"Aaa akhirnya kita bisa bersama-sama lagi!!" Empat wanita itu saling berpelukan dan berjingkrak-jingkrak semangat. Sera dan ketiga teman baiknya semasa kuliah. Mereka akhirnya bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Setelah alasan sibuk dan lain-lain yang menghalangi."Ayo, ayo, masuk dulu." Sera membawa teman-temannya masuk ke dalam mansion. Lalu memanggil pelayan untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk teman-temannya."Sepertinya sekarang aku tahu bagaimana kehidupan seorang ratu. Ya seperti Sera ini. Aku benar bukan?" Salah seorang wanita berceletuk dan yang lainnya memberikan tanggapan dengan mengangguk."Kau ini bicara apa?" Sera tertawa malu."Aku serius. Coba lihat dirimu." Wanita itu menatap Sera dari ujung kepala sampai kaki. Mengira-ngira berapa harga dari setiap barang yang melekat di tubuh Sera. Dia mungkin tidak akan bisa menghitung nilainya. "Ya ampun! Kau bahkan memiliki kalung ini?!" Wanita itu tiba-tiba meraih sesuatu yang melingkar di leher Sera. Menatap kalung yan
Sera berniat masuk kembali ke dalam mansion setelah mengantarkan teman-temannya sampai di luar. Mereka baru saja pulang. Sera melangkahkan kakinya melewati pintu, di mana di sana Tania berdiri. Ia bisa melihat air mata yang terus keluar dari matanya. Tapi tidak ada isakan atau tangisan.Sera melengos. Berjalan melewati Tania ketika wanita itu berdiri di depannya. Seakan menghalanginya pergi.Sera memutar bola matanya. "Apa?" tanyanya ketus."Apa kau benar-benar membenciku? Tidak bisa menjadi Sera yang seperti sebelumnya lagi?" kata Tania pelan. Sera menghela napas kesal. "Seperti sebelumnya bagaimana? Harusnya aku memang bersikap seperti ini dari awal agar kau tidak berani melunjak." Ia terlalu memberi kebebasan pada Tania. Hanya membiarkan ketika dia terlihat dekat dengan suaminya. "Sera...." Tania mulai terisak. Benar-benar tidak bisa jika Sera bersikap seperti ini padanya. Tania sudah biasa menerima hinaan dari semua orang. Tapi jangan Sera. "Sudahlah, Tania. Jangan mulai berdra
Xander menatap jendela bundar di sampingnya. Melihat gulungan awan putih yang indah di luar sana. Sambil menerawang jauh. Memikirkan bagaimana awal mulanya ia bisa menyukai Sera.Xander menyukai Sera karena sifat lembut dan lugu wanita itu. Seorang anak kecil yang belum pandai bersepeda menabrak Sera dengan sepeda roda tiganya hingga membuatnya jatuh dan lecet di lutut dan tangan. Ia memarahi anak itu karena khawatir pada Sera. Tapi Sera malah memarahinya balik. Dia tidak senang karena Xander memarahi anak itu dan mencubitnya hingga menangis kejar. Sifat lembutnya yang membuatnya seperti itu.Sangat di sayangkan, sifat yang Xander sukai kini menghilang dari diri Sera. Istrinya sekarang bisa dengan mudah menyakiti orang. Tanpa ada rasa kasihan. Setelah pertengkaran mereka, Xander langsung pergi ke London. Selain karena pekerjaan yang memang mendadak, ia juga sedang menghindar dari Sera. Xander merasa kecewa atas sikap istrinya.Apa ini salah Xander yang kurang memperhatikan Sera? Lela
Mata Sera melebar. Terlampau terkejut melihat Xander yang sudah ada di sini. Ia langsung mendorong Adrian menjauh. Lantas menghampiri Xander. Tampak panik. "X, aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti yang kau pikirkan."Xander menghiraukan Sera. Ia menepis tangan wanita itu yang memegang lengannya. Kemudian melangkah menghampiri 'selingkuhan' istrinya. Langsung saja ia memberikan bogeman mentah."Berani-beraninya kau menyentuh istriku!" Xander seperti orang kesetanan. Memukul Adrian bertubi-tubi. Tanpa memberikan kesempatan sedikitpun untuk laki-laki itu melawan."Xander, hentikan!"Teriakan Sera tidak ia pedulikan. Xander terus menghajar Adrian sampai terkapar tak berdaya di lantai. Sayangnya ia belum puas. Rasanya Xander ingin mematahkan tulang-tulangnya. Dia benar-benar memanfaatkan kerja sama mereka untuk mendekati istrinya ternyata. Apa lelaki ini sengaja meneleponnya untuk tahu di mana keberadaannya, lalu bertemu dengan istrinya tanpa sepengetahuannya begitu? Kaki Xander bersiap me
Setelah pertengkaran mereka, Xander dan Sera sama-sama pergi dan sampai hari sudah beranjak gelap, mereka belum juga kembali. Seharusnya ini juga menjadi waktu yang tepat untuk Tania pergi.Kehadiran Tania di sini sudah tidak dibutuhkan. Jadi tidak ada alasan untuk ia tetap tinggal. Tania menggeret kopernya. Membuka pintu kamar, keluar, dan berniat menutup pintunya kembali ketika suara seseorang tiba-tiba terdengar."Bagus! Setelah semua yang terjadi, kau malah ingin pergi?"Tania berbalik. Xander berdiri di hadapannya. Lelaki itu ternyata sudah kembali.Tania menatap Xander dengan wajah sendunya. "Aku pergi karena sudah tidak dibutuhkan. Di sini Sera yang menginginkan bayi ini. Ketika dia sudah tidak menginginkannya, dan bahkan sangat membenciku, lalu untuk apa aku tetap di sini?" jawabnya. "Untuk apa tetap di sini? Bagaimana bisa kau berbicara seperti itu?" heran Xander. Bagaimana bisa dia pergi seenaknya setelah semua yang terjadi? Tania pikir Xander akan melepaskannya? Tidak akan
Tania membuka pintu kamar Xander dengan perlahan. Melongokkan kepalanya keluar untuk memeriksa keberadaan para pelayan. Ia ingin kembali ke kamarnya, tetapi hanya mengenakan kemeja putih kebesaran milik Xander. Entah di mana lelaki itu meletakkan pakaiannya. Dia sedang mandi sekarang.Tangannya baru akan memutar gagang pintu kamar ketika ia terlonjak kaget karena suara seseorang yang tiba-tiba. Tania berbalik. "Sera?" "Aku melihatmu keluar dari kamarku dan Xander. Apa yang kau lakukan di dalam?" selidik Sera dengan memperhatikan penampilan berantakan Tania. Dan kemeja yang dipakainya itu, milik suaminya.Bola mata Tania melebar. "A-aku....""Bagus sekali. Kau menggoda suamiku di saat aku baru pergi untuk sebentar saja." Sera terkekeh sinis. "Sera, k-kau salah paham. Aku tidak–""Tidak apa, Tania? Tidak melakukan apapun dengan suamiku?" cemooh Sera dengan menekankan kata terakhirnya. "Sayangnya aku melihatnya tidak seperti itu." Ia bisa melihat dengan jelas bekas berwarna kemerahan d
Tania meringis ketika menyentuhkan kapas bercampur obat merah di tangannya ke bibir Xander yang sedikit sobek. Pada bukan dia yang terluka. Xander saja tidak menunjukkan raut kesakitan sama sekali. Hanya datar.Tania langsung berlarian mengambil kotak P3K ketika menyadari luka di wajah Xander. Berinisiatif untuk mengobati lukanya. Ujung bibir lelaki itu sedikit robek dan mengeluarkan darah. Pipi kirinya tampak membiru. Tania ingin menangis melihatnya.Bukan ingin, tapi sudah menangis. Air mata keluar dari matanya dengan tangan yang masih setia mengobati luka Xander."Di sini aku yang terluka, Lea. Kenapa kau yang menangis?" ucap Xander dengan tatapan gelinya. Ia membiarkan lukanya diobati Tania."Apa kau tidak merasa sakit?" tanya Tania heran. Mengedip dengan kelopak mata yang dibasahi air mata. Ia saja ngeri sendiri melihat luka Xander.Xander menggeleng. Dibanding luka di wajahnya, ada hatinya terasa lebih sakit. Sera sukses benar menyakitinya. Xander masih saja berharap jika ini mi
"Jadi kalian membohongi Mommy dan Daddy selama ini?""I'm sorry."Angeline menggeleng. Menghela napas berat. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Mendengar permasalahan antara kedua anaknya, ia dan suaminya langsung memutuskan datang ke Amerika untuk mengetahui apa yang terjadi secara langsung."Daddy dan Mommy memang ingin segera memiliki cucu. Tapi kalian tidak perlu sampai memakai ibu pengganti untuk memberikannya," ucap Alex untuk pertama kali setelah Xander menjelaskan apa yang terjadi. Jelas karena paksaan Angeline lelaki itu bercerita, karena dia terlalu malas membahas ini. Alex dan Angeline memang ingin memiliki cucu. Tapi jika anak dan menantunya tidak bisa memberikan pun tidak apa-apa. Masih ada banyak cara lain yang bisa dilakukan, seperti mengadopsi seorang anak. Bukan cucu kandung, tapi rasanya tidak masalah. Mereka tetap bisa menerimanya. Itu akan lebih baik daripada dengan apa yang Xander dan Sera lakukan sekarang. Keputusan untuk memakai ibu pengganti yang akhirnya menc
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio