“Ris, Mama boleh pinjam uang? Sejuta saja. Buat bayar cicilan motor Indy.”
“Lho, Ma? Bukannya bulan lalu juga pinjam sejuta dan belum dikembalikan?” Alisku sampai bertaut. Bisa-bisanya Mama pinjam uang terus menerus tanpa mikir aku kerja banting tulang tiap hari di rumah sakit itu rasanya seperti mau mati!
“Ya, gimana lagi, Ris? Mama kan udah nggak kerja. Indy masih sekolah. Minta sama Rauf, bilangnya selalu nggak ada uang.”
Aku menarik napas dalam. Menenangkan diri. Mencoba menghilangkan kesal. Enak sekali mereka. Benar-benar keterlaluan! Setelah Mas Rauf jarang memberi nafkah dengan alasan usaha bengkelnya sepi, sekarang malah mama mertua yang kerap keluar masuk mal bersama anak bungsunya yang centil dan gemar TikTok-an itu kini mulai melunjak dan minta uang terus menerus. Kemarin pinjam buat nyicil motor, sekarang mau pinjam lagi padahal belum juga dikembalikan. Jadi, aku ini apa? Sapi perah?
“Ma, Risa baru nikah sama Mas Rauf belum genap setahun. Tapi, kok begini terus, ya?” Aku mulai memberanikan diri untuk mengeluh. Gajiku sebagai perawat di rumah sakit swasta benar-benar tidak cukup kalau harus menopang kebutuhan keluarga ini tanpa ulur tangan dari Mas Rauf sebagai kepala keluarga. Bukan, bukan tidak ikhlas membantu suami. Namun, lama kelamaan kok aku malah dijadikan objek buat mereka minta uang? Memangnya aku pabrik duit?!
“Maksudmu apa, Ris? Kalau kamu memang tidak mau ngasih, ya sudah!” Mama melotot. Kami yang sore ini awalnya ingin masak makan malam bersama, malah jadi bersitegang seperti ini.
“Kamu nggak hitung ya, Ris? Tinggal di rumah ini sudah berapa biaya?”
Kupingku langsung panas. Oh, ternyata dia mau hitung-hitungan, ya? Jadi, selama 10 bulan kami tinggal di sini, tak dihitungnya kah, berapa uangku yang sudah keluar untuk bayar listrik, beras, dan gas?
“Uang bayar listrik, beras, dan gas? Mama tidak hitung?”
“Mama nggak nyangka ternyata sifat aslimu seperti ini, Risa! Mama kira kamu adalah pacar Rauf yang paling baik dan tulus. Ternyata salah besar! Saat kalian pacaran, kamu tak sungkan buat mengeluarkan uang untuk keluarga ini. Namun, lihat sekarang bagaimana tingkahmu. Belum punya anak saja sudah pelitnya bukan main. Pantas kamu nggak dikasih hamil-hamil, Ris!”
Omongan Mama bukan main sadis. Wanita 55 tahun yang memutuskan untuk berhenti berjualan di kantin SD dengan alasan mudah capek ini (kuduga, ini cuma alasan! Dia tahu bahwa aku dan Mas Rauf bakal memberinya nafkah sehingga enggan bekerja lagi), sangat membuat harga diriku rasanya terinjak-injak.
Sejauh ini Mama yang sudah janda sejak Indy berusia 3 tahun, memang tak pernah mengungkit mengapa aku belum hamil atau mempermasalahkan tinggal di rumah ini. Ya, sudah pasti sebabnya karena kerap kuberi uang. Pas sekali saja kutolak, ternyata sikapnya langsung berubah begini! Dia pikir, aku tidak muak dengan tingkahnya? Tingkah anak sulungnya?
Mas Rauf memang banyak berkorban untukku dulu. Empat tahun kami berpacaran, tepatnya saat lulus SMA. Dia rela bekerja dan akhirnya membuka bengkel motor kecil-kecilan, sementara kuliah perawatku beliau yang bantu membayarkan. Almarhum Bapak waktu itu tengah stroke, sementara ibuku tak begitu dapat diandalkan karena sudah menikah lagi dan membangun rumah tangga bersama pria lain. Jadi, untuk sekadar berkuliah, aku harus berjualan apa saja di kampus dan banyak dibantu dengan hasil keringan Mas Rauf (tanpa sepengetahuan mamanya).
