Cie.... yang sudah mulai pinter.
"Kamu sudah mulai nakal, ya," bisiknya dengan mengecup keningku. Sorot mata meredup dan dengus napas masih memburu."Habisnya. Kak Mahe apa-apa marah. Bisakah ini dikendalikan? " tanyaku dengan menepuk dadanya yang keras. "Semua yang berhubungan denganmu selalu membuatku gila. Jangan diulangi lagi yang tadi. Kamu harus memberitahuku dulu saat berurusan dengan laki-laki siapapun. Kecuali, kamu sengaja membuatku marah," ucapnya dengan menangkup pipi ini dan menunjukkan selarik senyuman.Akhirnya amarahnya reda, walaupun aku harus melalukan sesuatu yang ekstrim. "Ya. Mulai sekarang, ponsel ini akan selalu menghubungi Kak Mahe. Aku bertemu siapa, akan kemana dan untuk apa, pasti akan info," ucapku tersenyum lega"Tetapi tidak apa-apa, sih, kalau cara menenangkanmu seperti barusan. Marah seribu kali pun, aku rela," ucapnya dengan mengedipkan mata."Kak! Jangan genit, tadi aku terpaksa," ucapku dengan mencembik."Yang aku rasa, tidak tuh. Eits, jangan begitu bibirnya. Aku cium lagi, mau?"
Yang diucapkan aku anggap hanya sekadar bercandaan saja. Mana ada dua ancaman yang harusnya berlawanan, tetapi bermuara di satu tujuan, pernikahan. Memang benar kata Mas Sakti, dia duda yang membahayakan.Dari pada berasumsi yang tidak-tidak, lebih baik aku fokus dengan pekerjaanku tang terbengkelai ini.Rancangan untuk proyek ini menuntut kami untuk lembur dan membuat penat pikiran. Kalau ditrawang, mungkin di atas kepala kami mulai mengeluarkan asap. Untuk otak tidak diberi kaki, sehingga tidak bisa melarikan diri. Proyek ini benar-benar memaksa mengeluarkan semua tenaga dan pikiran.Sesekali Pak Mahendra datang melihat perkembangan pekerjaan ini. Kami menjaga sikap profesional saat bekerja, dan bersikap hubungan kami sekedar bos dan anak buah. Dari ungkapan dan raut wajahnya kelihatan dia puas, dan berakhir tos dengan Mas Sakti setelah dia pergi. Aku tersenyum menatap meja gambarku. Terpuaskan semua keinginanku akan karyaku ini. Rancangan yang sarat dengan arti dan memuaskan mata
Bertemu dengan Mas Janan mengobati rasa rinduku akan kehidupan kampus dulu. Kami sering berbincang dan bercerita masa lalu. Tentunya disela-sela pembicaraan program desa. Tak jarang aku mengoloknya tentang sikap konyolnya dahulu. Sok berkuasa, ngatur ini dan itu. Yah, gaya khas senior dulu.Memang, kami berbeda jurusan walaupun sama-sama Fakultas Tehnik. Dia jurusan mesin dan aku arsitek, namun pandangan kami setipe, lebih melihat sesuatu berdasarkan logika. Tidak suka terjebak atau terkekang dengan hubungan rasa, mungkin itulah yang menyebabkan dia masih sendiri.Status Mas Janan ini yang sering dimasalahkan oleh Pak Mahendra. Dia menganggap dahulu kami mempunyai hubungan khusus dan sekarang masih menungguku. Dia tidak suka melihat kami berbincang dan tertawa bersama. Meskipun aku berusaha bersikap formal, tetap aja berujung dengan canda seperti dulu.Huuft ...!Mempunyai teman dekat yang tidak mengerti indahnya berteman itu susah! Harus menjelaskan dengan bukti dan memberi argumen y
Lampu aku hidupkan dan benar Tanganku bersimbah darah karenanya. Darah itu merembes dari kemeja Pak Mahendra."Kak .... Kamu kenapa? Si-siapa yang berbuat jahat kepadamu?" ucapku dengan tangan gemetar membuka kancing bajunya."Tadi ada yang mencoba merampokku."Luka menganga lebar terlihat jelas dengan darah yang tidak berhenti keluar. Secepatnya aku ambil kotak obat di dashboard. Mengambil kasa, kapas dan plester. Luka aku tutup dan diplester untuk mengurangi keluarnya darah. Walaupun darah berkurang yang keluar, tapi luka ini harus dijahit. "Kak, kita harus ke rumah sakit," bisikku. "Kak Mahe tahan sakit sebentar, geser tempat duduknya," ucapku sambil membantunya untuk beringsut. Posisi kami yang berdekatan dengan kancing baju terbuka membuat hati ini berdesir."Litu .... Kamu harus ganti baju," ucapnya lirih dengan mata terbuka sendu, namun tangan satunya mencengkeram erat pinggangku.Duh! Aku lupa, karena terburu-buru keluar, aku masih menggunakan baju tidur. Ya, hanya baju tid
"Jangan! Nanti Mama marah!" teriak Pak Mahendra dengan menarik tangan Mas Sakti yang memegang ponsel. "Kalau tidak begini, kamu tidak akan nurut! Sudah dikasih tahu, tidak mau dengar omongan orang!" "Iya, ya. Aku salah. Tapi janji, rahasiakan ini dari Mama!" pinta Pak Mahendra."Apa yang dirahasiakan, Hendra?" suara lembut keibuan terdengar sesaat setelah pintu terbuka. Seorang wanita dengan tampilan elegan masuk ke dalam ruangan. Dibelakangnya dua orang laki-laki berjas hitam rapi mengikuti. Mereka bersiap tegap di sebelah pintu, seperti bodyguard di film-film.Ditangannya memegang gulungan koran yang diacungkan ke arah Pak Mahendra. Ibu ini yang disebut keduanya dengan panggilan Mama. Entah Mama dari siapa. Kalau Mama Pak Mahendra berarti .... Mati aku!"Kamu ditusuk orang, tapi tidak mengabari Mama? Dan kalian berniat merahasiakannya?" tanyanya sambil menatap Mas Sakti dan Pak Mahendra bergantian."Ma-maaf, Ma. Hendra bukan ....""Apa-apaan kamu! Terus ini siapa? Kamu juga merah
Resahku sekarang berganti. Bukan karena sakitnya Pak Mahendra, tetapi karena tiga hari lagi harus bertemu Mama Lia.Calon mertua.***Aku seperti jungkir balik mengatur jadwal. Jadwal yang ketat untuk proyek ini memaksaku harus menyelesaikan meninjauan hasil kerja team gambar yang menumpuk di mejaku. Pekerjaan yang seharusnya dibagi dengan Mas Sakti, harus aku selesaikan sendiri. Dia menggantikan pekerjaan Pak Mahendra yang masih harus dirawat di rumah sakit. Dan di sinilah aku, tenggelam dalam banjir pekerjaan.Tidak ada kata bersantai lagi. Bahkan untuk makan siangpun, Mbak Endah mengirimnya ke ruanganku. Itu, karena perintah Mas Sakti yang melihat aku tidak sempat ke cafetaria.Belum lagi Pak Mahendra yang menggangguku. Terkurungnya dia di rumah sakit tidak menghambat terornya. Aku diharuskan menerima panggilan video hanya sekedar alasan kangen. "Kak Mahe, saya tidak bisa lama-lama bicara. Bisa jadi saya harus lembur. Kak Mahe, mau?" tanyaku tanpa menoleh ke arah layar ponsel. A
"Sayang .... Kamu sudah tidur?" Suara Pak Mahendra terdengar dekat. Aku langsung memejamkan mata pura-pura tidur. Terasa ada yang duduk di tepi ranjang. Tidak selang beberapa lama seperti dia berbaring di belakangku."Kamu belum tidur, kan?" bisiknya ditelingaku dan sesekali mengecup rambut ini. "Kak .... tangannya," ucapku serak saat dia melingkarkannya diperutku. "Kamu belum tidur, kan?"Kali ini dia menyibak rambutku dan memberikan kecupan kecil. Jantungku yang tadi hampir terlepas, sekarang benar-benar lepas. Aku tercekat tidak kuasa menghindar, bahkan saat dia membalikkan tubuh ini. "Kak ...." Dia tersenyum dan bergerak cepat membungkamku. ..."Aduh!" teriakkannya.Ulah tanganku yang penasaran dengan pemandangan tadi membuat dia berteriak. "Maaf, Kak!"Aku langsung duduk dan membuka piyamanya memastikan lukanya aman. Tentunya serambi memuaskan penasaranku. Sepertinya aku sudah teracuni olehnya. "Tidak berdarah, sih. Aman. Kak Mahe, sih. Kenapa juga harus pindah tempat tid
"Kenapa, kamu Litu?" Suara Mas Sakti mengagetkanku. Tiba-tiba wajahnya muncul di depanku. Aku yang menundukkan kepala dengan meremas rambut ini, langsung membuka mata lebar. Wajah dengan alis bertaut. Sebentar lagi, pasti mengoceh hipotesa tentangku yang sekarang berputar di otaknya.Kusandarkan tubuhku di kursi. Pasrah dengan tuduhan-tuduhan yang akan terlontar. Kepalaku sudah pening. Otakku seperti mengalami konsleting karena kata deadline memburuku. Pekerjaan deadline karena minggu depan sudah jadwal lounching. Termasuk dikejar deadline masa lajangku, yang sudah didesak kata menikah cepat dari Pak Mahendra. Huuft!"Kamu lagi mikir apa? Cerita dengan Kakak Ipar!" ucapnya tersenyum dengan menepuk dadanya."Cerita yang mana dulu? Semua membuat otak akan meledak!" teriakku sambil menghembuskan napas panjang."Pekerjaan? Sudah bereskan? Tinggal nunggu hasilnya saja. Maaf, ya. Kemarin-kemarin aku tinggal.""Ya itu yang membuat saya cemas, Mas! Apakah para undangan nanti tertarik, suk
Apa yang dicari dalam hidup ini, kalau tidak ketenangan? Untuk apa berlimpah harta dan kekuasaan, tetapi bergelimang kecemasan akan kehilangan? “Karenanya, aku berusaha menyelesaikan urusan-urusanku sebelum menjalani hidup tenang bersamamu, Litu.” Aku menjawab dengan senyuman sambil mengeratkan tangannya yang mengusap perut ini. Hangat tubuh yang selama ini aku nikmati dari bajunya yang tidak dicuci, sekarang bisa aku hidu setiap waktu. Senyuman begitu lekat di wajah ini. Sesekali meneleng ke belakang untuk menyambut ciumannya. “Kak Mahe tidak pergi meninggalkan aku lagi?” “Untuk apa? Semua sudah aku bereskan.” “Janji?” “Janji. Demi anak kita, Litu,” ucapnya sambil membalikkan tubuh ini kepadanya. Wajahnya menunjukkan keseriusan, dengan mata tidak terlepas dariku. “Apa yang terjadi kepadamu, membuat aku berpikir. Kalau aku tetap mempertahankan posisi dan apa yang aku lakukan sekerang, bukan tidak mungkin anak kita nanti akan mendapatkan kemalangan. Aku tidak mau itu.” “Iya. A
Apa salah kalau seorang istri ingin merasa dipentingkan oleh suami sendiri? Apakah tidak benar, kalau aku ingin malam-malamku ditemani suami sambil mengusap perutku yang sudah mulai buncit ini?“Nduk, kamu ingin rujak manis mangga muda? Ibuk bikinkan, ya?”“Tidak usah ditawari. Langsung dibuatkan saja. Pasti Litu kemecer,” sahut Bapak menjawab pertanyaan Bapak.Bukannya aku tidak ingin, tapi aku menginginkan mangga muda yang diambilkan Kak Mahe sendiri. Keinginanku itu sudah tertahan satu minggu, dua minggu, dan sekarang sudah menginjak di bulan kedua. Namun tidak ada kabar sama sekali tentang Kak Mahe.“Suamimu baik-baik saja. Hanya dia belum bisa menghubungimu demi keselamatanmu, Litu,” ucap Mas Sakti kalau aku mengajukan pertanyaan yang sama melalui sambungan telpon.Sampai sekarang aku tidak tahu ada urusan apa yang lebih dia pentingkan. Kalau bisnis, kenapa justru dia meninggalkan perusahaan dan menyerahkan kepada Mas Sakti?Aku seperti istri yang tidak mengerti suaminya seperti
“Kamu benar ingin meninggalkan suamimu?” Alysia menangkup tanganku, menghentikan gerakanku yang sedang memasukkan baju ke dalam koper.Aku menatapnya sebentar. Rasanya ingin menyerah dan pasrah, tetapi hati ini sudah terlanjur terpantik rasa kesal. Menjadi seorang istri yang tidak dianggap. Ucapanku hanya dianggapnya angin lalu.“Iya. Aku ingin pulang ke Jogja. Di sini aku tidak dianggap apa-apa. Bahkan tidak dianggap penting,” ucapku kemudian melanjutkan yang aku lakukan tadi.“Litu. Pak Mahendra pergi karena ada urusan penting.”“Siapa yang bilang? Dia hanya mengurus orang-orang yang menurutnya harus dilibas,” ucapku sambil tertawa. “Alasan saja demi aku. Tapi menurutku itu hanya demi egonya sendiri.”“Sakti pasti benar. Pak Mahendra sedang ada__”“Sedang apa dia, Alys?” ucapku memotong ucapan sahabatku. Sejenak aku mengambil jeda untuk mengatur napas. Mencoba meredam amarah.“Kalau dia memang benar-benar mencintaiku dan sayang kepada anaknya, pasti sekarang ini dia menunggui aku ya
Tangannya memegang erat lenganku. Sorot matanya menunjukkan ketidakrelaan, menyurutkan gerakanku untuk berdiri.“Kak Mahe, aku tidak ingin keributan.”“Tapi Litu. Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku harus membalas perlakuannya kepadamu. Enak saja. Belum tahu siapa Mahendra ini?!” ucapku dengan mengeratkan kepalan tangan ini. Aku berusaha meredam amarahku, terlebih dihadapan Lituhayu.“Sst…. Kalau marah jangan keras-keras, Kak. Nanti dia dengar.” Istriku berdesis sambil menuntukkan telunjuk di depan bibirnya. Aku mengernyit.“Dia? Dia siapa?” tanyaku dengan menoleh ke sekeliling. Hanya ada kami berdua.Lituhayu tersenyum, kemudian menarik tangan ini ke arah perutnya. “Dia, Kak. Anak kita. Walaupun masih kecil di perut, dia sudah mendengar. Bahkan bisa juga merasakan apa yang ada di hati orang tuanya.”Aku terperanga seketika, tersadar dengan perasaan yang aneh ini. Yang menyelusup dan bersarang di hati ini.Anak? Anakku?Rasa yang tidak bisa aku gambarkan. Yang aku tahu, dia m
Aroma wangi bunga menyelusup di penciuman. Kicauan suara burung terdengar bersautan yang mengantarkan kedamaian, mengusikku untuk membuka mata.Mata ini mengerjap, menajamkan pandangan yang terhalang tirai putih berkibar tergantung di tiang ranjang. Sesekali terlihat pemandangan yang menakjubkan, seiring dengan angin yang berembus halus.‘Dimana aku ini?’Penasaran. Aku beringsut dan perlahan kaki ini turun dari ranjang berwarna serba putih. Telapak kaki tergelitik seketika, saat beradu dengan ujung rumput.‘Apakah aku sudah di surga?’ bisikku dalam hati setelah menyibak tirai. Pemandangan indah terhampar luas. Aku di tengah-tengah taman indah dan beratapkan langit biru yang menyejukkan.Masih teringat lekat, tubuh ini melayang di udara. Telingaku yang mendengar teriakan pak sopir di sela suara Mas Sakti dan berakhir dengan silau yang menyerang mata ini.Siapa mereka?Sosok berbaju berbaju putih menunduk mengerumuni keranjang rotan.Penasaran. Langkah ini seakan melangkah dengan sendi
Kalau mempunyai keinginan, memang harus diupayakan. Aku setuju tentang itu. Akan tetapi bukan begini juga prakteknya.Kebersamaan kami tidak hanya di rumah saja. Keinginan segera memiliki buah hati juga digaungkan di kantor. Hampir setiap ada kesempatan, Kak Mahe memanggilku ke ruangannya. Tentu saja berakhir di ruang rahasia belakang kabinet.Ranjang yang menghadap jendela lebar, seakan merindukan kehangatan kebersamaan ini. Menjadi saksi bisu kegigihan upaya kami berdua.“Kamu selalu cantik, Sayang.”Kak Mahe mengaitkan rambutku ke belakang telinga. Seakan selesai kerja keras, pendingin ruangan tidak menyurutkan keringat yang melembabkan kulit ini. Aku menggeliat, meregangkan tubuh yang lelah karena ulahnya. Seakan mengerti, selimut ditangkupkan di tubuhku yang masih meringkuk. Aku seperti atlit maraton yang mengibarkan bendera putih tanda menyerah.Senyum ini mengembang, saat dia mencium lembut kening ini. Mata ini pun enggan terpejam, saat dia dengan tubuh polosnya beranjak santa
Harusnya aku tadi menghindari minum. Memang, aku bukan pecandu alkohol, minum pun sekadar just for fun. Bukan untuk mabok-mabokan yang menghilangkan akal sehat. Untuk apa melakukan hal yang merusak badan. Aku masih ingin hidup lama untuk bekerja dan bahagia. Katanya, minum alkohol secara berlebihan akan merusak kesehatan. Bahkan merusak gairah seks dan memicu impotensi pada laki-laki. No! Aku mempunyai istri dan ingin memiliki anak. Karenanya, aku tahu takaran maksimal yang bisa aku minum. Satu gelas. Kalau ingin nambahpun, tidak boleh lebih dari satu gelas. Itupun sekadar long drink, coktail, atau wine. Takaran yang masih berdampak baik. Namun, pikiranku terlupakan dengan efek setelahnya. Dalam jumlah kecil, etanol yang terkandung dalam minuman itu akan merangsang bagian primitif otak yang disebut hipotalamus. Yang mendorong fungsi dasar manusia termasuk memicu gairah untuk membersamainya. Terlebih saat ada yang memantik seperti sek
Telingaku berdengung sedari tadi. Makan mie instan kuah dengan cabe lima biji, jadi terganggu. Itu artinya ada yang membicarakan, itu kata Bapak dulu. Saat itu aku dan bapak mancing. Pamit kepada ibuk keluar sebenar, tetapi berakhir di taman pancing sambil ngopi. Menghilangkan penat yang sungguh menyenangkan. Nyaman, ditemani semilir angin, dan hening, jauh dari omelan ibuk. Tentu saja ini sampai sinar matahari mulai turun. “Nduk. Kita pulang sekarang,” ucap bapak kala itu. Padahal, timba tempat ikan milikku baru terisi dua ekor, sedangkan bapak sudah dapat lima ekor. Padahal ini kan taruhan dengan bapak, siapa yang banyak dia harus mijit pundak. Curang! “Yo, wes. Bapak mengalah, wes. Telinga bapak ini lo berdengung terus. Ini pasti ibumu sudah menunggu di rumah,” ucap Bapak tidak bisa dicegah. Benar, sampai rumah ibu sudah menunggu di teras rumah. Entah apa yang dikatakan bapak, wajah ibu yang awalnya terlihat kesal, berubah menampilkan senyuman. Mereka itu pasangan Tom and Je
Katanya, mertua perempuan sering kali menguji menantu perempuannya. Entah itu secara diam-diam, atau dengan terang-terangan. Katanya juga, ini untuk memastikan anaknya berada pada tangan yang tepat. Dia akan rela dan tenang melepaskan si anak, kalau menantunya lulus ujian. Entah, apakah sekarang Mama Lia melakukan ini kepadaku? “Kamu memang wanita yang tepat untuk Mahendra. Tenang tetapi membahayakan,” celetuk Mama Lia dengan menunjukkan senyuman dan lirikan mata penuh arti. Tadi saat Mama Lia dan si Nyonya rumah mendapati keadaan yang berantakan tadi, Sandra pemakai costum nenek sihir itu berusaha keras memojokkan aku. Tentu saja aku memanfaatkan untuk menantang Monika. “Tanya saja kepada Monika kalau tidak percaya? Saya tidak menyentuh sedikitpun perempuan itu. Bahkan, dia yang berniat mencelakaiku” ucapku dengan wajah sedikit menyunggingkan senyuman. Menoleh ke arah Monika dengan sedikit tatapan tajam, memberikan ancaman apa yang aku ucapkan tadi tidak main-main. Di tangan in