Aku terpaksa turun ke bawah untuk menemui dua laki-laki yang dimaksud Nira itu. Setelah sampai di lantai utama, ku buka pintu luar dan kemudian aku melihat dua laki-laki sedang berdiri di teras rumahk. "Maaf, cari siapa ya?" tanyaku dengan heran.Kemudian dua laki-laki itu secara kompak membalikkan badannya ke arahku. "Apakah benar ini rumah Ibu Ghinda Addri?" Salah satu dari mereka bertanya padaku.Aku mengangguk. "Iya benar. Saya sendiri Ghinda Addri.""Selamat siang, Bu Ghinda Addri. Kami dari debt collector pinjaman online ingin menagih hutang Bapak Adan. Kami sudah menghubungi bapak Adam tetapi tidak ada jawaban. Tidak ada itikad baik beliau untuk membayar semua hutangnya. Maka kami mendatangi alamat ini. Apa benar ini alamat Bapak Adam?"Aku mengangguk sembari tercengang. Lalu pria itu melanjutkan kalimatnya lagi. "Di aplikasi pinjaman tertera bahwa di sini merupakan alamat Bapak Adam dan beliau mencantumkan nama Ibu Ghinda sebagai walinya untuk membayar hutang.""Hah?" kataku s
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi." Aku langsung mematikan sambungan telepon ketika mendengar suara wanita itu."Nomornya mas Adam nggak aktif," batinku kesal.Aku segera naik ke atas kamar untuk beristirahat. Badanku akhir-akhir ini sangat terasa lelah sekali. Mungkin faktor dari kehamilanku yang masih sangat muda ini.Namun, ketika aku hendak merebahkan tubuh di atas kasur, teleponku berdering. Rina yang merupakan manajer ku sedang menghubungiku. Aku segera mengangkatnya. "Iya, Rin. Ada apa?" tanyaku.Di seberang telepon sana Rina menjawab, "Maaf, Bu. Saya ingin memberitahu informasi bahwa hari ini Kev Company ingin meminta untuk meeting dadakan bersama ibu, karena kita akan ada pemilihan bahan tekstil baru, Bu. Jadi perlu adanya persetujuan diantara kedua belah pihak."Aku menghela nafas lelah. "Jam berapa, Rin?"Sejak aku masuk ke rumah sakit, aku memang tidak berangkat ke kantor. Aku minta Rina yang menghandle aktivi
"Wah, selamat ya Ghinda atas kehamilan kamu," ucap Mas Ginan kepadaku. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum. Kemudian dia bertanya lagi, "Jadinya ini anak kamu yang ketiga?" tanyanya.Aku menggangguk. "Iya, Mas. Betul." Mas Ginan tahu bahwa ini anakku yang ketiga karena kemarin waktu pertama kali aku bertemu dengannya di Kev Company, ia sempat menanyakan tentang jumlah anakku. Lalu aku menjawab bahwa aku memiliki 2 anak.Tiba-tiba Mas Ginan mempertanyakan kabar Mas Adam. "Gimana kabar suami kamu? siapa namanya? kalau nggak salah Adam ya?" katanya memastikan.Ekspresi wajahku yang tadi tersenyum, kini berubah menjadi masam. Aku terdiam sejenak, memikirkan bagaimana caranya aku menjawab pertanyaan ini. Namun sepertinya Mas Ginan dapat membaca raut wajahku."Kenapa, Ghinda? Apa pertanyaanku ada yang salah?" tanyanya. Wajah Mas Ginan terlihat sungkan ketika menatapku. Mungkin ia merasa bersalah menanyakan hal tadi.Aku menelan saliva, dan berusaha mengontrol diri agar tidak keceplosan t
