Bara Sang Pengembara
Bab 25 Suara deru mobil terdengar di bagasi. Ronald melepaskan pelukkannya, bergegas bangkit dan melihat di balik tirai coklat."Astaga! Cepat pakai pakaianmu!" bisik Ronald tanpa melihat luka dalam sobekan akibat ulahnya.
"Bajunya sobek Tuan!" Menatap ke arah lantai.
"Keluar dan masuk ke kamarmu." Menarik lengan Mirna agar bangkit.
Kamar Mirna berada di samping kamar Ronald. Mirna menutup tubuhnya dengan seprai dan berjalan tertatih-tatih menahan nyeri di bagian bawah.
"Mirna!" Mirna!" panggil Puspita ketika masuk ke dalam rumah.
Mirna panik di dalam kamarnya. Bagian intimnya terasa nyeri dan perih. Segera mengenakan baju yang berada di gantungan baju.
"Mirna!"
Mirna berjalan tergopoh-gopoh menghampiri sang majikannya yang sedang hamil.
"Iya, Nyonya. Saya di sini."
Melihat penampilan Mirna, Puspita memincingkan mata
Bara Sang PengembaraBab 26Mirna terkejut di balik tembok ada seseorang yang berdiri turun dari tangga.Tubuh Mirna mendadak membeku. Kulitnya yang kuning berubah pucat. Sorotan mata tajam menatap tanpa jeda.Mirna tak berani menoleh. Rasa sakit karena pecahan cangkir dan panasnya percikan air panas tak dirasakannya.Ronald memperhatikan tingkah Mirna yang berdiri tak jauh darinya."Mirna, Mas. Kalian ngapain di dapur?" tanya Puspita. Wajahnya pucat dan lemah."Sayang, kenapa kamu turun?" Ronlad mengalihkan pertanyaannya.Tak mungkin menjawab kalau mereka berdua sedang bermesraan di dapur."Mirna lama sekali naiknya," ungkap Puspita tak sabar ingin meneguk air jeruk nipis. "Cepat kamu buatkan lagi!""I-iya. Saya bikinkan lagi." Mirna merpikan pecahan beling dan Ronlad membantu gadis itu."Cepat kamu buatkan. Biar saya yang bersihkan."M
Malam Tanpa NodaSemua serangan Drian tak dapat menyentuh kulit Johan sedikitpun. "Kamu tak akan bisa melawanku." Johan menyeringai. Setiap serangan selalu ditangkis.Kaki kekar Drian menendang ke arah perut Johan hingga lelaki perusak itu terjerembab di lantai, tawa terdengar di bibir Johan.Johan segera bangkit dan memiringkan kepala, Drian hendak menghampiri Johan namun, lawannya mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya.Senyum menyeringai menghampiri Airi. Wajah tampan milik Johan menatap ibu dari anak-anak Mahendra. Menarik wanita itu kasar, Prily hendak menghalanginya namun kalah cepat."Drian!" panggil Airi.Johan menodongkan senjata dengan pelatuk menempel di jarinya. Tersenyum menyeringai, sekali tekan sejata api itu akan meledak dan masuk ke dalam kepala Airi dan napas akan terhenti dalam hitungan detik."Kamu mendekat aku pecahkan kepalanya. Mundur!" Membulatkan
Bara Sang Pengembara"Puspita, mengapa suamimu membeli pil KB di apotek?"Puspita mendapat berita tersebut terperangah. Apa mungkin sang suami yang penuh perhatian memiliki simpanan wanita.Puspita menonton televisi dengan tatapan kosong. Tak percaya tuduhan kepada Ronald."Halo, Puspita apa kau masih di sana?""Iya, mungkin kamu salah orang. Gak mungkin suamiku membeli pil itu.""Aku yakin kalau itu suamimu. Di dalam mobil juga ada wanita muda. Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi, di mana ya?""Tidak mungkin kamu pasti salah orang. Sudah dulu, ya. Kepalaku sakit dan ingin istirahat.""Baiklah, aku harap kalau aku salah lihat. Maafkan aku sudah menganggumu."Puspita segera menutup panggilan. Hatinya cemas dan tak tahu harus berbuat apa."Tidak mungkin. Aku tak percaya. Lebih baik aku istirahat."Puspita bangkit dari sofa, semakin membesa
Bara Sang Pengembara"Mas abis ngapain kok ngos-ngosan," tanya Puspita dengan suara tinggi. Jantung berdegup kencang. Janin dalam perutnya bergerak-bergerak seakan-akan tahu perasaan sang ibu."Eh, Itu mobil mogok jadi mas dorong.""Katanya meeting kok sekarang mobil mogok yang bener yang mana?" Perkataan Puspita membuat Ronald menjadi serba salah.Ronald baru menyadari akan ucapan yang dilontarkan. Bagaikan boomerang untuknya. Memukul bibir dengan telapak tangan. Mirna menatap majikan yang kebingungan."Astaga kenapa gak bisa kerja sama mulut sama hati," gerutunya dalam hati."Mas!" bentak Puspita di seberang panggilannya."I-iya, sebentar lagi mas pulang Sayang. I love you."Ronald mengusap peluh yang masih menempel di dahi. Baru kali ini Puspita semarah itu. Entah apa yang membuat moodnya hancur."Cepat pakai bajumu kita pulang!" pinta Ronald kepada M
Mirna bersandar di belakang pintu kamarnya. Puspita meminta obat yang ia beli di apotek. Tidak mungkin memberikan pil KB bisa runyam urusannya.Beruntung Mirna memiliki obat lain di dalam tas kecil. Ia terselamatkan dari hubungan terlarangnya.Puspita mencurigai Mirna telah berselingkuh dengan Ronald. Ia yakin akan hal itu.Bukti-bukti memang belum kuat hanya saja. Sikap mereka terlihat mencurigakan.Puspita merasakan nyeri di bagian perut. "Aku tak boleh stress. Aku harus tenang. Maafkan mama Sayang." Mengusap lembut perut buncitnya yang sudah memasuki bulan ke limaSetelah kejadian itu, Ronald pindah menempati kamarnya bersama sang istri."Kamu yakin tak mual lagi kalau dekat denganku?" tanya Ronald saat makan malam berlangsung."Tentu Sayang. Kamu tahu aku rindu sekali." Menatap suaminya dengan tatapan mengoda."Aku juga Sayang."Mirna melirik kedua majikannya yang
Ronald bergegas untuk pulang ke rumah. Foto yang dikirim Mirna membuat dirinya kalang kabut, bukan Mirna mengoda dengan pakaian lingerie akan tetapi wanita itu mengirim hasil tespack. Deru mobil terdengar di halaman rumah. penjaga rumah mengernyit heran. Tak biasanya majikan pulang tengah hari kecuali pulang bersama Puspita. Penjaga rumah menyapa tuannya dengan sopan dan ramah. Ronald tak menanggapi sapaan lelaki paruh baya yang sudah bekerja lama di rumahnya. Langkah panjang Ronald mendekati pintu rumah. Mirna mengintip di balik hordeng besar berwarna emas. Tubuh rampingnya menghampiri dengan wajah bahagia. Jari mungil menyentuh handel pintu mendorong perlahan di balik pintu ia berdiri menyambut sang majikan yang sebentar lagi akan menjadi miliknya. Sorot mata Ronald membuat dirinya terkejut. Mirna memundurkan beberapa langkah. Langkah kaki Ronald begitu cepat. Lengannya ditarik ke dalam kamar Mirna dengan kasar tanpa perasaan. Kaki Mirn
Setelah memastikan keadaan aman. Mirna masuk ke dalam kamar sepasang suami istri itu. Mendorong pintu perlahan agar tak menimbulkan bunyi. Pembantu itu mencari barang dalam kamar yang dibutuhkannya. Bukan uang atau perhiasan yang diincarnya. Mirna memasukkan semua barang tersebut kedalam kantung terbuat dari kain kafan. Kantung yang ia buat sendiri. "Aku harus cepat. Sebentar lagi tengah malam," ucapnya dalam hati melihat jam dinding di kamar. Mirna diam-diam menyusup ke sebuah ruangan bawah tanah yang sudah lama tak terpakai. Ruang bawah tanah itu digunakan untuk melakukan hal-hal mistis. Semua perlengkapan yang dibutuhkan Mirna lengkap. Wanita itu memulai memejamkan mata. Mengeluarkan rambut milik kedua majikannya dan kain segitiga milik Ronald. Ada juga beberapa tetes darah milik Puspita. Mirna menyeringai. Sudah lama sekali tak melakukan hal ini. Sungguh menyenangkan baginya. Hal yang amat dirindukan selama ini. Ia pikir akan bertaubat ternyata tak bisa menjauhi ilmu itu. Mi
"Mas, sakit!" Puspita merasakan nyeri dan mulas dibagian perutnya. Ia mengigit bibir bawah. "Mas!" Menguncang tubuh lelaki di sampingnya. Ronald terbangun dari tidurnya. Membuka mata lebar melihat kondisi istrinya. "Puspita kamu kenapa?" Mata ngantuk masih terlihat jelas. "Sakit Mas." Mengusap perut yang semakin membuncit. "Kita harus ke dokter." Ronald turun ke lantai bawah dengan tergesa-gesa memanggil Mirna di kamarnya. "Mirna! Mirna!" "Ada apa Tuan?" Membuka pintu kamar mendengar teriakkan panik lelaki itu. "Panggil supir dan siapkan mobil. Puspita perutnya sakit," perintah Ronald. "Sepertinya Nona Puspita mau melahirkan." "Iya, mungkin. Cepat siapkan mobil." Mirna bergegas ke arah pos satpam memanggil supir yang sedang bermain catur. "Aduh, Mas. Sakit," keluhnya berkali-kali. Ronald duduk di belakang kemudi bersama Puspita memeluk dan mengusap perutnya."Sabar Sayang. Sebentar lagi sampai." Ronald menemani Puspita hingga masuk ke dalam ruang bersalin. Puspita haru
Fika menatap Bara dengan kebimbangan, ia terus menatap pemuda yang sedang merapikan pakaiannya. "Jangan di tatap terus, Kakak tahu kalau ganteng.""Eh, pede banget." Fika menjulurkan lidahnya ke arah Bara. pemuda yang sibuk memilih pakaiannya hanya terkekeh saja. "Kakak, kamu yakin mau kembali ke kampung. Memangnya Mak dan Abah sudah ketemu?" "Sudah, mereka baik-baik saja dan bahagia di sana." Bara mengulum senyum ketika melihat Abah dan Mak bahagia. "Kok gak ajak aku?" Fika mulai merajuk. Bara menoleh ke arah Fika yang semakin hari semakin cantik dan dewasa. umurnya sudah matang untuk berumah tangga. Bara mengusap lembut puncak kepala Fika."Abah dan emak sudah lihat kamu. Kamu juga jangan khawatirkan mereka. Berdoa untuk kesehatan mereka.""Apa jangan-jangan mereka sudah berada di kampung makanya kamu mau kembali ke sana?""Tidak ada. Mereka tak ada di sana. Apa kamu tak ingin pulang?"Wajah manis Fika menunduk lesu. Mengingat hal dulu membuatnya sakit hati. Kalau saja waktu i
Bara Seorang gadis berkemeja biru merah dengan logo di kantung depan, mengusap lembut tubuh pemuda yang kini terbaring di atas tempat tidur di dalam kamar. Tangan halusnya mengusap lembut kulit pemuda itu dengan tangkas. Perlahan memakaikan kembali pakaian yang baru untuk pria yang kini terbaring tak berdaya. Selang infus masuk dari pergelangan tangan kanan. Cairan itu yang masuk ke dalam tubuh sebagai sumber tenaga. kedua mata pemuda itu masih terpejam, entah sampai kapan mata elang akan terbuka kembali. Rasa rindu akan canda dan perhatiannya kian membuncah. Gadis berkuncir kuda tetap sabar menanti. "Sampai kapan kamu akan tertidur Kak Bara. Apakah kamu tak merindukanku. Bangunlah." Fika selalu menjaga dan merawat Bara yang sudah lima bulan tak sadarkan diri. Melalui infus, Bara mengomsumsi makanan. Setelah memastikan semua selesai, Fika merapikan peralatannya dan berpamitan. "Aku harus pergi. aku harus bekerja untuk biaya hidup kita." Fika mengusap lembut surai Bara. mengulum
Bara menghampiri dua raja yang memiliki dendam terselubung. Mereka bertaruh dengan ganas dan sadis tak memberikan ampun atau permohonan maaf. Hingga sang Raja Merah terhempas dari hadapan makhluk hijau. Kini, hanya Bara yang bisa melawan Raja Kijo.Langkah Bara pasti dan akan mengalahkan raja jahanam itu. Raja yang memiliki maksud busuk kepada manusia. Maka Bara mengorbankan diri untuk saudara-saudaranya di dua dunia. "Bocah tengil, Raja merah saja tak bisa melawanku. Kamu ingin ikut mati bersamanya, ah!" Raja Kijo tersenyum sinis menatap pemuda dihadapnya. "Kalau sudah takdirku kenapa tidak." Bara melompat dan menjulurkan kaki hingga menyentuh dada raja Kijo. Sang raja terhuyung ke belakang ketika mendapat tendangan dari Bara. "Kurang ajar!" teriak raja Kijo mengema hingga ke luar kerajaan. Para anak buah gusar mendapat teriakan dari sang Baginda raja. Raja Kijo bersiap menyerang dengan kekuatan ilmu dalam yang selama ini ia simpan untuk digunakan ketika menemukan musuh lebih
Napas Bara memburu, ia memilih menjauh. Gerak-gerik saat menghindari serangan adalah miliknya. "Sial, dari mana dia tahu gerakkan itu. Bagaimana aku bisa mengalahkannya?" geram Bara dalam hati. "Kenapa? Kamu tak bisa mengalahkan ku. Jangan harap kamu bisa!" Bara berpikir sejenak tetapi serangan tiba-tiba datang begitu cepat hingga bagian dada Bara terpukul keras, cairan merah keluar dari mulut pemuda itu. Bara terbatuk-batuk mengeluarkan cairan pekat. Raja Kijo tak memberikan ampun kepada pemuda itu. Ia melanjutkan penyerangan. Kedua kaki Bara tak berpijak. Tubuhnya melayang ke udara. "Ha ... ha ... Kekuatanmu tak sebanding denganku!" "Aku tak peduli kekuatanmu seberapa besar. Aku tak peduli berapa banyak jurusmu. Aku hanya ingin kamu musnah!" Bara melepaskan kalung merah yang melingkar di lehernya hingga dua orang muncul bersamaan menatap Raja Kijo. Mereka adalah ayah Bara dan Sang Raja yang telah hilang. Ternyata ia berada di kalung itu menunggu waktu yang tepat untuk menyer
Bara melanjutkan langkah hingga lantai yang ia pijak berubah, suasana menjadi mencekam. Sekeliling Bara berubah gelap. Hanya ada pepohonan menjulang tinggi dengan langit hitam. Tak ada bulan maupun bintang. Suara jangkrik atau kodok tak ada. Senyap dan sepi bagaikan di dalam kuburan. "Apakah aku telah kembali ke dunia nyata atau ini dunia Raja Kijo?" Monolognya dalam hati. Kaki Bara melangkah mencari jalan menuju cahaya. Tetapi, tak ada cela cahaya di sekitar ini. Suara apapun tak terdengar hingga kalung merah Bara berkelap-kelip menandakan bahaya mengintai. Bara menyentuh kalung itu saling berkomunikasi dengan penghuni kalung. Bara merasakan sesuatu mendekat sangat cepat seperti sebuah kilatan. Kedua kaki bersiap untuk menerima serangan tiba-tiba. Hingga cahaya menyerang Bara tetapi tak berwujud. Lengan Bara mengeluarkan cairan merah akibat goresan. Terasa nyeri dan perih. Bara mengindari kilatan itu agar tak terluka untuk kedua kali. Bara mengeluarkan tenaga dalam hingga diri
"Mati kau!" Suara tawa mengema di ruangan itu. Waktu yang tepat untuk menghentikan wanita berkebaya hijau. Jika ia bersuara lagi tubuh Bara bisa tak berdaya. Hingga kepala terasa berat seperti tertimpa batu besar. Bara berlari secepat kilat menghajar wanita berkebaya hijau dan menyerang sekali tebasan. Bara mengores bagian perut Nyai dengan senjata daun beracun miliki wanita itu. Bara berdiri di samping wanita itu dan menambah serangannya dengan cara mencari kelemahan Nyai. Sebuah tusuk konde berada di kepala wanita tua yang mengeram kesakitan akibat luka dari senjatanya sendiri. Teriakkan wanita tak memiliki hati mengema dan semakin kencang. "Argh ....!" Bara menjauhi wanita itu dan menatap detik-detik pertumbangan diri Nyai. Wanita yang memberikan jalan kepada Kijo ke dunia. Hingga para gadis kehilangan nyawa dan kehormatan yang harus dijaga sebelum menikah. Para ibu yang baru saja melahirkan kehilangan bayi mereka karena tubuh bayi tak berdosa menjadi santapan bagi Kijo. Banya
"Lebih baik kalian pergi. Biar aku yang hadapi." Bara tak ingin teman-temannya terluka. "Tidak, aku tak akan pergi. Mereka telah membunuh keluargaku. Aku akan melawan mereka sampai darah penghabisan." Kadet mengucapkannya lantang. Begitu juga Zamah menganggukkan kepala. "Aku juga tak akan mundur. Kita lakukan bersama." Zamah menatap kedua pemuda yang penuh keberanian. Hingga mereka mendorong kasar pagar tersebut. Seketika itu juga bola mata mereka membulat melihat segerombolan Kijo dihadapannya. "Serang!" teriak para Kijo. Seketika itu juga kalung merah menyala dan membunuh para Kijo yang hendak mendekati Bara. Tubuh mereka hancur dan berubah menjadi abu. Para Kijo yang menyadari kekuatan tak terkalahkan memilih mundur. Bara semakin melangkah kaki menyerang mereka dengan brutal begitu juga Kadek dan Zamah. Mengapa mereka tak membawa prajurit dari bangsanya. Karena sebagai prajurit mengalami luka parah. Lebih baik mereka saja bertiga menyerang bangsa Kijo yang selalu meresahkan.
Bab 55. "Abah katakan padaku. Aku tak mengerti semua ini." Bara meminta penjelasan yang sesungguhnya. "Wanita ini adalah ibumu Bara. Maaf kan kami telah merahasiakannya." Mak Djasiah terguguh. Ia takut kehilangan putranya. "Ibuku. Tapi, kenapa kalian di sini. Ini dunia bukan dunia kita.""Kami manusia hanya saja kami salah jalan hingga berakhir di sini." "Apa kalian telah berkerjasama dengan mereka, Abah?" Abah menganggukkan kepala dan suara isakan emak terdengar lebih keras. Abah memeluk tubuh rapuh istrinya. Mereka salah jalan dan beruntung masih bisa ada yang membantu. "Wanita ini adalah ibu kandungmu." "Mak, apa benar begitu?" Bara ingin tahu dari mulut wanita yang telah dianggap ibunya. "Iya, betul." Wanita berkebaya putih menatap penuh kerinduan sang buah hati. Putra yang ia jaga selama ini dari kejauhan. Bara menatap wanita yang tak terlihat tua. Tak ada goresan di wajah. Cahaya terlihat menyinari tubuhnya. "Anakku Bara." Ia mendekati Bara dan memeluk erat pemuda berw
Bab 54.Zamah menyusul Kadet, ia takut Kadet bertemu dengan Kijo. Bisa saja Kijo menyerangnya tiba-tiba. Zamah menaiki pohon lalu terbang dari satu pohon ke pohon lain. Tubuhnya terlihat ringan bagaikan kertas. "Siapa dia?" tanya Zamah ketika melihat Kadet membantu seorang wanita yang tak sadarkan diri. "Dia adalah kekasih adikku." "Astaga, bukannya dia berada di desa seberang. Apa jangan-jangan mereka juga menyerang desa seberang?""Bisa jadi. Lebih baik kita tanya saja setelah ia sadarkan diri." Zamah mengambil buah-buahan yang telah dipetik sedangkan Kadet mengendong tubuh wanita itu, Jinar. Mereka memberikan pertolongan kepada Jinar agar kembali siuman. Begitu juga Bara, mengunakan kekuatan kalung tersebut untuk menyembuhkan luka-luka di tubuhnya. Mereka beristirahat dekat pohon besar disekitar semak-semak. Para anak-anak menyantap makanan dengan lahap. Kedua bayi kembar tertidur lelap setelah menyusu ASI."Apa yang terjadi dengannya?" tanya Putra. "Kita tunggu saja setelah