POV ThalitaAku menghirup udara sebanyak-banyaknya setelah kepergian Mas Ravi. Beranjak dari ranjang ekor mataku bergerak menuju album foto pernikahanku dengan Mas Dani yang ku letakkan di atas lemari. Haruskah sekarang? Pikirku dengan pikirannya yang mendadak gundah gulana. Tidak! Aku tidak boleh meragu. Bagaimanapun sekarang Mas Ravi itu suamiku. Dan cepat atau lambat aku harus tetap menyerahkan haknya. Aku melangkah menuju meja rias. Ku tatap penampilanku yang menggunakan piyama satin. Ku ambil parfum, ku semprotkan ke sekitar tubuhku. Tak lupa aku mengambil lotion untuk membalur tangan dan kakiku. Setelah menyakinkan diri bahwa semua ini memang sudah seharusnya terjadi. Aku berbalik mengambil bantal dan selimut, melangkah menuju pintu, perlahan aku mulai membuka handle pintu.Brughh! Aku meringis kala keningku justru menubruk sesuatu yang keras saat aku berniat melangkah keluar.“Maaf, Dek. Maaf.”Sambil meringis memegangi kening, aku menatap ke arah Mas Ravi. “Kok balik ke sin
POV Thalita“Mas?” Aku tak pernah menyangka jika Mas Ravi akan mengajakku memasuki pintu yang dinding depannya bertuliskan Presidensial Suite. Tentunya membuatku tercengang saat ia membimbing bahuku berjalan melewati lantai marmer yang terasa licin saat diinjak.Mas Ravi tersenyum ke arahku. “Gimana? Suka gak?”Aku terdiam, tubuhku terasa lemas. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di lobi hotel ini aku sudah dibuat terkagum-kagum dengan kemewahan dan suasananya. Dan sekarang ia justru membawaku ke presidential suite? Ya Allah berapa banyak lagi uang yang telah ia keluarkan untuk diriku. Aku memang belum pernah menginap di sebuah hotel seperti ini. Tetapi, bukan aku tak tahu apa-apa. Aku jelas tahu seberapa mahalnya jenis kamar ini. Bahkan aku merasa lidahku terasa kaku untuk menjawab. “I—ini terlalu mewah, Mas.” Aku menjawab dengan rasa gugup yang tak terkira. Sebelumnya ia memang mengajakku menginap di sebuah hotel, mengingat saat di rumah Hira terus saja menempel padaku. Bukan M
POV ThalitaWaktu bergulir begitu cepat tak terasa masa cuti kamu sudah habis. Aku merasa senang karena akhirnya Hira tak lagi memusuhi Mas Ravi. Ya selama di Yogyakarta suamiku kerap membawa Hira jalan-jalan, memang pandai sekali ia mencuri hatinya. Bahkan Hira tak segan memanggilnya Papa. Aku tersenyum ketika mengingat cerita Mas Ravi tentang panggilan Hira padanya.‘Kemarin saat aku mengajak Hira ke Taman Pintar, aku bertanya padanya Hira kenapa memilih memanggil Papa kenapa tidak Ayah?’‘Karena Ayahku adalah Ayah Dani. Dan Papaku adalah Papa Ravi. Meski aku tak pernah berjumpa tapi ia selalu di sini,’ Dia menunjuk ke arah dadanya.Aku tersentuh tak mengira jika putriku bisa berpikir sejauh itu. Sampainya di Jakarta tak ada lagi waktu kami untuk bersantai. Kami langsung menempati rumah baru yang Mas Ravi beli. Sebelumnya kami juga mengajak Aksa. Namun, anak itu menolak dan mengatakan nanti saat liburan akan berkunjung. Ketika kembali menginjakkan kaki di rumah. Aku kembali terke
POV Thalita“Sudah siap sayang?” tanya Mas Ravi membuka pintu kamarku. Hari ini kamu berencana menghadiri pernikahan Mela dan Pak Redi. “Sudah, Mas.” Aku tersenyum ke arahnya. Tampak ia menatapku tanpa berkedip, entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun, ia tak henti tersenyum ke arahku. “Mas... Ngelamun sih,” kataku menepuk bahunya membuat ia tersentak.“Aku terpukau sayang. Kamu cantik banget, jadi sayang mau dibawa keluar.”Aku melongo ke arahnya. “Terus?”“Kurung aja di kamar ya,” selorohnya membuat aku tergelak.“Ngaco. Ayo berangkat.” Aku langsung menggandeng tangannya keluar. Jika dibiarkan bisa-bisa beneran ia mengurung diriku di kamar seharian. Apalagi sekarang Hira sudah memiliki teman di kompleks perumahan ini. Ya, aku sudah menemukan pengganti Budhe dalam mengasuh dan menjemur Hira saat pulang sekolah. Tetanggaku yang jarak rumahnya hanya dua rumah dari rumah kami. Jadi, sekarang aku lebih tenang meninggalkan Hira saat bekerja. “Hira beneran gak mau ikut ini sayang?” ta
POV Thalita'Mau ke surga bareng aku gak?'Aku menatap penampilanku di cermin sambil tersenyum mengingat pertanyaan Mas Ravi, yang pada akhirnya kini ia berhasil membuat aku berubah. Ya aku memutuskan untuk berhijab saat keluar apalagi saat bekerja. Tentu saja keputusan itu di dukung penuh oleh suamiku. “Mas aku mau ayam yang ada di piring kamu itu loh,” pintaku tiba-tiba. Saat ini kami tengah sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Beberapa hari ini merasa sangat aneh dengan diriku, selalu ingin dekat dengan suamiku. Bahkan aku selalu merasakan rindu yang menggebu-gebu. Lebih anehnya lagi aku selalu menyukai makanan apapun yang telah dimakan suamiku. “Ini ada loh, sayang. Masih banyak.” Mas Ravi menunjuk ke arah piring di mana di sana masih ada ayam goreng yang tadi aku masak. Aku mengerti maksud Mas Ravi, ia hanya menunjukkan makanan yang jelas masih utuh. Tapi, aku merasa enggan menyentuhnya.“Aku gak mau itu, Mas.”Kening Mas Ravi mengerut bingu
POV ThalitaKarena Mas Ravi masih ada di Bandung, dan kebetulan hari ini ada pengambilan raport Hira. Aku memutuskan untuk mengambilnya sendiri, mungkin aku akan ijin beberapa jam sebelum masuk kantor. Tidak masalah nanti di jam istirahat aku akan bekerja. Sejujurnya aku bisa saja meminta tolong tetangga yang aku percaya menjemput Hira. Tapi, aku tidak mau Hira berkecil hati. Teman-temannya datang dengan Ayah atau ibunya, dan dia masa haru sama orang lain. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengantongi ijin Mas Ravi. Meski Hira itu darah dagingku sendiri, tapi Mas Ravi itu suamiku, yang sudah sepatutnya harus ku hormati. Kumpulan wali murid terlaksana lancar, dan lagi aku merasa lega karena SPP Hira memang sudah aku lunasi berikut dengan biaya raportnya. Keluar dari gedung sekolah, aku melirik arloji di tanganku, masih ada waktu lumayan. “Bu, aku pengen ice cream di taman.” Hira menggoyangkan lenganku membuat aku menoleh ke arahnya. “Iya.”“Ayo, Bu. Makan ice cream di sana.” Hira menu
POV THALITASelama masa pemulihan aku benar-benar diminta bed rest total oleh Mas Ravi. Padahal di rumah ada ibu mertua dan anak sambungku. Jadinya, makanan yang selalu tersaji itu ibu yang masak terkadang Mas Ravi memilih membeli dari luar. Untuk beres-beres dan mencuci pakaian semua Mas Ravi yang kerjakan. Kadang ia kerjakan setelah pulang kerja, atau kadang sebelum berangkat. Aku kasihan sekali melihatnya. Beberapa hari lalu aku mendengar Mas Ravi menerima telpon. Ia menolak untuk diminta tugas kunjungan ke Bandung lagi, karena kondisiku. Hal itu membuat aku merasa bersalah, padahal aku merasa sudah baik-baik saja. Mas Ravi yang terlalu cemas. Fisikku baik-baik saja, hanya terkadang aku merasa masih berduka karena harus kehilangan calon buah hati kamu yang belum sempat lahir ke dunia ini. Pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur membuat sarapan. “Lho Ibu sedang apa?” suara Aksa membuatku menoleh. Tampak anak itu mengerutkan keningnya bingung, melihat aku pagi-pagi sudah di d
Yogyakarta, 3 tahun kemudian.Gema takbir berkumandang memenuhi langit malam. Orang-orang saling sibuk mempersiapkan diri menyambut hari lebaran yang telah tiba. Begitupula dengan keluarga besar Mas Ravi, saat ini kami semua telah selesai berbuka puasa bersama. Usai melangsungkan sholat Maghrib berjamaah kamu berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi. Beberapa kue juga sudah tersaji di atas meja. “Mba, jadi gak ke rumah Mbah Sukro.” Budhe Darti — Kakak kandung ibu mertuaku tiba-tiba menyongsong masuk.“Jadi, sebentar.” Ibu berlalu masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian. Aku masih duduk santai di sisi Mas Ravi. Sementara sebelahnya lagi ada Rahman dan Yeni istrinya, sedangkan Ria tengah menyuapi putrinya yang baru berusia setahun, sementara suaminya ada piket malam karena agar besok bisa mengambil libur. Anak-anak bermain-main di ruang keluarga. Aksa belum tiba masih di rumah Adiba. Ku lihat ekor mata Budhe Darti menyusuri ruangan dan terhenti padaku. “Kamu lagi hamil y
Jakarta, lima tahun kemudian.“Saya pikir yang seperti ini lebih baik, Pak.”“Coba ku lihat.” Mas Ravi mengambil dokumen dari rekannya, menelitinya. “Oh oke, aku setuju."“Baiklah kalau Pak Ravi setuju.” Laki-laki itu mengambil kembali dokumennya. “Saya permisi ya, Pak.”“Lho kok buru-buru? Istri saya sedang masak.”Laki-laki itu tertawa kecil. “Haduh sebelumnya terima kasih banyak, Pak. Tadi saya sudah janji mau makan bareng sama istri di rumah. Nanti kalau saya sudah kenyang kasihan dia menunggu.”“Aku mengerti.”Sepeninggal lelaki itu, aku melanjutkan langkahku mengantarkan minuman jahe pada suamiku. “Ini, Pa. Segera diminum ya. Nanti keburu dingin gak enak.”Dia mengambil alih gelas dari tanganku, lalu menyesapnya pelan. “Gak ada yang gak enak kalau disentuh kamu. Karena sudah ditambah bubuk cinta.”“Gombal!” selorohku mencubit perutnya, membuat ia meringis pelan. “Sudah tua masih suka gombal.”“Lho lho... Usia itu hanyalah angka. Soal stamina masih okelah. Kamu gak boleh meraguk
“Sudah dari tadi, Diba?” tanya mertuaku begitu tiba rumah. “Oh belum, Bu. Kamu baru tiba.” Perempuan berparas cantik itu berdiri menghampiri ibu, menyalaminya dengan takjim. “Ibu apa kabar?” lanjutnya bertanya.“Allhamdulilah baik nak.” Ibu mengusap pundak mantan menantunya itu. “Udah ayo duduk. Dinikmatin ya kue-kuenya.”Adiba mengangguk. “Aku senang mendengar Ibu sekarang jauh lebih sehat.”“Iya, karena sekarang ibu jadi rutin kontrol. Apalagi menantu ibu juga seorang dokter, jadi seperti terpantau sekali, nak Diba.” Ibu melirik ke arah Pandu — suaminya Ria.“Oh iya aku lupa.” Adiba beralih menatap Khanza yang tampak. “Apa sayang?” tawarnya ketika putrinya itu menunjuk ke arah makanan. “Mamamam...”“Oh maem. Bunda ambillah ya.” Dia mengambil satu kue kering diberikannya pada Khanza.“Sudah besar ya Khanza. Sama nenek mau tidak.” Ibu mengulurkan tangannya menggendong Khanza. Tampak wajahnya berbinar terang, ia terlihat begitu bahagia. Ada rasa haru yang ku lihat. Berkali-kali ku l
Yogyakarta, 3 tahun kemudian.Gema takbir berkumandang memenuhi langit malam. Orang-orang saling sibuk mempersiapkan diri menyambut hari lebaran yang telah tiba. Begitupula dengan keluarga besar Mas Ravi, saat ini kami semua telah selesai berbuka puasa bersama. Usai melangsungkan sholat Maghrib berjamaah kamu berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi. Beberapa kue juga sudah tersaji di atas meja. “Mba, jadi gak ke rumah Mbah Sukro.” Budhe Darti — Kakak kandung ibu mertuaku tiba-tiba menyongsong masuk.“Jadi, sebentar.” Ibu berlalu masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian. Aku masih duduk santai di sisi Mas Ravi. Sementara sebelahnya lagi ada Rahman dan Yeni istrinya, sedangkan Ria tengah menyuapi putrinya yang baru berusia setahun, sementara suaminya ada piket malam karena agar besok bisa mengambil libur. Anak-anak bermain-main di ruang keluarga. Aksa belum tiba masih di rumah Adiba. Ku lihat ekor mata Budhe Darti menyusuri ruangan dan terhenti padaku. “Kamu lagi hamil y
POV THALITASelama masa pemulihan aku benar-benar diminta bed rest total oleh Mas Ravi. Padahal di rumah ada ibu mertua dan anak sambungku. Jadinya, makanan yang selalu tersaji itu ibu yang masak terkadang Mas Ravi memilih membeli dari luar. Untuk beres-beres dan mencuci pakaian semua Mas Ravi yang kerjakan. Kadang ia kerjakan setelah pulang kerja, atau kadang sebelum berangkat. Aku kasihan sekali melihatnya. Beberapa hari lalu aku mendengar Mas Ravi menerima telpon. Ia menolak untuk diminta tugas kunjungan ke Bandung lagi, karena kondisiku. Hal itu membuat aku merasa bersalah, padahal aku merasa sudah baik-baik saja. Mas Ravi yang terlalu cemas. Fisikku baik-baik saja, hanya terkadang aku merasa masih berduka karena harus kehilangan calon buah hati kamu yang belum sempat lahir ke dunia ini. Pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur membuat sarapan. “Lho Ibu sedang apa?” suara Aksa membuatku menoleh. Tampak anak itu mengerutkan keningnya bingung, melihat aku pagi-pagi sudah di d
POV ThalitaKarena Mas Ravi masih ada di Bandung, dan kebetulan hari ini ada pengambilan raport Hira. Aku memutuskan untuk mengambilnya sendiri, mungkin aku akan ijin beberapa jam sebelum masuk kantor. Tidak masalah nanti di jam istirahat aku akan bekerja. Sejujurnya aku bisa saja meminta tolong tetangga yang aku percaya menjemput Hira. Tapi, aku tidak mau Hira berkecil hati. Teman-temannya datang dengan Ayah atau ibunya, dan dia masa haru sama orang lain. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengantongi ijin Mas Ravi. Meski Hira itu darah dagingku sendiri, tapi Mas Ravi itu suamiku, yang sudah sepatutnya harus ku hormati. Kumpulan wali murid terlaksana lancar, dan lagi aku merasa lega karena SPP Hira memang sudah aku lunasi berikut dengan biaya raportnya. Keluar dari gedung sekolah, aku melirik arloji di tanganku, masih ada waktu lumayan. “Bu, aku pengen ice cream di taman.” Hira menggoyangkan lenganku membuat aku menoleh ke arahnya. “Iya.”“Ayo, Bu. Makan ice cream di sana.” Hira menu
POV Thalita'Mau ke surga bareng aku gak?'Aku menatap penampilanku di cermin sambil tersenyum mengingat pertanyaan Mas Ravi, yang pada akhirnya kini ia berhasil membuat aku berubah. Ya aku memutuskan untuk berhijab saat keluar apalagi saat bekerja. Tentu saja keputusan itu di dukung penuh oleh suamiku. “Mas aku mau ayam yang ada di piring kamu itu loh,” pintaku tiba-tiba. Saat ini kami tengah sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Beberapa hari ini merasa sangat aneh dengan diriku, selalu ingin dekat dengan suamiku. Bahkan aku selalu merasakan rindu yang menggebu-gebu. Lebih anehnya lagi aku selalu menyukai makanan apapun yang telah dimakan suamiku. “Ini ada loh, sayang. Masih banyak.” Mas Ravi menunjuk ke arah piring di mana di sana masih ada ayam goreng yang tadi aku masak. Aku mengerti maksud Mas Ravi, ia hanya menunjukkan makanan yang jelas masih utuh. Tapi, aku merasa enggan menyentuhnya.“Aku gak mau itu, Mas.”Kening Mas Ravi mengerut bingu
POV Thalita“Sudah siap sayang?” tanya Mas Ravi membuka pintu kamarku. Hari ini kamu berencana menghadiri pernikahan Mela dan Pak Redi. “Sudah, Mas.” Aku tersenyum ke arahnya. Tampak ia menatapku tanpa berkedip, entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun, ia tak henti tersenyum ke arahku. “Mas... Ngelamun sih,” kataku menepuk bahunya membuat ia tersentak.“Aku terpukau sayang. Kamu cantik banget, jadi sayang mau dibawa keluar.”Aku melongo ke arahnya. “Terus?”“Kurung aja di kamar ya,” selorohnya membuat aku tergelak.“Ngaco. Ayo berangkat.” Aku langsung menggandeng tangannya keluar. Jika dibiarkan bisa-bisa beneran ia mengurung diriku di kamar seharian. Apalagi sekarang Hira sudah memiliki teman di kompleks perumahan ini. Ya, aku sudah menemukan pengganti Budhe dalam mengasuh dan menjemur Hira saat pulang sekolah. Tetanggaku yang jarak rumahnya hanya dua rumah dari rumah kami. Jadi, sekarang aku lebih tenang meninggalkan Hira saat bekerja. “Hira beneran gak mau ikut ini sayang?” ta
POV ThalitaWaktu bergulir begitu cepat tak terasa masa cuti kamu sudah habis. Aku merasa senang karena akhirnya Hira tak lagi memusuhi Mas Ravi. Ya selama di Yogyakarta suamiku kerap membawa Hira jalan-jalan, memang pandai sekali ia mencuri hatinya. Bahkan Hira tak segan memanggilnya Papa. Aku tersenyum ketika mengingat cerita Mas Ravi tentang panggilan Hira padanya.‘Kemarin saat aku mengajak Hira ke Taman Pintar, aku bertanya padanya Hira kenapa memilih memanggil Papa kenapa tidak Ayah?’‘Karena Ayahku adalah Ayah Dani. Dan Papaku adalah Papa Ravi. Meski aku tak pernah berjumpa tapi ia selalu di sini,’ Dia menunjuk ke arah dadanya.Aku tersentuh tak mengira jika putriku bisa berpikir sejauh itu. Sampainya di Jakarta tak ada lagi waktu kami untuk bersantai. Kami langsung menempati rumah baru yang Mas Ravi beli. Sebelumnya kami juga mengajak Aksa. Namun, anak itu menolak dan mengatakan nanti saat liburan akan berkunjung. Ketika kembali menginjakkan kaki di rumah. Aku kembali terke
POV Thalita“Mas?” Aku tak pernah menyangka jika Mas Ravi akan mengajakku memasuki pintu yang dinding depannya bertuliskan Presidensial Suite. Tentunya membuatku tercengang saat ia membimbing bahuku berjalan melewati lantai marmer yang terasa licin saat diinjak.Mas Ravi tersenyum ke arahku. “Gimana? Suka gak?”Aku terdiam, tubuhku terasa lemas. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di lobi hotel ini aku sudah dibuat terkagum-kagum dengan kemewahan dan suasananya. Dan sekarang ia justru membawaku ke presidential suite? Ya Allah berapa banyak lagi uang yang telah ia keluarkan untuk diriku. Aku memang belum pernah menginap di sebuah hotel seperti ini. Tetapi, bukan aku tak tahu apa-apa. Aku jelas tahu seberapa mahalnya jenis kamar ini. Bahkan aku merasa lidahku terasa kaku untuk menjawab. “I—ini terlalu mewah, Mas.” Aku menjawab dengan rasa gugup yang tak terkira. Sebelumnya ia memang mengajakku menginap di sebuah hotel, mengingat saat di rumah Hira terus saja menempel padaku. Bukan M