Aku tetap diam, membiarkan dia sujud di bawah kakiku. Ku lipatkan kedua tangan di atas dada. Aku memandangnya dengan sinis. "Bisa-bisanya kamu baru minta maaf sekarang, dan mohon-mohon setelah semua aset ku ambil alih.""Dek, mohon kasih Mas kesempatan lagi," pintanya membalas. Air matanya kini turun membasahi pipi. Sedangkan aku tetap tidak peduli.Kemudian aku bersuara lagi. "Kamu nangis? Baru sekarang nangisnya? Lap itu air mata buaya kamu. Aku enggak butuh. Aku nggak percaya lagi, Mas. Sakit banget tau nggak! Kamu nggak kamu nggak hanya selingkuhin, aku tapi keluargamu juga mengkhianati aku dan membohongiku. Ngak tahu terima kasih!""Udah, Mas! Tolong pergi dari rumahku kita! Aku akan mengurus perceraian dengan segera. Besok pagi aku mau ke kantor pengadilan agama untuk urus itu kalau kamu memang nggak sempat."Ku tambahkan lagi. "Urus saja acara persiapan pernikahan mu dengan perempuan jalang itu!" kataku lagi menambahkan."Kamu mau keluar sendiri? Atau aku paksa untuk keluar?" t
“Ghinda, kita mau ketemu sama siapa sih sebenarnya?” tanya Bira. Ia mengerutkan dahinya dari tadi. Pertanyaan itu selalu ia lontarkan padaku. Aku memang sengaja tidak memberitahu Birana bahwa kami akan bertemu dengan siapa. Karena sulit menjelaskan padanya.Setelah aku berpusing ria memikirkan bagaimana caranya untuk bertemu dengan Mas Ginan, maka aku terbersit ide untuk mengajak Bira sebagai orang yang menemaniku. Sebab aku tidak mungkin sendiri bertemu dengannya dan juga tidak mungkin ajakan dari Mas Ginan kutolak. Aku sungkan.“Udah deh jangan banyak tanya. Nanti kamu juga tahu kita ketemuan sama siapa. Aku lagi males banget ngejelasinnya. Nanti aja ya setelah ketemu, aku kasih penjelasan kenapa kita harus ketemu sama dia,” jelasku sembari fokus menyetir mobil.Birana memasang wajah kesalnya. Ia benar-benar sangat penasaran. “Ya udah deh,” katanya pasrah.Butuh waktu 20 menit perjalanan untuk kami sampai ke sebuah restoran ternama di dekat daerah rumahku tinggal. Restoran ini dipil
Aku mendadak terdiam sejenak dan tidak berani sama sekali menatap mata Mas Ginan. Karena aku merasa tersindir ketika dia mengatakan masa lalu. Aku tahu apa yang dia maksud. Dari tatapan matanya Mas Ginan sedang menyindirku. Tatapan mata itu tidak pernah berubah sejak 8 tahun lamanya, ketika pertama kali aku menolaknya untuk menjadi kekasih halalnya."Tapi namanya sudah takdir. Dia juga sudah menjadi milik orang lain. Aku bisa apa? Aku nggak bisa ngelawan takdir. Iya kan?" Lagi-lagi Mas Ginan membuatku merasa tertampar berulang kali.Aku berusaha untuk tersenyum dan menanggapinya hanya dengan menganggukkan kepala.Dan yang membuatku yakin bahwa dia benar-benar menyedihkan adalah ketika Mas Ginan melanjutkan kalimatnya lagi, "Aku udah berusaha buat ngelupain dia bertahun-tahun. Terus udah sedikit bisa mengalihkan pikiranku ke dari dia, eh tiba-tiba Tuhan mempertemukan aku lagi dengannya. Dengan keadaan yang tidak terduga sebelumnya.""Tapi apa daya. Aku enggak bisa berbuat apa-apa. Kare
Akhirnya karena dipaksa oleh Bira dan juga Mas Ginan, aku kini berada di dalam mobil Mas Ginan. Beliau mengantarkanku ke rumah. Sementara Bira bersama dengan temannya membawa mobilku ke bengkel dan ia akan kembali ke rumahku diantar oleh temannya itu. Sebab birana menginap di rumahku.Selama di perjalanan, aku dan Mas Ginan tidak banyak bicara. Mas Ginanjar hanya fokus menyetir mobil dan melihat ke depan jalan. Sementara aku merasa sungkan saat ini.Hanya 20 menit lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di depan halaman rumahku."Ini rumah kamu, Ghin?" tanya Mas Ginan memastikan. Aku menggangguk. "Iya, MasIni rumah aku.""Wah, rumahnya minimalis tapi modern ya. Selera kamu emang bagus," kata Mas Ginan memujiku."Ah biasa saja, Mas. Rumahnya masih belum ada apa-apanya kayaknya dibandingkan sama rumah Mas Ginan," balasku. Aku yakin pasti pria ini memiliki rumah yang besar daripada mikku. Karena tentu saja Mas Ginan adalah orang yang sukses. Apalagi beliau tinggal di kota sudah pasti tem
