Share

Nostalgia

Penulis: Anum
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-23 06:37:24

"Selamat, ya. Anakmu lahir dengan selamat dan sempurna. Lihat ini," Tar memperlihatkan bayi merah digendongannya kepadaku.

"Aku akan mengadzaninya, jika kamu mengizinkan." Dia tersenyum, manis sekali. Aku mengangguk bahagia, "Boleh," sahutku.

"Apa kau sudah mempersiapkan nama untuknya?" Aku menggeleng.

"Bagaimana jika Aryo, Aryo Wicaksono. Agar anak ini, tumbuh menjadi orang yang bijaksana sesuai dengan namanya."

"Nama yang indah, boleh juga." Aku mengiyakan sambil membelai lembut bayi laki-laki ini.

"Apa kau akan memberitahu suamimu perihal anak ini?"

Senyum yang semula merekah di wajahku mendadak sirnah. Aku belum siap. 

Tiba-tiba tubuhku seakan ditarik, melayang menuju dimensi waktu yang lain.

"Ibu, aku ini anak haram ya? Kok aku nggak punya Bapak? Hu..hu..hu.." Aryo datang menangis sesenggukan dengan masih mengenakan seragam sekolah.

"Loh, Nak, kata siapa? Aryo punya, kok. Udah diam, ya. Jangan di dengerin. Mere

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Melayat Setelah Dilayat   Pemakaman

    POV Ira"Kamu, k-kenapa bisa ada disini?" ucap Bu Naji terbata. Aku pun menoleh pada orang yang dimaksud Bu Naji."Saya turut berduka cita atas kematian putramu, Aryo."Bu Naji hanya diam, dia kembali pada aktivitasnya meratapi kubur anaknya. Hanya saja tak sehisteris tadi. Entah karena sudah puas melontarkan uneg-unegnya atau karena malu pada Pak Hadi. Ya, suara bariton yang tadi menyapa Bu Naji adalah milik Pak Hadi.Jadi, mereka sudah saling kenal, toh.Sekitar sepuluh menit, Bu Naji berdiri dan langsung keluar pemakaman tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Cepat sekali mood Bu Naji berubah, baru beberapa menit yang lalu dia begitu jinak bak kucing anggora, sekarang, malah seperti singa kelaparan. Ketus sekali."Bisa saya minta waktu anda?""Bukannya Bapak mau menemui Bu Naji?""Itu umumnya, khususnya adalah menemui anda. Mari, jika berkenan. Ada hal penting yang akan saya sampaikan."Aku mengekor Pak Hadi me

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-23
  • Melayat Setelah Dilayat   Pelarian

    Indahnya matahari pagi. Jika dulu aku sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah mengagumi keindahan alam semesta ini, tiga hari ini aku begitu bebas mengaguminya. Pagi saat matahari terbit, petang saat matahari terbenam, atau bahkan siang hari saat matahari tengah bersemangat mengeluarkan aura panasnya.Ya, semenjak kejadian di angkringan tersebut, aku tidak diperbolehkan memasuki rumah, bahkan desaku oleh Bu Naji. Dia mengajakku berlibur di hotel ini, hotel yang indah di tepi pantai. Hanya dengan membuka tirai jendela, akan membuatku terkagum-kagum akan indahnya alam ciptaan Tuhan ini.Liburan atau persembunyian lebih tepatnya. Karena selama di sini, Bu Naji melarang keras aku untuk berbicara dengan siapapun. Termasuk dengan petugas hotel, bahaya, bisa saja mereka adalah bagian dari rencana Pak Hadi katanya. Aku benar-benar penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Bu Naji selalu mengelak setiap ku tanya perihal masalah ini."Sampai kapan kita ada di sini,

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-23
  • Melayat Setelah Dilayat   Terkuak

    "Saat itu, kamu masih belum bisa berjalan. Saat Kang War, sepupuku datang dari Kota dengan membawa banyak oleh-oleh. Ibumu yang tengah mengajakmu bermain di rumah ibu, juga kebagian oleh-oleh. Dengan tangan mungilmu, kamu mengambil permen berbentuk hati yang disodorkan Kang War dalam keadaan terbuka dan langsung melahapnya. Tiga jam setelah itu, ibu dan bapakmu terlihat kalang kabut, karena kamu menangis tanpa henti sampai beberapa jam. Mereka membawamu ke puskesmas di kota dan langsung di rujuk ke rumah sakit besar. Diduga, kamu keracunan. Dan yang membuat kami terkejut, dokter menyatakan kamu positif mengonsumsi narkoba.""Hah? Bagaimana mungkin, Bu?""Setelah polisi melakukan penyelidikan, ternyata permen yang kamu konsumsi itu mengandung narkoba. Bapakmu marah besar pada Kang War saat itu. Tapi Kang War berkata yang sejujur-jujurnya, bahwa dia sendiri tidak tahu. Dari situ, polisi kemudian melakukan razia di beberapa tempat untuk mengambil sampel permen yang dicuri

