Sementara dengan Sabrina dan Sesil, saat ini masih berada di mall. Mereka baru saja keluar dari gedung bioskop dan menuju restaurant jepang di dalam gedung mall itu.Keduanya memesan makanan kesukaan. Hari ini Sabrina dan Sesil memang sengaja ingin quality time berdua saja. "Mba Sabi, belum menjawab pertanyaanku tadi loh." Sesil menyindir usai menyeruput minuman berwarna orange di gelas yang berukuran tinggi."Pertanyaan yang mana, Sil?" Sabrina pura-pura tak paham."Ngapain Mba Sabi berbaik hati pada anak laki-laki tadi? Kalau saja aku yang jadi Mba Sabi, gak bakalan sudi bersikap baik-baik sama anak pelakor," protes Sesil. Gadis itu kembali terlihat kesal pada kakaknya."Sil, aku memang tak suka dengan orang tua anak tadi, tapi bukan berarti aku harus membenci anaknya. Aksa tidak tahu apa-apa. Anak itu tak berdosa," jelas Sabrina."Iya sih, tapi tetap saja aku pasti kesal." Sesil menaikan sebelah alisnya."Ngomong-ngomong, memangnya Mas Hasbi sudah miskin ya? Wajar sih, tukang bubu
Esok harinya pagi-pagi sekali Sabrina sudah melihat Sesil sibuk dengan wajan di dapur. Penasaran dengan aktivitas adiknya, Sabrina mendekat kemudian melihat Sesil masak cukup banyak."Masak buat sarapan, Sil? Kok banyak banget?" Sabrina bertanya di tengah-tengah kesibukan Sesil."Buat sarapan sih," jawab Sesil nampak antusias."Kok banyak? Kita cuma berdua loh." Sabrina mengerutkan dahinya."Kan buat Mas Jaka juga." Sesil mengedip-ngedipkan matanya. Tampak genit."Oh, memangnya Jaka sudah menelepon kamu?" Sekedar basa-basi saja Sabrina bertanya. Karena Jaka tak mengabari apa-apa padanya."Sudah kok," Jawab Sesil.Sabrina merasa terhenyak dalam sendu. Ia merasa sedih karena nyatanya Jaka memang tak ingin lagi menghubunginya walau sekedar menanyakan kabar. Ia menelan saliva begitu berat, mulai terlihat tak nyaman."Ayo, Mba. Sarapan dulu ya." Sesil sudah menyiapkan sarapan di atas meja."Oh iya, hari ini sebelum ke toko, aku akan ke kantor Mas Jaka. Aku akan membawa sarapan ini. Semalam
"Apa! Kekasih, Jaka?!" Bola mata Sabrina terbelalak."Jangan ngaco deh. Ini siapa, Sabi?" Jeni bertanya pada Sabrina karena tercengang dengan pengakuan wanita di dekat Sabrina. Sementara yang ia ketahui selama ini, anaknya sangat mencintai Sabrina bukan wanita tak dikenal itu."Saya tidak kenal, Tante. Baru saja bertemu di depan gerbang dan kami bersama-sama ke sini," jawab Sabrina seraya menatap nanar wanita itu."Tante mamanya Jaka ya? Perkenalkan, saya kekasih anak Tante. Mungkin Jaka belum cerita apa-apa sama Tante." Wanita itu menyodorkan sebelah tangan kanannya."Nama saya, Raisa."Namun sepertinya Jeni menanggapi wanita itu dengan acuh. Ia tak suka dengan cara berpakaian wanita itu yang terlihat vulgar terkesan tidak sopan. Wanita paruh baya itu malah menepis tangan Raisa.'Sialan wanita tua ini tak mengindahkan perlakuanku.' Raisa menggerutu dalam hati. Ia mengembalikan tangannya karena penolakan mamanya Jaka."Saya tidak percaya. Jaka tidak pernah mengatakan apa-apa tentang k
Jaka segera bangkit dari tempat duduknya. Ia langsung masuk ke kamar, gegas bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Langkahnya rupanya diikuti oleh Jeni di belakangnya."Jak, kamu tidak mau sarapan dulu. Bagaimana dengan makanan yang dikirim oleh wanita bernama Sesil?" Jeni sudah berdiri di dekat pintu kamar Jaka yang terbuka."Buat Mama saja. Aku sedang tidak nafsu makan. Nanti saja bisa sarapan di kantor," jawab Jaka yang masih sibuk dengan dasi dan jasnya."Jak, kamu jangan berbuat api dengan wanita mana pun di luar sana. Fokus sama tujuan hidup kamu. Mama tidak suka dengan wanita bernama Raisa tadi." Jeni menelisik."Tenang saja, Ma. Raisa bukan siapa-siapa. Nanti aku akan bawa Sesil ke rumah ini. Akan aku kenalkan sama Mama," kata Jaka."Kamu yakin kalau Sesil adalah wanita baik?" Jaka membalas tatapan mamanya. "Yakin, Ma. Sesil adalah adiknya Sabrina. Sifat dan parasnya sangat mirip dengan Sabrina," jelasnya lagi."Terserah kamu saja, Jak. Mama sudah lelah menunggu. Mama ingin
"Langcang sekali kamu datang ke kantor ini!" Jaka nampak mengerutkan bibirnya."Kan sudah aku katakan, aku kangen sama kamu, Sayang," balas wanita itu dengan manjanya bahkan sesekali mengedipkan kelopak mata pada Jaka."Tutup mulut kamu. Saya masih banyak pekerjaan. Apa yang kamu inginkan?" Jaka sudah bisa menebak keinginan wanita itu."Kamu cerdas ya, Sayang. Kamu pinter sudah bisa menebak maksud kedatanganku," balas Raisa."Aku butuh uang, Sayang," sambung Raisa dengan menampilkan wajah memelas."Apa urusannya dengan saya? Kamu pikir saya bapakmu apa!" sergah Jaka."Pergi atau saya akan berbuat yang melampaui batas," usir Jaka akhirnya. Jari telunjuknya melurus ke arah pintu keluar."Aku tidak mau pergi sebelum mendapatkan uang dari kamu, Sayang," tolak Raisa."Saya tidak sudi memberikan sepeser pun. Kamu pikir kamu siapa? Saya akan penggil security untuk mengusir kamu!" Jaka segera mengangkat gagang telepon yang terdapat di atas meja kerjanya. Namun langkahnya harus tertahan saat R
Sabrina terlihat gugup dan tegang. Ada sesuatu yang memang ia rasakan kala pandangan Jaka begitu menusuk jantungnya. Guru sekolah dasar itu segera menepisnya. Sekuat tenaga ia menghindar dari tatapan Jaka. Ia juga segera bangkit dan menghempaskan genggaman Jaka. Sabrina berdiri nampak lemah. Dadanya bergetar dahsyat. Tak biasanya."Cukup, Jak! Kalau pun aku mencintaimu, aku tak akan memintamu menikahi Sesil. Tolong jangan buat suasana jadi semakin keruh!" Sabrina berbicara dengan tegas. Ia memilih segera pergi dari ruangan Jaka sebelum suasana semakin terasa panas.Sabrina berjalan dengan langkah yang sangat cepat. Dadanya terasa berdebar lesu. Ia merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Dari sudut matanya nampak menetes bulir bening. Jiwanya terasa sesak setelah keluar dari ruangan Jaka.Sabrina sampai di tempat parkiran. Kali ini dadanya terasa semakin sesak. Ia menekan dadanya. Air matanya yang menetes bahkan sudah membasahi pipi. Ia segera menghapusnya dengan jemari tangan."Kenapa
Sabrina menghela napas cukup dalam. Baru ia ketahui kehidupan mantan suami nyatanya sangat memprihatinkan. Mulutnya menaut tak bisa berkomentar. Ia mengusap kembali rambut tebal Aksa dengan lembut."Aksa harus bersabar. Ibu yakin kalau Aksa adalah anak yang kuat. Mungkin Mama dan Papa Aksa sedang ada masalah. Mereka tak ada niat marah pada Aksa." Sebagai seorang wanita dewasa, Sabrina hanya bisa menyarankan ucapan yang baik pada anak laki-laki di dekatnya. Ia juga mengusap pipi Aksa yang kembali basah oleh air mata."Aksa takut, Bu Guru. Aksa juga sedih. Padahal dulu apa pun yang Aksa inginkan, selalu dikabulkan Mama. Tapi kini, Aksa minta makan enak atau dibelikan eskrim saja Mama malah marah-marah." Air mata Aksa tak mau berhenti mengalir."Sudah. Aksa jangan menangis. Aksa harus kuat."Sabrina berusaha menguatkan Aksa. Ia tahu Aksa adalah berlian yang diperjuangkan Hasbi sampai rela melepaskan dirinya.Anak laki-laki itu menyudahi tangisannya. Ia hanya memakan sebagian cake saja. S
Setelah mengantarkan Aksa, kendaraan roda dua milik Sabrina sudah terparkir di depan toko Sabrina's Cake. Wanita itu kembali berjibaku dengan urusannya. Menghandle tugas yang tak bisa dilakukan Sesil.Tak kenal lelah, Sabrina nampak semangat. Apalagi saat melihat pembeli yang tak henti-hentinya mengantri membuat lelah Sabrina terbayarkan.Menjelang petang stok cake telah habis terjual. Semua kariyawan bertepuk tangan bahagia. Mereka dikumpulkan Sabrina berjajar dengan rapih karena toko harus tutup lebih awal."Semakin hari kerja kalian semakin bagus. Saya bangga pada kinerja kalian," ungkap Sabrina di hadapan beberapa kariyawannya."Saya juga mengucapkan terima kasih pada, Pastry Chef. Atas kinerja yang sangat bagus dan teliti dalam membuat cake di toko ini," lanjut Sabrina mengucapkan rasa terima kasihnya pada seorang pria yang bertugas sebagai Pastry Chef yang berdiri di dekatnya. Bagi Sabrina, Pastry Chef merupakan pemeran yang paling utama dalam cita rasa setiap cake and bakery ya
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena