Aku diam sejenak, di depan pintu lift. Teringat apa yang dikatakan Pak Sakti.
"Saya tunggu makan siang. Cepat naik!"
Dia bilang, naik ke atas. Jadi ada dua kemungkinan tempat makan, cafetaria di lantai sembilan atau top party di rooftop. Paling tepat cafetaria lantai di sembilan.
Sip! Aku ke cafetaria. Tantangan cemen seperti ini, kalau salah membuat malu sekampung.
Tring
Pintu lift terbuka, aku langsung masuk, sendiri. Pencet naik angka sembilan. Pintu tertutup dan jalan.
Terpantul bayanganku dari dinding yang full stainless, tinggi semampai berambut panjang, dan wajah lumayan tidak jelek. Hanya sering kali orang sekitarku mengatakan aku kurang riasan, terlihat pucat, kalau ibu bilang lebih sadis, 'nglubut' tingkatan diatasnya dekil. Untung secara fisik menyerupai Ibu yang dulunya kembang desa, putih dan ayu. Kalau mirip Bapak bisa-bisa harus pakai lampu karena terlalu gelap, itu becandaan Ibu kalau menggodaku.
Karenanya sering diomeli, supaya kelihatan fashionable aku warnai rambutku menjadi terang. Lumayan membantu, aku tidak harus melukis wajahku seperti perempuan lainnya. Cukup kaca mata hitam menambah gaya penampilanku.
Tring
Sudah sampai di tujuanku, pintu terbuka dan harum makanan menguar di hidungku. Perutku yang sedari tadi bergejolak lapar, sekarang bertambah dengan air liur memenuhi mulut ini.
Aku edarkan pandangan mencari Pak Sakti. Design tempat ini terlihat asri, sesaat kita lupa kalau kita di lantai atas. Tanaman hijau ada dimana-mana dan terbentang jendela kaca lebar dengan pemandangan gumpalan awan biru dan putih.
Indah.
"Litu!"
Kepala Pak Sakti melongok keluar dari tanaman penghias ruangan yang rimbun. Aku tersenyum dan menghampirinya.
"Terlambat dua puluh lima detik!" ucapnya melihat jam di tangannya. Mataku membulat mendengarnya, aku di kasih waktu untuk ke sini?
"Eit! Kami jangan melotot! Matamu tambah lebar seperti ikan Maskoki!" selorohnya dan tersungging senyum di bibirnya. Dia menunjuk tempat duduk di depannya untuk aku duduki.
"Makanan sudah aku pesan. Duduk saja!"
"Memang Pak Sakti tahu, saya mau makan apa?"
"Di sini cuma ada satu menu."
Aku iyakan saja ucapannya, dari bau yang aku endus seperti banyak sekali yang tersedia di sini. Yah, sementara ucapan senior adalah kebenaran yang hakiki.
"Kamu aku test dengan banyak cara, tadi salah satunya. Ketepatan waktu. Pekerjaan ini membutuhkan waktu yang tepat dengan kemungkinan waktu meleset sedikit mungkin. Mengerti?!" ucapnya.
Aku anggukkan kepala untuk mengiyakan dan beralih perhatianku ke hidangan yang sudah datang. Nasi putih dengan lauk menggunung mengunci pandangan mataku.
"Kamu lapar?"
"Iya, Pak!" jawabku asik mengelap sendok dan garpu dengan tissue sebelum aku gunakan.
Aku mendongakkan kepalaku setelah menyadari hanya denting sendok garpuku saja yang berbunyi.
"Pak Sakti tidak makan?" Dia menatapku dengan tersenyum.
"Saya baru tahu sekarang, ada perempuan cantik yang makannya seperti Samson," selorohnya.
"Siapa? Saya? Saya cantik?" ucapku sambil menunjuk diriku sendiri.
"Besar kepala kamu!" ucapnya langsung beralih mengambil sambal yang tersedia di meja dan makan hidangan yang tersaji tanpa melihatku lagi.
Aman.
Makanku tidak terganggu dengan test nya yang aneh. Dalam satu hari, julukanku sudah berganti dari kucing kecil menjadi Samson. Pak Sakti ini lama-lama lucu.
Sikap laki-laki terhadap wanita tergantung dari respon wanita itu sendiri. Kalau kita menanggapinya biasa, mereka akan segan dengan sendirinya. Apalagi di dunia yang aku geluti sekarang ini, mayoritas laki-laki dengan gaya keras, kasar, termasuk sikap genit dengan perempuan.
Dulu ketika kuliah, aku sering ikutan teman-teman menggunjingkan mahasiswi cantik fakultas lain. Seperti lupa kalau aku ini perempuan juga.
Begitulah kalau berteman dengan laki-laki. Aku sudah biasa.
***
"Pak Sakti, saya permisi dulu," ucapku setelah melihat jam di dinding pukul lima sore.
"Kamu mau kemana?"
"Pulang. Sudah jam pulang, kan?" Tadi setelah dari makan siang, aku dipanggil bagian personalia. Dijelaskan semua peraturan termasuk jam kerja.
"Litu. Dari awal sudah saya bilang, kamu harus mengikuti kemanapun saya pergi. Kok kamu sekarang mau pulang?" ucap Pak Sakti.
"Maksudnya? Saya ikutan pulang ke tempat bapak?" tanyaku melemparkan candaan. Lama-lama aneh, nih orang.
"Bukan dodol! Kita masih ada pertemuan dengan team sipil nanti malam, jadi kamu harus ikutan!" teriaknya sambil melempar remasan kertas ke arahku.
"Tapi, Pak. Itu masih nanti malam, sekarang masih jam lima sore. Boleh saya pulang dulu?" tanyaku sambil berpikir.
Perjalanan pulang tiga puluh menit, pulang pergi satu jam. Sedangkan pertemuan jam tujuh tiga puluh malam.
Aaah, terlalu mepet.
"Kalau kamu mau istirahat, ikut aku. Ada ruangan khusus untuk istirahat sementara," ucapnya sambil berkemas juga.
Aku mengangguk dan mengikutinya. Bagaimanapun Pak Sakti satu-satunya temanku sekarang.
***
Ruangan ini ada di paling ujung, masih dalam satu lantai. Seperti apartemen, di dalamnya ada ruangan santai dan terdapat beberapa kamar.
Kamar?
"Litu, ini tempat kami istirahat kalau terpaksa harus lembur. Kamu gunakan kamar yang di sana. Ini dulunya contoh interior apartemen, makanya lengkap. Kalau ingin membersihkan badan, ada toilet dan peralatan di sana. Semuanya bersih, kok!" ucapnya langsung meninggalkanku yang masih mengedarkan pandangan di seluruh ruangan.
Jangan-jangan ada kamera tersembunyi atau apa begitu. Aku harus waspada.
"Litu! Disini aman!" teriak Pak Sakti kembali membuka pintu kamar yang dia gunakan.
"Eh-eh, iya, Pak!"
"Cewek memang ribet!" gerutunya terdengar samar.
Aku langsung bergegas masuk di kamar yang dimaksud. Kamarnya bagus bersih, ada toiletnya. Badanku yang lengket karena debu ketika membereskan meja tadi, membuatku ingin segera membersihkan badan. Ada handuk, baju mandi, peralatan mandi lengkap, seperti penginapan.
Sip! Segera aku membersihkan badan.
Aku gunakan piyama tidur yang tergantung di lemari. Terasa merdeka, melepas semua atributku dalam keadaan badan bersih.
***
Tok ... tok ... tok ....
"Litu! cepet keluar!" Suara Pak Sakti.
Masih satu jam lagi, pikirnya. Setelah salat magrib, rencanaku ada waktu sedikit untuk selonjoran kaki. Karenanya, aku belum bersiap.
Aku membuka pintu, dan terlihat Pak Sakti didepanku dengan penampilan yang segar. Lengan kemeja panjangnya dilipat sampai siku, terlihat santai apalagi rambutnya yang sedikit basah sebagian berantakan menutupi dahinya.
Pak Sakti terdiam, matanya membulat menatapku, tidak berkedip. Aku mengeryitkan dahi menatapnya balik.
"Litu! Cepat bersiap, aku tunggu di ruang makan!" teriaknya langsung memalingkan muka dariku dan bergegas meninggalkanku.
Astaga!
Tanpa sadar aku tadi keluar dengan masih menggunakan piyama saja. Itu tidak baik, karena ada yang berbayang di sana.
Malunya, aku!
*****
Menahan rasa malu, aku langsung bergegas bersiap. Merapikan baju, rambut dan berias sedikit. Hanya bedak tipis dan lip gloss. Aku harus menjelaskan ke Pak Sakti, jangan sampai dia menganggapku menggodanya.Pak Sakti duduk di ruang makan, sudah ada makanan terhidangkan di sana. Ternyata, panggilan tadi untuk makan. "Pak Sakti, maaf tadi saya tidak sengaja. Bukan bermaksud untuk ....""Sudahlah. Saya sudah hafal dengan anatomi. Tidak usah dijelaskan, saya sudah kebal! Kalau tidak, sudah saya terkam kamu tadi!" ucapnya dengan tertawa. Aku pun ikut tertawa kikuk. Jangan-jangan Pak Sakti ini ....Ah, biarlah. Kalaupun iya, itu bagus untukku.Kami langsung menghabiskan makanan di depan kami, nasi uduk dengan lauk ayam goreng.***Setiba di ruang meeting, sudah berkumpul para tenaga sipil. Dari kepala proyek, kepala pengadaan barang sampai mandor. Kali ini, kami mengadakan pertemuan tentang proyek yang masih berjalan. Sebenarnya, aku belum mempunyai andil apapun dipertemukan, tetapi ini
Aku memantaskan diri di cermin. Mengenakan setelah celana kain berwarna merah maroon lengkap dengan blazernya. Dilengkapi dengan kemeja merah muda dengan renda di bagian dada. Terlihat simple tetapi fashionable. Sengaja sebelum berangkat ke Jakarta, aku memesan beberapa stel baju ke Alysia-teman kos ketika kuliah dulu. Saat ini dia mengembangkan butik warisan keluarga di ibu kota ini. Awalnya, aku merencanakan hanya tinggal sementara di tempat sahabatku itu sebelum mendapat tempat yang cocok. Namun, rencana diambil alih olehnya dengan berbagai alasan. Termasuk, tidak tega melepasku di kota besar ini. "Litu! Di sini jangan disamakan dengan Jogja, yang model orangnya santai. Kemana-mana pakai sandal jepit masih dihargai. Di sini, penampilan nomor satu. Kamu akan dilirik orang, kalau penampilanmu menarik. Setelah itu, baru kualitas kamu akan mendapatkan kesempatan untuk dinilai!' terangnya ketika aku baru sampai. Terdengar ngeri mendengar penjelasnya. Kalau tidak karena panggilan ke
Entah mengapa, setelahnya kami pun terdiam, hingga orang di lift sudah tinggal kami berdua. Setelah sampai di lantai tujuan, aku mengikuti Pak Sakti menuju ke ruangan kami. Tiba-tiba, dia berhenti dan membalikkan badan ke belakang. "Kamu kenapa berjalan di belakangku? Kita jalan seperti bebek dengan anaknya!" selorohnya dengan tertawa kecil. Aku menatap wajahnya dan ikut tertawa setelah memastikan tidak ada apa-apa karena kejadian tadi. "Kita jalan sambil berbincang. Ingat, kira rekan kerja bukan baginda raja dan bawahannya," ucapnya berjalan melambat mensejajari aku. "Siap, Pak!" ucapku bersikap kembali seperti semula. Saat ini, aku masih menjajaki Pak Sakti. Apakah dia termasuk golongan seperti rekan kampusku dulu, yang melihat kami bukan berdasar gendre, atau seperti laki-laki pada umumnya. "Bagus penampilanmu saat ini, daripada kemarin. Baju baru?" tanyanya, menoleh ke arahku. "Ini karena sahabatku, Alysia namanya. Kami tinggal bersama dan dia di sini mempunyai butik. Kar
"Mas Sakti, kita di tunggu Pak Mahendra sekarang. Meeting diajukan," ucapku membuat dia berdiri dan tersenyum kepadaku sambil berkata, "Kamu sudah siap menghadapi singa perusahaan ini?" Aku tersenyum dan mengangguk berusaha menguatkan dan menenangkan jantung yang berdetak kencang. Kucing kecil ini akan menunjukkan cakarnya di depan singa perusahaan ini. 'Siap!'* "Kamu tidak usah kawatir. Siapapun dia, kita tetap sama. Sama-sama makan nasi!" kelakar Mas Sakti. "Saya tidak kawatir," elakku. "Tapi takut, kan?" ledeknya sekali lagi. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Persiapan mental, itu yang utama. Kalau keilmuan atau kreatifitas sudah ada di genggaman. Setiap di tempat kerja, aku mempunyai misi. Seorang perempuan pun berhak dan bisa menjadi seorang arsitek dengan kemampuan yang bisa diperhitungkan. Itulah yang menjadi semangat dan kekuatanku menghadapi siapapun di bidang ini. "Kita ke sana sekarang. Dia paling tidak suka dengan ketidaktepatan waktu," ingat Pak Sakti. "Kan Pa
"Kedua, dia menunggu kita untuk makan siang bersama," bisiknya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku."Maksudnya dia…. Pak Mahendra?!" tanyaku dengan mata membulat sempurna ke arahnya.'Aduh!'"Kenapa? Cacing kamu langsung mogok lagi?" ledek Mas Sakti terkekeh. Mungkin melihat wajahku yang sebelumnya semangat ingin makan, berubah terlihat aneh."Beneran, kita makan bersama Pak Mahendra yang tadi itu? Mas Sakti saja mungkin?" tanyaku tidak percaya. Bukannya tadi bicara denganku saja seperti mau muntah. Kenapa sekarang malah menghadirkanku di meja makannya? Jangan-jangan aku akan dimakan hidup-hidup dan dicabik-cabik oleh vampir itu."Sama kamu jugalah! Tadi sudah dibilang, kan," jawabnya sambil melangkah mengikuti Mbak Endah ke ruang VIP yang berada di ujung, aku berlari kecil untuk mensejajarinya."Hiiii," desisku sambil mengangkat bahu."Kenapa, Litu?" "Ngeri!" jawabku spontan. Mas Sakti terbahak mendengar ucapanku.Setiba di depan pintu, Mbak Endah membukakan pintu dan membungkuk m
Hari ini, aku bersiap untuk survey lapangan. Menggunakan baju senada seperti kemarin, hanya berbeda warna saja. Hari ini biru cerah, aku ingin kegiatan hari ini cerah sebiru bajuku. Aku menggunakan sepatu trepes, masih terlihat resmi tetapi lebih santai dan nyaman. Tidak ketinggalan, kaca mata hitam anti silau. Yang terakhir ini sebagai andalanku untuk meningkatkan penampilan. "Wah, sepertinya ada yang sudah tidak sabar lagi!" teriak Mas Sakti melihat aku sudah bersiap. Dia berpakaian lebih santai lagi, celana kain dan baju lengan panjang yang di gulung sampai siku. "Pagi Pak Sakti!" sapaku. "Hlo, kok Pak?" tanyanya heran. "Latihan. Supaya tidak keceplosan!" jawabku. Kemarin Mas Sakti sudah memberitahu, aku harus memanggilnya pak, di depan Pak Mahendra yang kolot itu. Jangan sampai salah, aku tidak mau ada ungkapan yang mematik keinginanku untuk menimpuk kepalanya. Terlalu ekstrim, ya? "Okey! Up to you, lah!" ucapnya sambil bersiap. Kami bergegas ke ruangan Pak Mahendra dan m
"Kamu kenapa, Litu?" suara berat terdengar di sebelahku, membuatku kaget. Hampir saja ponsel di tanganku terpental. Ternyata kalau bersuara lirih, kedengaran di telinga berbeda. Ada rasa menggelitik di hati ini, menyelusup dan gimana gitu."Ti-tidak, Pak. Tadi minum kopi terlalu kental," jawabku asal nyomot. Tidak mungkin aku berterus terang penyebab sebenarnya. Bisa jadi, aku langsung di pecat. "Sakti, tadi kalian minum kopi tanpa makan apapun?!" tanyanya dengan suara agak keras. "Iya, tadi kita tunggu lebih setengah jam sambil minum kopi. Yang lebih kasihan itu Litu. Karena terlalu bersemangat, datangnya lebih awal. Pasti dia tidak sempat sarapan!" seloroh Mas Sakti berbalas pelototan mata dariku. Sialan aku dijadikan alasan. "Baik, aku minta maaf sudah terlambat. Kamu mau makan pagi apa, Litu? Saya traktir," ucapnya dengan menatapku. Aku langsung menatapnya balik, beneran yang bicara barusan si Vampir itu? Minta maaf? Dan, dengan suara pelan lagi. Lebih enak didengar tetapi te
"Ada apa, Sakti? " Suara yang menjadi mimpi buruk membuat badanku kaku seketika. ‘Duh, kenapa sampai ketahuan Si Vampir?’ Mas Sakti tertawa melihat wajahku yang memberi kode untuk tidak berkata sejujurnya. Alih-alih menutupi apa yang terjadi, dia justru berkata yang tidak-tidak. “Litu kawatir kalau aku tinggal dia pulang dengan siapa. Takut kamu tinggal. Kamu akan menunggunya, kan?” ucap Mas Sakti membuat mataku semakin melotot ke arahnya. Kenapa dia justru berkata kebalikannya? Bikin malu saja! “Ti-tidak, Pak. Saya tidak bilang seperti itu,” ucapku sembari membalikkan badan. Namun, yang dituju justru sudah melangkahkan kaki menjauh dari kami. ‘Ish … dasar bos tidak punya sopan santun. Orang belum selesai bicara sudah diringgal pergi!’ gerutuku dalam hati. *** Setelah beberapa waktu kami sibuk menggali data. Aku berbincang dengan Kepala Proyek, Mas Sakti sudah pergi dengan penanggung jawab pembangunan aparteman, sedangkan Pak Mahendra terlihat sibuk dengan ponselnya. "Bu Li
Apa yang dicari dalam hidup ini, kalau tidak ketenangan? Untuk apa berlimpah harta dan kekuasaan, tetapi bergelimang kecemasan akan kehilangan? “Karenanya, aku berusaha menyelesaikan urusan-urusanku sebelum menjalani hidup tenang bersamamu, Litu.” Aku menjawab dengan senyuman sambil mengeratkan tangannya yang mengusap perut ini. Hangat tubuh yang selama ini aku nikmati dari bajunya yang tidak dicuci, sekarang bisa aku hidu setiap waktu. Senyuman begitu lekat di wajah ini. Sesekali meneleng ke belakang untuk menyambut ciumannya. “Kak Mahe tidak pergi meninggalkan aku lagi?” “Untuk apa? Semua sudah aku bereskan.” “Janji?” “Janji. Demi anak kita, Litu,” ucapnya sambil membalikkan tubuh ini kepadanya. Wajahnya menunjukkan keseriusan, dengan mata tidak terlepas dariku. “Apa yang terjadi kepadamu, membuat aku berpikir. Kalau aku tetap mempertahankan posisi dan apa yang aku lakukan sekerang, bukan tidak mungkin anak kita nanti akan mendapatkan kemalangan. Aku tidak mau itu.” “Iya. A
Apa salah kalau seorang istri ingin merasa dipentingkan oleh suami sendiri? Apakah tidak benar, kalau aku ingin malam-malamku ditemani suami sambil mengusap perutku yang sudah mulai buncit ini?“Nduk, kamu ingin rujak manis mangga muda? Ibuk bikinkan, ya?”“Tidak usah ditawari. Langsung dibuatkan saja. Pasti Litu kemecer,” sahut Bapak menjawab pertanyaan Bapak.Bukannya aku tidak ingin, tapi aku menginginkan mangga muda yang diambilkan Kak Mahe sendiri. Keinginanku itu sudah tertahan satu minggu, dua minggu, dan sekarang sudah menginjak di bulan kedua. Namun tidak ada kabar sama sekali tentang Kak Mahe.“Suamimu baik-baik saja. Hanya dia belum bisa menghubungimu demi keselamatanmu, Litu,” ucap Mas Sakti kalau aku mengajukan pertanyaan yang sama melalui sambungan telpon.Sampai sekarang aku tidak tahu ada urusan apa yang lebih dia pentingkan. Kalau bisnis, kenapa justru dia meninggalkan perusahaan dan menyerahkan kepada Mas Sakti?Aku seperti istri yang tidak mengerti suaminya seperti
“Kamu benar ingin meninggalkan suamimu?” Alysia menangkup tanganku, menghentikan gerakanku yang sedang memasukkan baju ke dalam koper.Aku menatapnya sebentar. Rasanya ingin menyerah dan pasrah, tetapi hati ini sudah terlanjur terpantik rasa kesal. Menjadi seorang istri yang tidak dianggap. Ucapanku hanya dianggapnya angin lalu.“Iya. Aku ingin pulang ke Jogja. Di sini aku tidak dianggap apa-apa. Bahkan tidak dianggap penting,” ucapku kemudian melanjutkan yang aku lakukan tadi.“Litu. Pak Mahendra pergi karena ada urusan penting.”“Siapa yang bilang? Dia hanya mengurus orang-orang yang menurutnya harus dilibas,” ucapku sambil tertawa. “Alasan saja demi aku. Tapi menurutku itu hanya demi egonya sendiri.”“Sakti pasti benar. Pak Mahendra sedang ada__”“Sedang apa dia, Alys?” ucapku memotong ucapan sahabatku. Sejenak aku mengambil jeda untuk mengatur napas. Mencoba meredam amarah.“Kalau dia memang benar-benar mencintaiku dan sayang kepada anaknya, pasti sekarang ini dia menunggui aku ya
Tangannya memegang erat lenganku. Sorot matanya menunjukkan ketidakrelaan, menyurutkan gerakanku untuk berdiri.“Kak Mahe, aku tidak ingin keributan.”“Tapi Litu. Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku harus membalas perlakuannya kepadamu. Enak saja. Belum tahu siapa Mahendra ini?!” ucapku dengan mengeratkan kepalan tangan ini. Aku berusaha meredam amarahku, terlebih dihadapan Lituhayu.“Sst…. Kalau marah jangan keras-keras, Kak. Nanti dia dengar.” Istriku berdesis sambil menuntukkan telunjuk di depan bibirnya. Aku mengernyit.“Dia? Dia siapa?” tanyaku dengan menoleh ke sekeliling. Hanya ada kami berdua.Lituhayu tersenyum, kemudian menarik tangan ini ke arah perutnya. “Dia, Kak. Anak kita. Walaupun masih kecil di perut, dia sudah mendengar. Bahkan bisa juga merasakan apa yang ada di hati orang tuanya.”Aku terperanga seketika, tersadar dengan perasaan yang aneh ini. Yang menyelusup dan bersarang di hati ini.Anak? Anakku?Rasa yang tidak bisa aku gambarkan. Yang aku tahu, dia m
Aroma wangi bunga menyelusup di penciuman. Kicauan suara burung terdengar bersautan yang mengantarkan kedamaian, mengusikku untuk membuka mata.Mata ini mengerjap, menajamkan pandangan yang terhalang tirai putih berkibar tergantung di tiang ranjang. Sesekali terlihat pemandangan yang menakjubkan, seiring dengan angin yang berembus halus.‘Dimana aku ini?’Penasaran. Aku beringsut dan perlahan kaki ini turun dari ranjang berwarna serba putih. Telapak kaki tergelitik seketika, saat beradu dengan ujung rumput.‘Apakah aku sudah di surga?’ bisikku dalam hati setelah menyibak tirai. Pemandangan indah terhampar luas. Aku di tengah-tengah taman indah dan beratapkan langit biru yang menyejukkan.Masih teringat lekat, tubuh ini melayang di udara. Telingaku yang mendengar teriakan pak sopir di sela suara Mas Sakti dan berakhir dengan silau yang menyerang mata ini.Siapa mereka?Sosok berbaju berbaju putih menunduk mengerumuni keranjang rotan.Penasaran. Langkah ini seakan melangkah dengan sendi
Kalau mempunyai keinginan, memang harus diupayakan. Aku setuju tentang itu. Akan tetapi bukan begini juga prakteknya.Kebersamaan kami tidak hanya di rumah saja. Keinginan segera memiliki buah hati juga digaungkan di kantor. Hampir setiap ada kesempatan, Kak Mahe memanggilku ke ruangannya. Tentu saja berakhir di ruang rahasia belakang kabinet.Ranjang yang menghadap jendela lebar, seakan merindukan kehangatan kebersamaan ini. Menjadi saksi bisu kegigihan upaya kami berdua.“Kamu selalu cantik, Sayang.”Kak Mahe mengaitkan rambutku ke belakang telinga. Seakan selesai kerja keras, pendingin ruangan tidak menyurutkan keringat yang melembabkan kulit ini. Aku menggeliat, meregangkan tubuh yang lelah karena ulahnya. Seakan mengerti, selimut ditangkupkan di tubuhku yang masih meringkuk. Aku seperti atlit maraton yang mengibarkan bendera putih tanda menyerah.Senyum ini mengembang, saat dia mencium lembut kening ini. Mata ini pun enggan terpejam, saat dia dengan tubuh polosnya beranjak santa
Harusnya aku tadi menghindari minum. Memang, aku bukan pecandu alkohol, minum pun sekadar just for fun. Bukan untuk mabok-mabokan yang menghilangkan akal sehat. Untuk apa melakukan hal yang merusak badan. Aku masih ingin hidup lama untuk bekerja dan bahagia. Katanya, minum alkohol secara berlebihan akan merusak kesehatan. Bahkan merusak gairah seks dan memicu impotensi pada laki-laki. No! Aku mempunyai istri dan ingin memiliki anak. Karenanya, aku tahu takaran maksimal yang bisa aku minum. Satu gelas. Kalau ingin nambahpun, tidak boleh lebih dari satu gelas. Itupun sekadar long drink, coktail, atau wine. Takaran yang masih berdampak baik. Namun, pikiranku terlupakan dengan efek setelahnya. Dalam jumlah kecil, etanol yang terkandung dalam minuman itu akan merangsang bagian primitif otak yang disebut hipotalamus. Yang mendorong fungsi dasar manusia termasuk memicu gairah untuk membersamainya. Terlebih saat ada yang memantik seperti sek
Telingaku berdengung sedari tadi. Makan mie instan kuah dengan cabe lima biji, jadi terganggu. Itu artinya ada yang membicarakan, itu kata Bapak dulu. Saat itu aku dan bapak mancing. Pamit kepada ibuk keluar sebenar, tetapi berakhir di taman pancing sambil ngopi. Menghilangkan penat yang sungguh menyenangkan. Nyaman, ditemani semilir angin, dan hening, jauh dari omelan ibuk. Tentu saja ini sampai sinar matahari mulai turun. “Nduk. Kita pulang sekarang,” ucap bapak kala itu. Padahal, timba tempat ikan milikku baru terisi dua ekor, sedangkan bapak sudah dapat lima ekor. Padahal ini kan taruhan dengan bapak, siapa yang banyak dia harus mijit pundak. Curang! “Yo, wes. Bapak mengalah, wes. Telinga bapak ini lo berdengung terus. Ini pasti ibumu sudah menunggu di rumah,” ucap Bapak tidak bisa dicegah. Benar, sampai rumah ibu sudah menunggu di teras rumah. Entah apa yang dikatakan bapak, wajah ibu yang awalnya terlihat kesal, berubah menampilkan senyuman. Mereka itu pasangan Tom and Je
Katanya, mertua perempuan sering kali menguji menantu perempuannya. Entah itu secara diam-diam, atau dengan terang-terangan. Katanya juga, ini untuk memastikan anaknya berada pada tangan yang tepat. Dia akan rela dan tenang melepaskan si anak, kalau menantunya lulus ujian. Entah, apakah sekarang Mama Lia melakukan ini kepadaku? “Kamu memang wanita yang tepat untuk Mahendra. Tenang tetapi membahayakan,” celetuk Mama Lia dengan menunjukkan senyuman dan lirikan mata penuh arti. Tadi saat Mama Lia dan si Nyonya rumah mendapati keadaan yang berantakan tadi, Sandra pemakai costum nenek sihir itu berusaha keras memojokkan aku. Tentu saja aku memanfaatkan untuk menantang Monika. “Tanya saja kepada Monika kalau tidak percaya? Saya tidak menyentuh sedikitpun perempuan itu. Bahkan, dia yang berniat mencelakaiku” ucapku dengan wajah sedikit menyunggingkan senyuman. Menoleh ke arah Monika dengan sedikit tatapan tajam, memberikan ancaman apa yang aku ucapkan tadi tidak main-main. Di tangan in