenangan pahit. "Mbok, mohon maaf ya. Sandra tidak bisa lagi mempekerjakan Mbok. Rumah ini sudah dijual dan sebentar lagi akan ditempati oleh pemilik yang baru. Maaf jika Sandra ada salah selama Mbok tunggal di sini," ucapku saat memberikan gaji terakhir kepada Mbok Yuli beserta pesangonnya. Mata si Mbok terlihat berembun, mungkin ia sedih karena tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Sebenarnya aku jauh lebih sedih dibanding Mbok Yuli. Telah kehilangan suami, sekarang bahkan rumah ini juga terpaksa kujual.Jujur saja, aku tidak menginginkan harta yang berlimpah. Keinginanku cukup sederhana. Hanya ingin hidup bahagia bersama suami. Tapi ya sudahlah! Hati akan semakin sakit jika mengingatnya terus-menerus."Mbok nggak tahu harus tingg
Bagian 57Bel berbunyi, aku pun segera membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang. Saat membuka pintu, aku terkejut karena Nia masih berada di depan rumahku. Padahal aku sudah terang-terangan mengusirnya. Kukira yang datang adalah Mas Romi, karena tadi sudah berjanji akan datang bersama calon pembeli rumah ini. Ternyata yang datang justru Mas Rian. Entah kenapa, aku sedang tidak ingin bertemu dengan Mas Rian. Aku juga tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, aku tidak ingin ditemui oleh lelaki manapun kecuali jika itu menyangkut hal penting."Ngapain kamu datang kemari, Mas?""Mas ada perlu denganmu, Sandra. Lagian sudah lama Mas tidak datang kemari. Kenapa? Sepertinya kamu tidak suka dengan kehadiran Mas?" Mas Rian malah balik bertanya padaku. "Hanya Sandra kah yang penting bagimu, Mas? sahut Nia, ia sepertinya kesal karena mantan suaminya itu mengunjungiku."Tentu! Lagian untuk apa kamu menanyakan hal itu? Kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa, jadi kamu tidak usah ikut
Bagian 56Sesampainya di tempat parkiran, aku terkejut melihat Mas Romi yang sedang berdiri di samping mobilku."Mas Romi? Ngapain kamu di sini?" tanyaku sesaat setelah menghampirinya."Nungguin kamu, jawabnya santai."Nungguin aku? Aku tidak pernah menyuruhmu untuk menungguku. Kamu tahu dari mana kalau aku sedang berada di tempat ini?" tanyaku penuh selidik. "Si Mbok yang memberitahu bahwa kamu sedang ziarah saat aku mendatangi rumahmu."Ah, aku lupa mengatakan kepada si Mbok agar jangan memberitahukan keberadaanku kepada siapapun."Sandra, kamu lupa ya? Tempo hari 'kan kamu yang menghubungiku untuk meminta bantuanku. Masih muda kok' sudah pikun," ledeknya sambil menertawakanku. Menyebalkan!Memang benar aku menghubungi Mas Romi tempo hari untuk meminta bantuannya. Pasalnya, aku akan menjual rumah yang sekarang kutempati. Aku ingin menghapuskan semua kenangan dengan Mas Ilyas. Aku berharap semoga dengan menjual rumah itu, bisa melupakan semua kenangan bersama Mas Ilyas. Aku ingin mo
Bagian 55POV Sandra Di sinilah aku sekarang. Mengunjungi makam ibu dan juga mama mertua. Ibu dan mama mertua memang dimakamkan di tempat pemakaman yang sama, makam mereka berdua pun berdampingan.Aku duduk di atas tanah, di antara makam Ibu dan mama mertua, lalu memandangi makam mereka secara bergantian.Saat menatap batu nisannya, kembali aku teringat pada wajah Ibu dan juga wajah mama mertua. Sungguh aku sangat merindukan kedua wanita yang sangat kusayangi tersebut. Tapi sayangnya, aku hanya bisa memendam rindu ini. Hanya untaian doa yang bisa kukirimkan. Semoga Ibu dan mama mertua bahagia di alam sana."Maafkan Sandra, Bu, Ma, Sandra telah gagal mempertahankan rumah tangga Sandra dengan Mas Ilyas. Sandra tidak bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Ilyas."Air mata mengalir begitu saja dari kelopak mata tanpa bisa dibendung saat mengucapkan kalimat itu. Fisikku memang kuat, tapi tidak dengan hatiku. Hatiku begitu sakit dan terluka. Sekuat tenaga mencoba untuk tetap tegar, tapi k