Setelah lulus, aku langsung bekerja dan menikah dengan Mas Rauf. Suamiku yang dulunya royal dan kerap memberikan uang (kemudian uang itu lah yang biasanya kupakai untuk kembali mentraktir Mama/Indy), sejak menikah malah jarang memberi nafkah. Alasannya selalu ada. Bengkel sedang sepi, banyak yang ngutang, atau bahkan merugi. Padahal, kunilai bengkelnya malah semakin ramai.
Namun, aku hanya bisa diam. Terus memberikan keluarga ini uang dengan berbagai macam kebutuhan. Bayar listrik, beli beras, gas, minyak goreng. Belum lagi kalau Indy minta uang jajan dan beli bensin motor. Sekarang malah sudah dua kali berturut-turut minjam satu juta untuk bayar cicilan motor. Terus, menurut mereka, aku tidak perlua uang sama sekali?
“Aku juga nggak nyangka sikap Mama ternyata seperti itu! Dulu, saat uangku lancar Mama terima, sikap dan mulut kalian manis. Giliran baru sekali kutolak, Mama langsung mengeluarkan caci maki. Apa aku ini sapi perah untuk kalian?”
“Lancang kamu, Ris!” Mama sudah mengangkat tangannya. Dia hendak memukul wajahku.
“Pukul saja, Ma! Pukul!” Aku setengah berteriak. Menyodorkan pipi ke arah Mama, tetapi wanita itu malah menurunkan tangannya.
“Hei, ada apa ini? Kenapa suara ribut-ribut dari depan sudah kedengaran?” Mas Rauf tiba-tiba datang dari arah depan sana. Aku sontak menoleh pada pria yang mengenakan kaus warna hitam dan celana pendek, serta tangan yang hitam-hitam bekas lumuran oli.
“Mas, aku rasanya sudah capek! Aku nggak sanggup lagi! Uangku tiap bulan langsung amblas untuk keluarga ini sampai-sampai buat beli bedak pun aku tidak bisa!” Aku meluapkan emosiku pada Mas Rauf. Lelaki berambut lurus yang sudah mulai agak panjang, dengan rahang tegas dan warna kulit kecoklatan akibat sering berjemur tersebut, seketika berubah mukanya. Seperti kaget mendengar ucapanku.
“Ada apa ini?”
“Mama cuma mau pinjam sejuta dari Risa! Tapi mulutnya nyerocos panjang lebar seperti Mama ini pengemis!” Mama membanting pisau ke lantai dengan keras. Kemudian berlalu pergi meninggalkan kami berdua yang berdiri mematung di depan meja kompor.
“Ris ....” Mas Rauf mulai mendekat. Tubuhnya yang bau bensin campuran oli tersebut semakin bergerak maju ke arahku.
“Apalagi, Mas?” Aku menatapnya dengan raut kesal. Dia ingin marah? Silakan saja!
“Kamu ingat, kan, siapa yang membiayaimu hingga lulus diploma tiga keperawatan? Kamu lupa?”
Ucapan Mas Rauf sungguh menohok. Tak kusangka, ternyata akhirnya dia pun akan mengungkit hal ini.
“Jadi?” Nadaku makin tinggi. Aku Risa. Bukan perempuan lemah yang jika dihardik hanya iya-iya saja.
“Aku Cuma tanya, apa kamu lupa?” Mas Rauf menekan bicaranya. Lelaki bertubuh tinggi dengan lengan kekar dan dada yang bidang itu, menatapku dengan sangat tajam. Tak biasanya dia bersikap seperti ini padaku.
“Aku tidak lupa! Lantas apa? Kamu minta aku untuk ganti rugi?” Aku berkacak pinggang dan semakin maju ke arahnya. Kudorong dadanya hingga Mas Rauf termundur satu langkah ke belakang. Lelaki itu lantas menyeringai.
“Menurutmu?”
“Kalau begitu, ganti rugi juga keperawananku yang sudah kamu nodai sejak aku duduk di semester tiga dulu! Kamu yang suruh aku minum pil KB sejak kuliah! Dan lihat sekarang hasilnya apa! Aku tidak kunjung hamil padahal sudah tidak minum pil lagi semenjak kita menikah!” Kupukul dada Mas Rauf. Lelaki itu hanya diam sembari menatapku penuh benci.
“Kamu tidak beri aku uang selama kita menikah dengan banyak alasan, apa aku marah? Tidak, Mas! Aku Cuma membela diri dari injakan mamamu saja, sikapmu sekarang malah seperti ini! Apa maumu? Bercerai?”
Plak! Tamparan keras ke wajah membuatku terhenyak. Bukan main perih. Mas Rauf ... ini adalah kali pertama dia memukul dan menghardikku. Tega sekali dia! Jahat!
“Kurang ajar kamu, Mas! Bede***!” Aku memukul dada, perut, dan wajah Mas Rauf berulang kali. Sekuat mungkin aku memukulnya, tetapi lelaki itu begitu kuat dan hanya diam mengeraskan tubuhnya hingga tanganku sendiri yang kesakitan.
Sore itu, aku menangis keras. Terduduk di atas lantai dapur. Sesegukan sambil mengumpati keluarga Mas Rauf dengan kata-kata kasar.
“Jangan pernah merasa hebat, Ris. Kamu itu belumlah menjadi apa-apa.” Mas Rauf kemudian berjalan meninggalkanku. Membuat hati ini semakin sakit dan terkoyak.
Kurang ajar mereka semua! Benar-benar kejam dan lintah darat. Tak kusangka, Mas Rauf yang sangat baik di awal, kini berbuat di luar pradugaku.
Baiklah! Kalian jual, aku beli. Mama, Mas Rauf, Indy. Kalian semua! Tunggu pembalasanku. Kalian pikir, karena tak lagi punya orangtua di sisiku, aku ini lemah dan tak berdaya? Tidak sama sekali!
Aku akhirnya bangkit dari terpuruk. Tak kuhiraukan lagi kangkung yang belum disiangi, ayam yang masih dimarinasi dan belum digoreng, dan beras yang belum dicuci. Masa bodoh! Harga diriku sudah hancur dibuat oleh Mama dan Mas Rauf. Buat apalagi aku repot-repot membaktikan diri. Sudah lelah bekerja dari jam 07.30 hingga 14.00 di poli umum mengasisteni dr. Vadi, eh di rumah masih juga harus masak. Mending kalau dihargai. Ini malah ditampar dan dicaci maki. Apa mereka pikir aku ini binatang? Cepat kuhapus jejak air mata. Berjalan ke arah kamar yang tak jauh dari dapur yang bersatu dengan ruang makan. Pelan kubuka pintu kamar yang tak terkunci. Ternyata, Mas Rauf sedang duduk melamun di pinggir kasur. Tubuhnya yang kekar akibat bekerja keras di bengkel, kini hanya terlilit dengan handuk dari bawah pusat hingga menutupi batas lutut. 
“Kamu ingin memukul lagi, Mas? Baiklah. Silakan! Biar setelah ini aku kabur dan melaporkan tindakanmu ke polisi!” Aku semakin berteriak. Menantangnya dan berharap dia benar-benar memukulku lagi. Namun, Mas Rauf malah mengembuskan napas masygul. Mulutnya berkali-kali merapalkan istighfar. Cuih! Dia tidak mantas mengucapkan kalimat suci semacam itu. Kelakuannya sudah seperti preman kampung yang hanya berani memukul istri. Tidak ada akhlak! “Kita cukupkan pertengkaran ini, Ris. Aku mohon.” Mas Rauf tampak putus asa. Jujur aku belum bisa melupakan tentang prasangka kemana larinya uang hasil bengkel selama sepuluh bulan belakangan ini. Lihat saja. Akan kukorek sampai ke akarnya kalau perlu. “Oke. Aku juga capek! Berdebat denganmu tidak ketemu ujung pangkalnya. Akhir-akhirnya kita hanya ber
Beberapa saat menikmati makan malam di dalam kamar sendirian, Mas Rauf akhirnya ikut masuk. Wajahnya tampak tak senang. Cemberut. Terserah, ya. Aku tidak mau peduli. “Sudah selesai makannya?” tanya Mas Rauf padaku dengan nada yang kesal. “Bisa lihat sendiri, kan? Piringku sudah habis.” Kuletakkan begitu saja piring bersama gelas kosong yang telah duluan berada di atas meja rias. Masa bodoh Mas Rauf marah. Kalau dia mau, taruh saja di wastafel dapur sendiri. “Kata-katamu tadi sungguh membuat Indy sakit hati, Ris.” “Sama, dong! Aku juga kesal dengar omongan dia tadi, Mas. Satu sama artinya.” Aku menj
Pagi-pagi sekali aku bangun dari peraduan. Tanpa menyentuh dapur terlebih dahulu seperti hari-hari lalu, kuputuskan untuk segera mandi dan berkemas diri. “Awal sekali, Ris? Kamu sudah mau berangkat jam segini?” Mas Rauf yang baru tercelang matanya tepat pukul 05.30 pagi, menatapku dengan penuh heran. Sedang aku tengah mematut diri di depan cermin sembari mengenakan bedak dan pemerah bibir.Meski masih terasa sesak dada ini akibat dugaan perselingkuhan yang dilakukan Mas Rauf, tetapi aku mencoba untuk terlihat santai. Kujawab pertanyaannya dengan nada dan ekspresi datar.“Iya. Dokter Vadi yang nyuruh.” Aku menyampirkan tas kerja yang sudah kuisi dengan dompet dan cap perawat yang akan kupakai nanti setelah sampai di poli. “Nggak siapin sarapan dulu?” Pertanyaan Mas Rauf entah mengapa malah
Kupacu terus sepeda motor bebek milik Mak Ambar di belakang kendaraan Mas Rauf yang terus melaju dengan kecepatan sedang. Sekuat tenaga kukendalikan diri agar tak merasa ciut atau pun takut bakal ketahuan. Aku menarik napas dalam, mencoba bersantai di balik masker wajah dan helm yang kukenakan. Semoga dengan penyamaran ini, Mas Rauf tak menyadari bahwa aku adalah Risa, perempuan yang telah dia khianati. Kendaraan Mas Rauf menerobos jalanan yang semakin dipenuhi oleh motor dan mobil yang lain. Maklum, jamnya anak-anak berangkat ke sekolah dan orang dewasa ngantor. Namun, yang membuat kuheran, arah perjalanan Mas Rauf sungguh berbeda dengan jalan menuju bengkel miliknya yang berada dekat kawasan pasar. Mas Rauf malah berbelok ke kiri dari lampu merah perempatan jalan besar. Harusnya dia lurus terus jika memang mau berangkat bekerja. Makin kuat feelingku bahwa dia benar-benar akan menjemput perempuan tersebut.
Tidak, Risa bukanlah sosok yang lemah. Tak ada tangis dan kecewa. Aku harus bangkit! Selagi Mas Rauf masih sibuk mengusap puncak kepala kekasih gelapnya, maka aku pun berusaha untuk bangkit dari motor. Berjalan ke arah mereka sembari membuka helm dan maske yang tadinya sempurna menutupi penyamaran. Dengan menahan degupan jantung yang keras dan seolah membabi buta memukuli dada, kuempaskan helm pinjaman milik Mak Ambar tepat di kepala Mas Rauf. Plak! Mas Rauf seketika terjungkal ke samping bersama sepeda motornya. Lelaki itu membelalak kaget dengan wajah yang pucat pasi. “Sayang!” Teriakan histeris perempuan minimarket tersebut membuat telingaku semakin panas. “Apa katamu? Sa
Aku tiba di depan warung Mak Ambar dengan wajah yang sembab akibat tangis di sepanjang jalan tadi. Segera kuseka air mata ini sebelum masuk menemui beliau. Sial, di dalam sana ada beberapa orang lain yang sedang belanja. Namun, aku harus segera bergerak. Sebelum Mas Rauf ikut menyusul dan menghentikan rencana. Setelah meyakini bahwa wajahku kini baik-baik saja, langsung kubergegas masuk, melewati dua ibu-ibu yang sedang berdiri di depan meja Mak Ambar. Keduanya kukenali sebagai Bu Minarti dan Mbak Kinanti. Mereka adalah tetangga sekitar sini yang terkenal lambe turah serta hobi ngurusi kehidupan orang lain. “Eh, ada Risa. Nggak dinas, Ris?” Mbak Kinanti yang usianya beberapa tahun di atasku menyapa. Wanita cantik dengan daster rumahan selutut itu mulai menatap diriku dari ujung kaki hingga pucuk kepala.&nb
Sesampainya di parkiran khusus karyawan yang berada di belakang rumah sakit, tak jauh dengan kamar jenazah (makanya terkadang aku lebih suka parkir di depan, karena sering ngeri-ngeri sedap lewat sini), aku segera memarkirkan motor dan tak lupa untuk mengunci stangnya. Jarang sebenarnya aku parkir di sini. Namun, apa boleh buat. Yang kutakutkan apabila Mas Rauf nekat mencari ke RS dan menemukan motorku di parkiran depan sana. Dia memang tahu kebiasaanku yang selalu parkir di depan karena aku kerap bercerita bahwa spot angker di RS Citra Medika ini selain di kamar jenazah dan tempat laundry, juga di parkiran belakang. Lagi pula yang bisa mengakses tempat ini hanya karyawan yang memiliki ID card saja. Dari depan sana satpam bakal menghalau pengunjung untuk masuk. Karena takut hilang, kubawa saja tas travel yang lumayan berat ke ruang rawat jalan poli umum tempat dr. Vadi kemungkinan sedang menjalanka
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba