Azalia menoleh ke arahku dengan tatapan syok. Ia lalu menutup telepon dan bicara padaku.“Mas, aku nggak ngerti maksud Mama kamu. Kenapa dia bilang kita tak boleh melakukan akad nikah karena kita adalah saudara.”“Apa?” Apa maksud Mama?Istriku terlihat bingung. Dan aku sendiri jelas lebih bingung dari pada dia, karena hanya sepenggal yang kudengar darinya. Langkahku sontak terayun mendekat pada wanita cantik yang mengenakan daster dan berdiri membeku itu.Apa ini alasan Mama melarangku menikah? Atau hanya bisa –bisanya dia saja mengarang cerita demi agar pernikahanku batal sesuai keinginannya?Tidak aku tak percaya ini. Kuhela napas berat. Namun, aku tak mau memperlihatkan beban pada Azalia.“Dari Mama?” tanyaku sok polos. Sebuah pertanyaan yang jelas –jelas tak memerlukan jawaban, karena Azalia sudah mengatakannya.Azalia mengangguk. Keningnya berkerut, tanda ia sedang berpikir keras. Sementara aku ... tentu saja ingin tahu secara utuh apa yang Mama katakan dan apa maksudnya?Tak in
“Nggak! Ini pasti salah! Aku akan bertanya pada Bapak, Mas!” Perempuan itu bangkit dari ranjang. Mengusap air matanya kasar dan melangkah ke luar kamar.“Lia! Tunggu!” panggilku. Namun, Azalia seolah tak peduli dan terus berjalan, sampai aku yang tak mau dia ke luar mengejar dan menarik lengannya.Dia tak boleh bicara pada Bapak mertuaku, karena jika ini tidak benar aku –lah yang akan sangat malu, punya orang tua single seperti Mama. Mereka bahkan tak saling mengenal satu dengan yang lain. Mereka juga tak pernah saling bicara, jadi mana mungkin ini benar.Meski ada sedikit keyakinan sekaligus ketakutan bahwa ucapan Mama benar, rasa tak percaya itu jauh lebih besar. Ini terlalu tidak mungkin.“Tunggu!” Kucengkeram lengannya kuat.“Auh.” Perempuan itu mengaduh, dan barulah aku sadar kalau perbuatanku telah menyakitinya.Segera kulepaskan genggaman itu dan memeluknya. Kembali menguncinya, bukan hanya agar pikiran Azalia tenang, tapi juga untuk mengunci tubuhnya agar tak bisa bergerak ke
“Azalia kamu sudah siap, Nduk?” tanya Bu Dendi –ibu mertuaku- lembut pada Azalia yang baru saja ke luar kamar.“Nggeh, Bu.” Perempuan ayu itu menyahut lembut. Ia lalu berjalan ke arah sofa di ruang tengah dan memasang sepatu sport untuk pergi.Ibu mertua terlihat heran lalu mendekat padanya. “Kamu nggak lanjut makan? Kenapa? Apa nggak enak badan?” tanya wanita itu.Azalia memang banyak pikiran, juga memang tak enak badan karena mengalami perdarahan kecil katanya. Padahal baru minggu lalu selesai datang bulan. Dia pun memberi tahu, mungkin itu yang namanya darah perawan. Ketika seorang perempuan yang masih gadis pertama kali melakukan hubungan dengan suaminya.Syukurlah, pria mana yang tak bahagia mendapat perempuan yang masih suci. Andai Mama tahu, betapa sempurnanya Azalia di mataku, dan memang kenyataannya memang begitu. Coba saja jika yang kunikahi adalah Deandra, bisa –bisa aku akan kecewa dengan pengakuannya yang tak perawan.Meski selama ini perempuan yang nyaris tak pernah menu
Tapi jika hasilnya cocok dan ternyata kami saudara. Apa yang harus kulakukan? Selamanya kami tak akan pernah bisa bersatu. Aku tak yakin bisa tetap hidup tanpanya?Setelah pulang dari lab, menemui temanku yang juga pekerja lab, aku pun kembali ke hotel. Di mana Azalia sudah menungg. Kami sepakat hanya aku –lah yang akan ke luar untuk sementara waktu, mengingat kondisi Azalia yang sedang tidak fit. Dari sekadar belanja, mengurus keperluan makan sampai hal besar bolak balik ke apotik dan lab. Aku bahkan tak masalah jika harus membeli pembalut untuk Azalia. Apa yang salah dengan itu?Apa seorang suami akan hilang kegantengannya setelah dia membantu istrinya berbelanja keperluan pribadi. Ini lebih baik dibandingkan harus merepotkan orang lain.Kutempelkan kunci berbentuk kartu di pintu, begitu pintu terbuka aku pun mengucap salam.“Assalamu alaikum.”Ucapku. Sesuatu yang aku biasakan setelah menikah dengan Azalia. Ini benar –benar fase kehidupan baru untukku. Menjadi muslim sejati dengan t
“Halo, Jav. Assalamu alaikum.” Afif menyapa sepupunya.“Waalaikumsalam.”“Jav, aku ....” Suara Afif menggantung karena Javier menyela.“Fif, tolong ... jaga Azalia untukku.” Suara di ujung telepon mengagetkan Afif.“Ap –apa? Apa maksudmu?”Pria yang dikenal sholeh itu tak mengerti apa maksud sepupunya. Jika hanya menjaganya agar saat ini perempuan itu aman ketika dia pergi, bahkan tanpa diminta ia sudah akan melakukannya dengan meminta bantuan pada Anniqa.“Aku ....” Suara berat Javier terdengar serak, tak sepertia biasanya.“Jav, aku tahu bahwa kamu sekarang sedang syok. Tapi mari kita cari jalan lain dulu. Bagai mana kalau kita membuat second opinion? Apa kamu mau aku melakukan tes DNA di luar negeri.” Panjang lebar Afif bicara lantaran takut, jika Javier yang memiliki jiwa rapuh lantaran belum lama hijrah itu akan berputus asa dari rahmat Tuhannya.Ia takut karena keputus asaannya, Javier memutuskan sudah tak mau mendengarnya. Namun, meski begitu, Afif tak akan menyerah dan membuju
Sepanjang perjalanan menuju rumah yang kini ditempati Afief dan adiknya, mobil yang dikendarai terasa sepi. Sesekali Afief melihat penumpang di belakang dengan melirik spion di atasnya. Tampak seorang wanita ayu yang duduk lesu menatap ke luar jendela, di mana jalanan berada. Afief tahu bahwa pikiran Azalia tidak sedang berada di tempatnya sekarang.Dan sekarang ... sesuatu juga mengusik pikiran Afief. Ucapan Javier terus terngiang di telinganya, bagaimana ia mengutarakan permintaan yang rasanya sangat tak masuk akal untuk dipenuhi.‘Aku tak mengerti apa yang Javier pikirkan sebenarnya? Menjagakan istri yang diceraikannya? Kenapa mereka harus bercerai tanpa mendudukkan semua orang dalam musyawarah? Setelah semua benar –benar jelas, barulah ambil keputusan cerai. Bukan malah ....’ Afief bicara sendiri. Tak berhenti sampai di situ kebingungannya, malam ini Javier juga memintanya bertemu dan bicara hal yang tampaknya begitu penting. Afif tak bisa mengira –ngira apa yang akan dikatakan se
“Jav, sebenarnya .....” Afif menggantung ucapannya.“Ya?”“Aku tidak tahu Azalia ada di mana sekarang. Dia kabur.”“Apa??!” Mata Javier melebar sempurna karena terkejut. Pria itu sangat khawatir karena selama ini Azalia nyaris tidak pernah bepergian sendiri apalagi di kota seramai tempat tinggal mereka sekarang.“Ke ke -mana dia?” “Aku … tidak tahu? Aku tidak berani menghubungi keluarganya, Jav. Dan sudah mencari ke sekitar dengan Aniqa, tapi …..”“Ya, sudah. Katakan, di mana kamu sekarang?!” tanya Javier.Akan lebih baik membatalkan rencana mereka untuk berbicara mengenai keinginan Javier terhadap Azalia. Keberadaan dan keselamatan Azalia jauh lebih penting dari itu. Apa gunanya semua yang dia usahakan demi Azalia dan bayi dalam kandungannya jika sesuatu terjadi pada perempuan yang masih mengisi hatinya itu.“Kami ada di Masjid Thoriqul Iman, dekat persimpangan besar di lampu merah.” Afif menyahut.Tadinya, mereka memang sedang sibuk dengan aktifitas sholat masing -masing. Tak sedik
Baru saja melepas sabuk pengaman dari tubuhnya, suara ketukan di pintu membuat Javier seketika menoleh. Dalam pikirannya, orang yang mengetuk itu pasti adalah Afif. Sepupunya itu pasti menyadari kedatangan Javier karena mengenali mobil yang biasa ia kendarai. Namun, alangkah terkejutnya Javier saat mendongak dan melihat siapa yang berdiri di luar mobilnya. “Azalia?” Mata Javier melebar. Ia sampai bingung harus berbuat apa.Melihat keberadaan perempuan itu, Javier sadar jika Azalia sengaja bersembunyi dan membuat suasana gaduh, sehingga Javier bergegas datang. Sepertinya, Azalia memaksanya yang enggan bertemu dan bicara dengan Azalia untuk datang sekarang. Tak dipungkiri, di balik sikap kalemnya, Azalia adlah perempuan yang nekad. Dan sekarang, Javier jadi kelabakan sendiri.Di waktu yang sama, Javier kembali dikejutkan oleh suara ponselnya yang menyala. Rupanya Bapak Azalia yang tadi tidak mengangkat panggilan saat Javier menghubunginya. Merasa lebih baik memilih mengangkat panggila
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah