Pekerja wanita itu sontak terperanjat begitu mendengar penuturan yang keluar dari mulut Vanno. Mata perempuan itu membelalak, dan tanpa disadari, tangannya terangkat menutup mulutnya sendiri—sebuah reaksi spontan yang menunjukkan keterkejutannya. Pikirannya kalut, mencoba memahami maksud ucapan Vanno. Ada kegelisahan yang menyeruak dalam hatinya, seolah mempertanyakan, Apa yang salah dengan dirinya?Sementara itu, Vanno tampak tak menunjukkan sedikit pun rasa penyesalan atas kata-kata yang telah dilontarkannya. Alih-alih meminta maaf atau menjelaskan maksudnya, pria itu justru berbalik arah dan melangkah cepat meninggalkan wanita tersebut. Tatapannya berubah menjadi liar, penuh kecemasan dan amarah, menyapu sekeliling ruangan dengan waspada. Dia tengah mencari satu sosok—Dareen—yang entah sejak kapan sudah menghilang dari pandangannya. Sementara Vanno dan para anak buahnya dibuat kelimpungan oleh Dareen. Orang yang dicari justru asyik memilih-milih pakaian baru ditemani oleh seoran
Sebastian membelalakkan mata, tubuhnya menegang seketika. Dia menatap Andrew dengan sorot mata penuh keterkejutan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Perkataan sang kepala pelayan barusan terasa menggetarkan dadanya."Apa yang kamu katakan, Andrew? Clara... berada di rumah sakit?” ucap Sebastian dengan suara rendah namun sarat emosi.Wajahnya menegang, napasnya tertahan sejenak. Berbagai kemungkinan langsung berkelebat dalam benaknya, membuat pikirannya kacau. Dia tidak bisa membayangkan hal buruk menimpa Clara. Dengan cepat dia melangkah lebih dekat ke arah Andrew, ekspresi wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.“Apa yang terjadi padanya?” tanyanya lebih lanjut, kali ini dengan suara yang lebih tegas dan penuh desakan. Dia ingin segera mendapat kepastian.Andrew menanggapi kegelisahan Sebastian dengan sebuah senyuman tenang, mencoba meredakan kecemasan yang jelas tergambar di wajah pria itu."Nyonya Clara memang berada di rumah sakit, Tuan,” ucap An
"William?" Clara terdiam seketika, tubuhnya membeku di tempat saat sosok pria yang tak asing itu muncul di hadapannya.William. Nama itu langsung menggema dalam benaknya, mengguncang sisi terdalam hatinya. Pria yang pernah menjadi bagian penting dari masa lalunya—yang telah ia coba lupakan selama bertahun-tahun—kini berdiri hanya beberapa langkah darinya, dengan tatapan yang sulit diartikan."Hai, Clara. Senang bertemu denganmu!" Clara masih membeku. Separuh hatinya seperti tertampar oleh kenyataan. Luka lama yang telah lama dia kubur dalam-dalam, perlahan kembali terbuka. Clara tidak menyangka, pertemuan ini akan terjadi secepat dan setiba-tiba itu.Kehadiran William seakan mengoyak ketenangan yang selama ini dia bangun dengan susah payah. Untuk sesaat, waktu terasa melambat. Hanya suara jantungnya yang berdetak kencang, menyisakan getir yang tak bisa dihindari."Bagaimana kabarmu? Kamu semakin cantik saja." William mengamati penampilan Clara dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Clara tercekat. Jantungnya berdegup kencang, seolah hendak melompat keluar dari rongga dada. Tatapan matanya yang biasanya tenang, kini membelalak dalam keterkejutan. Manik mata beningnya membesar saat menyadari keberadaan William yang tiba-tiba muncul begitu dekat dengannya, terlalu dekat. Udara yang berhembus di sekitar seolah ribuan jarum yang menelusup kulit. "William...kamu..." Kehadiran pria itu membangkitkan gelombang emosi yang sulit dia kendalikan. Seketika kewaspadaannya meningkat tajam. Seluruh instingnya bekerja, memperingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar. Clara menggenggam tas di tangannya lebih erat, berusaha tetap tenang meski firasat buruk menggelayuti hatinya. Entah apa yang sebenarnya diinginkan William, namun Clara merasa, kali ini kehadirannya bukan semata kebetulan. "Aku harus pulang. Sampai jumpa..." Belum selesai Clara berucap, William lebih dulu memotong. "Sampai jumpa? Itu artinya kamu menginginkan pertemuan kita selanjutnya? Baiklah!" "Apa?
Clara terkejut ketika merasakan sepasang tangan melingkar di pinggangnya. Dia langsung mengenali aroma khas yang melekat pada tangan itu. Senyum tipis tersungging di bibir sensualnya. "Sayang!" serunya, berputar untuk menghadap suaminya. Iris matanya menangkap wajah sang suami yang tampak lebih segar, sepertinya pria itu baru saja selesai mandi, terlihat dari rambut basah dan aroma sabun dan shampoo yang menguar dari tubuh pria itu. Sebastian tersenyum, mata coklatnya berbinar menyambut istrinya. "Aku rindu," katanya, menarik Clara ke dalam pelukan. Clara merasa sedikit lega ketika menyadari bahwa yang memeluknya adalah Sebastian, bukan orang lain. Kekhawatiran serta kecemasan yang merundungnya sejak tadi seketika lenyap ketika melihat wajah Sebastian, suaminya. "Aku juga rindu," jawabnya, membalas pelukan suaminya. Mereka berdua berdiri di sana sejenak, menikmati kehangatan satu sama lain. Setelah beberapa saat, Sebastian melepaskan pelukannya dan memandang Clara dengan mata ya
217. Sebastian terdiam. Tatapannya berubah tajam. Ekspresi wajahnya tak seramah sebelumnya. Bahkan terkesan sinis dan meja."Kenapa dia menemuimu?" Suara Sebastian terdengar dingin. Sebastian terdengar geram, tapi dia tetap bersikap tenang. Dia tidak ingin menunjukkan rasa cemburunya kepada Clara. Yang terpenting adalah Clara sudah menjadi miliknya, dan dia tidak akan pernah melepaskannya.Clara terdiam, otaknya bekerja cepat menyusun kata-kata."Sepertinya kami bertemu secara kebetulan." Singkat, padat, dan jelas. Clara menjawabnya dengan jujur. Sebastian terdiam, dia menangkap sesuatu dari ucapan Clara. Pikirannya bekerja secara kritis. "Apa yang dia inginkan?" tanya Sebastian, suaranya terdengar sedikit kasar. Seseorang yang pernah disakiti, tiba-tiba muncul. Baik sengaja atau tidak, entah mengapa Sebastian merasa bahwa William memiliki maksud tertentu. Clara menggigil sedikit ketika Sebastian membantunya membersihkan tubuhnya. "Aku tidak tahu," katanya. "Tapi aku merasa dia t
Napas Dareen tertahan di tenggorokan. Udara yang sedari tadi terasa dingin kini seperti membekukan paru-parunya. Jantungnya berpacu cepat, berdentum keras dalam dada seakan hendak melompat keluar. Langkahnya melambat saat dia memasuki ruang utama rumah besar itu—ruangan luas yang dipenuhi ornamen antik dan atmosfer kekuasaan yang begitu kental.Di tengah ruangan, duduklah seorang pria tua dengan sikap tenang dan wibawa yang tak terbantahkan. Maxime Abraham, sang kakek, sedang menyilangkan kaki di atas kursi berlengan, mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang tampak begitu rapi. Sorot matanya tajam, nyaris tak berkedip, seolah mampu menelanjangi seluruh isi pikiran lawan bicaranya hanya dengan sekali pandang. Di belakangnya berdiri seorang Damian, sang asisten pribadi. "Ka-kakek!" Dareen merasa lidahnya kelu. Bibirnya kaku. Namun yang membuat tubuh Dareen semakin kaku adalah senyuman yang menghiasi bibir pria tua itu. Sebuah senyum tipis yang tampak sopan di permukaan, namun menyi
Maxime tampak tenang, namun di balik ketenangan itu, menyimpan sebuah keterkejutan. Maxime tidak pernah menyangka bahwa Sebastian akan turun tangan sendiri untuk membantu Dareen. Selama ini, yang dia ketahui, hubungan antara kedua cucunya itu dipenuhi oleh kesenjangan yang dalam—sebuah jurang pemisah yang tampak mustahil untuk dijembatani. Perbedaan karakter, pandangan hidup, bahkan latar belakang pengalaman membuat mereka seperti dua kutub yang bertolak belakang. Maxime telah lama menerima kenyataan bahwa mereka tidak akan pernah akur, apalagi saling mendukung."Apa kamu yakin itu Bastian?" Maxime perlu memastikannya. Vanno masih berdiri tegak. Tatapannya tampak serius. Kemudian dia menjawab, "Ya, Tuan. Tuan Muda Bastian ditemani oleh asistennya, Ramon." Melihat wajah penuh kesungguhan yang ditunjukkan Vano, Maxime tidak ragu lagi. Pria yang dimaksud oleh Vanno adalah Sebastian Abraham, cucunya. "Begitu rupanya." Maxime mengangguk samar. Selama ini Sebastian selalu bersikap din
Minggu-minggu berlalu sejak kepulangan mereka dari Swiss. Kenangan manis liburan itu masih hangat membekas dalam ingatan mereka. Foto-foto perjalanan dipajang di ruang keluarga, Kaisar bahkan masih tidur dengan Luzie, boneka sapi kecil yang kini menjadi sahabat tidurnya.Sejak liburan itu, Clara dan Sebastian mulai menerapkan kebiasaan baru yang mereka sepakati: satu akhir pekan setiap bulan sebagai “Hari Keluarga.” Hari itu menjadi waktu khusus yang tidak boleh diganggu oleh pekerjaan, urusan luar, ataupun janji sosial lainnya. Mereka hanya akan bertiga, melakukan apa pun yang mereka sepakati bersama.Pada bulan pertama, mereka memilih mengunjungi kebun stroberi di daerah Puncak. Kaisar begitu gembira bisa memetik buah sendiri, sementara Clara dan Sebastian duduk di bawah pohon rindang sambil bercakap-cakap santai.“Sebastian,” ujar Clara saat mereka duduk di tikar piknik, “aku merasa sangat beruntung. Bukan karena kita pernah ke Swiss, atau punya rumah yang nyaman. Tapi karena kamu
248. Keesokan paginya, cahaya matahari musim dingin menyelinap lembut melalui jendela besar kamar hotel mereka. Clara terbangun lebih dulu. Ia bangkit perlahan, membiarkan Kaisar dan Sebastian masih terlelap di bawah selimut hangat. Ia berdiri di balkon, memandangi danau yang tenang, permukaannya memantulkan warna langit dan puncak-puncak bersalju.Tak lama kemudian, Sebastian keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan senyum di wajahnya. “Selamat pagi, nyonya Sebastian,” ujarnya sambil memeluk Clara dari belakang.Clara tertawa kecil. “Selamat pagi juga, tuan romantis. Si kecil masih tidur?”“Masih. Tapi kurasa tidak lama lagi. Bau sarapan khas Swiss di restoran bawah pasti akan membuatnya bangun,” jawab Sebastian.Mereka pun bersiap untuk menjelajahi hari terakhir liburan mereka. Rencana hari itu cukup sederhana: menikmati sarapan di hotel, lalu berjalan santai di sekitar danau Lucerne sebelum mengunjungi sebuah desa kecil di pegunungan yang terkenal dengan kerajinan tan
247. Clara dan Sebastian kembali menjalani kehidupan mereka yang normal, jauh dari gejolak emosi yang sempat menguji rumah tangga mereka. Kaisar tumbuh sehat dan ceria, menjadi pusat perhatian serta cinta di rumah itu.Setiap akhir pekan, mereka kerap mengunjungi perkebunan milik kedua orang tua Clara yang terletak di dataran tinggi. Perkebunan itu luas dan terawat, penuh dengan tanaman teh dan bunga-bunga yang tumbuh rapi. Udara di sana selalu segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru disiram embun pagi. Di tempat itulah Clara merasa paling damai.Meski kesibukan kerja kembali menyita waktu Sebastian, ia tidak pernah melewatkan waktu berkualitas bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangganya tidak bisa dibeli dengan kesuksesan semata. Oleh sebab itu, setelah melalui berbagai pertimbangan, Sebastian merancang satu rencana besar—liburan untuk mereka bertiga. Bukan liburan singkat ke luar kota, tetapi sebuah perjalanan ke luar negeri. Ia ingin memberi
246. Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan sore itu di taman. Hubungan antara Sebastian dan William mulai menemukan bentuk baru. Bukan sebagai rival, melainkan sebagai dua pria dewasa yang memilih saling menghargai, meskipun di masa lalu mereka berdiri di sisi yang berbeda. Kaisar, yang masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitas hubungan orang dewasa, menerima kehadiran keduanya dengan gembira. Baginya, selama ada cinta dan perhatian, ia merasa utuh.Clara menyadari perubahan ini dengan rasa syukur. Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih melegakan daripada melihat anaknya dikelilingi kasih sayang, tanpa harus menjadi korban perselisihan orang dewasa. Namun di balik ketenangan itu, Clara tetap waspada. Ia tahu luka di hati William mungkin masih menganga, dan bisa saja berdarah kembali sewaktu-waktu.Suatu pagi yang cerah, Sebastian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, sambil merapikan dasi di depan cermin. Clara masuk ke kamar membawa secangki
244Langkah kaki William terasa berat saat meninggalkan rumah Clara. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya oranye yang suram di sepanjang jalan. Udara sore terasa pengap, seperti menyesakkan dadanya yang sudah lebih dulu penuh oleh kemarahan dan penyesalan.Ia mengemudi tanpa arah. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena cuaca, melainkan oleh pikiran yang kacau. Kata-kata Clara tadi terus terngiang-ngiang di telinganya:“Kamu sendiri yang memilih jalan itu.”Ia tahu itu benar. Ia yang meninggalkan Clara, meninggalkan rumah, meninggalkan semua yang pernah dibangun bersama. Tapi saat itu, ia merasa tidak punya pilihan. Tekanan pekerjaan, pertengkaran kecil yang terus membesar, dan rasa tidak percaya diri sebagai suami membuatnya menjauh. Ia berpikir, dengan pergi, semuanya akan membaik.Ternyata tidak. Sejak berpisah, kehidupannya justru kosong. Ia mencoba menjalin hubungan baru, tapi tidak ada yang terasa seperti Clara. Bahkan saat bersama orang lain, pikirannya sel
243Sebastian duduk di beranda rumah mertuanya dengan perasaan lega bercampur haru. Hari itu adalah hari yang telah lama ia nantikan. Setelah sekian lama membuktikan ketulusan dan kesungguhannya, akhirnya restu yang selama ini terasa jauh kini datang mendekat. Richard dan Mariana—kedua orang tua Clara—akhirnya menerima Sebastian sebagai menantu mereka sepenuhnya.Perjalanan menuju titik ini bukan hal yang mudah. Sejak menikahi Clara, Sebastian harus menghadapi pandangan sinis dari Richard yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran pria lain menggantikan posisi William, mantan suami anaknya. Mariana pun, meskipun lebih lembut dalam bersikap, tetap menunjukkan jarak.Namun Sebastian tidak pernah menyerah. Ia datang setiap minggu, membantu apa pun yang ia bisa di rumah orang tua Clara. Ia tak pernah mengeluh saat disuruh memperbaiki keran bocor atau ikut memanen sayur di kebun belakang. Ia bersabar saat omongan Richard menusuk harga dirinya. Ia melakukan semua itu bukan demi puj
Pagi itu langit terlihat cerah, burung-burung berkicau riang di pepohonan sekitar rumah keluarga Rein. Suasana yang tenang perlahan berubah ketika suara mesin mobil terdengar mendekat di halaman depan. Dari balik jendela ruang keluarga, Clara melirik keluar dan mendapati sosok yang sudah ia duga sejak semalam—William."Dia datang lagi,” gumam Clara pelan, sambil berdiri dan merapikan rok panjangnya.Sebastian yang duduk di kursi membaca koran hanya menoleh sekilas. Wajahnya tetap tenang, meskipun hatinya bergejolak. Ia tahu bahwa kedatangan William tidak sekadar kunjungan biasa. Ada sesuatu yang disimpan pria itu, dan Sebastian bersiap untuk segala kemungkinan.Pintu rumah terbuka. Rosalia Rein, ibu Clara, menyambut William dengan senyum yang hangat.“William, Nak, kau datang lagi pagi-pagi begini. Ada angin apa?” tanya Rosalia dengan ramah.William membungkuk sedikit memberi hormat, lalu menjawab, “Saya hanya ingin berbicara sebentar dengan Paman Richard. Sekaligus… bertemu Clara.”C
Clara terdiam sesaat. Clara jelas saja kaget. Mengapa bisa ada William di rumah kedua orang tuanya. "Apa kamu tidak salah?" Clara memandang suaminya menuntut. "Kamu pikir aku bercanda?" Nada bicara Sebastian semakin meninggi. "Ah bukan begitu, maksudku, mengapa bisa ada William di rumah Ayah?" Clara mengubah arah pembicaraannya. Meski Sebastian tidak benar-benar menghendaki pembahasan ini, namun pria itu tetap menjawab. "Mengapa tanya padaku? Tanya saja pada ayahmu!" Sebastian acuh tak acuh. "Apa Ayah sengaja mengundangnya? Mungkin saja mereka masih berhubungan baik,” ujar Clara dengan hati-hati. "Berhubungan baik?" tanya Sebastian, kini menoleh dan menatap istrinya dengan sorot mata tajam. "Kamu tidak merasa aneh? Ayahmu terlihat lebih dekat dengan dia dibandingkan dengan aku, menantunya sekarang." Clara menggigit bibirnya, berusaha menahan diri untuk tidak memberikan respons emosional. Ia paham rasa tidak nyaman itu. Ia pun tidak bisa memaksa Sebastian untuk langsung meneri
Suara pekikan terdengar. Menarik perhatian semua orang yang ada di sana. "Ada yang jatuh!" Debu mengepul ke udara, para pekerja lain bergegas menolongnya. Richard mendekat cepat. “Bastian, kamu tidak apa-apa?” Bukannya menolong, William justru menahan. Ya, pria itu terlihat senang melihat Sebastian terjatuh. Menyadari hal itu, Sebastian mengepalkan kedua tangannya. Dia menepis tangan pekerja yang hendak menariknya, lalu perlahan bangkit sendiri meski lututnya sedikit gemetar. Pandangannya tidak lepas dari William yang kini sudah berjalan mendekat. "Sepertinya kamu butuh bantuan?" William mengulurkan tangan. Dan nasibnya pun sama dengan tangan pekerja lain yang ditepis. Sebastian menyeka keringat di dahinya, kemudian berdiri tegak. “Tidak perlu!" Sebastian berkata dengan nada acuh tak acuh. Richard memandang keduanya dengan tatapan penuh tanya. “Kalian saling mengenal?” “Tentu,” jawab William mendahului. “Kami punya sejarah panjang, Ayah. Dan saya rasa… Clara juga tahu