Belinda terlihat sangat cantik saat dengan anggun menuruni satu persatu anak tangga untuk menghampiri Henry yang telah menunggunya di bawah.
Henry bahkan menahan napasnya saat senyum manis Belinda terarah padanya, sudah lama ia tidak melihat senyum menawan wanita itu lagi, senyum yang tanpa beban seperti yang ia lihat saat di Spanyol.Gaun warna hitam dengan model sederhana tidak dapat menutupi betapa indahnya lekuk tubuhBelinda. Gitar Spanyol, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan lekuk tubuh wanita itu.“Aku sudah siap,” ucap Belinda sesaat setelah wanita itu berdiri tepat di depan Henry yang masih terpukau pada kecantikannya itu,“Ah ya, Kita jalan sekarang,” balas Henry sambil mengulurkan tangannya untuk rangkul Belinda.“Kami pergi dulu, má!” seru Belinda pada mamá Juana yang menuntunnya saat turun tangga tadi.“Ya, hati-hati. Henry, tolong jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya,” pinta mamá Juana.Henry mengangguk pelan, lalu mengedarkan matanya ke segala arah sebelum bertanya,“Di mana His Grace?” “Daddy sudah tidur. Beliau hanya berpesan agar kamu menjaga cucunya dengan baik," jawab Mamá Juana.“Ya, saya akan menjaganya. Kami permisi kalau begitu.”Dengan langkah pelan Henry membimbing Belinda keluar dari Mansion mewah keluarga Duke of Deshire itu. Ia pun memayungi kepala Belinda saat wanita itu menaiki mobil agar tidak membentur atapnya.Setelah menutup pintu, Henry memutari mobil itu untuk duduk di belakang kemudi. Ia memastikan seat belt Belinda telah terpasang sempurna sebelum menyalakan mobilnya dan membawanya keluar dari pagar Mansion menembus padatnya lalu lintas London di sabtu malam itu.“Mau dinner di mana kita?” tanya Belinda.“Rahasia, bukan kejutan kalau aku memberitahumu sekarang,” jawab Henry sambil menyeringai lebar, menampakkan lesung pipinya yang menggemaskan.Apa karena lesung pipi itu yang membuatnya jatuh hati pada Henry? Atau karena wajah tampannya yang klasik? Belinda terus bertanya-tanya di dalam hatinya. Kalau Henry memang benar tunangannya, seharusnya ia memiliki perasaan tertentu pada pria itu, ya kan? Tapi nyatanya hatinya tetap saja merasa kosong …“Aku ingin bertanya sesuatu padamu, tapi aku harap kamu dapat menjawabnya dengan jujur."Seringaian di wajah Henry menghilang, berganti dengan wajah seriusnya sekarang,“Apa? Tanyakan saja. Selama aku tahu jawabannya, aku pasti akan menjawabnya dengan jujur.”‘Kecuali tentang kecelakaanmu,’ lanjut Henry dalam hati.“Di mana Pertama kali kita bertemu? Kenapa aku tidak dapat mengingatnya?” tanya Belinda sambil menatap penuh Henry.“Oh itu. Umm, kita pertama kali bertemu mungkin di hari pertama kamu dilahirkan, aku juga tidak akan mengingatnya kalau memang di hari itu,” kekeh Henry.“Masuk akal juga. Lalu apa kita pernah bertemu sebelum ini? Selama di Spanyol misalnya?” “Well, kita memang beberapa kali pernah bertemu. Aku bahkan mengajakmu dan Felipe menaiki Phaéton di Mansionku yang berada di Madrid. Apa kamu lupa betapa bahagianya Felipe saat itu. Kamu juga bisa menaanyakan hal yang sama pada putramu itu.”Henry tersenyum lembut ketika teringat saat-saat itu. Hari kedua setelah ia kembali menemukan Belinda lagi setelah bertahun-tahun mencari keberadaannya.“Oh iya aku ingat. Ya kamu benar, Felipe senang sekali saat itu!"Kenyataan kalau Belinda tidak melupakan kenangan saat bersamanya itu membuat hati Henry membuncah dengan kebahagiaan. Tapi kembali khawatir saat Belinda bertanya,“Kenapa aku dan Felipe bisa datang ke Mansionmu ya?”“Kamu bertanya kenapa? Ya jelas saja kamu sering main ke Mansion keluargaku karena kamu adalah tunanganku,” jawab Henry sebelum kembali fokus pada jalan raya.“Benarkah? Apa mungkin ingatanku hilang secara acak, random?”“Menurut dokter yang menanganimu ya memang seperti itu, Belle. Tapi kamu tidak usah khawatir, karena meskipun kamu melupakan sebagian ingatan tentangku, aku tetap bersyukur kalau tidak semua ingatan tentangku itu hilang.”“Tapi itu membuatku bingung, Henry. Apa aku mencintaimu?” Pertanyaan Belinda itu membuat Henry terdiam. Ia tidak tahu harus menjawabnya apa, dan ia tidak ingin membohongi Belinda lebih jauh lagi.“Kenapa diam saja? Apa aku mencintaimu? Apa kita saling jatuh cinta?" desak Belinda dengan tidak sabar.“Oye, aku tahu saat ini kamu tengah meragukan hubungan kita. Mungkin saja karena kamu telah kehilangan sebagian ingatanmu membuatmu merasa tidak memiliki perasaan padaku. Jaadi kalau aku menjawabnya pun akan percuma, karena perasaanmu saat ini hanyalah berdasarkan setelah kecelakaan itu,” elak Henry.“Tapi kenapa? Kenapa aku hanya memiliki sedikit ingatan tentangmu? Dan saat di Mansionmu … Aku hanya ingat bagian saat kita naik Phaéton saja. Saat Felipe tertawa riang tiap kali kamu mempercepat laju kuda-kuda itu. Dan setelahnya … ”Belinda mencoba mengingat-ingat lagi. Bermacam potongan adegan saat itu berkelibat di dalam benaknya, setelah turun dari Phaéton ia menemani Felipe ke kamar mandi, lalu seperti gterburu-buru keluar dari Mansion itu melalui pintu belakang, dan …“Ya Tuhan!” pekik Belinda secara tiba-tiba membuat Henry merasa panik karenanya."Ada apa, Belle?' tanyanya, Ia takut kalau saat itu ingatan Belinda tiba-tiba kembali.“Aku mengingatnya!” seru Belinda dengan kedua mata yang membola dan tubuhnya yang sedikit gemetar.‘Apa ingatannya telah kembali?’ tanya Henry dalam hati sambil menepikan mobilnya.Di sebuah Apartement mewah yang berada di pusat kota Madrid, Don Victorino menatap landscape kota besar itu sambil duduk santai di balkon kamarnya dengan sebuah cerutu yang terselip di jemari tangannya. Meski terlihat santai, pikirannya sangatlah kacau. Tidak bisa satu detik pun ia tidak memikirkan Belinda dan juga putra mereka, Felipe. Ia Amat merindukan keduanya. Seandainya waktu dapat diputar kembali, Victorino tidak akan menyiaka-nyiakan kesempatan yang telah diberikan tuhan padanya, saat pada akhirnya ia bertemu dengan putranya dan juga Belinda. Ia akan langsung melamar wanita itu dan memberikan keluarga yang utuh untuk Felipe. Mungkin saja saat ini mereka tengah becanda dan tertawa riang di salah satu ruangan di Palazzonya, atau di Apartement ini, di manapun istri dan putranya itu ingin tinggal. Tapi dendam telah membutakan mata dan hatinya. Dendam yang pada akhirnya tidak hanya membuat Belinda melupakannya, tapi juga Felipe yang bisa dipastikan sangat membencinya. Victorino
“Itulah yang Belle akui pada Lilian di hari pertama mereka bertemu dan berbincang lama di ruang kuning. Dan astaga, kenapa kamu menghancurkan Palazzo itu, Rino?” “Fokuslah pada masalah Belle, Vic. Jangan merembet ke yang lain!” sungut Victorino. Ia telah tidak Sabar ingin mengetahui kelanjutan ceritanya. “Lo siento, (Maafkan aku,) Ok, kita kembali ke Belle. Jadi Belle menceritakan semuanya pada Lilian saat mereka di ruang kuning itu. Awalnya Belle berencana untuk menggagalkan rencana Hose itu. Tapi … “ “Tapi kenapa dia tetap melanjutkannya?” tanya Victorino dengan tidak sabar. “Bisakah tidak menginterupsiku sampai aku selesai menceritakan semuanya? Atau aku akan menghentikannya sampai di sini.” “Aku bisa mati penasaran! Lanjutkan, aku tidak akan memotong pembicaraanmu lagi!” seru Victorino sambil merubah posisi duduknya agar lebih nyaman lagi, dan Victor pun kembali melanjutkan, “Tapi setelah mengetahui kalau pria yang akan mereka jebak itu adalah kamu dan terlebih lagi Hose akan
“Aku mengingatnya!” seru Belinda dengan kedua mata yang membola dan tubuhnya yang sedikit gemetar. ‘Apa ingatannya telah kembali?’ tanya Henry dalam hati sambil menepikan mobilnya. Suaranya terdengar ragu-ragu saat bertanya, “Apa tepatnya yang kamu ingat?” Belinda menatap lurus ke arah depannya, seolah ia tengah melihat langsung kejadian itu, “Aku … Kenapa aku dan Felipe keluar dari Mansionmu dengan mengendap-endap? Dan … Kenapa aku membawa putraku ke tempat yang berbahaya seperti itu? Bissa saja yang jatuh terguling saat itu adalah Felipe alih-alih aku,” jawabnya sebelum menatap penuh Henry, “Di mana kamu saat itu? Kenapa aku seolah-olah sedang berusaha melarikan diri darimu? Aku ingat betul salah satu penjagamu mengejar kami sampai akhirnya aku dan Felipe berhasil naik taksi.” Henry bingung harus menjawab apa, tidak mungkin ia mengatakan kebenarannya kalau alih-alih melarikan diri darinya, Belinda sedang melarikan diri dari Victorino yang telah menculiknya. Saat itu mereka berm
“Mamá … “ panggil Belinda dengan suara serak saat ia melihat mamá Juana yang tengah tertidur di sisinya, yang langsung terbangun saat mendengar suara putrinya itu. “Ya, Sayang?” “Jam berapa ini, Má?” Mamá Juana melirik jam di meja nakas, “Jam sepuluh malam, Sayang.” “Kenapa aku di sini? Bukankah tadi aku dan Henry sedang … “ Belinda terdiam. Sepertinya ia mulai ingat pada alasan kenapa ia berada di kamarnya lagi. “Apa Henry marah?” tanyanya. “Tidak, Mi Hija. Lord Henry tidak marah. Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Belinda mengangkat bahunya, “Aku tidak tahu.” “Belle, Mamá selalu ada untukmu. Kalau ada sesuatu yang mengganjal, tanyakan saja pada Mamá.” Belinda terlihat ragu-ragu saat akan mengatakan atau bertanya sesuatu. Dan mamá Juana dengan senyum lembut namun mampu menguatkannya itu kembali menepuk punggung tangannya, “Kalau kamu tidak mau cerita juga tidak apa-apa. Jangan paksakan dirimu untuk mengatakan yang tidak ingin kamu katakan.” Dan saat itulah akhirnya Beli
“Kalian tidak bisa tidur?" tanya William saat mendapati Belinda dan mamá Juana yang sedang makan di dapur, di tengah malam buta. “Anda juga belum tidur, Your Grace?” mamá Juana balik nanya. Bukan hal yang mengherankan melihat sikap tak bersahabat mamá Juana pada ayah mertuanya itu. Sejak hari di mana William membawa mereka di bawa ke London, ke Mansion mewahnya ini mamá Juana telah menujukkan ketidaksukaannya. Untuk alasan apa? Belinda pun tidak mengetahuinya. “Saya memang biasa terjaga setiap tengah malam seperti ini. Saya selalu mencari udara di halaman belakang. Dan apa yang sedang kalian makan itu?” “Patatas bravas," jawab Belinda. Ia menggeser cemilan khas Madrid berupa kentang goreng yang dipotong menjadi potongan tidak beraturan dengan saus patatas bravas berbahan dasar saus tomat, cuka dan cabai, seperti cabai rawit yang dituangkan di atas kentang gorengnya itu ke arah William, “GG mau mencobanya?” tanyanya. “Tidak, terima kasih. Perut tua saya sudah tidak bisa menerima
Dengan dibantu Henry, Belinda melepas manset panjangnya untuk ia serahkan pada salah satu pelayan rumah keluarga Nelson sebelum memasuki rumah besar itu. Henry memberikan lengannya untuk Belinda rangkul dan Belindapun tanpa ragu lagi mengapit lengan Henry itu dengan lengannya, lagipula itu bagus mengingat kondisi kesehatannya yang belum sepenuhnya pulih. Mereka mengikuti langkah pelayan lainnya yang mengarahkan mereka ke ruangan tempat pesta berlangsung, yang ternyata pestanya berlangsung di sebuah aula besar dengan banyaknya tamu undangan yang telah hadir di sana. Terlihat beberapa pasangan yang sedang berdansa di tengahnya. Dengan sesekali sang pria memutar wanitanya, membuat gaun mereka yang sangat cantik dengan bermacam warna itu mengembang indah menyapu kaki pasangan mereka. Deja Vu … Belinda seperti pernah mendatangi pesta seperti ini, tapi di mana? Ia menekan keningnya yang secara tiba-tiba merasa nyeri. Langkahnya yang seketika itu terhenti membuat perhatian Henry tertuju
Ini adalah hari pertama Victorino berada di London, di sebuah Mansion mewah yang berada tidak jauh dari Mansion Duke of Deshire tempat Belinda dan juga putranya berada. Pemilik Mansion itu merupakan sahabat baiknya saat di perguruan tinggi dulu, yang dengan senang hati meminjamkan Mansionnya untuk Victorino, tapi alih-alih meminjamnya, Victorino justru membeli Mansion itu dengan harga dua kali lipat dari harga pasaran. Tentu saja sang pemilik Mansion tidak dapat menolak tawaran menggiurkan itu, lagipula biaya perawatan Mansion itu pun kian tahun kian bertambah, sementara pemasukannya sedikit berkurang. Dengan tempat tinggalnya yang berada tidak jauh dari Mansion Belinda, Victorino dapat terus mengawasi wanita itu, juga putra mereka, Felipe. Sambil mencari waktu yang tepat untuk mendekati mereka. Dan terutama Felipe, ia sama sekali belum tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengambil hati putranya itu. Karena sejak pertama mereka bertemu, putranya itu telah sangat membencinya dan me
“¿él se fue? (Apa dia sudah pergi?)” “Ya. Pero. ¿Quién es él? (Ya, sudah. Tapi siapa pria itu?)" ulang Henry dengan tidak sabar. “No me prequentes eso, por favor, (Jangan tanyakan itu padaku, kumohon,)” pinta Belinda sambil kembali menekan dadanya yang masih terasa sakit. “Belle, perlu ke rumah sakit?” “Tidak, jangan, Aku tidak apa-apa." Meski begitu Henry tetap khawatir, ia segera merangkul Belinda tapi wanita itu berusaha menepis tangan Henry, “Belle, aku tidak mau kamu jatuh dan melukai dirimu sendirfi, biar aku memapahmu seperti ini.” “Aku bisa sendiri, Henry.” “Tidak, kamu terlalu lemah untuk itu. Apa kita pulang sekarang saja?” “Ya, antar aku pulang … Aku mau istirahat,” lirih Belinda sambil melingkarkan lengannya di pinggang Henry. “Perdóname, seharusnya aku tidak mengajakmu dansa. Seharusnya aku bersikeras mengabaikan saran Mrs. Nelson tadi. Karena memang seharusnya kamu belum boleh terlalu banyak beraktifitas,” ucap Henry sambil terus memapah Belinda melewati tamu u
“Kenapa jalannya lelet sekali, Rino?” keluh Belinda dengan tidak sabar saat ia dan Victorino menaiki tangga menuju kamar mereka. “Kamu harus mulai berhati-hati sekarang ini, My Lady. Karena ada yang sedang berkembang di dalam rahimmu itu, anak kita.” Belinda pun emmutar kedua bola matanya, “Astaga, tidak harus seperti itu juga, Rino. Aku tetap berhati-hati tanpa harus jalan sepelan siput.” “Er!” Rino memanggil asisten pribadinya, “Ya, Don Victorino?” “Apa pembuatan lift sudah dimulai?” tanya Victorino. “Lift?” ulang Belinda. “Sī. Aku tidak mau kamu kelelahan karena harus turun naik tangga setiap harinya.” “Ya Tuhan, Rino. Jangan berlebihan seperti itu!” “Tidak ada yang berlebihan untuk keselamatan Istri dan juga anak-anakku. Jadi, bagaimana Er?” “Besok pengerjaannya baru akan dimulai, Don Victorino.” “Bagus!” “Rino, rumah pasti berantakkan sekali selama pengerjaan itu. Tidak bagus untuk Felippe yamg pastinya akan terlalu banyak menghirup debu nantinya.” “Itu makanya kita
“Ya, dokter Lian benar. Istri anda memang sedang mengandung, Don Victorino. Saat ini usia kandungannya sudah berjalan tiga minggu.” Beritahu dokter kandungan yang tengah menggerakkan transducer di perut Belinda, yang diubah menjadi sebuah gambar di layar monitor. Baik Belinda maupun Victorino dan Lilian, mereka sama-sama memandangi monitor yang menampakkan bagian dalam rahim Belinda tanpa berkedip. Hanya Victor saja yang berdiri di luar pintu, karena Victorino tidak mengizinkan adiknya itu untuk masuk.“Mana anakku?” tanya Victorino dengan tidak sabar. Matanya menyipit tajam saat melihat monitor itu dengan teliti namun tidak juga menemukan janin yang ia cari.“Astaga, sabar Rino. Baru tiga minggu dan baru terlihat kantung kehamilan saja. Bukan begitu, Dok?” “Anda betul, Nona Belinda. Kalian lihat ini.” Dokter itu melingkari bagian yang akan ia jelaskan pada Belinda, Victorino dan juga Lilian. Meski sebenarnya Lilian telah mengetahui letak kantong kehamilan Belinda mengingat ia sendi
“Bagaimana kondisi Mamá, Lian?” tanya Belinda setelah Lilian selesai melakukan pemeriksaan rutin pada mama Juana.“Kesehatannya semakin membaik. Sepertinya treatment pengobatan yang kami lakukan berhasil untuknya, Belle,” jawab Lilian.Belinda menghela napas lega. Sejak tadi ia seolah berhenti bernapas karena terlalu mengkhawatirkan kesehatan mama Juana.“Karena Mamá sudah kembali ke Madrid, itu yang membuat Mamá lebih cepat pulih, Mi Hija,” celetuk mamá Juana.Belinda melangkah mendekat, lalu duduk di sisi tempat tidur untuk mengusap lembut puncak kepala mama Juana,“Aku tahu itu, Má. Itu makanya aku dan Rino mengajakmu kembali ke kota ini.”“Terima kasih, Mi Hijo. Mamá selalu merasa ada Papámu di kota ini. Mamá merasa semakin dekat dengannya.”“Má. Ingat masih ada aku dan Felipe. Jangan temui Papá dulu, aku masih membutuhkan Mamá,” pinta Belinda.Meski kini ia telah aman berada di dalam lindungan Victorino. Tapi ia juga masih tetap membutuhkan kasih sayang mama Juana. Ia belum memba
Setelah memastikan Felipe benar-benar terlelap, Belinda menaikkan selimut Felipe hingga batas dagunya sebelum melangkah keluar dari dalam kamar putranya itu menuju kamarnya sendiri untuk menemui Victorino. “Rino, kamu di mana?” tanya Belinda saat suaminya itu tidak terlihat di kamar tidur, pun demikian dengan kamar mandi. Ia baru akan keluar dari kamar mereka ketika sudut matanya menangkap tirai yang bergerak tertiup aangin malam, yang menandakan kalau pintu balkon sedikit terbuka.Victorino pasti sedang berada di luar sana.Dengan Langkah cepat Belinda menuju balkon dan mendapati Victorino yang tengah merenung sambil berpegangan dengan pembatas balkon kamar mereka,“Kamu tidak dengar aku memanggilmu barusan?” tanya Belinda sambil memeluk dan menyandarkan pipinya di punggung suaminya itu.“Benarkah?” Suara Victorino yang terdengar parau membuat Belinda mengangkat lagi kepalanya, dengan lembut ia memjutar tubuh Victorino agar dapat menatap lekat-lekat kedua mata gelapnya,“¿Qué pasa?
“Kamu tidak apa-apa, Mi Hijo? Kamu pusing?” tanya Victorino.Kekhawatiran dan keharuan membaur menjadi satu. Khawatir karena anaknya baru saja berada di ambang maut, dan haru karena itulah kali pertamanya Felipe memanggilnya dengan sebutan Papá.“Papá aku takut! Mamá!” “Sst, tenanglah Mi Hijo, kamu aman sekarang. Er, siapkan mobil!” Dengan sigap Erasmo segera menghubungi supir mereka untuk membawa Felipe ke rumah sakit. Pasti itulah tujuan Victorino memintanya menyiapkan mobil.“Felipe, ada Mamá juga di Sini, Sayang. Jangan takut lagi ya,” Belinda turut serta menenangkan Felipe.“Kakiku sakit …” rintih Felipe.Kini Victorino pun mengerti kenapa Felipe bisa tenggelam, padahal ia tahu betul kalau putranya itu pandai berenang.“Itu namanya kram, Mi Hijo. Papá akan membawamu ke rumah sakit, kamu tahan sebentar ya.”“Sekarang sudah tidak sakit lagi, Pá. Aku tidak mau ke rumah sakit.”Sontak saja hal itu membuat Victorino menghentikan langkahnya untuk memberikan tatapan penuh pada putrany
Keesokan paginya sesuai dengan janji Victorino, pria itu mengajak Belinda dan Felippe berlibur ke salah satu tempat wisata paling hits di Spanyol.Sebuah Pulau dengan luas lima ratus tujuh puluh dua meter persegi di kawasan Mediterania yang memiliki garis pantai sepanjang dua ratus sepuluh kilometer. Pulau yang terdapat banyak objek wisata dengan pantainya yang cantik.Saat ini mereka sedang mengunjungi sebuah pantai yang disepanjang garis pantainya memiliki pasir berwarna pink akibat dari pecahan koral. Gradasi warna air lautnya pun terlihat jelas dari berbagai arah, terdapat juga beberapa watersport di sana, yang ingin sekali Victorino dan Felipe datangi.Mengabaikan beberapa turis yang sedang berjemur dan sebagian ada yang toples, sambil bergandengan tangan Belinda dan Victorino menyusuri tepian pantai itu. Sesekali mereka berhenti hanya untuk melihat Felipe yang sedang asik bermain dengan Erasmo dan Cecil.“Apa kamu tidak merasa curiga dengan hubungan mereka?” tanya Belinda.“Er
“Marina! Dario!” Pekik Belinda riang saat melihat kedua sahabatnya tengah duduk manis di ruang tamu Victorino.“Holla, Duquesa de Neville!” sapa Marina sambil berdiri dari sofanya untuk menghampiri dan memeluk Belinda.“Apaan sih, panggil Belle saja ah!” protes Belinda kesal, meski begitu ia tetap membalas pelukan sahabatnya itu.“Aku kangeeennn … “ rengek Maria.“Aku juga … “ balas Belinda yang semakin mengeratkan pelukan mereka.Dario yang semula hanya duduk diam saja kini pun turut bergabung dengan Belinda dan Marina. Baru saja pria itu akan memeluk mereka saat sebuah suara bariton mencegahnya,“Coba saja peluk istri saya, atau kau akan keluar dari rumah ini tanpa kepala!” Ancam Victorino.Sontak saja ancamannya itu membuat Dario mengurungkan niatnya. Tapi Belinda malah menariknya untuk memeluknya,“Aku juga kangen sama kamu, Dario!” Seru Belinda tanpa menyadari tatapan tajam Victorino padanya, lalu tatapan membunuhnya yang terarah pada Dario, “Be … Belle!” Dario segera melepaskan
"Kalau begitu ikut aku, ada yang ingin aku perlihatkan padamu!"Belinda membiarkan Victorino menarik lembut tangannya, pria itu berjalan dengan santai hingga Belinda tidak terburu-buru mengikuti langkah panjang kakinya."Kamu mau memperlihatkan apa lagi padaku?""Kejutan.""Astaga Rino ... Sudah banyak kejutan yang kamu berikan padaku. Kali ini apa lagi? Lemari pakaianku nyaris susah tidak dapat menampung satu pakaian lagi.""Bukan pakaian, My Lady," sanggah Victorino tanpa menghentikan langkahnya."Lalu apa? Tas? Koleksi tasku pun sudah banyak sampai-sampai ada beberapa tas yang terpaksa harus aku letakkan di luar lemari.""Kalau masalah pakaian dan tas yang berlebihan, kamu bisa meletakkan sebagian di rumah baru kita nantinya, sayangnya saat ini masih dalam tahap finishing. Tapi aku janji bulan depan kita sudah akan menempatinya.""Ya Tuhan, rumah apa lagi, Rino? Memangnya kenapa dengan rumahmu yang sekarang ini? Itu saja sudah cukup besar untuk aku.""Rumah yang akan aku hadiahkan
Dengan lengan kekar Victorino yang melingkar di pinggangnya dengan posesif, Belinda menatap nanar puing-puing reruntuhan Palazzo Victorino yang terbakar, yang Victorino bakar lebih tepatnya.Begitu besarnya pengorbanan Victorino demi bisa membalas orang-orang yang telah jahat pada Belinda dan juga Felipe, bagaimana Belinda tidak terharu karenanya.Victorino mampu menghukum mereka semua namun dengan kesan mereka semua tewas terbakar karena tidak sempat menyelamatkan diri mereka saat Palazzo itu terbakar habis.Jadi tidak ada konsekuensi hukum yang terjadi pada Victorino. Lagipula di tanah Duque de Neville, Victorino lah yang menjadi hukum itu sendiri.Apapun perintahnya, tidak ada satu orang pun yang dapat membantahnya. Kecuali Belinda tentu saja, itu pun ia harus melihat suasana hati suaminya terlebih dahulu."Sayang sekali ... " desah Belinda.Bukan hanya sekedar basa-basi saja. Belinda memang sangat menyayangkan tindakan Victorino itu, meski dengan alasan membalaskan dendam Belinda