"Kalian kapan datang?" Jeni menyapa anak dan menantunya."Aku baru saja datang, Ma. Mama sedang apa di sini? Sama wanita itu." Jaka kembali bertanya pada mamanya."Makan siang saja. Mama gak sengaja bertemu Raisa di sini. Gak direncanain ya makan siang bareng," jawab Jeni dengan santainya."Gabung saja yu," imbuhnya mengajak."Enggak usah, Ma. Aku dan Sabrina memang berniat pergi lagi kok. Kami pamit, Ma." Jaka menarik pelan tangan istrinya untuk segera pergi."Mas, tunggu," tahan Sabrina. Namun langkah Jaka tak bisa ditahan."Kita makan di tempat lain saja ya," tukas Jaka.Sabrina merasa ada yang aneh dengan pemandangan kali ini. Ia tak bisa membantah. Genggaman tangan Jaka cukup kuat hingga ia tak bisa kembali pada Jeni—mertuanya.Di meja itu, Raisa menjeda makannya. Ia mengusap wajahnya sendiri karena sempat tercengang."Tante, saya merasa tidak enak. Karena saya, Jaka tidak jadi makan di sini 'kan," keluh Raisa."Tidak apa-apa, Raisa. Kita 'kan tidak sengaja bertemu. Makan siang i
Raut wajah Sabrina seketika layu. Ia merasa terkena bidikan peluru yang menancap jantung."Baru juga satu minggu, Ma. Memangnya proses kehamilan bisa secepat itu?" Jaka bertanya balik pada mamanya. Meski ia tak paham dengan kehamilan, tapi ia merasa kalau mamanya terlalu cepat mempertanyakan kehamilan pada Sabrina."Iya Mama tahu. Tapi 'kan satu minggu lumayan cukup untuk melakukan pembuahan. Kalian tidak memakai alat kontrasepsi 'kan?" Tatapan Jeni terasa menusuk ulu hati Sabrina. Sabrina kembali menurunkan tatapan. Ia tak berani menjawab apa-apa selain hanya bisa diam."Iya, tapi terlalu cepat, Ma. Tolong beri kami waktu, Ma." Jaka tetap berusaha membela istrinya di depan Jeni."Berapa lama? Satu bulan, apa satu tahun? Atau sepuluh tahun?" Jeni terdengar seperti menyindir.Seketika Jaka meraih tangan Sabrina. Pasangan pengantin baru itu saling mempererat genggaman tangan guna saling menguatkan."Beri kami waktu, Ma." Jaka kembali bersuara."Sampai kapan?" Jeni kembali bertanya. "Ma
Sabrina melihat Raisa tengah menghapus air matanya sendirian. Sementara Sabrina nampak tak tega melihatnya."Mas, aku perempuan. Hanya kasihan pada Raisa. Dia pasti malu. Aku ke sana sebentar ya. Sebentar saja kok." Sabrina memasang wajah memelas pada suaminya.Jaka mana tega melarang. Akhirnya dia mengangguk tepaksa mengiyakan permintaan istrinya.Setelah mendapat izin dari sang suami, Sabrina segera melangkah menuju tempat duduk Raisa yang hanya beberapa meter saja dari tempat duduknya."Boleh saya duduk." Sabrina meminta izin pada Raisa.Wanita di depan Sabrina itu nampak mendongak mendengar suara dari Sabrina."Sabrina." Raisa segera mengeringkan air matanya dengan beberapa lembar tissue di depannya."Boleh duduk?" tanya Sabrina kembali meminta izin."Silahkan." Suara serak Raisa mengiyakan.Sabrina segera duduk setelah mendapat izin dari Raisa."Maaf kalau saya ikut campur. Saya yakin kamu tidak nyaman dengan perlakuan wanita tadi. Kami melihat dengan jelas wanita tadi telah melu
Sabrina tampak berjalan dengan langkah yang cepat. Dia menuju kendaraan roda empat milik Jaka yang sudah menunggu."Maaf sedikit lama ya, Mas." Sabrina merasa tak enak karena telah membiarkan suaminya memunggu."Tidak apa-apa, Sayang." Dengan penuh perhatian, Jaka segera memasangkan safety belt pada istrinya."Terima kasih, Yang," ucap Sabrina.Jaka mengulum senyum manis, kemudian segera melajukan kendaraan roda empatnya.Terlihat raut wajah yang berbeda. Jaka menyadari itu. Ia segera bertanya pada Sabrina yang duduk di sampingnya,"Kamu kenapa, Yang? Kok wajah kamu terlihat tegang begitu."Sabrina berusaha mengukir senyum. "Aku takut, Yang," jawabnya resah."Takut kenapa?" Dengan pandangan yang fokus ke jalan raya, Jaka bertanya lagi.Berbeda dengan Sabrina yang masih menatap suaminya. Tatapan Sabrina kali terlihat berat bercampur sendu."Kenapa?" Jaka bertanya lagi. Sebelah tangan kirinya diletakan di atas punggung tangan Sabrina."Yang, bagaimana kalau hasil tes nanti membuat kamu
"Maaf kalau Mama bertanya seperti ini lagi. Lima bulan apakah tidak cukup untuk melakukan pembuahan. Apa Sabrina belum juga memperlihatkan tanda-tanda kehamilan?" Jeni bertanya lagi dengan kalimat yang panjang. Wanita paruh baya itu tampak sendu. Nada bicaranya juga pelan. Nampak berat."Aku belum tahu, Ma. Besok kami akan cek ke Dokter ya. Siapa tahu saja Sabrina sudah hamil," balas Jaka. Ia segera meraih kedua tangan mamanya."Ma, mau 'kan bersabar lagi?" imbuhnya seraya menatap wajah mamahnya dengan tatapan tak enak."Mama akan bersabar. Tapi Mama mohon jangan terlalu lama. Kamu kan tahu, sudah lama sekali Mama menginginkan cucu," lirih Jeni."Tapi, bagaimana kalau ternyata Sabrina tak bisa memberikan anak untuk kamu. Kamu ini anak tunggal, Jaka. Siapa yang akan meneruskan perusahaan nanti. Siapa yang akan mewarisi semua aset. Siapa yang akan meneruskan perjuangan almarhum papa kamu," lanjut wanita paruh baya itu. Pasang maniknya yang sudah berkaca-kaca terlihat mulai meneteskan b
Degh!Jantung Sabrina terasa berhenti memompa. Ia terkejut tatkala mendengar perbincangan mertuanya lewat sambungan telepon. Langkahnya tertahan di tengah-tengah ruangan.Sabrina mendengar mertuanya berkeluh kesah pada seseorang lewat benda pipih yang ditempelkan pada telinganya.Sabrina segera membendung kesedihan yang tiba-tiba menghampiri. Ia merasa sedih karena masih saja tak mampu memberikan kebahagiaan pada mertuanya.Tak mau berlama-lama dalam kesedihannya, Sabrina segera menuju ruang makan. Ia akan mempersiapkan sarapan untuk suaminya.Selesai menyiapkan sarapan, Sabrina melihat senyuman pada mertuanya yang baru saja datang menghampiri. Namun senyuman itu terlihat dipaksakan."Sudah selesai ya masaknya?" Sekedar basa-basi Jeni menyapa menantunya."Sudah, Ma. Sarapan yu," balas Sabrina dengan ramah. Ia tetap berusaha tenang walau dalam hati tengah kacau.Seperti biasanya, sarapan dilakukan dengan sedikit canda tawa. Jaka yang baru saja selesai berpakaian segera bergabung. Wajah
Sore itu menantu dan mertua nampak haru. Merereka saling menguatkan satu sama lain. Dalam hati, Jeni merasa kecewa dan sendu, namun bayi tabung bagaikan harapan baru yang akan segera dihadirkan.Wanita paruh baya itu lagi-lagi kembali berharap. Ia sangat menggantungkan harapan pada niat Sabrina.Suatu hari, Sabrina nampak sibuk mengurus-urus proses pengambilan cuti. Beruntung Sabrina belum pernah ambil cuti panjang, hingga ia diberikan jatah selama tiga bulan untuk cuti. Ia segera melapor pada Jaka tentang jatah waktu tiga bulan cutinya. Sabrina tak akan menyianyiakan kesempatan. Ia akan gunakan waktu selama tiga bulan itu untuk menjalani program bayi tabung.Setelah pengurusan cuti kerja selesai, hari ini Sabrina akan ke toko kuenya. Sudah satu minggu ia tak bertemu Aksa dan Sesil. Sabrina juga rindu dengan suasana Sabrina's Cake yang selalu ramai oleh lalu lalang pengunjung yang hadir.Saat ini Sabrina datang ke Sabrina's Cake sendirian dengan menggunakan taksi online. Jaka akan men
Melalukan program bayi tabung tidaklah mudah. Sabrina dan Jaka harus melewati beberapa proses yang tidak begitu nyaman.Meski terdapat rasa tak nyaman bahkan sedikit sakit, Sabrina tak gentar. Ia tetap memperlihatkan rasa semangatnya demi membahagiakan suami dan mertua.Setelah melakukan langkah awal induksi, stimulasi, Sabrina dan Jaka juga melalukan beberapa langkah. Butuh waktu untuk melanjutkan pada langkah berikutnya. Mulai dari proses pengambilan telur, inseminasi dan masih ada beberapa proses yang harus dilewati oleh pasangan suami istri itu.***Setelah hampir enam hari Jaka dan Sabrina telah berhasil melewati langkah-langkah program bayi tabung sampai selesai.Keduanya baru saja tiba dari rumah sakit. Belum sempat duduk, Jeni tampak menghampiri."Bagaimana prosesnya? Lancar kan?" tanya Jeni. Wanita paruh baya itu nampak antusias. Setelah mendapat kabar kalau rata-rata program bayi tabung memang selalu berhasil. Jeni menaruh harapan besar akan hal itu."Alhamdulillah lancar, M
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena