“Cowok sial itu pasti sudah menyihirmu!” sembur Dirga marah mengetahui betapa keras kepalanya Karmila membela Hendi.Karmila menyibak selimutnya, turun dari ranjang, berdiri di hadapan Dirga sambil berkacak pinggang. “Kali ini aku benar-benar akan membunuhmu!”Sebelum Dirga sempat bereaksi, Karmila sudah mengeluarkan jurusnya, dengan mudah dia membanting tubuh besar Dirga ke lantai. Dirga pun meraung kesakitan.“Dasar cewek sinting!” maki Dirga.Kandita yang sedari tadi asyik menikmati tehnya berdiri tertawa terpingkal-pingkal. “Ah, Ibu senang kamu kembali, Sayang. Rumah ini jadi ramai.” Setelah berkata demikian, perempuan anggun itu berdiri, lalu melangkah keluar kamar dengan santai.Sebelum Kandita benar-benar menghilang dari balik pintu, Karmila menjawab sapaan Kandita dengan teriakan. “Aku akan pergi lagi dari sini, Bu. Sungguhan! Kalau bukan karena raksasa satu ini, aku enggak akan mau pulang.” Karmila kembali mendelik kepada Dirga.Mendengar Karmila, Kandita tidak berkata apa-ap
Dirga tidak pernah mengatakan apa-apa kepada Karmila mengenai semua rasa sakit dan dendamnya atas kematian Maya. Karmila adalah satu-satunya orang yang perasaannya ingin dia lindungi, Dirga tidak mau mengecewakan Karmila. Karmila tidak boleh tahu bagian tergelap dari dirinya.Namun, saat Karmila menyebutkan bahwa dirinya adalah pembawa kematian, Dirga sadar kalau dia tidak bisa lagi menyembunyikan segalanya dari Karmila. Sama seperti Kandita, Karmila pun perempuan istimewa dengan bakat dan kemampuan spiritualnya yang unik, dia bisa melukis kematian sebelum itu benar-benar terjadi. “A-aku enggak ngerti sama sekali dengan omonganmu.” Dirga berkelit.Karmila bisa melihat kegelisahan Dirga. Dengan tampang serius dia berkata, “Apa ini ada hubungannya dengan perkataan Bang Hendi tentang kamu?”Emosi Dirga terpancing setiap kali mendengar nama Hendi keluar dari bibir Karmila. “Hendi, Hendi, Hendi terus! Apa pedulimu dengan cowok itu? Kamu ada utang apa sama dia sampai kamu segitunya belain
Karmila pergi sambil menandak-nandak kesal. Dia harus segera kembali kepada Hendi, sesuatu yang buruk telah terjadi kepada lelaki itu selama dia tak ada. Dia tahu karena firasatnya berkata begitu, dan firasatnya itu tidak pernah salah.“Jangan pergi!” Dirga menyusul di belakangnya, lagi-lagi mencoba mencegahnya. “Apa yang sudah terjadi pada kita, Karmila? Kukira, kita akan bersama selamanya, kau dan aku.”Karmila memandangi Dirga, mengutuki dalam hati kebodohan lelaki itu. “Aku bukan untukmu, Dirga. Dari awal pertemuan kita, aku hanya lanjaran untukmu agar dapat bertemu dengan perempuan yang benar-benar kau sukai.”“Perempuan apa?” Dirga menggosok-gosok wajahnya, kebiasaannya kalau dia sedang berada dalam dilema. “Ah, lupakan! Jangan bicara soal aku. Tapi, kenapa harus dia? Di antara sekian banyak cowok, kenapa harus dia, anak pembunuh itu? Cepat atau lambat dia akan dikuasai oleh kekuatan ghaib sama seperti ayahnya. Bukan tak mungkin, kamu akan menjadi salah satu korbannya.”“Kurasa,
Dirga merasa dia sudah kehilangan hak untuk mencegah Karmila pergi. Bahunya lemas menatap kepergian Karmila. Separuh hatinya kosong.“Kamu juga boleh pergi.”Suara Kandita dari belakang mengagetkan Dirga.“Semua yang dikatakan Karmila kepadamu adalah kebenaran. Kamu seharusnya tidak memercayai aku, apalagi sampai memiliki perasaan kepadaku.” Kandita kembali berkata.“Aku enggak akan ke mana-mana,” ujar Dirga, “toh, aku enggak punya tempat untuk pulang selain di sini.”“Aku tidak seperti dirimu, Dirga. Kita dari dua dunia yang berbeda.”“Memangnya kenapa?” Dirga memandangi Kandita.Cantik, itulah kesan pertama yang didapat Dirga saat melihatnya. Dirga tidak pernah melihat perempuan secantik Kandita. Bahkan saking cantiknya, tanpa diberi tahu Karmila pun dia sudah bisa mengira jika Kandita seorang peri, bidadari yang turun dari langit. Kandita jelas bukan manusia, karena tak peduli berapa banyak waktu berlalu, Kandita tidak pernah menua. Kulitnya tidak pernah keriput, wajah remajanya ab
“Dia sudah mati.” Dirga mendekati sesosok raga yang tergeletak di atas ranjang, memerhatikanya. Sosok itu jelas-jelas sudah tidak bernyawa. Kulitnya kering menempel pada tulang seperti telah mengalami proses mumifikasi. “Apa yang akan kamu lakukan dengan orang yang sudah mati?” tanyanya heran.Kandita berjalan, berdiri di sisi Dirga, sama-sama memerhatikan objek yang sama, tetapi dia punya pandangan yang berbeda. “Dia tidak mati, hanya tidur. Arwahnya masih ada, tersesat di antara dua dunia, mencari jalan untuk kembali.”“Jangan bilang kalau kamu mau menghidupkannya lagi!” Wajah Dirga memucat, kepalanya menoleh ke arah Kandita, mencari-cari jawaban yang sebenarnya tidak ingin dia ketahui.Di dalam ruangan yang temaram itu, Dirga tidak mendengar suara Kandita menjawab, tetapi samar-samar, dia melihat seringai keji di wajah cantik Kandita.**Dalam perjalanannya menuju rumah Hendi, Karmila sempat-sempatnya berkhayal andai dia diberi kemampuan lain yang lebih berguna daripada sekadar mel
Kandita tidak bisa memahami cinta manusia, yang dia tahu hanyalah dia tidak ingin ayahnya Karmila, Andaru, tetap dalam keadaan seperti itu, kering kerontang, bagai ranting. Mati.“Dia sudah lama mati. Buat apa lagi?” Dirga bertanya, tidak mengerti, meski secuil kecemburuan pelan-pelan menggerogoti batinnya, dan berteriak di dalam kepalanya, “Bagaimana bisa aku bersaing dengan orang mati?”“Hanya butuh sedikit darah lagi, maka Andaru akan bangun.” Kandita menjentikkan jari, sebuah cawan kecil muncul dari ketiadaan, cawan berisi cairan lengket, anyir, berwarna merah pekat.“Andaru, jadi itu nama suamimu? Ah, mantan!” Dahi Dirga mengernyit. “Lalu cawan yang ada di tanganmu itu. Apakah itu darah? Darah siapa?” Dirga tetap bertanya meski yakin cawan itu tidak berisi minuman biasa atau sekadar anggur. Tidak ada yang biasa-biasa saja dalam hidup atau pun diri Kandita.Kandita tersenyum penuh rahasia. “Kamu pikir untuk apa aku susah payah dan mau repot-repot melatihmu ilmu kanuragan, menurunk
Tanpa pernah disangka oleh Kandita, Dirga melompat ke atas ranjang, tangannya mencekik mayat Andaru yang baru saja bergerak-gerak. Mata Andaru memelotot, erangan parau keluar dari kerongkongannya.“Jangan!” Kandita menarik Dirga kuat-kuat.Kandita memang berbadan kecil, tetapi memiliki tenaga dalam yang sanggup mematahkan tulang seorang lelaki dewasa. Penampilan bisa menipu, sama seperti raut wajah Kandita yang cantik dan lembut, tetapi menyimpan kekejian luar biasa di dalam hatinya. Dia mungkin seorang peri, dan seperti kebanyakan peri lainnya, Kandita tidak punya hati.Tubuh besar Dirga melayang ke udara, menghantam tembok kamar, menjatuhkan beberapa lukisan kematian yang sudah diam-diam diambil Kandita dari kamar Karmila untuk dijadikan pajangan kamar rahasia, tempat mereka berada saat itu. Andai saja Dirga manusia biasa yang tidak pernah mempelajari tenaga dalam dan ilmu kekebalan, dia pasti sudah tewas, dilempar dengan kekuatan sebesar itu hingga membuat retakan di dinding.Namun
Di rumah sakit, Karmila menunggui Hendi dengan gelisah. Ambulans yang dia panggil tidak hanya membawa Hendi tetapi sekaligus juga Nurlaila. Hendi segera masuk ruang operasi sementara Nurlaila dirujuk ke rumah sakit jiwa. Untuk sementara waktu Nurlaila harus menghabiskan hidupnya sementara di rumah sakit jiwa sebab kali itu apa yang dilakukannya sudah sangat berbahaya. Nurlaila bisa saja benar-benar membunuh Hendi.Kondisi Hendi kritis, lukanya sudah mulai infeksi dan dia juga sudah kehilangan terlalu banyak darah. Sebelum dia masuk ruang operasi, dokter mengatakan kepada Karmila untuk mempersiapkan hati akan kemungkinan terburuk.“Tolong, Dok, selamatkan Bang Hendi!” Karmila berkata sambil memohon-mohon.Dokter itu menepuk-nepuk pundak Karmila, berusaha menenangkannya. “Kami berusaha yang terbaik. Saat ini pasien membutuhkan banyak kantung darah. Golongan darahnya B, dan kebetulan hanya ada satu kantung di sini, padahal kami butuh setidaknya empat kantung darah.”“B? Golongan darah sa
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat
Nurlaila memandangi putranya, Hendi, yang berbaring masih dalam keadaan koma di ranjang rumah sakit. Waja Hendi tenang, tanpa riak-riak emosi, seolah-olah sedang tertidur dalam kedamaian, tidak peduli tentang bahaya yang ada di dekatnya, tidak tahu menahu akan semua kematian yang berserak-serak di dekatnya.“Kamu harus bangun, Hendi. Keluarga kita hanya tinggal kamu dan aku, ibumu. Masih kubermimpi suatu hari nanti bisa melihatmu menikah dan beranak cucu. Kamu masih terlalu muda untuk pergi dari dunia ini, ada banyak hal yang belum pernah kamu temui dan rasakan. Kebahagiaan-kebahagiaan hidup yang tidak bisa aku berikan kepadamu. Bangun, putraku. Temani aku di sini, jangan kalah dengan bujukan makhluk apa pun yang menginginkanmu tinggal di sana.” Nurlaila terus berbincang dengan anaknya itu, berharap Hendi bisa mendengar suaranya.Namun yang diajak bicara sama sekali tidak bereaksi, menggerakkan ujung jarinya saja tidak. Mata Hendi masih menutup rapat, bibirnya membisu. Semua omongan N
Jauh di dalam hutan, di gua yang ada di balik air terjun, lokasi keramat di mana Dirga dan Kandita sering melakukan semedi dan ritual, terbaring tubuh Dirga. Matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin terus keluar dari pelipisnya. Dirga berada di sana, beralaskan tanah gua, sendirian menahan sakit.Luka yang didapatnya dari pertarungan dengan Karmila ternyata lumayan serius. Karmila telah tanpa sadar menyerangnya menggunakan tenaga dalamnya. Dirga menerima semua serangan Karmila tanpa ada keinginan sama sekali untuk membalasnya.“Dosaku tak terampuni,” gumam Dirga, “aku pantas untuk mati.”Dirga masih sadar, dia ingat kalau Andaru dan Kandita yang membawanya ke dalam gua.“Untuk sementara waktu kamu sembunyi dulu di sini. Karmila sudah mengetahui semuanya. Dia tahu kalau kamu yang sudah melakukan pembantaian di rumah sakit jiwa itu. Bahkan bukan hanya Karmila yang tahu, tapi juga perempuan itu, Nurlaila.” Kandita berkata kepadanya.“M-maafkan aku. Aku gagal membunuh
Di tempat lain, seseorang juga sudah tersadar dari pingsannya. Karmila bangun dan mendapati kedua orang tuanya berdiri di hadapannya, Kandita dan Andaru, dalam keadaan lengkap, sehat, tanpa ada jejak-jejak penuaan sama sekali apalagi lebam mayat seperti yang pernah Karmila saksikan pada tubuh Andaru waktu terakhir kali mereka bertemu.“Ayah?” Karmila tercengang melihat betapa besar perbedaan penampilan ayahnya itu.Kandita dan Andaru bagai sepasang remaja, muda, belia, penuh vitalitas. Padahal kenyataannya usia mereka sudah sangat tua.“Kamu sudah bangun, Sayang?” Andaru berkata sambil tersenyum.“Apa benar ini kau, Ayah?” Karmila masih tidak dapat memercayai penglihatannya. Bagaimana mungkin hanya dalam semalam Andaru yang tadinya berwujud mengerikan, tak ubahnya bagai mayat hidup, berubah menjadi muda belia, seperti remaja belasan tahun. Dia tampan dan gagah.“Ya, ini benar ayahmu, putriku yang manis.” Andaru merentangkan tangan, berputar, memamerkan kerupawanannya.Pada saat itu, j