"Gila kamu ya!" kata mas Adam kepadaku. Wajahnya masih dipenuhi amarah. Tapi tiba-tiba tanpa berkata apapun mas Adam pergi begitu saja. Dia melangkahkan kaki untuk keluar gerbang rumahku. Mungkin dia takut dengan ancamanku yang akan melaporkannya ke polisi atas dugaan kekerasan karena sudah memukul Mas Ginan.Ku biarkan dia pergi begitu saja. Sementara aku langsung menolong Mas Ginan. Kulihat rahang pipi Mas Ginan merah dan pria itu tampak sedari tadi harus menahan sakit."Mas, ayo masuk dulu ke dalam rumah. Aku akan mengompresnya. Biar aku obati ya," kataku.Mas Ginan melambaikan tangannya. "Aku nggak apa-apa kok. Aku bisa sendiri nanti ngobatinnya di hotel. Bener deh." Begitu kata Mas Ginan dengan napas yang tersengal-sengal.Aku menggeleng. "Enggak, Mas. Aku harus tanggung jawab karena ini kesalahanku juga. Biar aku obatin ya, Mas. Tolong Mas mau terima sebagai permintaan maaf ku." Aku memaksa mas Ginan untuk mengobatinya di rumahku karena aku benar-benar merasa bersalah.Mas Ginan
"Sampai tadi pagi pun aku tahu bahwa keadaan Ibu masih belum stabil. Itu makanya saya masih belum berani bilang ke ibu. Saya takut kalau keadaan Ibu semakin memburuk," kata Nira lagi. Dia memberi tahu alasannya padaku mengapa ia tidak memberitahuku bahwa Xabiru mengigau serius."Oh ya sudah enggak apa-apa, Nira. Saya minta tolong ya sama kamu. Tolong panggilkan dokter pribadi untuk memeriksa Xabiru. Okay? Tunggu saya pulang. Sebentar lagi ya saya akan pulang." Begitu kataku kepada Nira. "Baik. Siap laksanakan," ucapnya.Aku mengakhiri telepon. Ternyata Birana sudah berdiri dibelakangku. Wajahnya terlihat sedih melihat air di kedua sudut mataku sudah turun. "Ra, aku gagal jadi ibu. Aku nggak tahu kalau dia sakit," kataku pilu.Birana langsung mendekatiku dan memelukku. "It's okay. Nggak papa. Kamu bukan gagal jadi ibu. Cuman Tuhan kasih kamu waktu buat sendiri dulu untuk mewaraskan diri kamu yang lagi ditimpa masalah ini.***Tidak terasa waktu ku sudah habis 10 menit. Polisi memanggil
Aku dan Birana langsung saja menuju kantor Polisi. Sesampainya di sana, benar saja mas Adam sudah duduk di depan polisi untuk dimintai keterangan."Ibu Ghida, silakan duduk disebelah Bapak Adam," kata polisi tersebut. Kemudian ia melanjutkan kalimatnya lagi. "Kami sudah mencoba menghubungi bapak Ginanjar, namun beliau sedang ada kesibukan lain. Jadi beliau menitipkan semuanya kepada ibu Ghinda."Aku membalasnya dengan anggukan kepala. "Oh iya pak terima kasih."Selama proses pemeriksaan, aku sama sekali tidak menoleh ke arah kananku tepatnya ke arah mas Adam. Aku hanya bisa mendengar suaranya."Jika Bapak tahu hasil pemeriksaan visum dari bapak Ginanjar dan juga Ibu Ghinda sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka sedang habis melakukan hubungan seksual. Maka dengan ini kami menyatakan bahwa pelaporan yang bapak buat kemarin adalah sebuah fitnah. Bapak telah menuduh tanpa bukti. Jadi kami akan mengenakan Bapak sanksi," ujar polisi tersebut kepada mas Adam.Mas Adam hanya terdiam tida