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-23
  • Melayat Setelah Dilayat   Mimpi Buruk

    "Aaaaakh....!"Aku langsung terduduk, bangun dari tidurku. Jantungku rasanya melompat-lompat, dag-dig-dug tak beraturan."Ya Allah, hanya mimpi ternyata," gumamku.Kenapa aku mimpi seperti itu, ya. qBapak datang dengan keadaan yang, ah, sudahlah. Mimpi buruk tidak boleh diingat-ingat.Aku mengulurkan tangan hendak mengambil minum yang sudah kusiapkan diatas nakas, meneguknya sampai tandas tak bersisa. Lantas, membaringkan kembali tubuhku di samping Bu Naji. Mata ini sudah kupaksa memejam, tapi otakku tak mau, dia terus memutar kejadian dalam mimpi itu, dimana bapak, jatuh tersungkur di depan pintu dengan bersimbah darah, mengenaskan. Meski sudah ku sugesti bahwa mimpi hanyalah bunga tidur, tetap saja ada sisi lain otakku yang bertanya, Pertanda apa itu?"Salat dulu, Ra. Ayo ke belakang barengan." Ku rasakan wajahku ditepuk pelan, memaksaku untuk membuka mata."Hoaaamm, udah subuh ya," tuturku kemudian. Kami pun beranjak ke belakang hen

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-23
  • Melayat Setelah Dilayat   Sales

    Matanya melotot melihat ke arah Bu Naji. Penasaran, aku pun berbalik menghadap ke belakang.Tidak ada yang aneh, hanya saja penampilan Bu Naji agak lucu, seperti toko emas berjalan. Kalung dengan berbagai model menjuntai sampai ulu hatinya, gelang berjejer hingga siku yang dipasang di luar baju lengan panjangnya dan kulihat, jari-jarinya sampai tidak bisa dirapatkan karena terganjal beberapa cincin di setiap selanya."Ada yang bisa saya bantu, Nak?" tuturnya pada sales tersebut setelah mengambil posisi di sampingku."T-tidak, Bu. Saya hanya perlu data diri Mbak Ira ini sebelum pengajuan investasi dan tanda jadi kerja samanya."Bu Naji tersenyum, tapi justru sales tersebut malah gelagapan seperti tertangkap basah melakukan kesalahan."Kerja sama? Boleh saya lihat?""E-eh, begini, em, sepertinya ini tidak ada hubungannya dengan Ibu, jadi ibu tidak berhak melihatnya," tolak sales tersebut dengan keringat bercucuran."Lantas, apa hu

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-23
  • Melayat Setelah Dilayat   Potret Bangunan

    Aku ingat betul, potret bangunan dalam kertas itu sama persis seperti foto yang bapak simpan di album usangnya. Dia selalu bercerita petualangan-petualangan masa kecilnya setiap kali mengenang bangunan yang diakuinya sebagai rumah tempat kelahirannya."Loh! Iya, Mbak. Saya lupa, tadi sampai sini bingung mau ngapain. Akhirnya ngadem sebentar sambil ngingat-ingat," cetus bapak tersebut sambil cengengesan.Dia membuka lipatan kertas di tangannya dan mengambil kartu berwarna biru dari dalamnya."Ini," ujarnya sambil mengangsurkan KTP kepadaku.Entah, rasanya bibirku kelu untuk sekadar bertanya perihal potret bangunan itu. Kubaca sekilas tulisan di KTP dan mencocokkan dengan data yang diisi beliau tadi. Seratus persen data ini sama. Tapi seratus persen juga aku yakin data ini bukan milik bapak tua di hadapanku. Jika menurut data, bapak ini baru berumur dua puluh delapan tahun, gak mungkin kan?.Aku segera berlalu setelah mengucap terima kasih.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-23
  • Melayat Setelah Dilayat   Jati Diri

    "Ya, itu foto bapaknya bapakmu. Sekilas mirip sih, sama yang di ponselmu. Kalau kamu punya firasat, mungkin benar. Saya juga gak pernah tahu wajah aslinya. Emang kamu pernah ketemu?"Meluncurlah cerita hari kemaren dari mulutku dalam sekali tarikan napas.Bu Naji memberi usulan untuk pergi ke alamat yang tertera dalam KTP bernama Rendi itu. Aku mengiyakan.Rumah mewah bercat putih ini tampak singup. Seperti tak ada orang di dalamnya.Sepuluh menit kami menunggu setelah menekan bel, barulah muncul wanita paruh baya dari balik pintu."Cari siapa?" ketusnya."Pak Rendi," jawab Bu Naji tak kalah ketus.Deru mobil memasuki halaman menghentikan percakapan kami. Sosok pria tampan dengan wajah lesu keluar mendekat ke arah kami."Gak ketemu, Ma. Aku udah muter-muter," tuturnya menambah kesan putus asa dalam wajah berkeringat itu.Wanita yang beberapa saat lalu berujar ketus pada kami kini malah meneteskan air mata dan men

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-23
  • Melayat Setelah Dilayat   Masa Lalu

    "Orang tua dari pangeran hayalanmu yang juga adalah orang tuaku."Kulihat Bu Naji begitu terkejut mendengarnya. "Apa maksudmu? Dia adalah anak tunggal, kau pikir aku tak tahu?" sangkal Bu Naji setelahnya.Aku semakin tak mengerti. Yang jelas, firasatku ternyata salah, Pak Hasan adalah orang tua dari Pak Hadi, yang berarti jelas-jelas bukan kakekku."Ya, memang anak tunggal dari ibunya, tapi dari ibuku? Hh, tak tahu saja kau alasan Tar pergi dari rumah tanpa ada niatan pulang ke kampung halamannya.""Waktu itu ibuku sengaja mendatangi rumah madunya karena selama sebulan lamanya suaminya yang tak lain adalah pak tua ini, tak pernah pulang ke rumahnya. Padahal saat itu adikku dalam keadaan sakit. Terbongkarlah semua yang disembunyikan bapak. Awalnya madu ibu yang tak lain adalah Nenekmu, tak menerima, tapi akhirnya luluh juga demi anak mereka, bapakmu. Sampai menjelang madu ibu meninggal, dia membeberkan rahasia yang selama ini ditutup rapat kepada anak sema

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-23

Bab terbaru

  • Melayat Setelah Dilayat   Informasi

    "Tolong cari informasi mengenai orang ini. Untung-untung bisa tahu detail masa lalunya sebelum menikah," ujar Cahyo pada lelaki paruh baya di hadapannya.Lelaki tersebut tersenyum seraya membaca lembar kertas yang baru saja ia pungut. "Kualitas tergantung harga," jawabnya tersenyum miring. Melihat dari data pribadi ini, sepertinya agak rumit karena yang bersangkutan sedang dalam masa tahanan.Rendi menyuap siomai yang baru saja diantar oleh pramusaji. Warung tempat mereka janjian dengan penjual es cincau memang cocok. Meski ramai pengunjung, tetapi setiap meja satu dengan yang lain ada pembatasnya. Memungkinkan untuk berbicara hal yang bersifat privasi tanpa khawatir didengar oleh pengunjung lain."Baik. Berapapun, asal saya puas dengan kinerja Anda," putus Cahyo akhirnya. Sarto, penjual es cincau yang mengaku sebagai inteligen itu tersenyum puas. "Bisa diatur," ujarnya jumawa.Pagi itu, Cahyo sengaja mengajak adiknya menemui penjual es cincau di depan kant

  • Melayat Setelah Dilayat   Diruwat

    Rumah terlihat sepi saat Rendi mengetuk pintunya. Heran, itulah yang dirasa. "Tadi saat di telepon terdengar heboh sekali, tapi sekarang kok sepi banget. Apa sudah tidur semua?" pikirnya. Rendi putuskan untuk lewat pintu belakang karena tak membawa kunci cadangan.Dengan mengendap, lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi ayah tersebut menyusuri rumahnya. Mengintip satu-satu ruangan untuk menemukan keberadaan mama dan kakak lelakinya."Ren ...." Rendi berjingkat saat tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Ternyata kakaknya. Dua tangan saudaranya itu mengisyaratkan sesuatu yang berlainan. Satu tertempel di bibir, dan satunya melambai pada dirinya."Mama udah tidur," tutur Cahyo, "pakai penenang," lanjutnya. Terlihat lawan bicaranya mendelik."Aman, kok. Dosisnya sesuai kebutuhan," lanjutnya lagi. "Tapi kan nggak bisa sembarangan gitu, kasih obat penenang. Apalagi mama udah nggak muda," protes Rendi. Kesal saja, hanya karena marah-marah langsung dikas

  • Melayat Setelah Dilayat   Mama

    "Yah, ini kayaknya Dedeknya udah mau keluar deh. Kontraksinya udah sering banget." Ira melapor saat Rendi baru memasuki kamar mereka."Mamah masih kuat? Ayah salat dulu sebentar, ya.""Ren, sini." Cahyo memanggil Rendi dari dalam kamarnya saat Rendi menuju dapur. "Kenapa, Mas?""Lihat!" Dina menyodorkan sebuah album pada adik iparnya. Belum sempat membukanya, Rendi mengembalikan lagi. "Kapan-kapan aja, Mbak. Itu, aku mau bawa Ira ke bidan sekarang. Udah sering mulesnya.""Loh? Tadi nggak ada kontraksi sama sekali, kok udah mau berangkat aja," tanya Dina bingung. Namun yang ditanya sudah terbirit ke dapur."Nda, Syila mau bobo." Kaki yang semula hendak menengok Ira, kini berbalik lagi karena putri semata wayangnya memanggil."Nanti habis magrib aja tidurnya, Sayang. Kalau mau magrib gak boleh tidur," jelasnya. "Dingin." Dina mengernyit tak mengerti, pasalnya dirinya merasa gerah. "Ayo, Nda! Kasih selimut." Syila menarik bundanya ke ranjang, a

  • Melayat Setelah Dilayat   Penjual Es

    Pelataran rumah bidan Roudho, bidan terdekat dari rumah Rendi sesak dengan beberapa kendaraan roda dua dan empat. Sudah biasa, saat pagi dan malam hari memang seperti ini. Makanya Ira jarang periksa di sini, terlalu lama antre. Bidan ini memang terkenal dengan keramahan dan kemanjurannya. Banyak yang jodoh, kalau kata orang-orang."Bu, perut istri saya sudah mulas dari sebelum subuh tadi. Sepertinya mau melahirkan. Apa bisa didahulukan?" tutur Rendi pada asisten bidan yang bertugas melakukan tensi darah dan pendaftaran."Boleh saya lihat buku KIA-nya?" Rendi mengangsurkan buku berwarna merah muda. Kasihan sekali melihat wajah istrinya yang sudah memucat. Sedari tadi tangannya tak berhenti mengelus perut buncitnya. Tak tega jika meninggalkannya mengantre sendiri, jadi dia mengusahakan istrinya ditangani dulu, atau setidaknya berada dalam ruang bersalin agar ada yang memantau. Lepas itu, dia akan mencari sarapan."Sebentar, ya." Perawat itu masuk ke r

  • Melayat Setelah Dilayat   Mulas

    Pagi hari di rumah Rendi seperti biasa, semua orang sibuk menyiapkan aktifitas pagi mereka. Ira yang sudah beres menjemur baju yang dicuci Dina, kaget saat melihat meja makan masih kosong melompong. "Syila lihat Oma?" tanyanya pada balita yang bermain seorang diri di depan kamar. "Oma kan masak kalau pagi." Pertanyaan konyol. Ira menepuk jidat, menertawakan dirinya sendiri. Dia segera berlalu ke dapur."Ini nanti sopnya mau ditumis atau dikuah, Ma?" Mamanya tidak mengerjakan apapun, hanya diam menatap ke luar jendela. Tak ada jawaban. Ira mendekat pada mama mertuanya. Sudah jam enam kurang, namun sarapan belum matang separuhnya. Akhirnya Ira putuskan untuk mengambil alih mengolahnya."Ma, Mama sakit? Kalau masih pening, istirahat aja dulu. Biar Ira yang masak," ujar Ira sambil memotong wortel. Masih di posisi yang sama, Rumi--mama Rendi tak menyahut. Ira mengembuskan napas berat, beberapa hari ini mama mertuanya memang lebih sering melamun. Pekerjaan ru

  • Melayat Setelah Dilayat   Klinik

    Siang menjelang sore saat Rendi, Bu Naji dan Pak Hadi mengadakan pertemuan di salah satu kafe yang terletak di pinggiran kota. Bu Naji sangat tertarik dengan cerita Rendi tentang tamu yang menginap di rumahnya. Sementara Rendi pun demikian, ingin tahu bagaimana masa lalu mereka."Jadi malam itu, Bi Naji merasa ada orang di rumah Bu RT?" tanya Rendi memastikan dirinya tak salah tangkap. Bu Naji mengangguk. "Tapi saya nggak tau pasti juga, karena sehari itu ada di rumah kamu, bersih-bersih sama Bu Nia.""Anehnya, kompor di Rumah Bu RT seperti habis dipakai gitu, kita ngecek besoknya sih, saat saya sudah pulang," sambung Pak Hadi. Jiwa detektif Rendi meronta-ronta.Kali ini Rendi menceritakan detail kejadian malam hari saat mereka menginap di rumah Rendi."Sebentar. Album, kamu bilang? Mereka cari album?""Dari yang saya dengar begitu, entah juga kalau ternyata kata itu hanya penyebutan untuk hal lain yang disamarkan." Bu Naji diam. Te

  • Melayat Setelah Dilayat   Dua Masalah

    "Apakah Tante atau anak Tante bisa menjelaskan, mengapa perhiasan Mama saya bisa berada dalam koper ini? Nggak mungkin salah ambil kan, secara ini lebih dari satu, lho." Mama Rendi seperti kehabisan oksigen, napasnya terasa sesak sekali. Tak percaya dengan apa yang ia lihat, dia memilih menutup mata berharap semua hanya mimpi."Astaga, Ibu! Jadi ini semua milik Tante ini? Kok ibu masukin koper, kan bukan milik Ibu. Wah, jangan-jangan penyakit pikun Ibu kambuh lagi ini," ucap Desi. Meski lancar, tetap saja masih terlihat gugup."Oh, jadi udah pikun, ya. Jangan bilang, kabur sampai bisa nginep di sini ini juga pikun loh, kan lucu banget kalau sampai setiap tindak pidananya dibilang karena pikun." Desi gelagapan, wajahnya nampak berpikir keras."Tak ingatin, jangan lupa pakai seragam ini sebelum masuk mes ya, nanti didenda loh kalau sampai pikun nggak dipake," tutur Rendi sambil melempar setelan, yang terdapat nomor di bagian belakangnya."Jelaskan maksud semu

  • Melayat Setelah Dilayat   Maling

    Wanita yang ditatap Ira malah cengengesan. Meski sudah bertahun-tahun tak bertemu, tapi Ira masih ingat betul siapa wanita ini. "Iya, Mbak. Aku lapar. Kata Ibu suruh ambil di dapur karena Mbak udah datang." Ah, bukan itu jawaban yang ingin Ira dengar."Enggak gitu, kamu kok bisa ada di rumah ini?"Gadis berambut sebahu itu mengendikkan bahu. "Takdir. Aku cuma ikut Ibu ke rumah sahabatnya, kok," jawabnya sambil berlalu setelah mengambil seporsi makanan."Sahabat?" gumam Ira lirih. Kenapa semua orang tua punya sahabat sih? Apakah zaman dahulu itu setiap orang wajib memiliki sahabat? "Tunggu! Kalau dia ke sini sama ibunya, berarti ....""Mah, kok lama?" Rendi melongok dari pintu dapur. Memastikan, istrinya baik-baik saja.Segera Ira menggiring Rendi ke kamar. Ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan."Ayah tau, siapa tamu yang datang?" ucap Ira setelah mengunci pintu kamar. Rendi menepuk jidatnya. "Kan udah tak bilangin berapa kali, Ayah

  • Melayat Setelah Dilayat   Ngidam

    Langit sudah menguning saat Bu Naji pulang dari rumah Ira. Pikiran yang sedikit kacau membuatnya seperti melayang, berjalan ke manapun kakinya mengarah. Sedikit tergesa dia menuju rumahnya karena mendekati waktu magrib seperti ini, desanya akan semakin sepi.Ceklek! Lampu teras rumah Bu Naji menyala saat kakinya baru saja melepas sandal. Dia sampai berjingkat saking kagetnya. Refleks pandangannya menoleh ke arah dua bangunan di samping rumahnya, klinik kosong dan rumah Pak RT."Hah?" Sekilas nampak seperti bayangan seseorang dalam rumah Pak RT. Tiba-tiba saja angin berembus, membuat Bu Naji semakin merinding. Dia segera memasuki rumah karena azan magrib berkumandang. Usai salat, hati dan pikirannya belum tenang. Debar jantungnya masih belum bisa ia netralkan. Meski sudah diminimalisir dengan membaca Al-Qur'an, tetap saja rasa was-was itu ada."Iya, Bu. Ada apa?" Suara dari sambungan telepon Bu Naji. Dia menelepon suaminya demi me

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status