“¿Por qué el silencio, Mamá? (Kenapa diam saja, Mama?)" tanya Felipe ketika selama di dalam perjalanan menuju sekolahnya Belinda hanya fokus pada pikirannya sendiri, dengan mata yang terus terarah ke luar jendela. “¿Qué pasa? (Ada apa?)” tanya Felipe lagi saat matanya bertemu mata dengan Belinda. Felipe membiarkan Belinda menangkup pipinya, jika saja Felipe tidak sedang mengkhawatirkannya seperti saat ini, putranya itu pasti akan menepis tangannya, ia paling tidak suka jika dianggap seperti anak kecil. “Oye, apa kamu sangat menyayangi Tío Henry, Mi Hijo?” tanya Belinda sambil terus menatap lekat-lekat mata putranya itu. “Apa kesedihan Mamá ada hubungannya dengan Tío Henry?” Belinda mengerjapkan kedua matanya, ia tidak habis pikir dengan Felipe yang dapat dengan mudahnya menilai suasana hati seseorang, terutama suasana hati Belinda. Apa itu karena ikatan batin antara ibu dan anak? “Apa Mamá terlihat sedang sedih, Mi Hijo?” “Sí, Mamá.” Belinda mencoba tersenyum, ia harus member
“Kenapa mereka belum sampai?” tanya Victorino pada Erasmo setelah nyaris satu jam ia menunggu Belinda dan Felipe di sekolah anak mereka itu. “Sabar, Don Victorino. Menurut Cecil mereka baru jalan kurang dari setengah jam yang lalu, mungkin saja sebentar lagi mereka akan sampai,” jawab Erasmo. “Kenapa mereka jalan lebih siang dari biasanya?” “Saya mendapat info dari Cecil kalau saat breakfast tadi, Duke William meminta kesediaan Señorita Belinda untuk menikah dengan Lord Henry dua minggu lagi. Dan … ” “Apa? Henry mau menikahi Belle dalam dua minggu ini?” Victorino yang terpancing emosinya memotong penjelasan asisten pribadinya itu. Rahangnya mengeras dan kedua tangannya membuat kepalan seolah bersiap meninju wajah Henry, seandainya saja pria itu berada di sini sekarang. Henry benar-benar telah memanfaatkan amnesianya Belinda untuk memuluskan rencananya menikahi wanita itu hanya demi menguasai harta warisannya. Keluarga mereka akan terselamatkan seandainya saja Henry berhasil meni
Victorino membiarkan saja Felipe membawanya ke mana anak itu mau. Ia hanya mengikuti langkah kecil putranya itu hingga berbelok ke gang kecil yang mengarah ke sebuah taman tersembunyi, "Apa ini tempat untukmu bersembunyi, Mi Hijo?" tanya Victorino smabil menatap ke sekeliling taman itu. "Aku tidak pernah bersembunyi dari apapun, Om Jahat!" jawab Felipe. Hilang sudah anak yang tadi terlihat begitu manis dan penurut, berganti dengan anak yang terang-terangan menatap tajam pria yang sangat ia benci itu. "Ah, jadi kamu masih menggunakan sebutan itu untuk Papámu, Mi Hijo ... " desah Victorino. "Untuk semua kejahatan yang telah Om lakukan pada Mamá dan membuat Mamáku begitu menderita, tentu saja aku akan terus memanggilmu dengan sebutan itu." "Papá yakin sekali kamu telah mengetahui apa penyebab Papá bisa bersikap impulsiv seperti itu, ya kan?" "Apa Om sedang berusaha untuk membela diri?" tanya Felipe. "Tidak, tentu saja bukan itu tujuan Papá. Tapi memang semua kejadian itulah yang m
"Aku memang menyukai Tío Henry. Tapi kebahagiaan Mamá lah yang jauh lebih penting sekarang. Huh, aku tidak mengerti dengan pikiran orang dewasa yang memusingkan itu!" Victorino menahan tawanya saat mendengar keluhan putranya itu. Begitulah jika anak kecil yang berusaha menunjukkan dirinya telah dewasa namun tidak mau tumbuh menjadi pria dewasa. "Mi Hijo ... Tidak selamanya dunia dewasa itu memusingkan, sama halnya dengan tidak selamanya dunia anak-anak itu hanya di isi dengan bermain dan bermain saja. Semua memiliki porsinya masing-masing, terkadang bahagia, kadang juga sedih dan mengecewakan. Tergantung diri kita sendiri yang akan seperti apa menanggapinya nantinya." "Aku juga tahu itu. Sekarang aku memberikan kesempatan pada Om untuk membuktikan kesungguhan Om pada Mamá. Untuk bisa mengembalikan ingatan Mamá lagi." Senyuman lebar mengembang di wajah Victorino saat mendengarnya. Mungkinkah perlahan tapi pasti putranya itu telah mulai luluh padanya? Mungkin tidak akan lama lagi Fe
dan wanita itu lumayan kaget saat dimeja yang mereka tempati sebelumnya telah tersedia minuman yang sangat digemarinya itu. Rupanya dengan sigap Erasmo telah menyiapkan semuanya. Termasuk juga buket bunga canti yang tidak terdapat di meja yang lainnya. Untung saja masalah buket bunga itu Belinda tidak menyadarinya. "Kenapa kamu bisa tahu aku menyukai minuman ini?" tanyanya dengan mata yang berbinar-binar sambil duduk di tempat favoritnya, di samping jendela kaca. Setidaknya Victorino mengira itulah tempat favorit Belinda, karena di sepanjang pengamatannya, wanita itu selalu duduk di sana, dengan siapapun ia pergi ke Kafe itu. "Aku selalu mengetahui apapun, Belle. Apapun," jawab Victorino dengan penuh percaya diri. Belinda mendengus pelan, "Jangan-jangan tadi Felipe yang memberitahunya ya kan?" tebaknya. "Tidak. Kami sama sekali tidak mebahasmu tadi," elak Victorino. Ia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya pada Belinda kalau topik pembicaraannya dengan putra mereka tadi ad
Belinda terengah, saat jemari Victorino tengah bermain di area pribadinya, mengirimkan gelenyar-gelenyar nikmat ke seluruh tubuhnya."Kamu mabuk, Rino ... Kamu akan menyesalinya besok. Bagaimana bisa kamu melakukan itu dengan wanita yang kamu benci ini!"Lalu Victorino tergelak ketika Belinda memalingkan wajahnya saat melihat bukti gairah pria itu, "Aku tidak sepenuhnya mabuk, My Lady ... Aku sudah jatuh tertidur kalau aku memang benar-benar mabuk," "Aku bukan Ladymu!" sangkal Belinda."Siapa bilang kamu bukan Ladyku?" tanya pria yang telah berbaring di atasnya dengan kedua lengan yang menopang tubuh kokohnya itu, sementara matanya jelas-jelas telah terbakar api gairah."Bukan, aku bukan Ladymu, tapi pelacurmu!"Pandangan Belinda tiba-tiba menggelap, lalu kembali jelas lagi saat bertatapan dengan wajah Victorino di waktu yang berbeda,"Itu yang kamu sebut jahat? Kamu juga menikmatinya Belle dan aku tahu itu!" Teriak Victorino padanya."No ... O sí. (Tidak ... Mungkin ya.)""Apa maksu
Namun alih-alih jatuh ke alam bawah sadarnya, Belinda malah terduduk sambil teriak histeris seolah tengah kesakitan, “Arrggghhh! Kepalaku sakit! Kepalaku sakit sekali!” “Belle, syukurlah kamu sudah sadar. Kepalamu sakit lagi? Aku akan panggilkan dokter dulu!” seru seseorang sambil menekan tombol darurat di tempat tidur Lolita. Suara itu … Dengan cepat Belinda melihat ke arah pemilik suara itu yang tak lain adalah Victorino. Kedua matanya seketika membola. Potongan demi potongan ingatan yang beberapa bulan ini menghilang dari dalam memorinya perlahan kembali lagi, berbaur sempurna dengan memori yang baru terbentuk beberapa bulan belakangan ini. Membuat kepala Belinda yang sedang nyeri itu semakin bertambah sakit karenanya. Belinda menepis kasar tangan Victorino yang baru saja meremas bahunya dengan sorot mata yang terlihat jelas sangat mengkhawatirkannya itu. “Ka … Kamu!” “Iya, aku. Selain kepalamu apalagi yang kamu rasakan, Belle? Untung saja kepalamu tidak terbentur tadi,” t
“Apa kau tidak mendengarnya, Rino? Jauhkan tanganmu dari tunanganku dan keluarlah!” seru Henry yang tiba-tiba saja memasuki ruang rawat Belinda. Pria itu tidak masuk seorang diri, tapi juga bersama Duke William, Felipe dan Elena. “Beraninya kau masih mengganggu cucuku saya! Keluar atau saya akan meminta petugas keamanan untuk menendangmu dari sini!” Duke William turut serta mengusir Victorino. “Maaf kalau saya lancang, Your Grace. Izinkan saya bicara dengan kekasih saya, Don Victorino. Saya akan membujuknya untuk tidak lagi mengganggu Lady Belinda lagi,” celetuk Elena dengan lembut. Membuat tidak hanya Duke William saja yang tercenganng, tapi juga Henry, Belinda dan Felipe. Dan gterutama Victorino, ia sama sekali tidak menyangka kalau elena akan mengatakan kebohongan seperti itu. Namun dari cara Elena menatapnya, ia yakin betul kalau ada rencana gadis itu dibaliknya. “Sejak kapan Rino jadi kekasihmu?” tanya Henry. Sebagai seorang kakak, ia tidak tahu kalau adiknya itu telah menj
“Kenapa jalannya lelet sekali, Rino?” keluh Belinda dengan tidak sabar saat ia dan Victorino menaiki tangga menuju kamar mereka. “Kamu harus mulai berhati-hati sekarang ini, My Lady. Karena ada yang sedang berkembang di dalam rahimmu itu, anak kita.” Belinda pun emmutar kedua bola matanya, “Astaga, tidak harus seperti itu juga, Rino. Aku tetap berhati-hati tanpa harus jalan sepelan siput.” “Er!” Rino memanggil asisten pribadinya, “Ya, Don Victorino?” “Apa pembuatan lift sudah dimulai?” tanya Victorino. “Lift?” ulang Belinda. “Sī. Aku tidak mau kamu kelelahan karena harus turun naik tangga setiap harinya.” “Ya Tuhan, Rino. Jangan berlebihan seperti itu!” “Tidak ada yang berlebihan untuk keselamatan Istri dan juga anak-anakku. Jadi, bagaimana Er?” “Besok pengerjaannya baru akan dimulai, Don Victorino.” “Bagus!” “Rino, rumah pasti berantakkan sekali selama pengerjaan itu. Tidak bagus untuk Felippe yamg pastinya akan terlalu banyak menghirup debu nantinya.” “Itu makanya kita
“Ya, dokter Lian benar. Istri anda memang sedang mengandung, Don Victorino. Saat ini usia kandungannya sudah berjalan tiga minggu.” Beritahu dokter kandungan yang tengah menggerakkan transducer di perut Belinda, yang diubah menjadi sebuah gambar di layar monitor. Baik Belinda maupun Victorino dan Lilian, mereka sama-sama memandangi monitor yang menampakkan bagian dalam rahim Belinda tanpa berkedip. Hanya Victor saja yang berdiri di luar pintu, karena Victorino tidak mengizinkan adiknya itu untuk masuk.“Mana anakku?” tanya Victorino dengan tidak sabar. Matanya menyipit tajam saat melihat monitor itu dengan teliti namun tidak juga menemukan janin yang ia cari.“Astaga, sabar Rino. Baru tiga minggu dan baru terlihat kantung kehamilan saja. Bukan begitu, Dok?” “Anda betul, Nona Belinda. Kalian lihat ini.” Dokter itu melingkari bagian yang akan ia jelaskan pada Belinda, Victorino dan juga Lilian. Meski sebenarnya Lilian telah mengetahui letak kantong kehamilan Belinda mengingat ia sendi
“Bagaimana kondisi Mamá, Lian?” tanya Belinda setelah Lilian selesai melakukan pemeriksaan rutin pada mama Juana.“Kesehatannya semakin membaik. Sepertinya treatment pengobatan yang kami lakukan berhasil untuknya, Belle,” jawab Lilian.Belinda menghela napas lega. Sejak tadi ia seolah berhenti bernapas karena terlalu mengkhawatirkan kesehatan mama Juana.“Karena Mamá sudah kembali ke Madrid, itu yang membuat Mamá lebih cepat pulih, Mi Hija,” celetuk mamá Juana.Belinda melangkah mendekat, lalu duduk di sisi tempat tidur untuk mengusap lembut puncak kepala mama Juana,“Aku tahu itu, Má. Itu makanya aku dan Rino mengajakmu kembali ke kota ini.”“Terima kasih, Mi Hijo. Mamá selalu merasa ada Papámu di kota ini. Mamá merasa semakin dekat dengannya.”“Má. Ingat masih ada aku dan Felipe. Jangan temui Papá dulu, aku masih membutuhkan Mamá,” pinta Belinda.Meski kini ia telah aman berada di dalam lindungan Victorino. Tapi ia juga masih tetap membutuhkan kasih sayang mama Juana. Ia belum memba
Setelah memastikan Felipe benar-benar terlelap, Belinda menaikkan selimut Felipe hingga batas dagunya sebelum melangkah keluar dari dalam kamar putranya itu menuju kamarnya sendiri untuk menemui Victorino. “Rino, kamu di mana?” tanya Belinda saat suaminya itu tidak terlihat di kamar tidur, pun demikian dengan kamar mandi. Ia baru akan keluar dari kamar mereka ketika sudut matanya menangkap tirai yang bergerak tertiup aangin malam, yang menandakan kalau pintu balkon sedikit terbuka.Victorino pasti sedang berada di luar sana.Dengan Langkah cepat Belinda menuju balkon dan mendapati Victorino yang tengah merenung sambil berpegangan dengan pembatas balkon kamar mereka,“Kamu tidak dengar aku memanggilmu barusan?” tanya Belinda sambil memeluk dan menyandarkan pipinya di punggung suaminya itu.“Benarkah?” Suara Victorino yang terdengar parau membuat Belinda mengangkat lagi kepalanya, dengan lembut ia memjutar tubuh Victorino agar dapat menatap lekat-lekat kedua mata gelapnya,“¿Qué pasa?
“Kamu tidak apa-apa, Mi Hijo? Kamu pusing?” tanya Victorino.Kekhawatiran dan keharuan membaur menjadi satu. Khawatir karena anaknya baru saja berada di ambang maut, dan haru karena itulah kali pertamanya Felipe memanggilnya dengan sebutan Papá.“Papá aku takut! Mamá!” “Sst, tenanglah Mi Hijo, kamu aman sekarang. Er, siapkan mobil!” Dengan sigap Erasmo segera menghubungi supir mereka untuk membawa Felipe ke rumah sakit. Pasti itulah tujuan Victorino memintanya menyiapkan mobil.“Felipe, ada Mamá juga di Sini, Sayang. Jangan takut lagi ya,” Belinda turut serta menenangkan Felipe.“Kakiku sakit …” rintih Felipe.Kini Victorino pun mengerti kenapa Felipe bisa tenggelam, padahal ia tahu betul kalau putranya itu pandai berenang.“Itu namanya kram, Mi Hijo. Papá akan membawamu ke rumah sakit, kamu tahan sebentar ya.”“Sekarang sudah tidak sakit lagi, Pá. Aku tidak mau ke rumah sakit.”Sontak saja hal itu membuat Victorino menghentikan langkahnya untuk memberikan tatapan penuh pada putrany
Keesokan paginya sesuai dengan janji Victorino, pria itu mengajak Belinda dan Felippe berlibur ke salah satu tempat wisata paling hits di Spanyol.Sebuah Pulau dengan luas lima ratus tujuh puluh dua meter persegi di kawasan Mediterania yang memiliki garis pantai sepanjang dua ratus sepuluh kilometer. Pulau yang terdapat banyak objek wisata dengan pantainya yang cantik.Saat ini mereka sedang mengunjungi sebuah pantai yang disepanjang garis pantainya memiliki pasir berwarna pink akibat dari pecahan koral. Gradasi warna air lautnya pun terlihat jelas dari berbagai arah, terdapat juga beberapa watersport di sana, yang ingin sekali Victorino dan Felipe datangi.Mengabaikan beberapa turis yang sedang berjemur dan sebagian ada yang toples, sambil bergandengan tangan Belinda dan Victorino menyusuri tepian pantai itu. Sesekali mereka berhenti hanya untuk melihat Felipe yang sedang asik bermain dengan Erasmo dan Cecil.“Apa kamu tidak merasa curiga dengan hubungan mereka?” tanya Belinda.“Er
“Marina! Dario!” Pekik Belinda riang saat melihat kedua sahabatnya tengah duduk manis di ruang tamu Victorino.“Holla, Duquesa de Neville!” sapa Marina sambil berdiri dari sofanya untuk menghampiri dan memeluk Belinda.“Apaan sih, panggil Belle saja ah!” protes Belinda kesal, meski begitu ia tetap membalas pelukan sahabatnya itu.“Aku kangeeennn … “ rengek Maria.“Aku juga … “ balas Belinda yang semakin mengeratkan pelukan mereka.Dario yang semula hanya duduk diam saja kini pun turut bergabung dengan Belinda dan Marina. Baru saja pria itu akan memeluk mereka saat sebuah suara bariton mencegahnya,“Coba saja peluk istri saya, atau kau akan keluar dari rumah ini tanpa kepala!” Ancam Victorino.Sontak saja ancamannya itu membuat Dario mengurungkan niatnya. Tapi Belinda malah menariknya untuk memeluknya,“Aku juga kangen sama kamu, Dario!” Seru Belinda tanpa menyadari tatapan tajam Victorino padanya, lalu tatapan membunuhnya yang terarah pada Dario, “Be … Belle!” Dario segera melepaskan
"Kalau begitu ikut aku, ada yang ingin aku perlihatkan padamu!"Belinda membiarkan Victorino menarik lembut tangannya, pria itu berjalan dengan santai hingga Belinda tidak terburu-buru mengikuti langkah panjang kakinya."Kamu mau memperlihatkan apa lagi padaku?""Kejutan.""Astaga Rino ... Sudah banyak kejutan yang kamu berikan padaku. Kali ini apa lagi? Lemari pakaianku nyaris susah tidak dapat menampung satu pakaian lagi.""Bukan pakaian, My Lady," sanggah Victorino tanpa menghentikan langkahnya."Lalu apa? Tas? Koleksi tasku pun sudah banyak sampai-sampai ada beberapa tas yang terpaksa harus aku letakkan di luar lemari.""Kalau masalah pakaian dan tas yang berlebihan, kamu bisa meletakkan sebagian di rumah baru kita nantinya, sayangnya saat ini masih dalam tahap finishing. Tapi aku janji bulan depan kita sudah akan menempatinya.""Ya Tuhan, rumah apa lagi, Rino? Memangnya kenapa dengan rumahmu yang sekarang ini? Itu saja sudah cukup besar untuk aku.""Rumah yang akan aku hadiahkan
Dengan lengan kekar Victorino yang melingkar di pinggangnya dengan posesif, Belinda menatap nanar puing-puing reruntuhan Palazzo Victorino yang terbakar, yang Victorino bakar lebih tepatnya.Begitu besarnya pengorbanan Victorino demi bisa membalas orang-orang yang telah jahat pada Belinda dan juga Felipe, bagaimana Belinda tidak terharu karenanya.Victorino mampu menghukum mereka semua namun dengan kesan mereka semua tewas terbakar karena tidak sempat menyelamatkan diri mereka saat Palazzo itu terbakar habis.Jadi tidak ada konsekuensi hukum yang terjadi pada Victorino. Lagipula di tanah Duque de Neville, Victorino lah yang menjadi hukum itu sendiri.Apapun perintahnya, tidak ada satu orang pun yang dapat membantahnya. Kecuali Belinda tentu saja, itu pun ia harus melihat suasana hati suaminya terlebih dahulu."Sayang sekali ... " desah Belinda.Bukan hanya sekedar basa-basi saja. Belinda memang sangat menyayangkan tindakan Victorino itu, meski dengan alasan membalaskan dendam Belinda