Mantan ASN itu tertunduk lesu. Bulir peluh masih membanjiri keningnya. Bahkan suara napas masih memburu dari dalam dadanya. Hasbi nampak kelelahan hingga ia terduduk di atas ubin tanpa alas di depan rumah bosnya—bos yang dulu pernah jadi sahabatnya."Maaf, saya terkena musibah." Hasbi beralasan sesuai fakta.Namun sepertinya bos yang pernah jadi sahabatnya itu sudah murka. "Hasbi, kamu sudah meminjam uang sepuluh juta. Lalu sekarang merusak gerobak. Sampai rugi besar karena semua dagangan habis berserakan. Kamu benar-benar membuat saya rugi, Hasbi. Balum lagi jadwal jualan kamu yang sering libur," gerutu pria bertubuh tinggi itu merutuki Hasbi."Tidak ada maksud. Namanya juga musibah," sanggah Hasbi walau tubuhnya sudah lesu."Sudahlah, Hasbi. Pulang saja. Kamu tak usah berjualan lagi."Hasbi mendongak paksa saat mendengar ucapan bosnya. "Apa maksudnya?" tanyanya."Maaf, Hasbi. Saya tidak bisa lagi bekerja sama dengan kamu," ucap pria itu lagi."Tidak, jangan bicara seperti itu. Saya
Di restaurant itu tengah diputar layar yang memperlihatkan poto-poto kebersamaan antara Sabrina dan Sesil sedari kecil. Bola mata Sabrina berbinar melihat itu. Setelah itu berkaca-kaca karena merasa terharu. Rupanya kejutan yang dimaksud Sesil adalah pemutaran memory antara dua kakak beradik yang saling menyayangi.Tak berapa lama, Sesil datang menghampiri Jaka dan Sabrina. Kedatangannya disambut haru oleh wanita berlesung pipi itu. Sabrina melebarkan tangan kemudian memeluk adiknya dengan erat."Terima kasih ya. Mba akan selalu menjaga kamu, karena kamu adalah harta berharga yang dititipkan Ibu." Sabrina berbisik tepat di dekat telinga adiknya."Aku sangat menyayangi Mba Sabi. Aku harap kebersamaan kita akan selalu terjaga selamanya," balas Sesil.Sabrina menganggukan kepala. "Tentu saja," timpalnya. Terlihat ada bulir bening yang sempat menetes di sudut matanya. Bukan bersedih, melainkan karena terharu.Melihat saudara kakak beradik yang saling menyayangi, membuat Jaka semakin dile
Sesil tampak siap apa pun yang akan menjadi keputusan Jaka.Sementara Sabrina terlihat lebih tegang dibanding adiknya. Wanita itu merasa serba salah. Antara Sesil dan Jaka, keduanya sangat berharga bagi Sabrina."Apa keputusanmu, Mas?" Sesil segera bertanya saat Jaka masih saja menggantungkan ucapannya."Aku akan menikahimu," jawab Jaka.Sesil terkejut, pun dengan Sarina. Kakak beradik itu tercengang mendengar jawaban Jaka."Kamu jangan main-main, Jak. Pernikahan adalah suatu hal yang sakral, bukan permainan." Sabrina angkat bicara. Ia meragukan keputusan Jaka."Aku tidak main-main," tegas Jaka."Mas, kamu yakin?" Sesil pun tampak meragukan Jaka."Aku yakin." Jaka berbicara dengan tegas, walau terlihat serius, tapi ada guratan ketepaksaaan dan Sabrina bisa menerkanya."Jak—" Sabrina menatap Jaka dengan lekat."Sabi, Sesil. Aku tahu pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tapi, aku tak akan membiarkan orang yang mencintaiku pergi. Aku memang belum sepenuhnya mencintai Sesil, tapi aku tu
Pandangan Jaka layu. Bola matanya memerah. Ia melihat Sabrina duduk di dekatnya. Mengusap wajahnya dengan lembut kemudian sentuhan itu menjalar ke tubuh Jaka, membuat aliran gelora hasrat pada pria itu naik dan memanas."Sabi!" desis Jaka berbisik. Wajahnya sangat dekat dengan wanita di hadapannya, hanya beberapa senti meter saja. Desiran napas wanita itu bahkan terasa panas saat melewati lubang hidung Jaka."Panggil saja aku semaumu, Sayang. Sabi pun juga boleh. Aku suka nama itu, Sayang," balas wanita itu merasa tersanjung."Bawa aku kemana pun kamu mau," sambung wanita seksi itu dengan semringah saat mendapat sambutan dari Jaka. Diangkatnya tubuh Jaka, kemudian wanita itu terlihat memapah langkah Jaka yang sempoyongan berjalan keluar barr menuju kendaraan roda empat terparkir."Mana kunci mobilmu, Sayang?" Wanita itu merogoh saku celana Jaka tanpa ragu. Dia menemukannya di saku belakang.Langkah Jaka yang sempoyongan disertai dengan pasang manik yang berwarna merah. Terlihat jelas
Tak lama, sambungan telepon itu terputus. Padahal Sabrina belum selesai bicara. Pertanyaannya bahkan belum dijawab oleh suara wanita di seberang tadi. Ia berdecak kesal."Wanita tadi bukan Tante Jeni, lalu siapa?" Di dalam kamarnya, Sabrina tak mampu memejamkan mata padahal malam sudah menjelang pagi. Rasa khawatir telah mengganggu pikirannya. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan sahabatnya.Sabrina mencoba menghubungi Jaka sekali lagi, namun harus menelan kecewa saat usahanya gagal. Tak sabar menunggu matahari muncul di ufuk timur hingga akhirnya saat pagi menjelang pun Sabrina masih tak bisa menghubingi pria itu.Tak seperti kakaknya, Sesil malah terlihat biasa saja. Ia tak terlihat mencemaskan Jaka. Bahkan saat sarapan bersama, gadis muda berambut sebahu itu sarapan dengan lahapnya dan masih memancarkan rasa bahagianya."Sil, kamu sudah menelepon Jaka?" celetuk Sabrina di sela-sela mengunyah makanan. Sekedar basa-basi saja.Namun adiknya Sabrina nampak menggelengkan kepala. "
Jaka langsung memungut pakaian miliknya yang berserakan di atas lantai. Ia langsung ke kemar mandi guna membersihkan diri yang hari ini terasa lebih kotor dari biasanya.Di dalam kamar mandi, Jaka membiarkan air yang keluar dari shower mengalir membasahi tubuhnya. Diingat-ingatnya kembali kejadian malam tadi. Sepintas ia bisa mengingatnya. Ia kemudian menghentak-hentakan kepalan tangannya pada dinding kamar mandi sebagai tanda penyesalan. Jaka ingat, semalam dia mabuk berat dan tak bisa mengendalikan dirinya. Dia juga ingat saat menikmati tubuh wanita penghibur tadi."Sialan! Rupanya wanita itu memanfaatkan kesempatan saat aku tengah mabuk," desisnya berbicara sendiri. Kemudian Jaka segera menyelesaikan aktivitasnya di kamar mandi.Setelah Jaka keluar dari kamar mandi, ia melihat wanita tadi sudah memakai pakaian seksinya. Wanita itu duduk di kursi rias sambil menyisir rambut dengan santai.'Wanita tidak tahu malu! Masih belum pergi juga dia,' gerutu Jaka dalam hati."Ngapain masih di
Sabrina membulatkan kedua matanya. "Berbeda apa?" tanyanya. Ia langsung merapihkan rambut dengan jemari tangan sebagai peralihan agar tak terlihat gugup."Seperti ada yang tengah Mba Sabi cemaskan," tebak Sesil lagi. Sepertinya tebakan Sesil benar.Namun Sabrina segera menepisnya. "Apaan sih, cemas apaan? Aku hanya memikirkan lokasi baru nanti, Sil. Cemas, ya takutnya gak seramai di sini," bantah Sabrina segera. "Jangan cemas, Mba. Rejeki kan sudah ada yang ngatur. Kalo memang rejeki kita ya gak akan kemana. Yakin ramai pengunjung." Sesil nampak berpetuah."Iya deh. Adikku memang sudah dewasa pemikirannya. Pantas Jaka jadi klepek-klepek." Sabrina mengalihkan topik dengan menggoda adiknya. Sesil hanya tersenyum, tersipu malu.Keduanya kembali dengan tugas masing-masing. Sabrina dan Sesil segera membereskan pekerjaannya di toko agar bisa segera pulang. Sedikit terlupakan tentang kecemasan pada Jaka. Sabrina mengajak Sesil untuk mampir sejenak di mall, sekedar untuk melepas kekalutan di
Sabrina menatap anak laki-laki di depannya yang tampak makan dengan lahapnya. Bagaikan tak makan satu minggu, Aksa menghabiskan beberapa porsi makanan kesukaannya. Terisis hati Sabrina karena merasa iba. "Mba, sedang apa di sini?" Sesil tiba-tiba muncul. "Aku cari Mba Sabi kemana-mana loh, tahunya ada di sini?" imbuhnya sedikit kesal."Duduk dulu, Sil." Sabrina menepuk kursi di sebelahnya. Ia meminta Sesil untuk duduk di tempat itu."Mba Sabi, bikin kesel aja deh." Sesil masih menggerutu. Ia langsung duduk di kursi sebelah Sabrina."Maaf, Sil. Aku gak bermaksud ninggalin kamu." Sabrina meminta maaf."Lagian siapa sih dia?" Sesil pun melirik sinis pada anak laki-laki yang terlihat makan dengan lahap, tanpa perduli dengan kedatangannya."Dia bekas siswaku, Sil," jawab Sabrina membuat adiknya mengernyitkan dahi."Kok dia sendirian? Gak punya orang tua ya? Mana pakaiannya lusuh begitu." Dipandangnya Aksa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sesil melihat anak di sampingnya itu seperti an
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena