Sabrina sudah duduk di kursi yang berseberangan dengan Jeni. Ia yang awalnya terlihat tenang mulai merasakan aura tak nyaman pada calon mertuanya."Ada apa, Tante? Bicara saja," ucap Sabrina kembali mempersilahkan setelah Jeni mematung dalam beberapa detik.Wanita paruh baya itu mulai membuka mulut dan hendak mengutarakan maksudnya. "Apa benar kamu ini man—""Selamat siang!"Suara bariton Jaka mengejutkan dua wanita yang tengah berbicara serius di ruangan privat Sabrina's Cake. Tak hanya itu, Jaka yang langsung masuk membuat Jeni tak bisa meneruskan kalimatnya yang menggantung."Hay kok pada bengong begitu sih," lanjut Jaka yang sudah duduk di dekat Sabrina."Kamu ngagetin, Yang." Sabrina membalas. Sementara Jaka mengulum senyum tanpa merasa bersalah telah memotong perbincangan antara Jeni dan Sabrina.Setelah mamanya keluar dari kantor, Jaka memang tak tinggal diam. Dia segera membuntuti mobil Jeni. Dugaanya benar, Jeni pergi ke Sabrina's Cake dan kembali membahas tentang masalah yan
Di kamarnya, Jeni tampak resah dan dilema. Satu sisi ia merasa yakin kalau Sabrina adalah calon menantu yang baik. Namun di sisi lain ia khawatir kalau Sabrina tak mampu memberi cucu sebagai mana berita yang beredar kuat."Ma, tolong jangan berpikir seperti itu lagi. Kita sudah bicarakan tentang ini sebelumnya. Anak adalah titipan Tuhan, apa Mama lupa kalau itu sebuah takdir?" Jaka kembali menyadarkan mamanya. Ia terduduk lesu di atas ranjang. Ibu dan anak terlihat sama-sama sendu."Maaf, Jak. Mama mengerti itu." Jeni menarik napas cukup dalam guna memperbaiki perasaannya."Pernikahan aku tinggal beberapa hari lagi, Ma. Sabrina adalah wanita impianku. Dia bukanlah wanita mandul. Lupakan tentang gosip murahan itu. Mereka bukan Tuhan yang bisa memvonis takdir manusia," lanjut Jaka yang kembali menegaskan.Jeni akhirnya diam. Ia menelan rasa kecewanya di hadapan Jaka. Bukan takut, ia hanya berusaha menghargai kebahagiaan anak tunggalnya."Ma, tolong jangan berubah. Bersikaplah sebagaiman
Tertegun Jaka memandang wajah Sabrina. Dikecupnya kening wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.Kecupan yang mendarat di kening Sabrina itu adalah kecupan yang pertama kalinya.Kali ini semua mata tertuju pada pasangan pengantin yang tengah berbahagia. Acara adat sunda pun digelar. Sabrina dan Jaka nampak bahagia bahkan Sabrina sempat meneteskan air mata haru. Ia masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Namun berkali-kali pula ia tersadar, kebahagiaan yang tengah dirasakannya sungguh nyata setelah hampir satu tahun menjanda.Usai akad nikah, malam harinya Sabrina dan Jaka melanjutkan acara resepsi pernikahan. Kali ini gedung pernikahan nampak dipenuhi oleh ribuan tamu undangan. Semuanya turut dalam kebahagiaan yang dirasakan pasangan pengantin baru. "Mba, aku akan pulang bersama Aksa ya," pamit Sesil di akhir acara. Benda bundar yang melilit pergelangan tangannya sudah menunjukan pukul sebelas malam."Kenapa harus pulang. Ikut ke hotel saja. Jaka sudah booking kamar buat kita,
Pipi Sabrina benar-benar terlihat merah merona karena tersipu malu. Ia segera beranjak dari atas ranjang menuju kamar mandi.Melihat tingkah istrinya yang malu-malu membuat Jaka mengulum senyum sambil menggelengkan kepala."Sabi, kamu lucu sekali. Kamu yang telah membuat aku lelah semalam, tapi masih saja terlihat malu." Jaka berbicara sendirian di atas ranjang.Pria itu bangkit lalu mengetuk pintu kamar mandi. "Yang, buka pintunya," pintanya."Aku mau mandi, Yang. Tunggu sebentar," sahut Sabrina dari dalam kamar mandi."Mandi bareng," pinta Jaka dari luar kamar mandi."Enggak ah. Malu," tolak Sabrina yang masih tak mau membuka pintu kamar mandi."Buka ih cepetan. Cuma mandi bareng doang kok." Jaka merengek.Hingga akhirnya pintu kamar mandi terlihat sedikit dibuka oleh Sabrina. "Apaan sih? Baru juga selesai gosok gigi udah digangguin," protesnya."Mandi bareng," pinta Jaka masih merengek.Lagi-lagi Sabrina dibuat menggelengkan kepala oleh tingkah Jaka yang kali ini bagaikan anak keci
"Mama." Sabrina langsung menghampiri mertuanya. Ia meraih tangan Jeni kemudian mencium punggung tangannya.Wajah Jeni tampak datar. Tak ada garis senyuman yang terukir."Kalian mau pergi?" tanya Jeni secara langsung."Iya, Ma." Jaka menjawab."Padahal Mama ada perlu sama, Jaka. Tapi kalau kalian sibuk, bisa lain kali saja," tutur Jeni.Sepertinya Sabrina terlihat tak enak hati. Hingga ia segera menimpali, "Tidak apa-apa, Ma. Biar aku sendiri saja yang antar Aksa kalau Mama ada perlu sama Jaka.""Sabi—" Jaka membeliak pada Sabrina."Tidak apa-apa, Yang. Sepertinya urusan Mama sangat penting. Kamu bisa pergi sama Mama. Biar aku yang akan pergi berdua dengan Aksa," potong Sabrina segera menjelaskan."Jaka, ayo. Mama ada keperluan penting sama kamu. Kita harus pergi sekarang. Mama tunggu di mobil." Masih dengan raut wajah datar, Jeni segera membalikan badan. Ia melangkah menuju kendaraan roda empatnya nampak acuh tak acuh.Sementara Jaka masih berdiri di teras rumah. Ia terlihat bingung.
Siang ini Jaka terpaksa mengendarai mobil mamanya. Ia akan pergi le kantor guna menemui orang kepercayaannya untuk mencari Raisa. Orang-orang Jaka bak detective yang dengan mudahnya selalu mendapatkan keberadaan Raisa di mana pun.Jaka terpaksa harus memenuhi perintah mamanya. Ia paham, sedari dulu mamanya tak suka dibantah atau pun ditentang.Jaka nampak memasang earphone di telinganya. Sebelum ia sampai kantor, terlebih dahulu akan menelepon Sabrina."Hallo, Sayang." Suara Sabrina menyapa dengan lembut di balik sambungan telepon."Sayang, kamu di mana? Apa sudah ketemu Dokter?" Jaka bertanya terlebih dahulu. Pandangannya tetap fokus ke depan dan kedua tangan di atas setir."Aku baru saja sampai. Aku belum bertemu Dokter. Mungkin sebentar lagi. Kamu sendiri lagi di mana, Yang?" Sabrina berbalik tanya."Aku sedang ada meeting mendadak, Sayang. Pantas saja Mama sampai nyusul ke rumah. Maaf ya jadi gak bisa antar kamu," kata Jaka merasa bersalah karena terpaksa berbohong."Gak apa-apa,
Nampaknya Jeni masih tertegun dengan penampilan Raisa dengan balutan pakaian muslimah serta hijab yang menutupi kepalanya. Wajah Raisa juga terlihat natural tanpa polesan make up."Mama ingin bicara berdua dengan Raisa," pinta Jeni. "Tidak, Ma. Aku akan temani Mama di sini," tolak Jaka. Sepertinya ia tak akan membiarkan Raisa bicara yang macam-macam pada mamanya."Jaka, Mama hanya ingin bicara berdua saja dengan Raisa. Tolong kamu mengerti." Jeni memaksa."Tapi aku harus memastikan setiap kalimat yang keluar dari mulut wanita ini, Ma. Tolong Mama mengerti perasaan aku." Jaka berbalik memaksa."Oke baiklah." Akhirnya Jeni mengalah. Ia segera duduk di sofa yang berseberangan dengan Raisa.Sementara Jaka memilih duduk di kursi yang lain, sedikit menjauhi Raisa."Kenapa Tante meminta bertemu dengan saya?" Raisa segera bertanya. Ia masih menunduk tak berani mengangkat wajah."Ada beberapa pertanyaan yang harus kamu jelaskan pada saya. Saya harap kamu jelaskan dengan jujur. Saya tidak suka
Jeni tercengang. "Kapan itu?" Ia segera bertanya untuk memastikan."Satu bulan lalu," jawab Raisa."Jadi anakmu sudah keguguran sebelum mengetahui siapa ayah biologisnya?" Jeni seakan tak yakin hingga ia bertanya sekali lagi.Raisa mengangguk. "Iya, Tante. Saya sudah tidak hamil. Kecelakaan itu bahkan menyadarkan saya bahwa kematian bisa menjemput kapan saja. Tante masih ingat kan, tempo lalu saya pernah datang ke sini untuk minta maaf pada Tante dan jaka. Tujuan saya benar-benar tulus minta maaf pada Jaka. Saya telah memerasnya. Saya ingin memperbaiki diri. Menyiapkan diri hingga ajal menjemput nanti," terangnya.Mendengar cerita Raisa, seketika dada Jeni terasa bergetar haru. Ia tertegun tak menyangka kalau wanita di depannya telah hijrah ke jalan yang lebih baik."Maafkan saya telah mengganggu waktu kamu, Raisa. Saya sempat berpikir yang buruk pada kamu," ucap Jeni terlihat seperti merasa bersalah."Tidak apa-apa, Tante. Saya tak merasa terganggu kok. Saya senang karena akhirnya se
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena