“Nggak, nggak papa! Tenggorokan gue kering aja!” dusta Rafa lalu langsung sedikit menjauh dari Adhisti yang kala itu memegang bahunya sebagai bentuk rasa peduli. “Makanya jangan males minum air putih! Dari dulu abah sama umah ‘kan juga udah bilang harus rajin-rajin minum sesuai standart! Eh, lo malah minum segelas sehari! Gimana nggak kering!” omel Adhisti lalu kembali menjauh dan fokus pada nisan kedua orang tuanya. “Uhk, Chaay!” panggil Rafa sambil sedikit mengelus lehernya dan menstabilkan kembali suaranya. “Hmm?” deham Adhisti tanpa menoleh ke arah Rafa melainkan membersihkan sekitar makam dari daun-daun kering yang berjatuhan. “Lo tadi ikut pemeriksaan bareng Abbiyya ‘kan? Sampai saat ini belum ada kabar kapan kita bisa balik ke apartemen kita lagi? Lama-lama gue nggak enak juga sama Rio kalau terus numpang di tempat dia.” Rafa menatap Adhisti yang masih asyik berjongkok sambil memungut daun-daun itu. Biasanya, mereka akan menghabiskan waktu nyaris satu jam hanya untuk berdi
“Lo nggak selamanya dapat yang lo pengen, Dhis! Lo mesti siapin mental kalau yang terjadi adalah kebalikan dari keinginan lo. Bukan artinya gue mau cuek sama lo. Tapi kita nggak pernah tahu apa yang terjadi ke depan. Entah seberapa sibuknya kita atau hal lain.” “Tapi gue bakal tetap berusaha jaga lo kok. Tapi lo mesti bisa jaga diri sendiri juga. Meskipun abah nitipin lo ke gue, tapi lo mesti jadi cewek mandiri yang bisa jaga diri sendiri. Nggak selamanya gue akan ada sama lo, Chaay!” lanjut Rafa. “Kenapa lo bilang gitu? Lo mau ninggalin gue?! Lo mau pergi ke luar kota?! Lo gak bakal ninggalin gue kaya abah sama umah, ‘kan?!” Adhisti langsung bangun dari posisi berbaring pada pangkuan Rafa. Gadis itu menatap nyalang sang kakak. Napasnya berembus kasar dan degup jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Ingatan saat sang abah dam umah mengalami sakaratul maut kembali membuat Adhisti merasa ngeri jika harus mengalaminya lagi. Terutama sebelum kematian kedua orang tuanya itu, mereka jug
“Nggak perlu! Kasih aja ke Bang Rafa! Dia yang butuh!” tolak Adhisti saat mulai menilai sarat Rio yang ia benci dalam kalimat yang baru saja pria itu tuturkan. “Nggak papa, ah! Ke Adhisti aja! Lebih enak lo kasih ke Rafa sebagai bentuk perhatian lo ke abang lo. Tunggu nanti malem ya, Dhis! Gue pergi ke kios dulu!” tutur Rio lalu langsung berjalan melewati Adhisti dengan satu kedipan mata. Seperginya Rio dari unit tersebut dan pintu unit kembali terkunci, Adhisti langsung bergaya muntah atas semua perkataan dan tindakan Rio. “Hueekk!! Jijik banget! Bisa ya ada cowok serendah Rio?! Semoga aja ntar malem Bang Rafa udah balik pas si Rio mesum itu balik! Atau gue pura-pura tidur aja kali ya?!” sergah Adhisti. Gadis itu kini berjalan ke arah meja makan dan duduk pada kursi yang tadi Rio gunakan mengopi. Hadis itu dengan cermat mengamati gelas kopi belas Rio. “Duh, kalau gue cuci ntar air liurnya bakal hilang juga ‘kan? Kalau gue salah pegang dan ketak juga bisa aja bakalan hilang! Kala
Adhisti tampak menggeliatkan tubuhnya di atas ranjang sambil terus mengaduh dan menguap. Saat kesadarannya mulai berangsur kembali, ia memegang pipi kanannya sendiri lalu sejenak melamun. “Kenapa rasanya semalam ada yang cium gue ya? Masa Bang Rafa?” gumam Adhisti lalu bangkit dari kasur dan menyalakan ponselnya untuk melihat jam di sana. “Astaga!! Udah jam sembilan?! Duh, panggilan telepon dari Abbiyya juga banyak banget!! Mampus! Gue lupa kalau mesti janjian sama Abbiyya buat kasih sampel cangkir kopi si Rio!” Adhisti segera berdiri dari ranjang lalu berjongkok untuk memeriksa bawah ranjangnya. Sebuah kotak bening masih tampak ada di sana dan berisi sebuah cangkir kopi berwarna putih. Tangan Adhisti segera meraihnya lalu kembali menghembuskan napas lega tatkala cangkir kopi itu kasih tampak sama dengan awal mulanya. “Chaay!! Lo belum bangun juga?! Mau bangun jam berapa, hey!! Udah jam sembilan! Mau jadi kebo lo?!” sergah suara Rafa sembari dengan sarkas menggedor pintu kamar Adh
“Pasar!” pekik Adhisti lalu secara sebarang meraih satu setel kemeja dan kaos di lemari. Gadis itu segera memeriksa kabinet juga lemari di dapur seperti seseorang yang benar-benar kelaparan. Tampak tergesa. “Tadi main ponsel, sekarang mau makan? Kenapa sih susah banget minta lo mandi, Chaay?! Ntar kalau lo gak mandi, buluk, gak ada yang mau sama lo, bisa-bisa keinginan lo buat nikah gak bakalan terjadi!” sergah Rafa sambil mengaduk kopi buatannya. “Hish, bentar doang juga! Gue cuma mau cek aja ada bahan apa, karena lo lagi libur, gue mau bikin makanan! Itung-itung hadiah gajian! Tapi tenang, uang hutang udah gue sisihin, kok!” tutur Adhisti sambil terus memeriksa semua temoat penyimpanan bahan makanan yang ada di sana. “Ya udah nanti aja masaknya, senggaknya cuci tangan, cuci muka, sama sikat gigi dulu! Mana tahu lo ditangan lo itu ada air liur lo yang ngorok pas tidur? Eh, sekarang malah pegang-pegang baham makanan,” papar Rafa kali ini dengan nada bicara yang jauh lebih lembut.
“Ngapain lo tanya kaya gitu?!” sergah Adhisti langsung melepaskan sutil dari tangannya dan menatap Rio dengan tatapan tajam yang penuh selidik. “Emang gue salah nanya lo tidur dengan nyenyak atau enggak? Apa itu sebuah pertanyaan vulgar yang nggak boleh seorang pria tanyakan ke orang yang dia suka?” sahut Rio santai kini malah menyandarkan tubuhnya ke meja masak. “Gak vulgar tapi aneh! Setiap yang lo tanya itu selalu bikin gue curiga!” sergah Adhisti kini memalingkan wajahnya dari Rio dan kembali fokus pada penggorengannya. Rio tampak tersenyum miring dan sejenak menyaksikan wajah ramping Adhisti dari sisi kiri. Pria itu kini melihat meja masak yang tampak sedikit berantakan dan penuh bahan makanan itu. “Lo mau bikin lumpia? Ini bahannya masih banyak mau gue bantu gulungin? Ntar lo tinggal goreng aja!” ujar Rio lalu mulai menarik lengan pakaiannya ke atas bergaya seolah hendak membantu Adhisti menggulung lumpia-lumpia itu. “Gak usah! Gak usah dipegang!” Adhisti dengan cepat menyi
Adhisti berjalan ke arah ranjangnya dengan perasaan kalut yang masih sama menghantuinya. Perlahan ia membaringkan tubuh sambil melamun membenarkan posisi tidurnya. Tangan kanannya tampak meraih ponsel dan berulang kali memandangi nama Rafa dalam daftar kontak itu. Pikirannya kalut dan merasa hanya bisa memikirkan Rafa untuk menjadi tempatnya bercerita. [Bang, lo udah tidur belum? Kalau belum boleh ke kamar gue bentaran nggak?] tulis Adhisti dalam pesan singkat itu. Hanya pesan itu harapannya sekarang, ia tentu tak bisa menelepon Rafa karena khawatir Rio akan mendengar deringnya nanti. Baru saja Adhisti hendak memejamkan matanya, sebuah ketukan pintu kembali hadir dan membuat gadis itu sedikit bergidik ngeri. “Chaay, ini gue Rafa,” lirih suara di balik pintu. Mendengar suara sang kakak, Adhisti tampak segera melompat dari ranjang dan membuka pintu itu. Baru saja pintu itu terbuka dan menampakkan sosok Rafa, Adhisti kini malah tampak menyerbu kakaknya dan memeluknya erat. “Hei, lo
“Chaay, lo udah bangun, hmm?” Suara Rafa yang sedikit setengah sadar langsung membuat Adhisti menyembunyikan ponselnya dengan menggenggam kuat di balik punggungnya. “Udah, Bang! Lo masuk pagi atau gimana?” tanya Adhisti tanpa memindah posisinya. Rafa tambah bangkit dari posisi berbaringnya sambil menguap lebar dan sejenak mengedip-kedipkan matanya. “Gue masuk pagi, lo mandi dulu, gih! Habis itu gue yang pake,” ujar Rafa sambil memberi kode agar sang adik segera menjalankan titahnya. “Iya,” sahut Adhisti lalu segera berjalan ke arah lemari untuk mengambil handuknya sementara tangannya kini masih mencekal ponselnya. Suasana luar kamar Adhisti tampak sepi, ia tak menemukan keberadaan Rio di sana lalu dengan cepat ia berlari masuk ke dalam toilet dan mulai terdengar suara gemericik air dari dalam. Sementara Adhisti mandi, Rafa terlihat baru keluar dari kamar Adhisti sembari mengusap-usap rambutnya. Matanya langsung menajam saat melihat sosok Rio tengah bersandar di dinding dekat pin
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”