“Hei, setidaknya istrimu wanita yang baik. Harusnya kamu bangga. Pria tidak jelas seperti kamu punya istri manis, lembut, dan penyayang. Nikmatilah!” sahut Warren.
“Kamu dan dua sekutumu itu, harus ikut bertanggung jawab jika aku kena celaka karena semua ini. Kalian yang memulai permainan gila ini!” kesal Jordan.
“Hei, hei! Sabar dulu! Jangan sembarangan bicara, Man!” Warren berusaha membela diri. Jordan bersedia terima tantangan. Pilihan dia masuk dalam pernikahan di event antik itu. Tidak ada alasan dia mempersalahkan teman-temannya.
“Dengar, Warren. Usai perjanjian, kalian tidak boleh asal lepas tangan. Ingat itu!” Jordan masih mencari cara mengancam.
Klek! Pintu kamar mandi terbuka. Jordan cepat-cepat mengakhiri panggilan Warren. Dia tidak mau Clarabelle mendengar dia bicara dengan Warren.
Jordan meletakkan ponsel dan segera merebahkan badan. Matanya mengekori Clarabelle. Dengan gaun tidur seksi,
Kembali ke rumah Jordan setelah dua malam menginap di rumah Adriano, Clarabelle sedikit merasa berat. Jordan bisa merasakan itu. Clarabelle masih ingin lebih lama dengan ayahnya. Tetapi Jordan sudah ada janji dengan tiga sekawan, mereka akan datang berkunjung. Ketiga teman Jordan itu hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Jordan yang sok manis dan baik sebagai suami Clarabelle. Menyiapkan rumah, padahal dia lebih senang di apartemen. Mereka berusaha menahan tawa saat melihat Jordan bersama Clarabelle saling memandang dan terlihat mesra bahagia. Begitu Clarabelle pergi, tinggal mereka sendiri yang mengobrol, mereka habis-habisan mengerjai Jordan. “Kamu memang pemain watak kelas kakap. Kenapa kamu tidak jadi aktor saja? Kurasa film pertamamu akan booming.” Ronald menatap Jordan sambil mencibir. “Aku harus akui, kamu menang. Andai aku jadi istrimu, aih, istri … haa … haa … masih aneh aku mengucapkan itu.” Warren menyahut. Dia menyenggol lengan Jordan.
Bersama Karen, Jordan seolah dibawa kembali pada masa lalu. Tidak bisa dibilang mereka berpacaran, tetapi waktu itu, Karen yang paling sering bersama Jordan. Mungkin, Jordan hampir jatuh hati pada wanita itu. Tetapi Jordan yang tidak peduli soal perasaan, hanya ingin menikmati kesenangan, tidak menyadarinya. Hingga akhirnya Karen pindah ke negara bagian lain karena mengejar karirnya. Malam itu, Jordan memuaskan diri, bersama wanita yang pernah lama memenuhi hari-harinya. Ternyata Karen memang istimewa, pesonanya makin kuat. Pergulatan mereka melampaui malam hingga hampir pagi. “Karen … you are really …” Kelelahan Jordan tampak puas sambil merangkul wanita cantik itu. Karen tak mengira, perjalanannya yang hanya bertujuan bisnis, bisa berakhir dengan manis, bersama pria yang tak pernah bisa dia lupakan itu. Setelah ini, dia tidak akan melewatkan kesempatan jika mungkin bisa kembali bersama Jordan. Jordan memang bukan satu-satunya pria di hidup Karen, te
Bola mata Clarabelle menatap tajam pada wanita cantik dan seksi yang hampir menempel dengan tubuh Jordan. Melihat sikapnya, Clarabelle mulai menduga mereka sepertinya punya sesuatu di waktu yang lalu. Sekalipun Jordan bersikap normal, tampak jelas ada kedekatan di antara mereka. “Semoga berhasil untuk bisnis kamu. Sampai jumpa.” Jordan sedikit mendorong Karen agar menjauh. Dia tidak terkejut dengan sikap Karen, hanya tidak mau merusak suasana manis yang masih dia nikmati dengan Clarabelle. Karen berdiri, memandang Jordan dengan tatapan tidak senang. Apa pria tampan di depannya ini mengusirnya? “Aku dan istriku harus segera kembali ke kamar.” Jordan berdiri. Dia mendekati Clarabelle, mengulurkan tangannya. “What? Wife?” Karen seketika melebarkan pandangan, tersenyum getir. Tapi jelas dia tidak percaya mendengar kata-kata Jordan. “Yeah. We’re just getting married.” Jordan merangkul bahu Clarabelle. “Kami sedang berbulan madu.” Clarabelle
"Ahh, Joy … ini yang aku selalu rindukan darimu. Ohh …” Wanita berbalut kain ketat di tubuhnya itu merapat pada Jordan. Tanpa malu-malu dia menyentuh dan melepas kemesraan. Jordan pun menanggapinya. Jordan sangat menikmati malam-malam seperti ini. Dia tidak mau kehilangan kegembiraan bersama teman-temannya dan para wanita pemujanya. Setelah dua bulan hanya bergelut dengan Clarabelle, bersama wanita-wanita yang menanti dia di club, menjadi sesuatu yang berbeda. Sementara ketiga teman Jordan juga asyik dengan pasangannya masing-masing. Bunyi musik yang keras, hentakan dan goyangan mereka yang melantai dikelilingi lampu berkejap-kejap tanpa henti, menambah suasana makin panas. “Joy … bisakah kita ke apartemenmu? Joy …” Wanita itu makin liar. Tanpa bicara, Jordan menariknya. Dia gandeng Ellen melewati Ronald dan Warren yang mulai seru di tempat mereka. “Joy … ingat istri!” Warren berseru. Sengaja, dia menggoda Jordan, ingin melihat playboy itu
Clarabelle merasa campur aduk. Tapi dia harus tetap tenang dan terlihat tegar di depan papanya. Dia tidak ingin kesehatan papanya bukan membaik justru sebaliknya jika mendapat kabar yang tidak menyenangkan. Clarabelle berdiri, tepat di sisi Adriano dan memegang tangannya. “Jordan sedang ada urusan, Pa. Dia pasti akan segera kemari jika sudah selesai. Aku memang tidak ingin mengganggu dia. Papa istirahat saja.” “Baiklah, Sayang. Asalkan kalian baik-baik saja, aku sudah tenang.” Senyum tipis Adriano sunggingkan di bibirnya. Lalu dia memejamkan matanya. Dia butuh banyak istirahat. Dia harus berjuang agar tetap sehat, demi Clarabelle. Putrinya telah berusaha mewujudkan mimpi Adriano, menikah, memiliki seorang pendamping. Dia pun harus bertindak, sebab dia ingin bisa lebih lama melihat putrinya, jika mungkin sampai Clarabelle dan Jordan punya keturunan. Clarabelle lega, Adriano tidak bertanya lebih jauh. Dia kembali duduk di kursinya. Dalam hati dia merasa bersala
Crystal kesal sekali pada Jordan, demi mendengar kalau cucunya itu tidak mendampingi istrinya di saat sulit yang dihadapi. Crystal sudah bisa menduga apa yang dilakukan Jordan di luar rumah. Kalau selama ini Crystal seolah jadi benteng Jordan di hadapan papa dan mamanya, kali ini Crystal justru akan berurusan dengannya. Jordan sudah menikah. Dia seorang suami, kepala rumah tangga. Tidak sepatutnya dia hanya peduli dirinya sendiri. Sekalipun Clarabelle terkesan menutupi, Crystal tahu, Jordan mulai lagi berbuat kegilaan. Hanya setengah jam setelah menelpon Clarabelle, Crystal berangkat menuju rumah sakit tempat Adriano dirawat. Dan dalam perjalanan dia menghubungi Jordan. “Halo … siapa ini? Sepagi ini menggangguku.” Suara Jordan terdengar serak. Dia tampak malas menerima telpon. Crystal makin yakin yang dia pikirkan benar. Jordan ada di apartemennya, bersama salah satu wanita yang biasa menghabiskan malam dengannya. “Kamu masih bisa bersantai begitu sem
Mata Crystal yang biasanya ramah dan ceria, menatap Jordan dengan rasa geram. Crystal meminta penjelasan dari Jordan mengapa sampai dia tidak pulang, membiarkan Clarabelle sendirian mengurus papanya di rumah sakit. Pembicaraan pun melebar, pada tujuan Jordan menikah dengan Clarabelle sebenarnya untuk apa. Itu yang Crystal mau dengar dari mulut Jordan. “Granny …” Jordan memegang kedua bahu neneknya, memandang dengan mata berusaha tetap tenang. Jordan sangat sayang pada Crystal dan tidak ingin neneknya bersedih. “Tentu saja seperti yang aku katakan, aku ingin memulai hidup yang baik, memiliki pendamping yang tepat di sampingku.” Jordan mengucapkan itu sepenuh hati, agar Crystal tidak akan berpikir macam-macam tentang dirinya. “Tapi, kenapa kamu masih belum juga masuk kantor dan bekerja bersama James?” Tatapan Cystal belum melunak. Jordan terdiam. Apa yang Crystal maksudkan kali ini? Jordan harus ikut repot di kantor? Rapat, mengecek ini dan itu yang mem
Clarabelle dan Jordan menoleh pada Susan. Clarabelle berdiri dan melangkah mendekati Susan. “Thank you for coming,” ucap Clarabelle. “Bagaimana papa kamu?” tanya Susan. Matanya melirik ke arah Jordan. Pria itu memang sangat tampan. Bahkan dengan kostum ala kadarnya, hanya kaos sedikit ketat dan jeans, dia terlihat keren. “Sudah sedikit membaik. Papa masih tidur,” jawab Clarabelle. Clarabelle menoleh pada Jordan. “Jordan …” Jordan mengangkat mukanya, lalu berdiri. “Baiklah. Aku akan pulang. Jika kamu perlu sesuatu kabari saja aku. Oke?” Jordan melangkah mendekati Clarabelle. Dia rengkuh bahu Clarabelle, lalu mengecup sekilas bibir wanita cantik itu lalu berjalan menjauh. “Kamu beruntung punya suami baik begitu. Horang kaya, tapi mau menerima kamu apa adanya. Mimpi apa kamu, La?” Susan memperhatikan Jordan yang terus berjalan tanpa menoleh lagi. Clarabelle tersenyum tipis. Perkataan Susan membuat hati Clarabelle penuh syu
"Mana cucuku? Aku sudah tidak sabar mau memeluknya!" Suara ceria itu, terdengar renyah. Clarabelle sangat merindukannya. Dengan cepat Clarabelle menemui Crystal yang baru melangkah masuk ke dalam rumah. "Oh, my God!" Crystal terbelalak begitu melihat Clarabelle. "Lihat, Sayang. Bayimu sudah tumbuh sebesar ini?" Crystal memegang perut Clarabelle dan mengusapnya dengan rasa gembira yang meluap. Clarabelle tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Sambutan hangat itu rasanya membalut semua hal yang dulu ingin dia lupakan. Keluarga Hayden. Keluarga itu akan terus menjadi bagian hidupnya. "Apa kabar, Lala?" Ann-Mary ganti memeluk Clarabelle. Suara manisnya yang elegan, Clarabelle juga rindu. "Aku sangat baik." Clarabelle tersenyum. Ada rasa tidak nyaman juga mengumpul di hatinya. "Aku minta maaf, karena pergi diam-diam. Sungguh, aku tidak ingin mengecewakan siapapun. Aku minta maaf." "Anakku yang tidak tahu menjaga istrinya. Kenapa kamu minta maaf? Jordan yang harus minta maaf. Dulu dia berj
Matahari cerah. Salju mulai mencair perlahan-lahan. Musim dingin kian bergeser, musim semi akan datang beberapa minggu lagi.Clarabelle duduk di pinggir jendela. Dia memandang ke jalanan dan pemandangan di depan rumah tempat dia tinggal. Tenang, hening, dan meneduhkan. Dari arah belakangnya, aroma harum kopi panas terasa masuk ke penciuman.Clarabelle menoleh, Jordan berdiri dengan dua cangkir di tangannya. Wajah tampan itu tidak tersenyum, tetapi tatapan ceria muncul dari sorot matanya."Minuman hangat buat jantung hatiku. Susu saja. Kopi buat aku." Jordan memberikan satu cangkir kepada Clarabelle."Ah, aku sudah membayangkan meneguk kopi panas dan harum. Kenapa susu lagi?" Clarabelle cemberut tetapi dia terima juga cangkir dari Jordan."Biar sehat. Nanti saja kalau sudah lahir kesayangan kita, kamu minum kopi." Jordan duduk di sebelah Clarabelle. Dia menghirup harum kopi di cangkirnya, lalu meneguk beberapa kali."Hm, ibu hamil ga masalah
Salju baru beberapa menit lalu berhenti. Mobil hitam James berhenti dan terparkir di garasi rumah besar itu. James turun dari mobil dan dengan cepat berputar, membuka pintu mobil dari sisi lainnya. "We are here. Come on, Babe." James mengulurkan tangannya. Nerry menyambut tangan James dan keluar dari mobil. Dia melihat ke sekeliling. Tempat parkir saja begitu luas. Ada beberapa mobil ada di dalam garasi. Semua jelas mobil berkelas, mobil tidak terlalu sering tampak di jalanan. "They are waiting." James tersenyum. Dia menggandeng Nerry dan mengajak masuk ke rumah dari pintu samping, langsung ke ruang keluarga. "Tuan, aku sangat gugup." Nerry memperhatikan James. Wajah gadis itu merah merona. Sedangkan James tersenyum lebar penuh keceriaan. "Tenang saja. Kamu tidak akan dihukum karena jatuh cinta pada Hayden. Dan jangan panggil aku Tuan," kata James. "Iya, Tuan. Oh, James? Aneh." Nerry tersenyum
Jordan menghentikan langkah mendengar pertanyaan itu. Apa yang baru dia dengar? Dia berbalik. Matanya bertemu mata indah yang membuatnya jatuh hati. Mata bulat dan bening Clarabelle. "Are you sure, you wanna leave me? And our baby?" Clarabelle memandang Jordan. Tangannya menyentuh bagian perutnya. Jordan masih mencerna apa yang terjadi. Tatapan matanya makin menghujam. "Setelah semua yang kamu lakukan, toko coklat Lala Joy, meninggalkan rumah mewah di Sydney, tidak peduli kantor Hayden, dan melepas semua wanita itu ... kamu akan pergi dariku?" Clarabelle bicara dengan tenang. Kedua matanya tampak teduh. Perlahan bibirnya tersenyum. "Lala ...." Jordan tak percaya yang dia lihat. Clarabelle mengucapkan sesuatu yang jauh dari bayangannya. "I miss you too, Jordan Gerald Hayden. Deep ini my heart, I always wanna hug you." Bibir tipis Clarabelle kembali menguntai senyum. Jordan segera kembali mendekat dan memegang tangan Clarabelle. "What do
James keluar kamarnya. Dia menelpon Susan dan terpaksa membuat Susan bangun. Kabar yang James berikan tentang Clarabelle mengejutkan Susan. Dia cepat-cepat bersiap dan menemui James di tempat parkir."Susan, kamu bantu aku. Ini situasi buruk. James bertingkah bodoh lagi dan membuat Clarabelle kembali terluka." James mulai melajukan mobil keluar hotel.Hari mulai terang, tetapi matahari tidak mau menunjukkan dirinya."Apa yang Tuan harapkan dariku?" tanya Susan."Aku akan tenangkan Jordan. Dia kembali merasa bodoh dan menyesal. Kurasa dia lebih kacau karena bayi mereka dalam bahaya." James terdengar resah dan cemas. "Kamu, aku minta kamu tenangkan Clarabelle. Aku tidak tahu apa yang dia rasa tentang Jordan setelah kejadian ini. Aku hampir yakin, dia akan meminta bercerai."Deg. Susan menatap James. Apakah seburuk itu? Susan tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu apa yang bisa dia katakan nanti pada Clarabelle."Aku rencana h
Jordan panik. Dia gemetar melihat Clarabelle bahkan kesulitan duduk."Lala ... Lala ...." Jordan tidak tahu harus bicara apa.Sementara darah terus mengalir dan melebar di atas salju."Jordan, sakit ...." ucap Clarabelle sambil memegang perutnya."Dokter ... kita ke dokter. Tunggu, aku ambil mobil. Bertahanlah," ujar Jordan di antara rasa bingung dan ketakutan.Dia berdiri dan berjalan kembali ke tokonya. Dia harus segera mengambil mobil dan membawa Clarabelle ke rumah sakit. Clarabelle makin pucat. Rasa dingin yang menusuk, disertai rasa sakit yang mendera perut, kaki, pinggang, dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia hampir tidak bisa bergerak lagi.Beberapa menit berikutnya, Jordan datang. Dia membantu Clarabelle masuk ke dalam mobil. Clarabelle lunglai, tetapi tubuhnya juga kaku karena kedinginan. Dengan hati tidka karuan, Jordan mulai melajukan kendaraannya. Hari tidak lagi bersalju, tetapi jalanan cukup sulit ditempuh, Jordan tidak
Clarabelle terkejut dengan reaksi Jordan. Dia mencoba melepaskan diri, tapi Jordan tidak mau mengalah. Dia bahkan lebih berani bertindak. Dia kecup Clarabelle. Dia lepaskan kerinduan dengan memeluk erat istrinya.Clarabelle awalnya ingin berontak. Sayangnya, hati dan rindunya tidak sejalan. Hati menolak, tetapi rindu yang Clarabelle rasa memaksanya menyambut kemesraan yang Jordan lemparkan. Debaran kuat menguasai Clarabelle. Degupan yang menyenangkan, yang menaikkan hasrat dirinya tak bisa dibendung. Clarabelle menyerah. Dia mulai menikmati sentuhan Jordan."I miss you. So much ...." Jordan berbisik, lembut. Clarabelle makin bergelora.Tidak ada penolakan, Jordan makin melangkah jauh. Permainan dia lanjutkan. Dia menarik Clarabelle naik ke atas ranjang. Mereka meneruskan perjalanan rindu dan cinta yang terlalu lama tertahan karena rasa marah, kecewa, dan juga takut makin terluka.Di luar salju kembali deras. Bahkan suara angin menderu pun terdengar. Rindu
Mobil Jordan oleng. Clarabelle mendekap dadanya dengan rasa takut mencuat begitu cepat. Mobil hampir saja bertabrakan. Jordan sigap kembali ke posisi dan mengendalikan setir. Untung, dia mampu menghindar sehingga tabrakan tidak terjadi. "Ya Tuhan ...." Clarabelle masih merasakan dadanya berdetak begitu cepat karena rasa kaget. Jordan sudah kembali menguasai kendaraannya. Tapi dia juga sama terkejutnya. Berulang kali dia mengambil nafas dalam, menenangkan diri. "Sorry, I am sorry," kata Jordan tanpa melihat CLarabelle. Dia fokus menyetir. Clarabelle tidak menjawab. Dalam hati dia bersyukur, tidak terjadi kecelakaan. Dia tidak bisa membayangkan jika benar tabrakan terjadi. Bukan hanya dia dan Jordan yang celaka, tetapi bayi mungil di rahimnya juga. Hening. Sisa perjalanan hingga ke toko Jordan, tidak ada yang bicara. Jordan memarkir kendaraannya, langsung masuk ke garasi. Clarabelle kembali memegang pipi Jordan, lalu ke lehernya.
James menajamkan tatapannya. Dua bola mata indah dan lentik milik Nerry berair. Apa yang dia risaukan? Mengapa justru gadis itu jadi bersedih? "Nerry, ada apa? Aku sungguh-sungguh dengan niatku. Aku tidak akan mempermainkan kamu. Aku janji ...." "Bukan itu. Maafkan aku," sahut Nerry. James menutup mulutnya. Dia lebih baik mendengar yang Nerry akan utarakan padanya. Mungkin memang dia terlalu cepat meminta Nerry menjadi kekasihnya apalagi masuk dalam pernikahan. Rasanya sama saja dengan kisah Jordan dan Clarabelle. "Mengenal Tuan secara langsung, punya momen bersama, buat aku ... seperti mimpi. Ga masuk akal. Tuan tiba-tiba muncul di depanku. Semua hari-hariku berubah seketika." Nerry mulai mengungkapkan yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. James menunggu. Dia tahu Nerry belum selesai. "Jujur, aku jika sungguh bersama Tuan nanti, seperti cinderella. Dari hidup sederhana masuk dalam sebuah istana. Apakah aku bisa, Tuan? Apakah aku cu