"Lho! Itu ya bukan urusan aku dong. Itu karena kamu udah jahat sama aku. Kamu udah merebut suamiku. Sekarang kamu yang harus menikmati hukuman itu. Hukuman langsung dari Tuhan untuk kamu," kataku dengan ketus.Sementara Tere terus menangis. Malah tangisannya kini semakin kencang. Ia terlihat seperti orang yang tidak waras lagi."Kak tolong maafkan aku. Aku bisa ngelakuin apa aja yang kakak suruh asalkan kakak bisa memaafkanku dan membersihkan nama baik ku di sekolah. Di tempat kerjaku," pintanya.Ia menambahkan kalimatnya lagi sebelum aku membalas ucapannya. "Aku nggak ada kerjaan lagi, Kak. Cuman itu satu-satunya harapanku. Mohon kak jangan seperti ini.""Kamu aneh ya! Apa yang bisa aku lakuin?" tanyaku dengan sewot. Aku sudah sangat risih."Kakak bisa datang ke sekolahan. Kemudian kakak temui kepala sekolah dan katakan bahwa kasus ini nggak benar. Tolong bersihkan nama baikku. Tolong, aku tidak ingin dicap buruk."Aku tertawa kencang. "Hahaha. Kok ada ya orang kayak kamu, Tere? Kamu
Aku dan Mas Ginan memasuki ruangan yang dimaksud oleh polisi wanita tersebut. Dua polisi pria juga mengawal kami.Setelah masuk ke dalam, seorang perempuan yang mengenakan jas putih mempersilakan kami untuk duduk tepat dihadapannya. Ia adalah seorang dokter yang telah memeriksa visum kami. "Bapak dan Ibu hasil visumnya bisa dibaca disini," katanya sembari memberikan beberapa lembar kertas kepada kami.Aku dan mas Ginan melihat secara bersamaan. "Bapak dan Ibu hasil visumnya aman. Tidak terjadi terjadi tanda-tanda telah melakukan hubungan seksual. Jadi kalian dinyatakan bebas tidak melakukan perzinahan," katanya.Aku dan mas Ginan bernafas lega. Akhirnya tuduhan perzinahan tidak terbukti."Kalau begitu saya minta dibuatkan surat laporan karena mas Adam yang masih berstatus suami saya sudah menuduh saya berbuat zina," kataku meminta kepada polisi pria yang sedang berdiri di sebelah kami."Apakah itu tidak masalah, Bu?" tanya salah satu dari polisi tersebut. Wajahnya tampak bingung. Kemu
Mataku tidak sengaja melihat ke arah luar. Dibalik pohon akasia yang letaknya tepat di pinggir jalan rumahku, aku melihat Mas Adam sedang berdiri di balik sana dan memerhatikan kami di dalam. Mata kami sempat bertemu beberapa detik. Tampak Mas Adam terkejut. Ia malah lari setelah itu."Oh itu dia! Malah kabur!" kataku bereaksi spontan sembari menunjuk ke arahnya yang sedang berlari.Mas Ginan dan ketiga polisi tersebut secara bersamaan menoleh ke arah yang aku tunjuk. Mereka juga sempat melihat Mas Adam berlari."Tuh lihat, Pak! Kalau memang benar kami berzinah, kenapa dia nggak ikut masuk ke sini? Malah dia yang melarikan diri," kataku ketus kepada ketiga polisi tersebut.Ketiga polisi tersebut terlihat bingung. Lalu salah satu diantaranya bersuara. "Maaf, Bu. Kami tidak tahu yang dilaporkan oleh beliau benar atau tidaknya. Tapi karena negara kita adalah negara hukum sebaiknya Bapak dan Ibu harus membuktikan bahwa kalian benar-benar tidak sedang berzina."Au tercengang. Bisa-bisanya
"Gila kamu ya!" kata mas Adam kepadaku. Wajahnya masih dipenuhi amarah. Tapi tiba-tiba tanpa berkata apapun mas Adam pergi begitu saja. Dia melangkahkan kaki untuk keluar gerbang rumahku. Mungkin dia takut dengan ancamanku yang akan melaporkannya ke polisi atas dugaan kekerasan karena sudah memukul Mas Ginan.Ku biarkan dia pergi begitu saja. Sementara aku langsung menolong Mas Ginan. Kulihat rahang pipi Mas Ginan merah dan pria itu tampak sedari tadi harus menahan sakit."Mas, ayo masuk dulu ke dalam rumah. Aku akan mengompresnya. Biar aku obati ya," kataku.Mas Ginan melambaikan tangannya. "Aku nggak apa-apa kok. Aku bisa sendiri nanti ngobatinnya di hotel. Bener deh." Begitu kata Mas Ginan dengan napas yang tersengal-sengal.Aku menggeleng. "Enggak, Mas. Aku harus tanggung jawab karena ini kesalahanku juga. Biar aku obatin ya, Mas. Tolong Mas mau terima sebagai permintaan maaf ku." Aku memaksa mas Ginan untuk mengobatinya di rumahku karena aku benar-benar merasa bersalah.Mas Ginan
Akhirnya karena dipaksa oleh Bira dan juga Mas Ginan, aku kini berada di dalam mobil Mas Ginan. Beliau mengantarkanku ke rumah. Sementara Bira bersama dengan temannya membawa mobilku ke bengkel dan ia akan kembali ke rumahku diantar oleh temannya itu. Sebab birana menginap di rumahku.Selama di perjalanan, aku dan Mas Ginan tidak banyak bicara. Mas Ginanjar hanya fokus menyetir mobil dan melihat ke depan jalan. Sementara aku merasa sungkan saat ini.Hanya 20 menit lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di depan halaman rumahku."Ini rumah kamu, Ghin?" tanya Mas Ginan memastikan. Aku menggangguk. "Iya, MasIni rumah aku.""Wah, rumahnya minimalis tapi modern ya. Selera kamu emang bagus," kata Mas Ginan memujiku."Ah biasa saja, Mas. Rumahnya masih belum ada apa-apanya kayaknya dibandingkan sama rumah Mas Ginan," balasku. Aku yakin pasti pria ini memiliki rumah yang besar daripada mikku. Karena tentu saja Mas Ginan adalah orang yang sukses. Apalagi beliau tinggal di kota sudah pasti tem
Aku mendadak terdiam sejenak dan tidak berani sama sekali menatap mata Mas Ginan. Karena aku merasa tersindir ketika dia mengatakan masa lalu. Aku tahu apa yang dia maksud. Dari tatapan matanya Mas Ginan sedang menyindirku. Tatapan mata itu tidak pernah berubah sejak 8 tahun lamanya, ketika pertama kali aku menolaknya untuk menjadi kekasih halalnya."Tapi namanya sudah takdir. Dia juga sudah menjadi milik orang lain. Aku bisa apa? Aku nggak bisa ngelawan takdir. Iya kan?" Lagi-lagi Mas Ginan membuatku merasa tertampar berulang kali.Aku berusaha untuk tersenyum dan menanggapinya hanya dengan menganggukkan kepala.Dan yang membuatku yakin bahwa dia benar-benar menyedihkan adalah ketika Mas Ginan melanjutkan kalimatnya lagi, "Aku udah berusaha buat ngelupain dia bertahun-tahun. Terus udah sedikit bisa mengalihkan pikiranku ke dari dia, eh tiba-tiba Tuhan mempertemukan aku lagi dengannya. Dengan keadaan yang tidak terduga sebelumnya.""Tapi apa daya. Aku enggak bisa berbuat apa-apa. Kare
“Ghinda, kita mau ketemu sama siapa sih sebenarnya?” tanya Bira. Ia mengerutkan dahinya dari tadi. Pertanyaan itu selalu ia lontarkan padaku. Aku memang sengaja tidak memberitahu Birana bahwa kami akan bertemu dengan siapa. Karena sulit menjelaskan padanya.Setelah aku berpusing ria memikirkan bagaimana caranya untuk bertemu dengan Mas Ginan, maka aku terbersit ide untuk mengajak Bira sebagai orang yang menemaniku. Sebab aku tidak mungkin sendiri bertemu dengannya dan juga tidak mungkin ajakan dari Mas Ginan kutolak. Aku sungkan.“Udah deh jangan banyak tanya. Nanti kamu juga tahu kita ketemuan sama siapa. Aku lagi males banget ngejelasinnya. Nanti aja ya setelah ketemu, aku kasih penjelasan kenapa kita harus ketemu sama dia,” jelasku sembari fokus menyetir mobil.Birana memasang wajah kesalnya. Ia benar-benar sangat penasaran. “Ya udah deh,” katanya pasrah.Butuh waktu 20 menit perjalanan untuk kami sampai ke sebuah restoran ternama di dekat daerah rumahku tinggal. Restoran ini dipil